"Sudahlah, Nye. Ini hari bahagia kamu, jangan merusaknya hanya karena memikirkan Tita. Mas yang seharusnya minta maaf sama kamu, oke. Ayo Ren." Mas Denis berucap dengan sungguh-sungguh kemudian mengajak Renata untuk segera beranjak."Mas, jangan mengkhianatinya hanya karena marah dan karena ingin membelaku." Langkah itu terhenti sejenak dan ia menoleh ke arahku, mengangguk menyanggupi."Bisa bicara, Megan?" Sekarang giliran Mas Arya bersama Mbak Mayang menghampiri kami. Kemudian Mas Arya mengajak Megan untuk bicara berdua. "Boleh, Mas." Mereka menjauh beberapa langkah dari kami, entah apa yang hendak Mas Arya bicarakan, aku hanya bisa mengamati dari kejauhan."Akhirnya ya, Nye. Nizam bisa bersama orang yang begitu dia cintai." Ucapan Mbak Mayang membuatku tersadar."Hem.""Apa kau bahagia, Nye?!""Hem." Aku mengangguk pelan.***Akhirnya semua tamu berpamitan, hanya tertinggal Om Hakam dan Tante Vina yang masih terlihat asik bermain dengan Nizam di depan TV. Rasa berdebar masih ada
61. Tak sempurnaSeperti yang Ibu perintahkan sebelum menidurkan Nizam tadi, aku pun bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam setelah membersihkan make up dan mengganti pakaianku dengan piyama. Sejak tadi siang kami bahkan tidak sempat untuk makan kerena dilanda kegugupan.Di meja sudah tertata banyak menu, tampaknya sisa untuk para tamu tadi. Ada rendang, ayam, mi goreng, dan masih banyak makanan khas hajatan yang lain. Netraku tertuju pada piring yang berisi rendang kemudian mengambilnya dan membawanya ke dapur.Atas permintaan Megan, aku memanaskan rendang. Dia sempat mengatakan ingin makan rendang sebelum aku keluar kamar, saat aku bertanya ingin makan apa.Aroma sampoo menguar ke seluruh sudut ruangan. Aku berbalik melihat siapa yang datang. Megantara dengan piyama dan handuk yang masih ada di leher sudah ada di depan kitchen set, tampak mencari sesuatu. Sesaat aku terpana melihat wajah segar dengan rambut basah yang dibiarkan saja tanpa menyisirnya."Aku tampan?" tanya
Dinginnya air dan dinginnya malam yang membaur manjadi satu, menyapa kulit ini hingga ke tulang. Piyama yang aku kenakan pun tak bisa mengurangi rasa dingin yang teramat sangat menyiksa. Namun, rasa dingin ini tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang aku rasakan di dalam sana setiap aku mengingat kejadian nahas yang telah merenggut segala yang aku punya. Harga diri, kehormatan yang membuatku harus hidup bagai bunga tanpa mahkota. Kemudian terenggutnya Ayah dari kami secara perlahan beserta semua yang dia miliki. Ingatan masa lalu yang ingin aku kubur dalam-dalam seolah datang tanpa aku minta dan berjejalan masuk ke dalam otakku secara bersamaan. Tangisan Ayah dan Ibu di ruangan serba putih saat mengetahui hasil visum, pertanyaan-pertanyaan polisi yang sempat diberikan dan mengharuskan aku mengingat segala kejadian terkutuk yang tak bisa aku ingat karena kondisiku yang tidak sadar, dan perkataan dokter yang mengatakan "Anda positif hamil." terus terngiang di telinga. Disusul den
Tanpa berpikir panjang aku pun mundur beberapa langkah dan mendobrak pintu itu. Pintu yang terbuat dari bahan PVC membuatku tak harus mengeluarkan banyak tenaga, hanya dengan satu kali dobrakan yang kuat pintu itu sudah bisa terbuka.Aku tersentak kaget, begitu pintu terbuka. Kulihat Anyelir duduk meringkuk memeluk lutut di bawah guyuran air dengan wajah yang sudah pucat, tubuhnya menggigil dengan bibir kebiruan. Kedua tangannya menutupi telinga seolah sedang melakukan penolakan. "Apa yang kamu lakukan, Anyelir?!" Dengan cepat aku mematikan shower lalu hendak mendekat. Di pun menoleh cepat ke arahku. Menatapku nyalang, seolah aku adalah musuh baginya."Jangan mendekat, Megan!" ucapnya mengangkat satu jari telunjuknya ke arahku. Sontak langkahku terhenti."Apa yang kamu lakukan? Bangun! Kamu bisa sakit, jam berapa ini, Anye?" tanyaku panik.Tiba-tiba wajahnya berubah sendu dengan air mata yang terus bermunculan. Rasanya hatiku bagai di tikam ribuan pisau belati secara berulang saat
Ia bergeming, tak menjawab meski hanya butuh satu kata, boleh atau tidak. Aku menghela napas lalu duduk di sebelahnya tanpa menunggu jawaban yang sudah barang tentu tidak akan dia berikan. Ia menggeser posisi duduknya dengan sedikit memberi jarak, seolah enggan berdekatan denganku. Sungguh menyakitkan ketika harus melihatnya kehilangan rasa percaya dirinya bahkan di hadapan suaminya sendiri.Tapi inilah cinta, cinta selalu ingin memberikan kesempurnaan dan juga yang terbaik, meski sejatinya kita tidak mengharapkannya.Kuraih jemari tangan yang berada dalam selimut tebal itu, lalu kugenggam erat. "Apa yang membuatmu berpikir kalau aku jijik dan menyesal?" tanyaku lembut kemudian salah satu tanganku merapikan rambut yang sedikit menutupi wajah pucat itu. Ia menoleh, menatapku sekilas kemudian kembali menundukkan wajah.Hening."Katakan, Anye. Percuma saja, kan, aku jawab 'nggak' kalau alasanmu tidak terjawab. Bukan begitu, Sayang?" tanyaku masih dengan nada suara sangat rendah.Ia berg
Anyelir, usianya baru 21 tahun saat mengalami pelecehan. Usia di mana para pemuda sedang semangat mencari jati diri. Menghabiskan waktu tanpa memikirkan kebutuhan ataupun masalah pelik. Bersenda gurau di kantin kampus menunggu jam pelajaran tiba atau berganti. Membicarakan keluh kesah tentang dosen pembimbing skripsi. Namun, keadaan dan musibah justru merenggut masa-masa muda yang seharusnya indah. Dia dituntut untuk dewasa, menjadi Ibu, bahkan mencari nafkah tanpa seorang suami yang membantu. "Coba kita balik keadaan. Jika kamu jadi aku dan aku jadi kamu, apa kamu juga akan jijik padaku, Anyelir?" tanyaku balik. "Tapi kenyataannya aku bukan kamu dan aku tidak tahu apa yang ada di hatimu."Aku beranjak dan kembali dengan posisi duduk bersandar di bahu ranjang."Apa kau mencintaiku?" tanyaku menatapnya lekat."Apa maksudmu?" tanyanya balik."Jawab saja? Apa kau mencintaiku, Anyelir?"Hening."Hem, tapi aku takut.""Takut kenapa?""Takut kau akan kecewa padaku. Lalu menyesal suatu sa
"Aku tidak gila, Megan!" protes Anyelir setelah dia bertanya dan mendesakku untuk memberi tahu akan mengajaknya bertemu dengan siapa. Dulu, saat aku sempat dekat dengannya sebelum akhirnya kami terpisah karena Tita, sering kali aku memperhatikannya. Bersikap manis pada Nizam dan di saat yang bersamaan, menatap Nizam dengan tatapan kosong namun menyiratkan penuh kekecewaan.Kekhawatiranku berada di puncak saat melihatnya begitu rapuh tanpa rasa percaya diri semalam, bahkan bagiku, semalam sudah termasuk ke dalam tindakan menyakiti diri sendiri. Jadi aku memutuskan untuk membawanya pada seseorang yang aku rasa tepat. Aku khawatir, selain menyakiti dirinya sendiri, kondisi Anyelir yang belum sepenuhnya sembuh dari trauma bisa berdampak pada tumbuh kembang Nizam jika tidak segera ditangani. "Siapa bilang ke psikolog itu selalu orang gila, Sayang? Kamu cuma butuh teman agar semua beban pikiran kamu selama ini bisa berkurang bahkan hilang," bujukku."Kamu tersiksa, kan? Setiap trauma it
Menit demi menit aku lalui. Hampir satu jam aku menunggu di kursi tunggu yang disediakan dengan rasa cemas. Aku menaruh harapan besar pada Bu Wanda untuk bisa mengeluarkan Anyelir dari rasa traumanya.Beberapa saat kemudian pintu dibuka. Terlihat Anyelir dan Bu Wanda di baliknya. Aku bangkit dan Anyelir berlari lalu menghambur ke dalam pelukanku. Aku membalas pelukannya meski ada rasa sedikit bingung. Anyelir bukan tipe wanita yang senang mengumbar kemesraan di depan publik seperti sekarang. Netraku tertuju pada Bu Wanda yang masih berdiri di depan pintu, mencoba untuk mencari jawaban di sana. Beliau hanya mengangguk kemudian tersenyum. Kemudian aku kembali pada Anyelir."Sudah baikan?" tanyaku pada Anyelir. Ia mendongak agar bisa menatapku kemudian dia mengangguk sekilas."Syukur."Aku bergegas menemui Bu Wanda begitu Anyelir pamit pergi ke toilet sebelum pulang. "Sebetulnya ini informasi pribadi milik kami, privasi pasien, tapi berhubung Dokter adalah suami dari pasien jadi saya
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata