Wanita paruh baya itu menerima kiriman surat untuk Naura siang tadi. Logo pengadilan agama terpampang jelas dan juga nama putrinya. Tanpa ragu, Wanita itu pun langsung membuka amplop, tak peduli kalau surat itu bukanlah untuknya.Alangkah terkejutnya wanita ini saat mendapati putusan perceraian putrinya secara vertex. Wajah wanita bertubuh tambun itu pun mulai memerah, tak terima anaknya diperlakukan secara tidak adil."Awas kamu Radit!" batinnya sambil melemparkan surat putusan perceraian untuk putrinya. Kemudian menunggu sampai Naura pulang ke rumah dan membahas rencana selanjutnya.Suaminya, Pak Rustam muncul dari depan rumah, setelah asyik mengurus tanaman hias di halamannya. Kegiatan yang biasa dilakukan oleh para pensiunan.Mendapati wanita yang telah dinikahi selama puluhan tahun tengah bermuram durja, beliau pun datang mendekat. Sudah pasti, ingin memberikan dukungan ataupun menjadi teman bicara."Kenapa Ma, kok kelihatan sedih begitu?" tanyanya sambil mengambil tempat di sisi
Bayi Kinanthi tak henti-hentinya menangis. Membuat sang Ibu tampak panik, sampai-sampai tak ada kesempatan baginya untuk mengerjakan tugas menemani Bu Wuri."Sayang, kenapa sayang, Bunda nggak akan pergi lagi kok," bisiknya sambil mengayun-ayunkan bayi mungilnya dalam gendongan.Bu Wuri yang mendengar tangisan si kecil pun mengetuk kamar yang ditempati Mila. Kamar yang memang disiapkan untuk tamu yang menginap."Kinan nangis terus to Nduk*?" tanya Bu Wuri setelah membuka pintu kamar Mila."Iya ini Bu, nggak tahu kenapa kok nangis terus, padahal bajunya sudah saya ganti, sudah saya kasih susu tapi kok masih nangis," jawab Mila masih menggendong bayinya."Sini coba sama Ibu," jawab Bu Wuri kemudian menggendong Kinanthi.Bayi itu masih terus menangis, kemudian wanita lansia itu meminta Mila mengambil termometer untuk memeriksa suhu tubuh Kinanthi. Segera saja wanita itu membaringkan Kinanthi di atas ranjang, meraba dahinya dan meletakkan termometer dalam ketiak. Membiarkan pengukur suh
Permintaan yang diungkapkan oleh Ibu terasa mengganggu Radit. Tak hentinya, pria bertubuh tinggi itu memikirkan apa yang diminta oleh sang Ibu untuk menikah dengan Mila. Rumah tangganya baru saja gagal, dan untuk menikah lagi sepertinya ia masih trauma. Bahkan hingga saat ini, ia belum juga memutuskan akan menikah lagi atau tidak.Melihat kegundahan Radit, ibu pun tersenyum lalu berkata, "Mila itu anak baik, Ibu percaya dia bisa menghargai dan menghormati kamu sebagai seorang suami.”Radit hanya menghembuskan napas dan tak menjawab pertanyaan Ibunya. Membiarkan wanita yang telah melahirkannya ini mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran, lagipula sampai sekarang ia masih malas memikirkan perihal pernikahan.Namun jika melawan ibu, tentu ia takut dicap durhaka. Sudahlah lebih baik dengarkan saja, toh ibu hanya mengungkapkan pendapatnya."Ibu sudah lama memperhatikan kalian. Dia itu sangat sabar dan bertanggung jawab. Bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan buat kita sehingga kamu nggak pe
Pagi ini seperti biasa Mila tengah menata piring begitu Radit keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapi. Pria itu terlihat tergesa-gesa, seperti ada yang harus segera diselesaikan.Hari ini akan datang tamu dari dinas pariwisata ke restorannya. Mereka akan melakukan penilaian terhadap restoran milik Radit. Tentu saja sebagai pemilik harus menyiapkan segala sesuatunya.Aroma kopi hitam buatan Mila sepertinya susah untuk ditolak. Membuat Radit yang rencananya langsung berangkat ke restoran terpaksa mampir untuk memanjakan lidahnya sebelum akhirnya berangkat."Bapak nggak sarapan dulu?" tegur Mila yang mengetahui Radit hanya menyeruput sedikit kopi kemudian bersiap berangkat."Saya ada urusan pagi ini Mil, nggak bisa ditunda,” jawabnya dingin."Kalau begitu biar saya bungkuskan rotinya ya Pak,” tawar Mila.Tanpa diminta, Ibu muda itu pun melangkah ke dapur dan mengambil kotak bekal. Kemudian dengan cekatan Mila menyiapkan roti lapis dengan isian daging asap, keju dan juga selada.Radit
