Nafisa.Sebenarnya hari ini aku tak berniat datang ke Kafe Jingga. Sudah hampir sebulanan ini tepatnya sejak vonis cerainya diputuskan pengadilan, Alana juga tak muncul ke sana. Namun hari ini, ketika aku baru pulang dari Bandara untuk mengantarkan kerabat Mas Pram yang akan kembali ke Makassar, tiba-tiba saja aku merasa kebelet ingin buang air kecil. Karena kebetulan jalur yang kulalui melewati Kafe Jingga, maka aku memutuskan untuk mampir sebentar ke sana menunaikan hajatku.Sepintas lalu saat membelokkan mobilku ke parkiran kafe, aku seperti melihat mobil Alana melaju kencang, baru saja keluar dari parkiran kafe.“Eh, Mbak Nafisa. Baru aja Mbak Al nya pulang,” ucap Tika saat aku menyapanya lalu kami berbalas salam.“Alana? Jadi benar tadi dia ke sini? Tumben!” jawabku.“Iya, Mbak. Baru aja Mbak Al nya pulang. Sepertinya tadi ada janji dengan Kak Handi di sini.”Aku teringat urusan jual-beli rumahnya dengan Handi. “Sekarang Handi nya mana?” tanyaku.“Tuh lagi di ruangan Mbak Nafisa
Tiba-tiba saja aku mencium aroma menyenangkan dari sampingku, segera kuendus dari mana asal aroma itu. Jas? Tanpa banyak pikir aku segera meraih jas yang tergeletak di sampingku dan menutupkannya ke hidungku agar tak tercium lagi bau menyengat yang membuat perutku kembali mual.“Itu jas yang ada di dalam papper bag di mobilmu tadi, Al. Aku memakaikannya tadi saat mengantarmu ke sini untuk menghangatkan tubuhmu.”Jas di dalam paper bag? Ah, aku ingat! Ini jas milik Darwin yang waktu itu ditolaknya saat aku ingin mengembalikannya. Tapi aku sudah tak peduli lagi, setidaknya jas ini bisa membuat rasa mualku mereda. Bahkan saat Nafisa menawarkan teh hangat padaku, aku sudah bisa meminumnya sampai habis. Perlahan-lahan tubuhku merasa sedikit segar setelah menghabiskan segelas teh manis hangat tadi.“Al, boleh aku tanya sesuatu?”Aku mengangguk, namun sedikit heran meliat wajah Nafisa yang terlihat tegang. Nafisa menghela nafasnya.“Aku tadi melihat beberapa alat tes kehamilan di dalam toile
Darwin.[Buruan ke sini! Sekarang juga!]Aku masih berada di ruang kerjaku ketika ponselku berdering menandakan ada pesan masuk. Aku mengeryitkan keningku membaca chat Nafisa di ponselku. Nafisa mengirim lokasi google map padaku. Rumah sakit? Ada apa Nafisa menyuruhku ke sana? Untuk menjawab rasa penasaranku segera kuhubungi nomor Nafisa.“Eh, nih orang disuruh buruan malah nelpon.” Nafisa langsung mengomeliku saat mengangkat telpon.“Tapi ngapain nyuruh aku ke rumah sakit, Naf? Siapa yang sakit?”“Nggak usah banyak tanya, aku juga bingung jelasinnya tau nggak! Makanya buruan kemari atau kamu akan menyesal!”Klik! Nafisa menutup telpon secara sepihak. Huhhh! Ada apa sih anak itu tiba-tiba nyuruh ke rumah sakit? Pake acara ngancam segala lagi! Aku mendumel dalam hati namun akhirnya meraih kunci mobilku dan segera menuju parkiran kantor.“Langsung ke taman belakang rumah sakit, ikutin aja petunjuk arah ruang jenazah. Nanti ada taman sebelum ruang jenazah. Aku nunggu di kursi taman,” uca
Kutatap wajah polos Alana yang tengah tertidur lelap. Wajahnya kelihatan sangat pucat dan tubuhnya terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali aku melihatnya di kamar hotel. Aku tersenyum melihatnya tertidur sambil memeluk jas yang dulu kupinjamkan padanya di acara reuni SMU. Aku sudah pernah melihat Alana diam-diam menghirup aroma jas itu sesaat sebelum ia ingin mengembalikannya padaku. Itulah sebabnya aku menolaknya saat Alana hendak mengembalikannya. Aku tak menyangka jika jas itu bisa sangat berguna sekarang.Pandanganku terpaku pada perut rata Alana yang bergerak naik turun mengikuti irama nafasnya. Di sana, di dalam rahim Alana tengah bersemayam benihku. Ah, ingin sekali rasanya aku memeluk wanita yang tengah tertidur itu untuk mengungkapkan betapa bahagianya aku saat ini. Namun akhirnya aku memilih duduk di sudut ruangan sambil terus memandangi wajah pucat Alana yang terlihat sangat cantik.Tak lama kemudian Alana menggeliat, kulihat ia meraih jas yang tadi dipeluknya kemudian
Darwin.Tak kupedulikan ucapan sarkas Alana mengusirku. Aku justru makin mendekat ke arah ranjang rumah sakit tempatnya berbaring. Kutawari ia makanan yang baru saja diantar oleh petugas rumah sakit. Alana menggeleng.“Kalau gitu minum susu ini, ya.” Aku meraih segelas susu yang juga diantar petugas tadi. Alana masih menggeleng dan terus saja menutupi hidungnya dengan jas hitam milikku.“Paling tidak kamu harus makan atau minum sesuatu, Al. Kasian bayi kamu kalo kamu nggak mau makan dan minum gini.”“Sudah kubilang jangan pedulikan aku!”“Tapi aku harus peduli, Lana. Aku harus peduli pada bayiku, maka aku juga harus peduli pada ibunya.” Kuletakkan kembali makanan dan minuman di meja kecil yang ada di samping ranjang pasien.“Aku mau minum teh manis hangat,” lirih Alana saat aku baru saja berbalik hendak melangkah. Aku tersenyum penuh kemenangan.“Tunggu sebentar ya, Al. Aku akan memesankannya di kantin. Selain teh hangat kamu mau makan apa?”“Roti tawar tanpa selai apapun,” ucapnya da
“Naf, aku mau pulang aja boleh nggak? Nggak enak banget tau nggak sih di sini. Nggak bisa ngapa-ngapain, cuma bisa tiduran. Belum lagi aroma obat-obatan ini menyengat sekali bikin perutku mual.”“Terus kamu mau sendirian lagi di apartemenmu? Kalau ada apa-apa lagi kayak kemarin gimana, Al? Kecuali kalau kamu sementara waktu balik ke Bandung dulu sampai morning sick mu sedikit mereda.”“Nggak, Naf. Aku belum berani pulang ke Bandung. Aku bingung harus bilang apa pada ayah dan ibu. Aku takut mereka marah padaku. Aku juga tak mau mempermalukan mereka.”“Itu karena kamu belum mencobanya, Al. Sampai kapan kamu akan menyembunyikan keadaanmu dari mereka. Justru makin lama kamu menyembunyikannya, akan semakin sulit bagimu untuk berterus terang pada mereka. Meskipun sulit untuk diterima, kurasa tak mungkin ayah dan ibumu sampai memarahimu, apalagi kamu sedang dalam kondisi lemah seperti ini. Tak ada tempat terbaik untuk pulang selain keluarga, Al.”Aku terisak lirih, wajah penuh cinta kedua or
Alana.Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aku menolak untuk pulang ke Bandung, selain karena merasa tubuhku masih lemah untuk melakukan perjalanan selama berjam-jam, aku juga tak mau para tetangga di Bandung mengetahui keadaanku saat ini.Tubuhku mulai terasa sedikit segar, mungkin benar apa yang dikatakan Nafisa kemarin bahwa salah satu penyebab aku semakin drop adalah karena pikiranku. Saat ini pikiranku sudah mulai agak tenang sejak Ibu dan Teh Niar datang. Diam-diam aku bersyukur bahwa Darwin memberanikan diri datang ke Bandung dan mengabari kedua orangtuaku dengan caranya sendiri.Sedangkan Darwin, lebam-lebam bekas pukulan Mas Sofyan masih terlihat membekas di wajahnya. Terkadang saat ia ketiduran di sofa ketika menungguiku di rumah sakit aku menatapnya iba. Ia seolah membiarkan orang lain menyalahkannya atas kejadian ini, padahal sebenarnya aku sendirilah yang paling bersalah. Beberapa hari ini kulihat wajahnya begitu kelelahan, kantung hitam dibawah mat
Alana.Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aku menolak untuk pulang ke Bandung, selain karena merasa tubuhku masih lemah untuk melakukan perjalanan selama berjam-jam, aku juga tak mau para tetangga di Bandung mengetahui keadaanku saat ini.Tubuhku mulai terasa sedikit segar, mungkin benar apa yang dikatakan Nafisa kemarin bahwa salah satu penyebab aku semakin drop adalah karena pikiranku. Saat ini pikiranku sudah mulai agak tenang sejak Ibu dan Teh Niar datang. Diam-diam aku bersyukur bahwa Darwin memberanikan diri datang ke Bandung dan mengabari kedua orangtuaku dengan caranya sendiri.Sedangkan Darwin, lebam-lebam bekas pukulan Mas Sofyan masih terlihat membekas di wajahnya. Terkadang saat ia ketiduran di sofa ketika menungguiku di rumah sakit aku menatapnya iba. Ia seolah membiarkan orang lain menyalahkannya atas kejadian ini, padahal sebenarnya aku sendirilah yang paling bersalah. Beberapa hari ini kulihat wajahnya begitu kelelahan, kantung hitam dibawah mat
Dengan senyum sumringah aku dan Darwin, juga Jessy dan Baby Gandhi bergantian menyalami semua tamu. Tak lupa sambil berfoto mengabadikan semua kebahagiaan yang tercipta hari ini. Darwin memang sengaja menyewa potografer profesional khusus untuk acara ini. Salah satu sudut ruang tamu bahkan sengaja didekorasi dengan indah.“Anggap aja pelaminan kita, Al. Kita kan nggak pernah menggelar resepsi pernikahan,” ucapnya saat aku menanyakan mengapa harus ada hiasan seperti itu.Ternyata sudut yang dihiasi dengan indah itu memanglah menjadi pelaminan kami, pelaminanku bersama suami dan kedua anakku. Tamu-tamu yang datang bergantian menghampiri sudut cantik itu dan mengajak kami berfoto bersama.Lalu tamu yang tak kusangka-sangka itu muncul di depan pintu. Mas Wildan datang dengan menggandeng Lilis sambil menggendong putra mereka. Aku melirik Darwin yang langsung melempar senyuman pada mereka.“Aku sengaja mengundangnya, Al. berdamailah dengan masa lalu, maka masa depan kita akan semakin indah,
Alana.“Kita mau ke mana sih? Perasaan sejak pulang dari Surabaya Abang sering banget deh nyulik Al?” tanyaku ketika masih pagi Darwin sudah menyuruhku bersiap-siap tanpa mengatakan hendak mengajakku ke mana.“Udah nurut aja, Al. Masih banyak rencana masa depan kita yang ada di otakku.”“Tapi aku jadi sering ninggalin anak-anak.”“Justru semua ini demi kenyamanan kita semua nantinya, Al. Termasuk anak-anak kita.”Lalu akupun hanya menurut dan mengikutinya.“Ngapain kita ke rumah sakit? Abang sakit?” tanyaku heran bercampur panik ketika ia menghentikan mobilnya di parkiran rumah sakit.“Nggak ada yang sakit, Al. Aku mengajakmu ke sini untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan.”“Dokter kandungan?” Aku semakin heran dan kali ini menatapnya penuh curiga.“Jangan curiga gitu dong. Kita akan berkonsultasi mengenai alat kontrasepsi apa yang cocok untukmu dan tidak membahayakan dirimu dan juga Baby Gandhi. Aku sudah membuat janji dengan dokter terbaik di rumah sakit ini.”“Kenapa harus kon
“Tentu saja boleh, Sayang. Tapi untuk saat ini Opa belum bisa ikut dengan kita. Kondisi Opa belum memungkinkan. Opa juga masih punya banyak urusan di sini,” ucapku memberinya pengertian.Lalu kami bergantian berpamitan dan mencium punggung tangan Pak Leon. Pria tua itu kembali membungkuk ketika aku meraih punggung tangannya.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup Jessy, Nak. Papa percayakan dia padamu dan Papa berharap bisa segera mendapat kabar baik kepindahan kalian ke rumah Jessy. Sejak kecil Jessy sangat menyukai rumah itu. Terima kasih juga sudah mau menandatangani semua berkas pelimpahan perusahaan.”“Tak perlu berterima kasih, Pa. Bukankah itulah gunanya keluarga? Bagi Alana Papa sekarang adalah orangtua Alana. Terima kasih juga sudah mempercayakan semua pada Alana,” jawabku lirih.***Darwin langsung berangkat ke kantormya setibanya kami semua di Jakarta. Sedangkan aku dengan dibantu Rita dan baby sitter Jessy yang ikut ke Jakarta bersama kami membereskan beberapa hal. Terutama
Alana.Aku terbangun dan menggeliat. Kenapa tubuh terasa pegal-pegal? Perlahan kusibakkan bed cover berwarna putih yang menutupi tubuhku. Hahhh!! Aku polos!! Tak mengenakan sehelai pakaian pun. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dan berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Lalu semua segera terjawab saat pintu kamar mandi di dalam kamar mewah ini terbuka, dan sesosok tubuh berbalut handuk putih mucul dari sana.“Good morning, Sweetie,” sapa lelaki itu sambil tersenyum padaku.Ingatanku pun melayang pada apa yang terjadi semalam di kamar ini. Aku menoleh pada box bayi yang terletak di dalam kamar. Mengapa aku sampai melupakan bayiku? Aku tidur terlelap sepanjang malam, itu artinya aku tak menyusui Baby Gandhi, padahal biasanya ia bisa terbangun sampai 2 atau 3 kali menyusu padaku sebelum akhirnya kembali tertidur.Karena panik memikirkan bayiku, tanpa sadar aku kembali menyibak kain yang menyelimuti tubuhku untuk melihat Baby Gandhi. Tubuh polosku kembali terekspos, la
“Aku bahagia melihat hubunganmu sekarang, Al. Dari Inge pula aku tau jika Darwin pria yang baik, kurasa ia memang lebih pantas berjodoh dengan wanita yang tulus sepertimu. Maafkan aku, sekali lagi maafkan semua luka yang pernah kutorehkan dalam hidupmu. Mungkin ke depannya kita akan sering bersinggungan dalam urusan perusahaan Pak Leon yang jatuh ke dalam tanggungjwabmu. Kumohon jangan takut padaku dan jangan meragukanku. Mari kita bekerja sama dengan baik dan profesional, ini juga adalah salah satu permintaan terakhir Inge.”“Lalu apa yang akan Mas Wildan lakukan selanjutnya?”“Aku akan kembali pada Lilis, Al. Bagas memerlukan kasih sayangku. Aku yang sudah memulai semuanya, aku yang sudah menyetujui menikahi Lilis waktu itu meskipun masih terikat pernikahan denganmu. Maka aku harus bertanggungjawab pada mereka. Aku ikhlas meskipun Lilis tak pernah menganggapku ada. Inge mengajarkan padaku bahwa anak adalah mahluk suci yang lahir tanpa dosa, maka tak semestinya kita sebagai orang tua
Alana.“Boleh bicara sebentar, Al?” Suara bariton Mas Wildan mengagetkanku. Rupanya lelaki itu belum pulang dan masih melakukan rapat di ruang kerja Pak Leon dengan beberapa orang kepercayaan Pak Leon lainnya saat aku, Darwin dan Pak Leon tengah berbincang di ruang tengah.“Boleh, bicara di sini aja,” jawabku sedikit gugup sambil melirik suamiku, sedangkan Pak Leon sudah masuk ke dalam ruang kerjanya dengan dibantu oleh asistennya yang setia mendorong kursi roda pria tua itu.“Aku mau bicara empat mata denganmu, Al,” ucapnya lagi.Aku kembali melirik Darwin. Lelaki yang sudah memberiku seorang putra itu tersenyum tipis kemudian mengangguk tanda memperbolehkan.“Mas mau ngomong apa? Aku hanya punya waktu sebentar,” ucapku saat sudah duduk di hadapan Mas Wildan.Lelaki itu tersenyum menatapku.“Pertama aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, Al. Karena modal yang waktu itu kamu berikan padaku, perusahaanku bisa kembali berkembang hingga akhirnya menemukan kembali kepercayaan para pel
Aku tergugu di samping batu nisan bertuliskan nama Inge Paramita di area pemakaman elit yang tersusun dengan sangat rapi. Bayangan wajah serta senyum tulus Inge membuatku menitikkan air mata kehilangan. Meski hanya sebentar mengenalnya, namun wanita itu serasa sangat dekat denganku. Bahkan Inge lah yang mendampingiku melalui proses persalianku dikala Darwin tak bisa mendampingiku.Kuusap batu nisan Inge sambil memanjatkan doa-doa untuk kebahagiaannya di sana. “Terima kasih telah menjadi sahabatku. Terima kasih telah mempercayakan Jessy padaku. Aku berjanji akan menyayanginya setulus kamu menyayanginya. Tenang dan bahagia lah di sana,” bisikku lirih sambil mengusap batu nisannya. Lalu tangan kekar itu merengkuh bahuku.“Jangan menangisinya, Al. Inge sudah bahagia di sana.” Darwin melerai tangisku. Meski aku tau, dibalik kaca mata hitam yang dipakainya, lelaki itu pun meneteskan air matanya.Ternyata niatku dan Darwin untuk hanya mampir sebentar di Suarabaya tak berjalan dengan mulus.
Darwin.Berkali-kali Harry dan bawahanku di kantor menelponku karena aku sudah seminggu lebih meninggalkan pekerjaanku. Memang sepulang dari Jepang kemudian mengurus pemakaman Inge hingga mencari keberadaan Alana di Bali kemudian menikahinya kembali aku melupakan semua urusan pekerjaanku. Padahal masih banyak sekali perkerjaan tertunda terutama laporan hasil pekerjaan kami sewaktu di Jepang. Sepertinya pihak kementrian juga sudah mendesak untuk perusahaanku segera melaporkan hasil dan meneruskan kontrak kerja.Maka rencanaku untuk memboyong Alana menginap di hotel malam ini sepertinya tak akan bisa terlaksana.“Al, kita harus segera kembali ke Jakarta. Banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan. Aku sudah meninggalkan kantor selama seminggu lebih,” ucapku pada Alana setelah sarapan pagi bersama keluarga Alana.“Jadi kapan rencananya kita pulang ke Jakarta?”“Secepatnya, Al. Kalau bisa hari ini juga.”“Lalu bagaimana dengan niatku untuk mengunjungi makam Inge?”Aku mengusap wajah
Alana.Ada keharuan yang menyeruak dalam hatiku ketika Darwin kembali menyebut namaku dalan ikrar ijab kabul. Ini yang kedua kalinya lelaki itu menyebut namaku dalam prosesi sakral ijab kabul. Dengan sepenuh hati aku mengamini semua doa-doa baik yang terus menerus dipanjatkan sepanjang acara. Aku sangat berharap hubungan pernikahanku kali ini langgeng hingga maut memisahkan. Saat ini, lelaki itu benar-benar telah mengisi penuh seluruh ruang hatiku. Ia hadir perlahan-lahan di sana kemudian dengan pasti memenuhi hatiku dengan perhatian dan cintanya, sehingga sakit yang dulu pernah kurasakan atas kegagalan rumah tanggaku yang dulu sudah tak lagi tersisa. Darwin telah berhasil menutupi semua rasa sakitku dengan kasih sayangnya.Kudengar para tokoh agama yang diundang Mas Sofyan memberi beberapa wejangan padanya ketika ia dengan gagahnya mengakui tentang kehadiran Baby Gandhi dalam hubunganku dengannya. Tanpa segan ia mengakui bahwa bayi yang sedang digendongnya itu hadir akibat dosa-dosan