Kugendong Qila lalu mengajaknya menuju kamar. Sambil menyusui, kubuka googgle dan membaca-baca resep tempe mendoan dan sayur asam. Kok ribet-ribet semua resepnya. Pakai ada lengkuas dan irisan cabai merah segala.Aku menghela napas. Bodoh. Kenapa tadi harus mengaku-aku masakan Ibu sebagai masakanku? Aku kembali menghela napas, merasa begitu menyesal tapi ini sudah terjadi. Mas Rasya pasti akan bersikap sangat jutek saat ia pulang tak ada makanan yang tadi dimintanya. Baiklah, daripada tak melakukan apa-apa lebih baik mencoba. Tinggal digeprakin lengkuas sama irisan cabai lalu diberi bumbu. Sepertinya, mudah. Tapi bagaimana kalau tidak enak? Aku lagi-lagi menghela napas. Mimpi apa, aku, harus mengerjakan tugas asisten rumah tangga?Tanpa membuang banyak waktu lagi, aku segera menuju pasar mencari bahan yang dibutuhkan, aseman dalam plastik putih ukuran sedang dan jagung. Karena sudah hampir jam sembilan sebentar lagi Adnan istirahat, maka kubeli donat lalu menuju ke sekolah Adnan. Se
Pov RasyaIsh. Ck. Ck. Dasar bocah. Melihatnya terus menunduk seperti itu membuatku jadi geli ingin tertawa tapi terus menahannya. Ntar bisa-bisa, dia nangis kalau aku sampai tertawa di depannya. “Enak?” tanyaku, pada akhirnya tersenyum geli melihat ekspresinya yang lucu.Tahu apa yang dia lakukan tadi? Bukannya segera mematikan ikan lalu memotonginya buat dimasak, dia malah terus bengong menatap ikan di depannya. Seolah dengan begitu, ikan tahu-tahu sudah matang saja. Pada akhirnya, aku juga yang harus turun tangan. Hais. Mimpi apa, aku, harus menggantikan posisi Rofi? Bocah ini beda banget dengan Ndari yang pintar masak. Kuah tidak cingeng.“Emmp, enak, Mas,” ucapnya dengan wajah terlihat malu. Ya lagian, siapa juga yang menyuruh bohong? Pakai mengaku-ngaku masakanku sebagai masakannya, lagi. Aku tahu benar seperti apa dirinya. Tidak bisa masak, manja, juga cingeng. Mirip banget dengan Qila.Kuraih HP lalu menekan nomer Ibu. “Halo, Bu.”“Halo, Le. Kok tumben, nelpon?”“Sini. A
Mas Rasya yang akhirnya turun tangan, membunuh ikan sekaligus memasaknya, kemudian kami makan bersama. Namun, makan siang itu tak berlangsung lama. Aku memilih segera enyah darinya yang tak henti menatap penuh ejekan. Selain itu, ia memaksa agar aku membuka mulut menerima suapan darinya, membuatku jadi terkenang Mas Rofi. Aku menghela napas dengan tangan bergerak cepat mengusap air mata. Teringat sikap Mas Rasya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, membuatku lagi-lagi ingin menangis. Dasar Mas Rasya menyebalkan! Memperlakukanku seperti anak kecil hanya karena istrinya ini masih suka menangis. Ya siapa juga yang tak menangis jika memiliki suami sepertinya? Dengan Mas Rofi, aku jarang menangis. Teringat perbuatannya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, aku mendengkus sebal.Kuembuskan napas kuat lalu merebah di samping Qila, berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, menatap bayiku yang terlelap tanpa beban. Damai rasanya, saat di dekat Qila. Tanganku terangk