Semenjak Ibu mengungkapkan permintaannya kala itu, Radit terlihat menjaga jarak dengan Mila. Hal ini tentu saja membuat Bu Wuri merasa tidak enak dan mungkin juga bersalah dengan hal ini.Wanita paruh baya itu pun berpikir kalau mungkin saat ini masih terlalu cepat bagi Radit untuk membina rumah tangga baru lagi. Namun kadang-kadang masih bertanya apa kurangnya Mila dengan semua ini.Mila pun juga berpikir demikian saat mengetahui sikap Radit yang mulai acuh terhadapnya. Hal ini semakin lama membuatnya sadar diri untuk tidak mengharapkan perhatian lebih dari Radit. “Kamu sadar Mila, sudha bagus Pak Radit mau biayaain anak kamu, nggak usaha ngelunjak untuk mengharapkan jadi istri,” katanya dalam hati.“Kamu udah selesai?” tanya Radit membuyarkan lamunan Mila yang mengaduk-aduk es jeruk dengan menggunakan sedotan.Cepat-cepat Mila mendongak dan berkata, “Eh iya sudah Pak.”Radit diam lagi kemudian berdiri dan mendatangi kasir untuk membayar makanan mereka, tanpa berpamitan apa-apa. Mes
“Sudah masuk Mil!” seru Ibu sambil menoleh ke belakang dan mendapati Mila tidak juga masuk ke dalam mobil. Saat ini Mila masih saja menoleh ke arah Radit yang sekarang mendekat ke arah Doni, mantan pacarnya.Tangan Mila begitu dingin dan jantungnya berdegup kencang. Perasaannya sangat kacau kali ini.“Mila! Kamu masuk dulu, kasihan anak kamu!” perintah Ibu yang membangkitkan kesadaran Mila dan membuatnya masuk ke sisi belakang mobil SUV Radit. Ia pun masih mendekap erat Kinanthi. Wajahnya tampak tegang dan membuat Ibu mulai khawatir terhadapnya.“Mil, sini biar anak kamu di pangkuan Ibu!” pinta Ibu sambil berbalik dan membuka kedua telapak tangan.Pelan-pelan Mila melepaskan gendongan Kinan dan memindahkan bayi mungil itu ke arah Ibu. Wajah Mila menunjukkan ekspresi takut yang sangat besar. Ibu masih bisa merasakan tangan Mila yang basah oleh keringat dan kaki yang gemetar.***Dengan perasaan yang kesal Radit segera mendekati laki-laki yang mengganggu Mila tadi. Kali ini tangannya ma
Mila memandangi sosok Radit yang tengah duduk di meja makan sambil berkutat dengan laptopnya. Tubuhnya terlihat tegap dan gagah meskipun dari belakang. Tanpa disadari Ibu muda ini mulai memikirkan sesuatu."Duh ganteng banget sih, rasanya kalau lihat Pak Radit kerja jadi pingin nemenin terus mijit pundaknya," batin Mila.Semakin lama berada di rumah ini menumbuhkan perasaan kagum pada sosok Radit yang menolongnya. Seringkali ia mengungkapkan kekecewaan pada mantan Istri Pak Radit yang menurutnya sangat bodoh.Bagaimana mungkin mantan istrinya bisa menyia-nyiakan sosok suami seperti pria penolongnya itu. Dia sudah membayangkan betapa baik dan sempurnanya seorang Raditya Prayoga sebagai seorang suami."Sama aku dan Kinan yang tidak punya hubungan darah saja begitu baik dan peduli. Apalagi dengan seorang wanita yang dia cintai," batin Mila.Masih membekas di dalam otaknya, saat Pak Radit melindunginya dari sosok Doni. Cara yang dilakukanya sangat berkelas. Sempat ia mengira kalau pria ya
Ridwan yang sudah menyelesaikan pekerjaan sambilannya pun mengemudikan motor ke arah komplek rumah Radit. Ia terlihat tidak sabar untuk menerima kabar baik.“Kamu nggak akan bisa lari lagi selain ke pelukanku Mila. Kamu harus bisa berada di pelukanku Mila!” gumam Ridwan sambil mengemudikan motornya.Butuh waktu hampir tiga puluh menit bagi Ridwan untuk tiba di komplek rumah Radit. Ia tampak Saat itu ia melihat sekelompok wanita yang berkumpul di dekat taman sambil menunggui anak mereka yang sedang bermain di sana.Seperti biasanya, ras tertinggi di dunia alias para emak tak pernah lepas dari bergosip saat menunggu anak mereka. Entah apa yang diobrolkan, paling-paling seputar kehidupan para tetangga yang menjadi sasaran empuk untuk digosipkan.Ridwan langsung mematikan mesin motornya dan mendekat pada para wanita itu. "Sore Ibu-Ibu apa kabar?”Salah satu wanita yang mengenakan jilbab punuk unta pun melihat ke arahnya. Sementara wanita di sebelahnya yang memiliki rambut berwarna pun men
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap