Terdengar dehem bernada rendah dari dekat pintu samping. Nay, menoleh. Sosok tinggi besar sedang memandanginya. Tubuhnya berbulu lebat. Ada sepasang tanduk pendek di kepala. Kuku-kuku panjangnya menjuntai sampai ke lantai. Matanya melotot merah dan besar.
Di samping sosok itu, berdiri melayang seorang wanita berbaju putih lusuh dengan rambut keriting panjang menyeringai pada. Mukanya putih seperti memakai bedak bayi. Matanya tak kalah merah dengan sosok bertubuh besar tadi. Mereka berdua memiliki 'energi' paling kuat di antara semua penghuni rumah ini. Bisa dibilang pemimpin di lokasi tersebut. Mereka terlihat enggan mendekati Nay. Mungkin karena dua penjaga yang selalu menemani kemanapun Nay pergi. "Aku tidak bermaksud jahat. Datang hanya untuk berbicara pada kalian. Rumah ini akan direnovasi. Jadi kalian harus mencari tempat baru.""Kau pikir semudah itu mengusir kami dari sini." Nenek tua yang kemarin mengancam Nay ikut berbicara. Dia duduk di tempat yang sama. Dekat tangga. "Aku tidak mengusir. Hanya memberikan penawaran untuk pindah ke tempat baru. Aku sendiri yang akan membawa kalian.""Apa kau bisa dipercaya?" tanya pemimpin mereka."Biasanya kalian yang tidak bisa dipercaya," balas Nay. "Manusia sudah banyak berubah. Lebih culas dari kami. Aku bisa saja melawanmu. Anak buahku banyak. Tapi itu akan membuang waktu dan tenaga saja, apalagi meladeni anak kemarin sore sepertimu!""Tidak usah bermulut besar seperti itu. Cukup sekali tarikan saja, kau bisa aku segel dengan mudah!"Nay menyeringai sengit. Ia mulai merapal mantra, kemudian mengambil cawan perak dari dalam tasnya. Tak berapa lama, cawan tersebut mulai menarik makhluk-makhluk astral di tempat itu. Tidak ada yang bisa menghindar terhisap ke dalamnya. Kecuali mereka yang Nay kehendaki tetap berada di sana.Cawan yang dimiliki Nay bukan benda sembarangan. Sebuah cawan yang sangat istimewa pemberian Nyi Asrita, gurunya. Konon cawan itu hanya bisa digunakan oleh Nay dengan mantra khusus. Setelah dirasa cukup, Nay kembali mengucapkan sesuatu dan menutup cawan itu dengan tangannya. Sebuah mantra penutup untuk mengurung mereka di sana sementara.Pekerjaan Nay kali ini cukup mudah. Tidak ada perlawanan yang berarti dari makhluk-makhluk penghuni rumah tersebut. Mereka hanya sosok biasa yang sering tinggal di tempat-tempat lama dan tidak dihuni manusia lagi.Leluhur pemilik tempat itu, Nyonya Belanda dan suaminya yang sempat ditemui Nay kemarin terlihat turun dari lantai dua. Wanita berpita biru itu melambaikan tangannya, sedangkan sang suami hanya tersenyum tipis. Nay membalas sapaan mereka, sedikit membungkuk lalu beranjak pergi meninggalkan rumah tersebut."Ini Pak Man kuncinya. Saya permisi pulang." Nay memberikan kunci rumah pada penjaga kebun yang masih sibuk memotong rumput. "Cepat sekali, Mbak." Pak Man mengulurkan tangannya menerima kunci dari Nay."Iya, Pak. Sudah selesai. Terima kasih. Permisi," pamit Nay."Mari, Mbak," sahut Pak Man sembari menyimpan kunci di saku bajunya.Nay memacu motornya cepat. Langit yang tadinya cerah berubah mendung. Ia harus tiba di panti sebelum hujan bila tidak ruas jalan kota akan tergenang banjir saat hujan lebat."Kak Nay, datang! Kak Nay, datang!" teriak salah satu anak di panti melihat kedatangan Nay. Mereka berlari menghampiri Nay yang membawa dua kantong besar berisi makanan ringan, coklat dan es krim. Momen kedatangan Nay memang selalu mereka tunggu-tunggu. "Ini, untuk kalian semua. Jangan berebut. Berbagi yang adil, ya." Nay meletakkan bawaannya di atas meja teras depan. "Sudah tiba kamu, Nay," ucap Bu Mien melongok dari jendela."Sudah, Bu," balas Nay dengan senyum."Masuk! Ini opor ayamnya sudah matang.""Iya, Bu."Nay masuk dari pintu belakang. Dia langsung menuju dapur. Di sana, Bu Mien sedang menuangkan opor ayam ke dalam mangkuk. Nay mendekati Bu Mien lalu mencium punggung tangan perempuan tersebut. Memeluknya beberapa saat. Kebiasaan yang selalu Nay lakukan setiap kali bertemu Bu Mien. Bu Mien seorang perempuan luar biasa. Bertutur lembut dengan kesabaran tak terhingga. Tidak pernah sekalipun berkata-kata kasar dan menyakiti, sekalipun anak-anak panti melakukan sesuatu di luar batas. Beliau selalu menasehati dengan bahasa yang baik dan menyejukkan. Seorang Ibu yang benar-benar mengabdikan dirinya hanya untuk anak-anak asuhnya. "Sudah, duduk sana. Ibu ambilkan nasinya dulu, ya.""Iya, Bu."Nay melangkah ke arah meja makan. Dilihatnya Nyi Asrita duduk di salah satu kursi menghadap meja makan. "Duduk sini, Nay." Nyi Asrita memintanya duduk di sebelah kursinya.Nay mengangguk, lalu menggeser kursi di sebelah Nyi Asrita. Dia tidak biasa berbicara dengan Nyi Asrita di depan Bu Mien. Nyi Asrita adalah ibu asuh Nay. Ibu asuh yang tak kasat mata. Posturnya sedang. Bergelung ukel berhiaskan tusuk konde berwarna gading dengan ornamen bulu merak. Konon tusuk konde itu bisa dijadikan senjata. Namun Nay belum pernah sekalipun melihat Nyi Asrita menggunakannya. Sejak Nay kecil, dialah yang menjaga Nay. Beliau jugalah guru tempat Nay mengasah kemampuan istimewanya yang telah ada sejak dia bernapas di dunia. Tapi dia selalu sembunyi-sembunyi melakukan itu. Tidak sekalipun Nay bercerita pada Bu Mien perihal Nyi Asrita."Ayo dimakan. Ini nasinya." Bu Mien meletakkan semangkuk besar nasi yang masih mengebul di sebelah mangkuk berisi opor. "Ibu, tidak sekalian makan?" tanya Nay membalik piring yang tertelungkup di atas meja di depannya. "Ibu masih kenyang. Nay makanlah. Sembari makan ibu ingin menceritakan sesuatu padamu.""Soal apa, Bu?" tanya Nay, seraya mengambil nasi dan menaruhnya di piring. "Orang tuamu," jawab Bu Mien dengan mimik serius."Jadi ini alasan Ibu meminta Nay datang?" tanya Nay menghentikan tangannya menyendok nasi."Iya, Nay.""Bukankah Ibu sudah tahu Nay sudah tidak tertarik untuk tahu tentang mereka. Biar saja mereka tetap menjadi misteri sepanjang hidup, Nay.""Tapi ini penting, Nay. Nyi Asrita yang akan menceritakannya padamu."Nay kaget. Bu Mien tahu keberadaan Nyi Asrita. Bagaimana bisa?"Terkejut, Nay?" tanya Nyi Asrita melihat ekspresi wajah Nay. "Sebenarnya kami bisa saling berkomunikasi. Hanya saja tidak pernah menunjukkannya padamu. Bu Mien punya kepekaan yang sama denganmu. Tapi Beliau tidak memiliki kemampuan sepertimu. Bu Mien seorang penyembuh. Sedangkan kau kulatih menjadi seorang petarung."Pantas saja saat Nay kecil bila sedang sakit, Ibu selalu menaruh tangannya di tubuh Nay yang terasa sakit. Ternyata ini sebabnya. Kenapa kalian merahasiakan ini?" tanya Nay."Sebentar lagi kau akan tahu." Bu Mien beranjak dari kursi. Menutup pintu depan dan meminta anak-anak yang sedang bermain untuk tidak masuk sampai pintu dibuka."Ibumu tidak membuangmu, Nay. Tapi menitipkan pada kami. Dia lah yang meminta kami untuk merahasiakan ini. Kata ibumu, bila kau terus bersamanya, kalian berdua dalam bahaya," ucap Bu Mien membuka sedikit tentang ibu Nay."Tutup matamu, Nay. Aku akan membawamu ke masa di mana kau diantar ibumu ke tempat ini. Atur perasaanmu, Nay. Konsentrasi." Nyi Asrita lalu meletakkan tangannya di dahi Nay.Nay dan Nyi Asrita terbawa melayang melewati lorong gelap. Samar-samar terlihat cahaya di kejauhan. Nay merasa tak sabar. Dia ingin cepat sampai di tempat cahaya itu berasal. Dia meyakini di sanalah tujuan akhir mereka."Lihat cahaya itu, Nay. Kita akan tiba di sana sebentar lagi." Nyi Asrita menggenggam tangan Nay. Dia mencoba menenangkan perasaan anak asuhnya itu yang terlihat mulai menangis. "Iya, Nyi," jawab Nay dengan suara tertahan.Perasaan Nay semakin bergejolak ketika mereka tiba di tempat asal cahaya yang mereka lihat tadi. Ada Bu Mien dan seorang perempuan berambut panjang kusut masai.
Sri, salah satu teman tak kasat mata yang sering bertandang ke apartemen Nay. Menurut ceritanya, dia mati bunuh diri terjun ke laut yang letaknya tak jauh dari kompleks apartemen ini. Bisa dibilang Nay dan Sri berteman karib. Mereka sudah kenal lama. Sri biasa duduk di pohon kamboja dekat lapangan basket. Ada dua temannya yang tak pernah absen menemani. Rossi dan Prita. Mereka juga korban kasih tak sampai. Kisah hidup mereka kurang lebih sama. Bunuh diri karena cinta. "Apa Rey sudah pulang, Sri?" tanya Nay ketika mereka telah sampai di depan unit milik Nay. "Aku belum melihatnya, Nay," jawab Sri "Oh," balas Nay pendek, lalu dia mengambil kunci dari saku tasnya. Nay membuka pintu, kemudian Nay masuk diikuti Sri di belakangnya. "Kalian pacaran, ya?" tanya Sri dengan mimik wajah serius. Nay tertawa. "Kau naksir dia, ya?" Nay balik bertanya, mencandai Sri."Gak mau naksir. Saingannya berat." "Belum dicoba sudah kalah duluan, Sri," ledek Nay. "Sudah jelas Mas polisi ganteng itu naks
"Wait! Jadi kau sudah tahu asal-usulmu, Nay?""Belum jelas, Rey. Makanya aku perlu tahu siapa laki-laki yang ditulis ibuku itu.""Dia ayahmu, kah?""Haduh! Nih, Pak polisi nanya melulu," celetuk Rossi. "Belum tahu juga Rey. Di situ tidak dituliskan.""Kalau benar Bramantyo yang itu, tidak mudah untuk menemuinya, Nay," kata Rey mengambil cangkir kopinya. "Kau tahu dia, Rey?" "Dia pengusaha tambang batubara. Dua tahun lalu, kalau aku tak salah ingat istri dan anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia shock berat sampai mengalami gangguan jiwa.""Terus?""Terus, terus, ntar nabrak dong, Nay.""Ih, malah bercanda." Nay mencubit lengan Rey yang hampir saja membuat isi di cangkir Rey tumpah. "Sakit juga ya cubitan orang cantik," kata Rey tersenyum lalu menyeruput sedikit isi cangkirnya yang masih panas. "Sekarang aku tidak tahu dia di mana. Kemungkinan besar berada di rumah sakit jiwa.""Tapi kalau bukan Bramantyo yang itu?" Nay bertanya ragu."Bukankah itu tujuanmu memintaku datang, Nay
Nay mengurungkan niatnya untuk makan. Dia keluar dengan meninggalkan makanan yang masih utuh di atas meja. Pelayan di sana sempat memperhatikan Nay yang hanya membayar lalu pergi. Terlebih seseorang di meja kasir. Matanya tak lepas mengikuti langkah kaki Nay. Mungkin dia salah satu anak pemilik restoran. Beberapa meter keluar dari restoran, ponselnya berbunyi. Buru-buru dia mengangkatnya. Dari nada deringnya itu telpon dari Rey."Nay, sepertinya memang benar Bramantyo yang kita bicarakan semalam kenal dengan ibumu." Rey mengawali pembicaraan. "Aku sudah dapat alamatnya. Nanti aku WA. Kalau kau sedang off, kita ketemu di sana jam tiga sore ini. Ganti.""Baik Ndan! Diterima. Siap dilaksanakan!" "Aku tunggu, ya," ujar Rey, kemudian menutup telponnya. Tanpa menunggu, Nay membuka pesan dari Rey : Jalan Adipati nomor 5 (rumah besar berwarna putih) tunggu di sana sampai aku datang.Nay melihat jam di sudut ponselnya. Sekarang baru jam satu. Masih sempat Nay makan siang dulu. Perjalanan ke
Di dalam Pak Bram kembali histeris. Dia terus berteriak-teriak minta benda itu dikembalikan. Pak Arya memanggil dua orang pegawainya yang biasa mengurus Pak Bram untuk mencoba menenangkannya. "Seseorang telah mengirimkan teluh. Lihat Rey! Aku menemukan ini di bawah tempat tidur Pak Bram," tukas Nay pada Rey yang sudah berada di sebelahnya."Oh, jadi Pak Bram kena santet.""Bukan Rey, beda. Teluh itu seseorang mengambil sukma orang yang di dimaksud lalu menyesatkannya ke alam lain. Seperti Pak Bram itu. Nah, di dalam tubuh Pak Bram bukan dia. Namun, roh jahat, hantu atau siluman. Jadi selama sukma Pak Bram tidak dikembalikan, roh jahat itu akan tetap di situ. Menghisap hawa murni si empunya tubuh," kata Nay menjelaskan. "I see!" Rey manggut-manggut. "Kita tunggu Pak Arya keluar. Aku harus berbicara dengan beliau.""Kau tunggu di sini, biar aku menyusul Pak Arya ke dalam.""Oke, Rey. Aku tunggu di depan saja." Rey masuk ke kamar Pak Bram sedangkan Nay kembali ke ruang tamu. Tak lam
