Dengan susah payah aku menelan ludah dan terus menghela napas dalam untuk sekedar menetralkan sesak yang kian mendera di dalam dada."Anyelir, kamu baik-baik saja?" tanya Om Hakam padaku menatapku dengan sedikit merunduk agar bisa melihat wajahku yang tertunduk. Aku menghela napas kemudian menegakkan kepala setelah kuusap kasar genangan yang ada di pelupuk mata.Mereka saling menata, kemudian Tante Vina mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya, sebuah kota kecil yang pernah kulihat sebelumnya, dia membukanya sebelum diletakkan di meja dan di sodorkan ke arahku.Cincin dengan permata indah yang pernah aku lihat di dalam mobil Dokter Megan saat aku masih menjadi pasien yang dinilai bandel dulu ada di hadapanku saat ini. Cincin yang katanya untuk wanita yang ia cintai, tapi berujung kegagalan."Anak kami membeli cincin itu setelah dia menyelesaikan pendidikan dokter umum. Awalanya dia ingin menemui kedua orang tuamu, tapi diurungkan karena dulu kami sangat sibuk, saat dia meminta ka
Aku bersandar pada taksi yang mengantarkan aku ke bandara malam ini. Hari Sabtu pukul setengah delapan malam aku sudah sampai di depan bandara untuk menjemput Dokter Megan. Pesawat akan sampai pukul delapan kurang seperempat jam. Dia memintaku untuk menjemput karena ada yang ingin dibicarakan katanya.Dua hari yang lalu, aku sudah memutuskan hal terbesar dalam hidupku karena pada kenyataannya apa yang aku takutkan selama ini tidaklah terjadi. Ya, meski sebagai lelaki dia tidak membutuhkan wali, tapi tidak dapat di pungkiri bahwa restu memang sangat penting dalam sebuah hubungan, restu bagiku adalah penyempurna dalam sebuah hubungan rumah tangga. Walaupun kadang, saat restu sudah didapat pun tidak menjamin hubungan akan tenteram, damai, dan langgeng sampai ajal memisahkan. Contohnya saja pernikahanku dengannya, Mas Bian. Kami mendapat restu dari kedua belah pihak, namun nyatanya restu saja tidak cukup untuk mempertahankan rumah tangga kami. Intinya, semua tergantung setiap individu m
Dia bangkit dan duduk tegak. "Hei ... nggak, Pak.""Saya tu laper! Dokter!" ucapku gemas mengepalkan kedua tangan di depan dada kemudian menghempaskannya kebawah dengan kasar dan memalingkan wajah."Kita ke restoran yang tadi sudah saya kasih tau, Pak," ucapnya santai.Sekitar lima belas menit taksi memasuki halaman sebuah restoran yang cukup besar. Dia turun terlebih dahulu setelah memberikan ongkos taksi kemudian membukakan pintu untukku. Kami berjalan beriringan memasuki restoran megah tersebut. Dua orang wanita berseragam menyambut kami di depan pintu besar yang terbuat dari kaca dengan senyuman ramah kemudian menunduk hormat mereka menyambut kedatangan kami."Silahkan." Satu pelayan meraih koper dokter Megan dan yang lain menggeser tubuhnya memberi jalan dan memberi isyarat agar kami mengikuti langkahnya memasuki restoran tersebut.Aku hanya bisa diam dengan mata yang terus menyisir sekitar yang kami lewati, kadang aku harus berlari kecil untuk menyamai langkah panjang Dokter Me
Berita pernikahanku dengan Megantara yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi semakin meluas dan menjadi topik di kalangan pegawai bank tempatku bekerja dan juga rumah sakit. Ada yang memberi selamat dan ada juga yang justru bergunjing di belakang, mengatakan bahwa dia yang memiliki segalanya mendapat aku yang hanya seorang janda beranak satu. Namun, aku tak mau melawan atau menanggapi, aku memilih diam karena semua memang benar adanya. Mereka tidak tahu besarnya pengorbanan kami jadi bisa dengan mudah menghakimi. Namun, kembali lagi, setiap orang memiliki hak untuk menilai dan aku memiliki hak untuk menutup mata dan telinga. Hidupku tidak bergantung pada mereka yang hanya bisa melihat dari sisi luar tanpa melihat pengorbanan besar di baliknya.Mungkin aku bisa diam, tapi tidak dengannya, kadang jawaban konyol dan menohok sering diberikan hanya untuk membungkam mulut para penikmat gosip. "Anda tau kenapa saya memilihnya? Tentu saja karena dia lebih cantik dari Anda, Mbak." Itulah