Aku membelalak tak percaya. “Apa, Mas?!”Ia menyentak napas, terlihat begitu kesal. “Iya aku yang beli. Memang apa salahnya? Ndari juga pakai pakaian seperti itu saat tidur.”Aku terdiam menatap Mas Rasya yang lagi-lagi mendesah sebal.“Aku pakai pakaian seperti ini di depan Mas Rasya ....”Ia mengerutkan kening. Menatapku tajam.“Mbak Ndari kan istrinya, Mas.”Mata Mas Rasya terpicing. Aku meringis menyadari kebodohanku sendiri. Mas Rasya terus menatapku sinis. Ia melepas pakaian dari tubuhnya lalu melemparkannya ke arahku. Aku langsung meraihnya, mengenakannya, kemudian berbaring di sebelahnya dengan salah tingkah.“Mas Rasya gak pakai baju?” Aku mengernyit melihatnya hanya mengenakan kaus dalam cokelat gelap, membuat tubuhnya jadi terekspost.Ia langsung menuding ke arahku. “Itu kamu pakai!” Lalu menyilangkan tangan di dada kemudian memejamkan mata.Pov RasyaEmbusan angin dingin membuatku terjaga. Kuhela napas sambil bangkit duduk. Dasar Bocah. Bisa-bisanya ke pantai tak
Ditolak oleh suami sendiri padahal aku hanya minta dipeluk karena semalam memang menggigil kedinginan, rasanya amat menyakitkan. Seolah silet tajam tengah menyayat-nyayat jantungku hingga menjadi kepingan kecil. Sakiit, sekali. Aku hanya minta peluk, hanya, itu pun karena memang benar-benar membutuhkannya. Biasanya saat sakit, Mas Rofi akan memelukku sepanjang malam, kami sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Itu cara efektif agar suhu tubuh kembali turun. Jadi, apa salahnya aku minta dipeluk Mas Rasya? Hanya minta peluk. Ya Allah. Benar-benar tak menyangka ia bisa begitu tega.Aku menghela napas, lalu membuangnya perlahan, berharap dengan begitu rasa menyesakkan di dada segera lenyap. “Buka pintunya, aku mau ganti baju.”Aku mengusap sudut mata, sikapnya semalam begitu menyakitkan sampai aku ingin terus menangis. Kuembuskan napas pelan. “Sabar, Mas, aku sedang pompa ASI.” Padahal sebenarnya, aku tengah membuka google sambil sebentar-sebentar mengusap sudut mata yang basah.
Pov RasyaAku langsung menoleh saat mendengar suara tak asing tengah memesan. Sungguh tak habis pikir Bocah itu ketemuan dengan temannya membawa Adnan. Bocah itu pasti tengah tidak waras.“Iya,” sahutku pelan, terus menyimak ucapan lelaki di hadapanku. Ini pertemuan kelima tapi belum ada perubahan berarti. Beberapa desain yang kubawa untuk 50 outlet yang dipesannya dariku sama sekali tak membuatnya tertarik. Terlalu monoton dan biasa saja, katanya. Padahal sebenarnya, dia yang sulit. Kalau bukan demi 50 outlet dengan nomimal 55 juta per satu outletnya, pasti sudah kutinggalkan lelaki banyak komplain ini.“Kita pulang, yuk, Adnan.”“Adnan lagi makan nih, Bun.”Aku menatap ke arah Puspita yang terlihat tak nyaman. Ia mengangguk sopan pada lelaki di hadapanku yang mempersilakannya duduk.“Makasih, Pak. Adnan, ayo pulang. Marah, niih, Bundaa.”Bunda? Sejak kapan bocah ini menyebut dirinya bunda? Sudahlah. Kenapa aku jadi memikirkan hal seperti itu? Aku menatap Puspita, dengan isyara
Aku membuka mata sedikit saat mendengar tangisan kencang Qila. Lalu dengan gerakan perlahan beranjak bangun, mengulurkan tangan pada Qila yang terus menangis dalam posisi tengkurap. Terlihat dua bulir air mata di pipinya yang gembul.Aku mengendus. “Duuh, kamu pup, yaa? Puantes anak bunda nangis terus.”Kubawa Qila ke ruang tengah di mana Mas Rasya tengah duduk di sofa menonton acara sepak bola. Aku mengambil tisu basah dari tas bedak di laci dekat televisi lalu memasukkan pempes ke dalam plastik. Jarum jam telah menujukkan 02;30.“Tidak dicebokin?”Aku menoleh. Mas Rasya menatapku dengan kening berkerut.“Ini tisu basah sama saja, Mas.”“Memang bersih?” Ia memicingkan sebelah matanya.“Bersih.”“Harusnya dicebokin. Qila kan bukan bayi satu bulan lagi.”Kucueki saja. Kalau urusan masak memang aku tidak bisa, tapi kalau soal anak, bisalah. Ketika Adnan masih bayi lebih seringnya aku yang mengurus bukannya si baby sitter yang dikerjakan Ibu. Doaku waktu itu, siapa tahu dengan rajin meng
Pov RasyaAku mengerutkan kening melihat Bocah di sampingku yang memberikan HP dengan gerakan lelet seperti siput. Dengan wajah dihiasi keraguan. Ish. Apa sih. Seolah bakal kuterkam saja.Aku memicingkan sebelah mata, menatapnya tak sabar. Benar-benar lelet itu Bocah. Lagian kenapa juga pegang-pegang HP-ku segala.“Jangan pernah sentuh HP-ku lagi! Ngerti?” kataku sambil menyambar HP dalam genggamannya. Aku lagi-lagi memicingkan mata melihat wajahnya yang begitu tegang. Yaelah, biasa aja kali. Kusentak napas kuat lalu menyentuh HP-ku, mengernyit saat melihat ada puluhan notif. Biasanya, HP-ku tak pernah dipenuhi banyak notif. Hanya ada satu dua notif saat Ibu membuat status.“Mas Rasya, tolong jaga Qila ya, Mas. Aku mau ke pasar cari nasi uduk juga cari sayuran. Aku mau masak.”Aku mengerutkan kening, menatapnya tak percaya. “Memang bisa?” Tumben.“Bisaaa.”“Pakai bumbu instan?” kataku mengejek. Ia tak menanggapi, hanya langsung mengambil dompet di lemari kemudian tergesa melangk
Sejak tadi, aku tak bisa tenang dan begitu gugup. Nanti, kalau saat ML mas Rasya bersikap kasar bagaimana?Aku mondar-mandir di kamar dengan jantung yang terus berdetak kencang. Sesekali menatap Qila yang baru saja tidur di ranjangnya. Di dinding, jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Mas Rasya pasti sebentar lagi pulang. Ya ampuun, bagaimana caranya mengatasi gugup? Saat akan malam pertama dengan Mas Rofi dulu, rasanya tak segugup dan setakut ini.Aku terlonjak saat mendengar bunyi pintu dibuka. Aku langsung membaringkan tubuh di ranjang lalu memejamkan mata dengan dada bergemuruh. Bagaimana ini? Mas Rasya bakal kasar tidak nanti?Aku sungguh takut.Tegang.Juga gugup.Jantungku mengentak-entak kuat sekali, dadaku juga bergemuruh hebat. Keringat dingin terasa di leherku saat mendengar pintu kamar dibuka. Aku menahan napas.Hening.Deg. Deg. Deg. Aku begitu gugup."Pus."Sebaiknya, aku pura-pura tidur saja. Aku begitu tegang. Mungkin lebih baik besok saja melakukannya. Aku belum siap
Aku mengangguk mantap. "Aku dan Mas Rasya sangat romantis. Mas Rasya pasti akan sangat marah kalau lihat Mas Dewa menggodaku." Langsung kutepis tangannya yang hendak melingkar di bahuku lagi."Tapi Rasya selalu bilang, katanya kamu seperti anak kecil. Cingeng, membuat kepalanya terasa mau meledak."Mas Rasya benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia mengeluhkan semua tentangku pada temannya yang sangat menyebalkan ini?"Brooo!""Gaeees!" Aku langsung menatap ke sumber suara. Tampak lelaki berambut pirang dan berambut cepak berjalan kemari. Di belakang mereka, kulihat Mas Rasya menatap kemari dengan wajah terkejut."Sini, Gaees!" Mas Asep menggeser kursi lalu melambai pada Mas Rasya. Lelaki itu berjalan kemari sambil menatapku seperti harimau kelaparan. Ia duduk persis di hadapanku."Siapa yang sangka jika kreator sekaligus penulis komik itu adalah istrimu, Ras? Istrimu sungguh mengagumkan," kata Mas Dewa sambil menoleh ke arahku, tangannya melingkar di bahuku. Aku melihat reaksi Ma
"Mau ke mana kamu?!" Mas Rasya yang tengah duduk di sofa menyaksikan televisi langsung menelisik penampilanku saat aku lewat di sampingnya dengan Qila yang terlelap dalam gendongan. "Mau menemui lelaki bernama Adam?" Mas Rasya menatapku dengan pandangan menyelidik. "Aku kan sudah bilang pada Mas Rasya akan dapatkan satu lelaki yang lebih baik dari Mas Rasya di luar sana.""Jadi kamu mau selingkuh?" Ia menatapku kesal."Gak kok, Mas. Tenang aja. Selingkuh itu dosa. Nanti setelah kita cerai baru aku akan melakukannya."Ia menyentak napas. Lalu tangannya menekan tombol renote. Televisi langsung mati.Mas Rasya menatapku tajam. "Jangan main api!"Segera kubuka WA lalu menunjukkan pesan dari sederet nomer belum tersimpan."Ada yang mau adaptasi komikku jadi novel. Juga mau filemin cerita yang kubuat.""Awas saja kalau sampai bermain api lalu membuat bapak masuk rumah sakit."Tanpa mempedulikan ucapannya, aku melangkah cepat keluar rumah. Benar-benar menyebalkan si manusia harimau itu. He
Terdengar tangisan Qila. Bocah di sampingku langsung beranjak bangun dan menggendong Qila. Ia duduk di tepi ranjang lalu tertawa pada bocah yang tengah menangis itu."Cup, Sayang. Dedek kaget, yaa?"Qila tersenyum, lalu mulai menyusu. Sesekali anak kecil itu berhenti menyusu, bibirnya melekuk senyum lebar.Aku menghela napas. Sabar Rasya. Sabaaar. Kuurut-urut dada."Pok amee-amee, belalang terbang tinggi, kalau gede nanti, Dek Qila jadi pegawai negerii."Qila dalam pangkuannya yang menghadap Bocah itu, tertawa-tawa. Sementara Puspita mengusap sudut matanya."Pok amee-amee, belalang terbang rendaaah, kalau gede nanti, dek Qila jadi pegawai pemerintah."Ia kembali mengusap sudut matanya. Aku menyentak napas berkali-kali. Sabar, Rasyaa.Puspita menoleh padaku, menatapku lekat dengan mata berkaca-kaca. Qila dalam gendongannya di dekapnya erat. Tangan Qila memberontak mencoba melepaskan diri. Akhirnya ia dudukkan Qila di sampingnya, Qila langsung merangkak ke arahku. Aku mengulurkan tangan
POV RasyaDering HP membuatku perlahan membuka mata, memicingkan mata mencari sumber suara. Kuhela napas panjang saat melihat si Bocah tengah bersandar di dinding dengan rambut terurai berantakan, ia masih mengenakan pakaian tadi, matanya terkatup rapat. Satu tangan menggenggam HP yang menyala terang di pangkuan sementara satunya lagi terkulai di lantai.Aku kembali menyentak napas, berusaha tak menatap ke arah tubuhnya yang terlihat begitu menggoda. Aku memang membencinya tapi aku juga lelaki dewasa. Dasar bocah. Ish. Sepertinya, dia memang sengaja melakukannya. Tingkahnya terlalu nyata. Siapa yang tak tahu kalau sikapnya saja tampak begitu nyata? Mulai dari tiba-tiba mencium sampai mengenakan pakaian seperti itu.Aku yakin, dia bertingkah seperti tadi karena merindukan suaminya itu. Aku juga yakin dia juga pura-pura menelepon, tadi.Aku membuang napas. Membayangkan dia menciumku tapi yang dipikirkannya Rofi, membuatku kesal sendiri. Enak sekali mau jadikan orang pelarian."Pus, pin
Bibir Mas Rasya terasa lembut di bibirku, tubuhnya menegang. Dengan jantung mengentak-entak dan dada berdebar hebat, kubuka mata.Mas Rasya menatapku tajam seolah menembus jantungku. Kulepas pelukan lalu melangkah mundur."Maaf," ucapku lirih tanpa berani memandangnya. Ia pasti sedang sangat kesal saat ini. Tak seharusnya kutanggapi ucapan Susi dan Fitri. Mas Rasya pasti berpikir yang tidak-tidak.Cukup lama aku berdiri di hadapan Mas Rasya dan tak juga ada sahutan darinya. Hanya keheningan yang panjang. Jujur, aku merasa sangat malu. Akhirnya, kubalikkan badan lalu melangkah pelan keluar kamar."Mau ke mana kamu?" tanyanya datar."Dapur. Aku mau masak aku sejak tadi belum makan," sahutku gugup sambil menahan luapan rasa malu yang terus menerjang benak."Delivery saja. Aku juga belum makan.""Ada ayam di kulkas. Aku mau masak. Kalau Mas Rasya mau pesan ya pesan saja! Kok, repot!" Aku sendiri pun heran kenapa tiba-tiba begini marah. Mungkin, aku marah karena begitu malu. Ia sama sekal
"Ada apa dengan suamimu?" tanya Susi begitu Mas Rasya membalikkan badan dan melangkah pergi. Aku mengedikkan bahu. "Tau, deeh." Memang agak aneh sikap Mas Rasya sejak tadi aku pulang dari pasar. Mungkin, ia begitu tertekan dengan pekerjaannya."Harimaumu ganteng juga," ucap Fitri tanpa berhenti mengunyah."Iya, mirip Rofi kan?" Imbuh Susi, menatapku lalu ganti menatap Fitri yang terus mengunyah burgernya. Fitri mengedikkan bahu. "Mana kutahuu. Kalau Rofi, aku beberapa kali ngeliat pas anter Pus sama Adnan ke sekolah. Yang tadi siii gak pernah. Siapa sih, namanya? Kamu kebangetan deh, yaa, nikah gak undang-undang.""Mas Rasya. Terlihat galak kan diaa? Aku bagai hidup sekandang dengan harimau," sahutku sambil membenarkan posisi Qila dalam gendongan. Bocah bertubuh montok ini mulai memejamkan mata. Aku sedikit mengayunnya dengan lenganku. Bukannya tidak mau bilang pun mengundang mereka. Tapi pernikahan itu juga mendadak, hanya sebulan untuk mempersiapkan semuanya. Aku juga tak ada per
Pov RasyaAku mengerutkan kening melihat Bocah di sampingku yang memberikan HP dengan gerakan lelet seperti siput. Dengan wajah dihiasi keraguan. Ish. Apa sih. Seolah bakal kuterkam saja.Aku memicingkan sebelah mata, menatapnya tak sabar. Benar-benar lelet itu Bocah. Lagian kenapa juga pegang-pegang HP-ku segala.“Jangan pernah sentuh HP-ku lagi! Ngerti?” kataku sambil menyambar HP dalam genggamannya. Aku lagi-lagi memicingkan mata melihat wajahnya yang begitu tegang. Yaelah, biasa aja kali. Kusentak napas kuat lalu menyentuh HP-ku, mengernyit saat melihat ada puluhan notif. Biasanya, HP-ku tak pernah dipenuhi banyak notif. Hanya ada satu dua notif saat Ibu membuat status.“Mas Rasya, tolong jaga Qila ya, Mas. Aku mau ke pasar cari nasi uduk juga cari sayuran. Aku mau masak.”Aku mengerutkan kening, menatapnya tak percaya. “Memang bisa?” Tumben.“Bisaaa.”“Pakai bumbu instan?” kataku mengejek. Ia tak menanggapi, hanya langsung mengambil dompet di lemari kemudian tergesa melangk
Aku membuka mata sedikit saat mendengar tangisan kencang Qila. Lalu dengan gerakan perlahan beranjak bangun, mengulurkan tangan pada Qila yang terus menangis dalam posisi tengkurap. Terlihat dua bulir air mata di pipinya yang gembul.Aku mengendus. “Duuh, kamu pup, yaa? Puantes anak bunda nangis terus.”Kubawa Qila ke ruang tengah di mana Mas Rasya tengah duduk di sofa menonton acara sepak bola. Aku mengambil tisu basah dari tas bedak di laci dekat televisi lalu memasukkan pempes ke dalam plastik. Jarum jam telah menujukkan 02;30.“Tidak dicebokin?”Aku menoleh. Mas Rasya menatapku dengan kening berkerut.“Ini tisu basah sama saja, Mas.”“Memang bersih?” Ia memicingkan sebelah matanya.“Bersih.”“Harusnya dicebokin. Qila kan bukan bayi satu bulan lagi.”Kucueki saja. Kalau urusan masak memang aku tidak bisa, tapi kalau soal anak, bisalah. Ketika Adnan masih bayi lebih seringnya aku yang mengurus bukannya si baby sitter yang dikerjakan Ibu. Doaku waktu itu, siapa tahu dengan rajin meng