Penampakan sukma Nay terlihat berbeda. Mengenakan kain batik bercorak gajah oling berwarna hitam dengan lukisan tumbuhan berwarna emas. Terlihat kontras dengan baju beludru hitam tanpa lengan yang dipakai Nay. Kelat bahu berornamen bunga terlihat apik. Ompok berwarna emas dengan cundhuk mentul menghias kepala menambah ayu wajahnya. Tak lupa selendang kuning yang selalu tersampir di bahu dan kipas berwarna merah menyala terselip di pinggangnya. Serupa dengan penari gandrung Banyuwangi.Makhluk yang merasuki tubuh Pak Bram keluar dari tubuh inangnya. Dia berdiri di depan Nay. Tubuhnya terus meninggi dengan jari-jari tangan yang semakin memanjang. Kepalanya terus membesar menyerupai gurita. Jemari yang memanjang berubah menjadi delapan lengan. Bulatan-bulatan di bagian bawahnya sesekali terlihat saat tentakel itu bergerak ke atas. Dari situ pula Nay dapat merasakan aliran energi yang besar siap mencengkeram."Beraninya kau gadis sombong!"Nay hanya tersenyum tipis. Namun hal itu justru
Belum sempat Pak Bram menjawab, suara tawa seseorang tiba-tiba terdengar menggelegar."Dia bukan ayahmu!" kata suara laki-laki yang tidak terlihat sosoknya."Siapa kau?" tanya Nay geram."Kau akan tahu nanti. Akulah yang mengurung Bramantyo di sini. Kau ingatlah baik-baik suaraku. Kelak kita bertemu lagi. Kali ini aku membiarkanmu hidup. Pergilah!"Tempat itu seketika berguncang. Langit dan tanah pun terbelah dengan cepat. Nay menyambar tangan Pak Bram. Secepat kilat dia membawa sukma itu kembali. Bila tempat itu runtuh mereka tidak akan punya kesempatan lagi.Gantari menarik mereka dengan kekuatan penuh. Energinya terkuras, begitupun Nay. Pandangannya buram, tubuhnya limbung. Tak berapa lama Nay terjatuh ke lantai.***"Please, Nay! Bangun!" Rey menepuk-nepuk pipi Nay. "Apa harus kucium di depan orang-orang supaya kamu bangun?" bisik Rey kemudian."Awas kalau kau lakukan itu!" Nay menjawab pelan. "Aku masih bisa mendengar, hanya tubuhku saja yang susah kugerakkan."Rey mengangkat bah
Ada dua kantin tak jauh dari lapangan basket. Nay sudah sering makan di situ. Yang satu punya Pak Slamet dan satunya lagi punya Bu Saminah. Sama-sama asal Jawa satu kampung pula. Namun, ada perbedaan yang sangat mencolok dari kantin keduanya. Kantin Pak Slamet lebih ramai. Sedangkan kantin Bu Saminah biasa-biasa saja. Malah dulu pembelinya sangat sedikit. Sampai malam jualannya masih banyak. Bukan tidak enak, tetapi kalah rasa dengan makanan di kantin Pak Slamet. Makanan yang bercampur liur makhluk gaib bercita rasa sempurna bagi orang awam yang tidak peka.Ada tiga pocong di kantin Pak Slamet. Yang satu berdiri di depan, yang satunya lagi berdiri di deretan wadah makanan di dapur. Dia bertugas memberi bumbu penyedap dengan meneteskan air liur. Sedangkan yang terakhir berdiri di pintu belakang. Siapapun yang masuk ke kantin itu pasti membeli. Tapi tidak untuk orang-orang sensitif seperti Nay.Sangat bisa Nay mengerjai kantin Pak Slamet tetapi dia memilih untuk membantu Bu Saminah. Bel
Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge