Semua akan baik-baik saja.
•••
Mama dan papa mertua pamit ketika barang kami sudah masuk ke rumah baru. Setelah mobil mereka menghilang dari penglihatan. Aku kemudian masuk rumah mengekor dibelakang punggung Deni penuh kecemasan bukan kebahagiaan.
Betapa terkejutnya aku saat pertama kali menginjakkan kaki. Rumah sangat bersih dan sudah terisi barang layaknya rumah pada umumnya. Rumah minimalis berdesain mewah. Entah berapa banyak lagi uang yang dikeluarkan Deni membeli ini dan seisinya.
"Sini aku tunjukin seisi rumah." Aku hanya mengangguk lanjut mengekor dibelakangnya.
Pandangan pertama ketika masuk dihadapkan ruang tamu. Setelah itu ada rak buku, televisi dan satu sofa panjang untuk bersantai sekaligus menjadi ruang kelurga.
Dekat sofa ada pintu kamar. "Kamar kit
Perlakuan atas ketidak biasaan membuatku risih akan itu. ••• Suara alarm membangunkan aku setelah begadang karena terjaga. Melihat jam tertera sudah menunjukkan pukul 05.07 menit, berarti tidurku hanya satu jam lebih empat puluh menit. Menghela napas lega ketika melihat Deni masih terlelap dalam tidur dengan membelakangiku. Perlahan aku turun dari ranjang, sangat pelan agar dia tidak terbangun. Masuk ke dalam toilet berniat menggosok gigi dan mengambil air wudhu melangsungkan salat sendiri. Yah, seharusnya Deni menjadi imamku tapi dia lebih memilih tertidur. Setelah itu aku memakai kerudung. Melihat Deni masih terlelap. Entah apa yang harus kupanggilkan biar dia terjaga dari tidurnya. "
Menyesuaikan diri dari awal tidaklah mudah.•••Ketukan pintu dari rumah terdengar. Aku menghentikan tangan mendesain pada kertas putih yang aku minta dari ibu membawakannya. Alhasil ibu memasukkan beberapa alat tulis digunakan mendesain dalam koper.Merapikan secepat mungkin lalu memasukkan ke dalam kotak dan menyelupkan di bawah kasur. Setelah itu aku terburu-buru membuka pintu di mana Deni sudah menunggu."Mari masuk," kataku tanpa senyuman dan hanya menatapnya sekilas. Aku berlalu saat dia masuk, di mana dia duduk di kursi ruang tamu membuka sepatunya."Rhena," panggilnya membuat langkahku terhenti."Iya, apa?" tanya ku begitu polos."Ambil tasku ini dan bawa ke kamar, letakkan di meja," suruh dia langsung saja kuangguki dan mengambil tas hitam b
Lagi-lagi perlakuan kecil membuatku terlena .•••Aku terbangun di jam yang sama seperti hari kemarin. Setelah menunaikan kewajiban dengan salat subuh, segera menuju dapur berniat membuat sarapan. Perihal membersihkan rumah urusan nanti.Sebenarnya kecewa saat Deni
Pada kenyataan, rahasia ini akan terbongkar juga.•••Jam menunjukkan pukul satu lewat lima menit dan Deni tak kunjung datang. Aku pikir Deni hanya berpura-pura saja ingin mengantar atau hanya sekadar cari empati. Jika saja membiarkan aku keluar sendiri pasti sudah tiba di kafe lebih awal.Aku kembali mengintip dijendala dekat pintu, tak ada tanda-tanda dia akan datang. Tiba-tiba saja deringan HP menghentikan aku mondar-mandir tidak jelas. Aku tersenyum melihat siapa yang menelponku."Halo, Rhena!""Haiii.""Lo udah di mana? Gue di sini sudah nungguin lo nggak datang-datang!""Maaf, ini masih nunggu seseorang nganterin.""Naik taxi nggak bisa?""Nggak bisa, taxi jarang lewat komplek ini dan
Untuk apa menyimpan rahasia pernikahan ini jika nantinya akan terbongkar juga.•••"Maksud lo?""Suami siapa?""Tolong jangan berisik dong." Aku memintanya sedikit mengurangi volume suara. Sekejap pengunjung juga menatap ke arah kami. Sungguh aku malu dalam keadaan seperti ini.Viyata mengangguk berusaha mencerna kata tadi. Disisi lain reaksi Oza lebih menggemaskan, mata sedikit membulat dengan mulut sedikit terbuka."Ada hal yang ingin gue ceritakan. Dari pada tertutup terus, ada baiknya diceritkan karena ini fakta." Mereka berdua mulai sadar dan mengangguk bersamaan."Jangan bilang lo udah menikah," tutur Viyata."Bercanda ajaa."Aku berusaha ters
Mungkin cemburu menghadang hanya saja masih dielak.•••Aku menghela napas lega ketika melihat makanan sudah siap di atas meja. Mengembangkan senyum lalu bersiap memanggil Deni untuk makan malam. Sejak pulang tadi dia bertanya-tanya perihal Oza dan Viyata, hanya saja aku tidak menyebutkan namanya.Bahas mereka berdua membuatku tertarik menceritakannya ke Deni jika kedua sahabatku itu sangatlah baik dan memiliki karakter cukup berbeda. Viyata lebih lembut dan feminim sedangkan Oza si pemberani sedikit tomboy.Respon Deni pun seakan asyik mendengar cerita recehku saat di mobil. Jujur saja aku senang atas perlakuan kecilnya dan senang bisa bertemu Oza dan Viyata hari ini.Aku ke luar dari dapur dan melihat Deni tengah sibuk berhadapan laptop juga banyak lembaran berserakan di deka
Perlahan tanpa menyadari rasa cemburu itu ada.•••Siang ini Deni kembali menjemputku pergi ke mall bersama. Awalnya aku menolak tapi bukan Deni namanya jika tidak memaksa. Aku baru perhatikan sikap Deni setelah menikah sedikit pemaksa itu.Pusat perbelanjaan ini cukup ramai apalagi banyak yang pergi bersama pasangan dan keluarga masing-masing.Awalnya Deni meninggalkan aku begitu saja mengekor dibelakangnya, setelah beberapa menit kami masuk dia langsung saja menautkan jari jemarinya ke tangan kananku.Ingin sekali rasanya melepas tangannya yang berani memegang tanpa izin. Aku risih atas perlakuan itu. Saat aku berusaha melepaskan, saat itu juga Deni dengan jahilnya mempererat genggaman."Aku suamimu, tidak apa jika aku memegangmu," ujar Deni melihatku. Te
Sudah satu bulan aku menjadi istri dari seorang Direktur dan aku masih saja menyesuaikan menjadi seorang istri. Selama itu, perlahan aku mengamati perubahan karakter Deni sering berubah, terkadang lemah lembut, kasar, emosional juga angkuh.Aku mulai terbiasa atas perlakuan manis ataupun kasarnya secara tiba-tiba. Bahkan Deni perlahan mengambil alih isi hatiku dengan perlakuan manisnya terhadapku. Bahkan untuk malam-malam kemarin tidurku nyenyak tanpa harus terjaga dari tidur, was-was Deni melakukan hubungan yang belum aku inginkan dengannya.Aku menyalakan televisi, siaran favorite sudah bersambung tapi Deni belum pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Menghela napas lalu memperbaiki posisi diatas kursi sofa berniat menunggunya. Ini kali ketiga aku menunggu Deni pulang larut dalam sebulan ini.Siangnya dia memberi tahu akan pulang terlambat dikarenakan l
Jangan salahkan jika seorang takut pada situasinya."Good morning, Dear," sapa Deni kala Rhena menggeliat manja. Meskipun rambut acak-acakan wajahnya tetap terlihat cantik natural tanpa polesan make up. Sudah banyak yang mengakui Rhena cantik dan jika dilihat dia tak seperti anak sekolah sewaktu belum menikah.Perlahan mata Rhena terbuka. Deni tersenyum bahagia lalu cepat mengecup kening istrinya. Tidak sadar jam berapa dia tidur semalam, Rhena lalu menepuk kening kala mengingat belum menunaikan kewajibannya tadi subuh."Aauuughh." Langsung saja Rhena ingin bangun dari tidur dan meringis kesakitan pada bagian intim tubuhnya."Hati-hati, Sayang." Dengan sigap Deni membantu Rhena dan berusaha menutupi tubuh indah milik Rhena dengan selimut mengingat dia sedang tidak memakai apapun. Tersadar akan hal itu Rhena langsung terkejut seakan lupa kejadian semalam.Menggeleng kecil mengingat kejadian. Mata kini tertuju pada Deni di samping tak berbaring lagi. Dia sudah memakai handuk dipinggang
Pengakuan bagaikan hasutan merobohkan diri.Author POVLumatan kecil antara bibir sepasang suami istri tu terhenti. Deni menatap Rhena penuh keyakinan bahwa dirinya benar menyayangi sang istri. Perlahan menarik pergelangan tangan Rhena menuju kamar. Perempuan itu hanya mengekor tanpa banyak bertanya.Sampainya dalam kamar Deni menuntun Rhena duduk ke kasur lalu kembali menutup pintu kamar. Untung saja rumah juga sudah dikunci tadinya. Perempuan itu hanya terdiam membisu, entah apa yang sedang dipikirkan hingga bisa menurut begitu saja.Deni kembali kepada Rhena. "Kenapa diam saja?" tanya laki-laki yang sudah menjadi suami sah dari Rhena hanya dibalas gelengan kecil."Kamu mau tidur?" Lagi-lagi Rhena menggeleng. Seharusnya dia mengantuk dan tidur tapi pertengkaran tadi membuat rasa kantuk hilang seketika."Boleh?" Entah apa yang sudah memasuki Rhena barusan. Dia hanya mengangguk polos. Apa mengiyakan suaminya kembali menciumnya. Kemungkunan bukan itu yang dimaksud Deni melainkan hal la
Aku tidak pernah bermaksud untuk mendatangkan rasa cemburu itu.Aku menghela napas lega kala mobil Vaeru melaju meninggalkan pakarangan rumah. Viyata sangat beruntung memiliki kakak seperti Vaeru yang sangat menyayangi sang adik. Bahkan, mereka masih bercanda sebelum pamit tadi.Pagar ku dorong dan menguncinya kembali. Di mall setelah menonton kami bertiga memutuskan membeli baju yang sama.Baru saja ingin mengetuk pintu rumah ternyata Deni lebih dulu membuka pintu Aku tersenyum melihatnya. Dia hanya terdiam lalu meninggalkanku sendiri di ruang tamu."Kamu sudah makan?" tanyaku. Mata melirik jam pada dinding telah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku menggigit bibir bawah sedikit kikuk. Apalagi Deni tadi hanya menghiraukan pertanyaanku dan masuk ke dalam kamar.Apa dia lagi marah? batinku bersuara.Setelah semua pintu termasuk pagar aku kunci. Dan mengecek dapur melihat makanan ternyata Deni sudah makan. Aku sempat masak sebelum dia mengantarku tadi. Perlahan aku masuk ke kamar, Deni
Sungguh untuk memberi tahu kenyataan pada orang lain aku belum bisa mengungkap sebenarnya.Deni memberi izin malam ini. Bahkan dia mengantarku ke mall tempat kami janjian. Sebenarnya Oza dan Viyata ingin menjemput tapi aku melarangnya takut sewaktu-waktu Deni tidak memberi izin. Setelah aku sampai 30 menit yang lalu, Deni juga mengatakan keluar malam ini bersama temannya mengingat ada urusan pekerjaan."Temenin gue pipis dong. Please!" Viyata membujuk Oza di mana kami sedang berada di dalam salah satu tono kosmetik."Apaan sih, ngerepotin orang mulu." Oza mendengus kesal. "Sini gue temenin cepet," lanjutnya dibalas cengiran."Rhena, lo tolong tunggu di luar ya, kaka gue mau datang. Mau ikut nonton." Langsung saja Viyata memberikan HP nya ke aku. "Kalau dia telepon angkat aja, dia nggak tahu posisi kita. Tunggu di sini aja ya!" Tanpa menunggu aba-aba dari aku, dia langsung menarik tangan Oza ke toilet.Aku menghela napas. Kebetulan ada sofa duduk tak jauh dari toko kosmetik tadi. Menun
