Sudah dua hari kami berada di villa Papa, menikmati liburan yang begitu-begitu saja, menurutku. Hanya yang berbeda kali ini adalah dengan siapanya saja, jika biasanya aku berlibur dengan keluarga Reinendra, dulu, dan yang paling sering adalah bersama teman seprofesi tanpa pasangan terutama aku. Berbeda dengan sekarang, aku bersama wanitaku, milikku, bisa dibilang target operasi yang bertahun-tahun baru bisa aku dapatkan. Lucu kalau mengingat betapa beratnya perjuanganku, tapi menyenangkan.Meski kebahagiaan menyelimuti hatiku saat ini namun semua tak bisa membuatku melupakan segala sesuatu tentang Nizam dan Ervan. Hanya tak mungkin mengatakan pada Anyelir tentang apa yang mengganggu pikiran. Dia tidak akan mengerti untuk saat ini.Kami menikmati pemandangan pantai yang berada tidak jauh dari villa, duduk berdua di tepinya sore ini, menunggu matahari terbenam yang akan tiba sebentar lagi. Anyelir meletakkan kepalanya di bahuku dengan tangan yang melingkar di lengan, sungguh saat-saa
"Keputusanku untuk segera pulang sepertinya memang sangat tepat," gerutuku tak sabar. "Jangan emosi, mungkin hanya kebetulan," ujar Anyelir menenangkan.Gegas aku turun bersama Anyelir. Kututup pintu dengan kasar agar mereka tahu ada yang datang. Karena tampaknya mereka terlalu asyik bermain bersama. Hingga tak mendengar suara deru mobil yang datang."Megan, Anyelir?!" Mama menyadari kedatangan kami, begitu juga dengan Ervan yang terlihat akrab dengan Nizam duduk di bawah bermain puzzle. Sepertinya."Nizam," panggil Anyelir pada dengan suara keras. Nizam menoleh ke arah kami kemudian dia langsung bangkit dan berlari menyerukan nama 'Daddy' tentunya."Haduh ... dapat hadiah apa ya nanti malam?" sindirku pada wanita yang saat ini merengut di sampingku."Daddy." Dengan manja Nizam bergelayut di kakiku seperti biasa, cepat kuraih tubuh mungil itu dalam gendongan setelah kukedipkan satu mata pada Anyelir, sebagai sindiran bahwa aku lah pemenangnya."Wuih ... anak Daddy, lagi main apa?
"Megan, janji kamu di Bali satu minggu." Mama mengikuti langkah yang kupercepat."Itu kemarin, Ma. Ma, kalau Megan nggak pulang hari ini, Nizam pasti sudah ... ah, sudahlah." Aku marah entah karena apa."Sudah apa? Mama salah apa, Megan?"Pyar! Suara benda pecah terdengar dari lantai atas. Aku dan Mama mendongak ke arah suara. Keterkejutan juga terjadi pada Anyelir yang terlihat sedang menemani Nizam di ruang tengah."Papa!" teriak Mama kemudian berlari menapaki anak tangga, panik."Papa?!" Aku dan Anyelir saling pandang. Dengan cepat Anyelir meraih Nizam dan ikut berlari, kami mengikuti Mama menuju lantai atas.Kubuka pintu yang belum tertutup sempurna kemudian masuk ke dalam kamar. "Papa," teriakku lalu bergegas menghampiri Mama yang sedang berusaha memapah Papa naik ke tempat tidur. "Papa kenapa, Ma?" tanyaku begitu Papa sudah berbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi sekujur tubuh, napasnya pun terlihat tidak beraturan. "Tekanan darahnya naik, tapi kad
"Megan!" sentak Papa dan aku masih bertahan dengan ponsel yang masih aku genggam di telinga."Saya ke sana, urusan kantor sementara langsung ke saya saja. Pihak travel suruh tunggu," tutupku kemudian mematikan daya ponsel papa dan memasukkannya ke dalam laci. "Megan ...," lirih Mama tersenyum lebar, menatap Papa yang terlihat mematung. Mereka terperangah dengan apa keputusanku. Aku tahu. "Ke rumah sakit sama Pak Marwan, nanti Megan ke sana. Anye bisa minta tolong siapin pakaian? Aku mau menghubungi dokter Fahri sebentar."Istriku pun ikut termangu beberapa saat. Kemudian dengan cepat menganggukkan kepala dan bergegas keluar kamar membawa serta Nizam.Dengan setengah hati aku masuk ke dalam kamar, ada sedikit rasa gamang yang mengganggu pikiran. Kulihat kemeja beserta jas, dan jam tangan sudah ada di atas ranjang. Segera aku memakainya."Mau dasi warna apa? Biru atau hitam?" tanya Anyelir yang baru datang entah dari mana."Terserah saja." Dahinya mengerut."Ini cocok kayaknya."
Ku putuskan untuk menggunakan sepeda motor agar lebih cepat sampai. Aku dikejar waktu. Rapat seharusnya sudah dimulai beberapa menit yang lalu dan aku baru keluar dari halaman.Kulajukan motor besar yang biasa aku gunakan saat berkumpul dengan teman-teman di Bali, motor itu melaju dengan kecepatan tinggi. Menerjang jalanan yang sudah mulai padat merayap. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit aku pun sampai di hotel. Pak Andi bergegas menyambutku dengan senyum sumringah begitu aku sampaidi parkiran. Kandang, aku diliputi rasa curiga akan Papa dan Pak Andi yang bersandiwara sedemikian rupa hanya untuk membuatku datang ke sini namun mengingat kondisi Papa di rumah tadi? Tak mungkin alat tes yang aku gunakan salah, itu milikku, berbeda jika Dokter Fahri yang melakukannya, bisa saja mereka bersekongkol dan bersandiwara. Pikiranku pun mulai sibuk menepis segala prasangka."Siang, Mas," sapa Pak Andi membungkukkan badan, hormat."Siang," jawabku tersenyum ramah setelah melepaskan hel
POV LUNAPertengakaranku dengan Mas Bian yang masih menyisakan luka membawaku sampai di Pulau Seribu Pura, Bali. Aku menerima tawaran tugas dinas luar kota untuk melakukan kerja sama travel dengan hotel berbintang di Bali. Meski Mas Bian melarang, aku tidak peduli. Bagiku ini adalah bayaran yang harus dia tebus karena apa yang dia lakukan sudah sangat keterlaluan. Di belakangku dia tetap menemui anak itu. Memberikan hak sebagai ayah untuk anak yang terlahir dari sebuah noda padahal aku sudah menegaskan untuk melupakan. Noda yang akhirnya mampu menodai pernikahan kami. Berkali-kali pertengkaran terjadi hanya karena anak itu. Namun, tetap anak itulah pemenang di hati Mas Bian. Hingga aku menemukan sebuah fakta yang melumpuhkan segala rasa dan keinginanku untuk hidup dengan keluarga yang utuh seperti pasangan lainnya. Puncaknya adalah satu minggu yang lalu saat aku datang ke kantor cabang yang dipegang olehnya saat ini. Dia dinyatakan mandul oleh tak hanya satu rumah sakit namun beb
POV LUNATravel Agent kami dipanggil paling akhir dan aku sebagai perwakilan segera maju memberikan presentasi sesuai yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Mata tajam itu menatapku. Tatapan itu kurasakan begitu berbeda dari pada saat dia memperhatikan presentasi dari pihak travel Agent yang lain dan aku semakin dilanda kegugupan."Sekian pemaparan dari kami, mungkin ada yang belum jelas dan ingin ditanyakan?" tutupku di akhir presentasi."Keuntungan apa saja yang akan kami peroleh jika kami bekerja sama dengan pihak travel Anda, mengingat di sini pihak kami akan memberikan harga kamar di bawah harga biasanya untuk kalian dan kami pun masih akan memberikan pembagian dari hasil sewa kamar seperti yang tertulis dalam perjanjian? Pembayaran pun bisa dilunasi beberapa bulan. Lalu apa yang bisa kalian janjikan selain mendatangkan tamu dalam jumlah besar? Bukan begitu Pak Andi?" Suara bariton itu membuat seisi ruangan yang tadinya riuh seketika hening. Ia bertanya dan fokus menatap ke arahk
Aku beranjak dari tempat duduk setelah kubuka laci dan kuambil salah satu jam tangan milik Papa pemberian dari kolega bisnisnya. Kemudian bergegas meninggalkan hotel. Cafe Seruni terletak tidak jauh dari hotel, sehingga hanya dalam waktu beberapa menit aku pun sampai di sana. Meja yang kutempati berada tidak begitu jauh dari pintu keluar dan setelah aku duduk seorang pelayan datang memberikan daftar menu. Kopi espresso menjadi pilihan seperti biasa. Kemudian aku kembali harus menunggu. Sendirian. Membosankan.Untuk menghilangkan rasa bosan aku pun teringat duo kesayangan yang berdiam diri di rumah dan aku menghubunginya. Anyelir dan Nizam, aku sudah sangat merindukan mereka meski baru sebentar saja aku pergi. Ya, rasa rinduku pada Nizam sebenarnya belum terobati. Panggilan terdengar sudah masuk namun tidak ada jawaban. Lagi, aku mengulangi panggilan setelah beberapa saat dan akhirnya terdengar suara dari seberang."Halo, Mas Daddy. Assalamualaikum," sapanya membuatku tersenyum b
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata