Malam ini kami sekeluarga sedang berkumpul di ruang VVIP di mana ibu dirawat. Aku sendiri tak pernah beranjak dari samping ranjang ibu sejak tiba tadi. Di tubuh ibu masih terpasang selang infus dan beberapa alat medis lainnya. Namun ibuku tetap tersenyum terutama ketika aku dan Darwin tiba tadi. Dengan suara lirihnya ibu menanyakan kabarku dan juga kandunganku, kemudian menanyakan kabar Darwin.Darwin sendiri masih berada di sini, ikut bergabung bersama keluargaku. Sebenarnya aku ingin menanyakan padanya kenapa ia tak pulang setelah mengantarkanku, namun kulihat Teh Niar terus saja mengobrol dengannya sepanjang hari ini.“Perutmu sudah mulai membesar ya, Nak. Kamu cantik sekali dengan kehamilanmu ini, Nak,” ucap Ibu saat kami semua tengah duduk di karpet yang digelar di dalam ruang rawat ibu.“Iya, benar kata Ibu. Auramu kelihatan terpancar sekali dengan kehamilanmu ini. Beda sekali dengan kondisimu yang pucat pasi waktu Teteh nemanin kamu di Jakarta. Udah nggak mual muntah lagi?” Kal
Darwin.Tak pernah ku sangka kedatanganku di Bandung dalam rangka mengantar Alana kali ini akhirnya berbuah manis. Sebenarnya aku sudah merencanakan untuk kembali meminang Alana setelah masa iddahnya berakhir, namun aku tak menyangka jika Allah membuka lebar-lebar jalan untukku. Kumanfaatkan info dari Teh Niar tentang Alana yang tiba-tiba harus pulang ke Bandung karena sang ibu sedang sakit.Maka, dengan menguatkan hatiku, aku kembali meminang Alana di hadapan kedua orangtuanya, istimewanya lagi, hal itu kulakukan di ruangan rawat inap ibu Alana, meskipun aku harus menerima tatapan tajam dari Mas Sofyan. Entah apa yang membuat pria itu masih enggan menerimaku, padahal menurut Teh Niar, ia sudah mejelaskan pada suaminya itu tentang status pernikahanku dengan Inge yang dulu pernah dipertanyakannya.Tak lupa kukabarkan rencana pernikahan mendadakku besok pagi pada kedua orangtuaku yang tinggal di Medan. Meskipun bapak dan ibuku sangat terkejut karena aku mengabarinya mendadak bahkan tak
Darwin meraih tanganku kemudian menggandengku ke arah mobilnya. Risih? Iya! Awalnya aku merasa risih, aku belum terbiasa dengan status kami saat ini. Terlebih Darwin juga langsung kembali ke Jakarta setelah kami menikah 2 minggu lalu. Karena sepertinya pekerjaannya juga sedang padat-padatnya. Sisanya, ia hanya menelponku setiap saat disela-sela pekerjaannya, menanyakan kabarku dan bayiku. Juga mengirim pesan dengan emoticon love di ujung kalimatnya. Hanya seperti itu hubungan kami setelah menikah. Maka, saat tangan kekarnya menggenggam tanganku, aku justru merasa risih, namun tak kupungkiri kehangatan telapak tangannya yang lebar dan hangat memberi rasa nyaman mengalir di seluruh pembuluh darahku. Aku menengadah memandang wajahnya tepat setelah ia membukakan pintu mobilnya untukku. Darwin pun menatapku sambil tersenyum kemudian satu kedipan mata darinya membuatku segera memalingkan wajah dan buru-buru masuk ke dalam mobil. Ada getaran yang asing dalam hatiku.***Bukan tanpa alasan
Wildan.Hatiku tiba-tiba saja bergetar saat melihat sosok seorang wanita yang berdiri sendirian di tepi kolam renang. Wanita itu terlihat sangat menikmati suara gemericik air di bawah langit malam. Kolam renang hotel ini memang terletak di outdoor. Aku sedang menghadiri pesta resepsi pernikahan putri dari salah satu pengusaha yang pernah memakai jasaku sebagai konsultan keuangan. Aku lebih memilih datang sendirian ke pesta ini tanpa mengajak Lilis, meskipun ia dan Bagas sedang ada di rumahku.Ya, aku yang sekarang memang berbeda sekali dengan aku yang dulu. Dulu, saat masih bersama Alana, aku tak akan melewatkan mengajaknya ke pesta-pesta mewah seperti ini. Aku sendirilah yang akan memilihkan gaun yang dipakainya dan akan dengan bangga menggandeng tangannya di tengah pesta. Alana selalu elegan dan memukau, selalu saja banyak mata yang menatap takjub padanya ketika aku membawanya ke pesta atau acara-acara kelas atas. Hal itu tentu saja membuatku bangga, rasa percaya diriku selalu sanga
Alana.Aku segera masuk ke ruang utama di mana pesta diadakan, aku harus mencari Nafisa dan mengajaknya untuk segera pulang. Aku sungguh tak mau bertemu lagi dengan Mas Wildan yang sedari tadi masih saja ngotot mengakui janin yang ada di dalam rahimku meskipun aku sudah mengatakan dengan tergas bahwa ini bukanlah anaknya.Nafisa yang kebingungan hanya menurut saja saat aku menarik tangannya dari tengah-tengah pesta dan mengajaknya untuk pulang.“Kamu enggak apa-apa, Al?” tanyanya ketika kami sudah berada di dalam mobilnya.Aku menggeleng. “Aku baik-baik saja, Naf. Hanya saja kakiku terasa pegal.”“Kamu yakin baik-baik saja? Kelihatannya kamu seperti orang panik tadi, Al.”Aku menghela Nafas. Nafisa memang selalu bisa membacaku. “Aku tadi ketemu Mas Wildan, Naf.”“Hahh? Dimana? Kok aku enggak liat ada mantan suamimu di sana.”Aku pun menceritakan dengan rinci pertemuan dan isi pembicaraanku dengan Mas Wildan tadi pada Nafisa.“Idih, pe de banget tuh si mantanmu. Ngaku-ngaku ayah dari b
Wildan.“Assalamualaikum,” sapaku lirih sambil membuka pintu rumahku.Tak ada jawaban, Lilis dan Bagas pastilah sudah tidur. Aku pulang larut malam dari pesta yang kuhadiri tadi. Bukan tanpa alasan, aku terus masih mencari-cari sosok Alana di tengah pesta. Aku masih ingin melihatnya, melihat perut buncitnya yang membuatnya terlihat sangat seksi. Namun ternyata Alana sudah pulang, karena setelah beberapa kali aku berkeliling mencarinya, aku tak menemukan lagi dirinya di sana. Padahal aku ingin sekali bertanya ia datang bersama siapa, kemudian menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Aku tak tau di mana Alana sekarang tinggal, karena rumah lama kami sudah dijualnya.Perlahan kubuka pintu kamarku, terlihat Lilis dan Bagas yang sudah terlelap di atas tempat tidurku yang berukuran king size. Aku tersenyum melihat Bagas yang semakin hari semakin montok. Lilis memang sangat telaten mengurus putraku sehingga Bagas terlihat sehat dan montok. Lalu pandanganku beralih pada ibunya, Lilis tertid
Lalu sekarang Lilis meminta untuk kembali ke rumah ibu, setelah menemaniku selama seminggu bersama Bagas. Padahal, selama ia berada di rumah, belum pernah sekali pun aku menyentuhnya. Ia pun sepertinya tak terlalu peduli, meskipun biasanya disaat aku menyentuhnya, ia akan tetap melayaniku dengan baik.“Tapi Mas sekarang sedang banyak pekerjaan dan tak bisa mengantar kalian,” jawabku setelah terdiam sesaat. Padahal aku tak sedang bekerja, aku justru sedang menghabisakan waktu dengan mengawasi Kafe Jingga, mencari sosok yang sangat kurindu.“Nggak apa-apa, Mas. Aku dan Bagas bisa pulang dengan mobil carteran. Mas Wildan tak perlu mengantarkan kami, apalagi Mas sedang banyak pekerjaaan.”“Kalau begitu kamu tunggu aja di rumah. Nanti Mas suruh salah satu supir perusahaan yang mengantar kalian.”“Baiklah. Terima kasih, Mas.”Aku pun menelpon seorang supir perusahaan yang kupercaya untuk mengantar Lilis dan Bagas. Memang sudah waktunya mereka untuk kembali ke kampung, apalagi seperti yang d
Alana.Seminggu belakangan, setelah kembali dari Bandung, ada hal yang paling kunanti-nanti setiap harinya. Yaitu ketika Darwin mengusap-usap perutku sebelum aku tidur. Hal itu rutin dilakukannya setelah aku menceritakan bagaimana tak nyamannya perasaanku saat tidak sengaja bertemu dengan Mas Wildan dan ia mencuri mengusap perutku. Rasa tak nyaman itu kemudian berganti dengan kehangatan setelah Darwin memelukku dan mengusap lembut perutku sampai aku terlelap dalam mimpi indah.Itu pertama kalinya aku dan Darwin tidur bersama, meskipun awalnya ia berjanji untuk meninggalkan kamarku setelah aku terlelap. Namun hingga pagi tiba, aku masih merasakan tangan kekar Darwin melingkar di pinggangku. Ternyata lelaki itu tertidur di kamarku, dan sepanjang malam ia tidur sambil memeluk tubuhku.“Good morning, Wife! Maaf ya, aku nggak tepati janjiku, semalam aku juga sangat lelah dan mengantuk hingga tertidur di kamarmu.”“Ehm, iya. Nggak apa-apa,” jawabku lirih.Darwin mencium keningku sekilas ke
Dengan senyum sumringah aku dan Darwin, juga Jessy dan Baby Gandhi bergantian menyalami semua tamu. Tak lupa sambil berfoto mengabadikan semua kebahagiaan yang tercipta hari ini. Darwin memang sengaja menyewa potografer profesional khusus untuk acara ini. Salah satu sudut ruang tamu bahkan sengaja didekorasi dengan indah.“Anggap aja pelaminan kita, Al. Kita kan nggak pernah menggelar resepsi pernikahan,” ucapnya saat aku menanyakan mengapa harus ada hiasan seperti itu.Ternyata sudut yang dihiasi dengan indah itu memanglah menjadi pelaminan kami, pelaminanku bersama suami dan kedua anakku. Tamu-tamu yang datang bergantian menghampiri sudut cantik itu dan mengajak kami berfoto bersama.Lalu tamu yang tak kusangka-sangka itu muncul di depan pintu. Mas Wildan datang dengan menggandeng Lilis sambil menggendong putra mereka. Aku melirik Darwin yang langsung melempar senyuman pada mereka.“Aku sengaja mengundangnya, Al. berdamailah dengan masa lalu, maka masa depan kita akan semakin indah,
Alana.“Kita mau ke mana sih? Perasaan sejak pulang dari Surabaya Abang sering banget deh nyulik Al?” tanyaku ketika masih pagi Darwin sudah menyuruhku bersiap-siap tanpa mengatakan hendak mengajakku ke mana.“Udah nurut aja, Al. Masih banyak rencana masa depan kita yang ada di otakku.”“Tapi aku jadi sering ninggalin anak-anak.”“Justru semua ini demi kenyamanan kita semua nantinya, Al. Termasuk anak-anak kita.”Lalu akupun hanya menurut dan mengikutinya.“Ngapain kita ke rumah sakit? Abang sakit?” tanyaku heran bercampur panik ketika ia menghentikan mobilnya di parkiran rumah sakit.“Nggak ada yang sakit, Al. Aku mengajakmu ke sini untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan.”“Dokter kandungan?” Aku semakin heran dan kali ini menatapnya penuh curiga.“Jangan curiga gitu dong. Kita akan berkonsultasi mengenai alat kontrasepsi apa yang cocok untukmu dan tidak membahayakan dirimu dan juga Baby Gandhi. Aku sudah membuat janji dengan dokter terbaik di rumah sakit ini.”“Kenapa harus kon
“Tentu saja boleh, Sayang. Tapi untuk saat ini Opa belum bisa ikut dengan kita. Kondisi Opa belum memungkinkan. Opa juga masih punya banyak urusan di sini,” ucapku memberinya pengertian.Lalu kami bergantian berpamitan dan mencium punggung tangan Pak Leon. Pria tua itu kembali membungkuk ketika aku meraih punggung tangannya.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup Jessy, Nak. Papa percayakan dia padamu dan Papa berharap bisa segera mendapat kabar baik kepindahan kalian ke rumah Jessy. Sejak kecil Jessy sangat menyukai rumah itu. Terima kasih juga sudah mau menandatangani semua berkas pelimpahan perusahaan.”“Tak perlu berterima kasih, Pa. Bukankah itulah gunanya keluarga? Bagi Alana Papa sekarang adalah orangtua Alana. Terima kasih juga sudah mempercayakan semua pada Alana,” jawabku lirih.***Darwin langsung berangkat ke kantormya setibanya kami semua di Jakarta. Sedangkan aku dengan dibantu Rita dan baby sitter Jessy yang ikut ke Jakarta bersama kami membereskan beberapa hal. Terutama
Alana.Aku terbangun dan menggeliat. Kenapa tubuh terasa pegal-pegal? Perlahan kusibakkan bed cover berwarna putih yang menutupi tubuhku. Hahhh!! Aku polos!! Tak mengenakan sehelai pakaian pun. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dan berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Lalu semua segera terjawab saat pintu kamar mandi di dalam kamar mewah ini terbuka, dan sesosok tubuh berbalut handuk putih mucul dari sana.“Good morning, Sweetie,” sapa lelaki itu sambil tersenyum padaku.Ingatanku pun melayang pada apa yang terjadi semalam di kamar ini. Aku menoleh pada box bayi yang terletak di dalam kamar. Mengapa aku sampai melupakan bayiku? Aku tidur terlelap sepanjang malam, itu artinya aku tak menyusui Baby Gandhi, padahal biasanya ia bisa terbangun sampai 2 atau 3 kali menyusu padaku sebelum akhirnya kembali tertidur.Karena panik memikirkan bayiku, tanpa sadar aku kembali menyibak kain yang menyelimuti tubuhku untuk melihat Baby Gandhi. Tubuh polosku kembali terekspos, la
“Aku bahagia melihat hubunganmu sekarang, Al. Dari Inge pula aku tau jika Darwin pria yang baik, kurasa ia memang lebih pantas berjodoh dengan wanita yang tulus sepertimu. Maafkan aku, sekali lagi maafkan semua luka yang pernah kutorehkan dalam hidupmu. Mungkin ke depannya kita akan sering bersinggungan dalam urusan perusahaan Pak Leon yang jatuh ke dalam tanggungjwabmu. Kumohon jangan takut padaku dan jangan meragukanku. Mari kita bekerja sama dengan baik dan profesional, ini juga adalah salah satu permintaan terakhir Inge.”“Lalu apa yang akan Mas Wildan lakukan selanjutnya?”“Aku akan kembali pada Lilis, Al. Bagas memerlukan kasih sayangku. Aku yang sudah memulai semuanya, aku yang sudah menyetujui menikahi Lilis waktu itu meskipun masih terikat pernikahan denganmu. Maka aku harus bertanggungjawab pada mereka. Aku ikhlas meskipun Lilis tak pernah menganggapku ada. Inge mengajarkan padaku bahwa anak adalah mahluk suci yang lahir tanpa dosa, maka tak semestinya kita sebagai orang tua
Alana.“Boleh bicara sebentar, Al?” Suara bariton Mas Wildan mengagetkanku. Rupanya lelaki itu belum pulang dan masih melakukan rapat di ruang kerja Pak Leon dengan beberapa orang kepercayaan Pak Leon lainnya saat aku, Darwin dan Pak Leon tengah berbincang di ruang tengah.“Boleh, bicara di sini aja,” jawabku sedikit gugup sambil melirik suamiku, sedangkan Pak Leon sudah masuk ke dalam ruang kerjanya dengan dibantu oleh asistennya yang setia mendorong kursi roda pria tua itu.“Aku mau bicara empat mata denganmu, Al,” ucapnya lagi.Aku kembali melirik Darwin. Lelaki yang sudah memberiku seorang putra itu tersenyum tipis kemudian mengangguk tanda memperbolehkan.“Mas mau ngomong apa? Aku hanya punya waktu sebentar,” ucapku saat sudah duduk di hadapan Mas Wildan.Lelaki itu tersenyum menatapku.“Pertama aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, Al. Karena modal yang waktu itu kamu berikan padaku, perusahaanku bisa kembali berkembang hingga akhirnya menemukan kembali kepercayaan para pel
Aku tergugu di samping batu nisan bertuliskan nama Inge Paramita di area pemakaman elit yang tersusun dengan sangat rapi. Bayangan wajah serta senyum tulus Inge membuatku menitikkan air mata kehilangan. Meski hanya sebentar mengenalnya, namun wanita itu serasa sangat dekat denganku. Bahkan Inge lah yang mendampingiku melalui proses persalianku dikala Darwin tak bisa mendampingiku.Kuusap batu nisan Inge sambil memanjatkan doa-doa untuk kebahagiaannya di sana. “Terima kasih telah menjadi sahabatku. Terima kasih telah mempercayakan Jessy padaku. Aku berjanji akan menyayanginya setulus kamu menyayanginya. Tenang dan bahagia lah di sana,” bisikku lirih sambil mengusap batu nisannya. Lalu tangan kekar itu merengkuh bahuku.“Jangan menangisinya, Al. Inge sudah bahagia di sana.” Darwin melerai tangisku. Meski aku tau, dibalik kaca mata hitam yang dipakainya, lelaki itu pun meneteskan air matanya.Ternyata niatku dan Darwin untuk hanya mampir sebentar di Suarabaya tak berjalan dengan mulus.
Darwin.Berkali-kali Harry dan bawahanku di kantor menelponku karena aku sudah seminggu lebih meninggalkan pekerjaanku. Memang sepulang dari Jepang kemudian mengurus pemakaman Inge hingga mencari keberadaan Alana di Bali kemudian menikahinya kembali aku melupakan semua urusan pekerjaanku. Padahal masih banyak sekali perkerjaan tertunda terutama laporan hasil pekerjaan kami sewaktu di Jepang. Sepertinya pihak kementrian juga sudah mendesak untuk perusahaanku segera melaporkan hasil dan meneruskan kontrak kerja.Maka rencanaku untuk memboyong Alana menginap di hotel malam ini sepertinya tak akan bisa terlaksana.“Al, kita harus segera kembali ke Jakarta. Banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan. Aku sudah meninggalkan kantor selama seminggu lebih,” ucapku pada Alana setelah sarapan pagi bersama keluarga Alana.“Jadi kapan rencananya kita pulang ke Jakarta?”“Secepatnya, Al. Kalau bisa hari ini juga.”“Lalu bagaimana dengan niatku untuk mengunjungi makam Inge?”Aku mengusap wajah
Alana.Ada keharuan yang menyeruak dalam hatiku ketika Darwin kembali menyebut namaku dalan ikrar ijab kabul. Ini yang kedua kalinya lelaki itu menyebut namaku dalam prosesi sakral ijab kabul. Dengan sepenuh hati aku mengamini semua doa-doa baik yang terus menerus dipanjatkan sepanjang acara. Aku sangat berharap hubungan pernikahanku kali ini langgeng hingga maut memisahkan. Saat ini, lelaki itu benar-benar telah mengisi penuh seluruh ruang hatiku. Ia hadir perlahan-lahan di sana kemudian dengan pasti memenuhi hatiku dengan perhatian dan cintanya, sehingga sakit yang dulu pernah kurasakan atas kegagalan rumah tanggaku yang dulu sudah tak lagi tersisa. Darwin telah berhasil menutupi semua rasa sakitku dengan kasih sayangnya.Kudengar para tokoh agama yang diundang Mas Sofyan memberi beberapa wejangan padanya ketika ia dengan gagahnya mengakui tentang kehadiran Baby Gandhi dalam hubunganku dengannya. Tanpa segan ia mengakui bahwa bayi yang sedang digendongnya itu hadir akibat dosa-dosan