Teman yang benar teman tidak meninggalkan dalam keadaan apapun.•••Sore hari Oza dan Viyata datang ke rumah berniat menjengukku. Awalnya kaget melihat aku yang tidak berbaring di kasur layaknya orang sakit malah membersihkan halaman. Padahal aku sudah melarangnya menjenguk mengingat sudah sembuh tinggal pusing sedikit saja. Baru saja Deni keluar beralasan ada urusan, Oza dan Viyata datang."Gue pikir lo udah sekarat," ejek Oza. Kami sedang duduk di teras luar. Karena kursi teras hanya ada dua jadinya aku mengambil satu kursi makan dari dapur untuk diduduki."Astaghfirullah, jangan sampai ih. Gue cuman demam aja."Disisi lain Viyata menikmati makanan yang dia bawa sendiri bersama Oza. Memang banyak makanan, ada buah mangga,
Perasaan ini semakin nyata akan benih cinta yang tumbuh.•••Melakukan hubungan intim pada status yang halal sebagai suami dan istri merupakan kebutuhan tiap pasangan untuk memperoleh keturunan nantinya. Namun, hal ini aku belum bisa wujudkan dikarenakan ketakutan mengingat umur masih terbilang muda untuk merasakan hamil.Meskipun demikian, hari semalam berhasil menciptakan benih-benih dalam hatiku. Deni berhasil mengambil firs kiss yang kusimpan baik untuk suami ku nantinya. Aku memang awam untuk perihal itu tapi adanya Deni yang selalu berusaha memberi kenyamanan tiap sentuhan bibir dan menikmati tubuh mungil ini.Hanya saja, jika untuk lebih jauh. Lagi-lagi kukatakan aku belum bisa melakukannya. Deni sangat senang atas afsu terladeni meskipun organ intimnya tidak menyentuh. Cukup bagian tubuh dari ku dirasa
Perasaan luluh ini memang dari dalam bukan settingan.•••Aku menggeliat merasakan diriku masih sama dengan kemarin. Mencari handphone dan melihat jam, ternyata sudah pukul setengah enam pagi. Aku melihat Deni masih mendengkur dengan membelakangiku.Kain yang mengompres diriku semalam aku lepas dan perlahan turun dari kasur. Pusing di kepala masih bisa tertahan, aku harus mengganti pakaian dan pembalut takut bocor terkena sprei.Mengingat kejadian kemarin aku pikir Deni kembali ke kantor ternyata pemuda itu memilih tinggal di rumah. Katanya aku lagi sakit takut jika kenapa-napa sendiri dalam rumah.Sore menjelang malam Deni membantuku ke kamar mandi mengganti pakaian dan m
Karakter yang berubah-ubah.•••Setelah kejadian tadi aku tersadar di jam 5 pagi. Tubuh rasanya remuk seakan habis bertengkar hebat bermain fisik. Untuk bangun saja badanku lemas dan terasa sakit. Aku langsung menggeleng kala bangun dari tidur.Entah kenapa kepala aku rasanya sangat berat tuk aku angkat, pusing seperti sedang terjadi gempa. Aku memegang dahiku sendiri dan terasa hangat. Apa aku sedang sakit?Aku mengesot ke dinding, memegang dinding untuk membantuku memopang tubuh berdiri. Perutku juga terasa keram sekali. Dengan sekuat tenaga akhirnya aku berhasil berdiri meski pusing itu melanda.Gagang pintu kupegang erat, di mana tangan kanan tengah memegang perut. Aku menghela napas berat berusaha ke kamar mandi bagian dapur mengambil air wudhu. Kaki terseret-seret kupaksakan.Aku tidak boleh sakit, siapa yang akan mengurus rumah dan memasakkan Deni? Aku tersenyum kecut, meski sedang lemas seperti ini ju
Jeritan hati kecil tidak dapat terdengar.•••Deni frustasi dan mengacak rambutnya. Napas tidak beraturan sudah diselimuti oleh rasa marah. "LAKUKAN SAJA APA YANG AKU MINTA, RHENA!" ucapnya menarikku kembali duduk tapi aku tepis erat."Tidak! Atas dasar apa aku lakukan perintahmu?" tanyaku membantah mulai memberanikan diri meski terselip rasa takut di dalam dada."Kamu istriku, sudah sewajarnya kita melakukan hubungan intim ini!" Tatapan Deni kali ini benar tajam. Aku hampir menciut melihatnya."Sudah aku katakan aku belum siap dan jangan memaksaku." Masih dengan sesenggukan menghapus jejak air mata. Aku tidak ingin terlihat lemah seperti ini."Kenapa kamu membantah, hah? Apa pemberianku selama ini ke kamu itu tidak cu