"Apa yang kau rasakan? Pasti bahagia, kan? Bahkan saat pertama dia datang ke bank ini, mereka kira dia adalah bintang Korea." Mbak Annisa bertanya setengah berbisik seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku, bahkan sebelum aku mendudukkan diri di mejaku."Apa Mbak juga berpikir aku bintang Korea, waktu pertama kali masuk ke sini? Pantas, Mbak bengong aja waktu itu," ucapku menanggapi dengan candaan."Serius juga.""Aku juga serius. Lagian mana ada bintang Korea mau sama indo asli kalau nggak cantiknya paripurna," candaku lagi, lalu mengerjakan tugas, tak peduli Mbak Nissa masih berdiri membeku di sebelahku.Kami sepakat untuk tidak terlalu banyak membahas atau bicara mengenai masalah pribadi kami pada orang lain untuk meminimalisir perselisihan yang bisa saja terjadi karena omongan orang yang tidak menyukai hubungan kami.Sebuah panggilan dari Suster Yeni yang dilakukan berulang-ulang tanpa aku sadari masuk di ponsel yang aku simpan di dalam tas saat aku hendak menghubungi Megantara, in
POV Megantara."Manis, lumayan feminim," ucapku mengamati kotak makan di hadapanku setelah jam makan siang tiba.Bibirku terus tertarik menikmati suap demi suap makanan dalam kotak makan berwarna pink berbentuk hati pemberian sang Calon Istri.Ponsel tiba-tiba berpendar dan bergetar. Sebuah notifikasi pesan dari Denis masuk. Aku pun membuka dan membacanya.[Bang, ada hal penting yang mau aku sampaikan, sekarang. Sangat penting. Aku tunggu di Gedung Balai Samudera.]"Mau ngapain di sana?" gumamku setelah membaca pesan dari Denis. Karena setahuku gedung itu kerap di gunakan untuk acara pernikahan.[Resepsiku akan diselenggarakan di Bali. Di hotel Papa, nggak perlu rekomendasi gedung pernikahan padaku.] balasku kemudian kembali menikmati makan siang dari Anyelir.Namun, ponsel kembali berpendar.[Ada masalah lain, nanti aku jelaskan. Kesinilah secepatnya.]Aku menghela napas. Mengingat beberapa waktu lalu pada pertemuan terakhir kami yang membahas tentang kasus Anyelir. Maka tanpa ber
Air matanya pun tumpah bersamaan dengan pintu yang dibuka kasar. Aku menoleh cepat ke arah pintu. Anyelir dan Denis sudah berdiri mematung di sana."Anye!" teriakku berlari ke arahnya."Megan." Ia menghambur ke dalam pelukanku. Rasa lega dan bahagian menyelimuti saat aku bisa kembali mencium aroma tubuh yang membuatku rindu setiap detiknya."Ren!" Denis berlari ke arah Renata yang mulai tersedu ditempatnya."Kau baik-baik saja?" tanya Anyelir mengurai pelukannya. Aku mengangguk. "Kita pergi sekarang, pasien sudah menunggu," ajaknya.Aku pun tercekat. Ada pasien yang harus aku tangani beberapa menit lagi. Bahkan seharusnya sekarang aku sudah bersiap untuk melakukan operasi."Ayo!" seruku."Aku bahkan sudah menyewa tempat ini enam bulan yang lalu, saat Megantara benar-benar patah olehmu dan kau menolaknya waktu itu." Renata membuka suara dengan begitu lantang. Langkah kami pun terpaksa harus terhenti untuk sesaat."Kenapa harus hadir? Kenapa tidak memberiku kesempatan setelah sepuluh
POV DenisSungguh miris melihat wanita yang saat ini tergugu dan tersedu di bahuku. Aku pernah mencintainya namun tak terbalas, atau bahkan aku masih mencintainya sampai detik ini. Entah. Aku tidak bisa memahami rasa yang ada di dalam sana.Yang pasti, aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Hancur, remuk, patah, dan berserakan. Sama, seperti perasaanku saat mencintainya namun dia mencintai dan memilih Megantara. Saat melihat Renata mencintainya setengah mati, seolah hatiku pun ikut mati dan membuatku harus menyerah sebelum bertanding. Bukan bertanding, lebih tepatnya menyerah untuk berjuang. Karena bukan pertandingan namanya jika lawannya saja bergeming. Ya, Megantara tidak pernah mencintainya tapi diperjuangkan olehnya sedemikian rupa, bahkan hari ini dia rela mengeluarkan banyak dana hanya untuk menyewa gedung sebesar ini demi memperjuangkan Megantara. Miris. Sedangkan aku yang mencintainya sedemikian rupa, tapi terabaikan. Hidup kadang memang menyedihkan. Yang berharap sedemiki
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata