"Aaaaa saakiiiiitt!" rintih Amilie sembari memegangi bagian perut yang terasa sakit.Dokter yang ada di sana pun berusaha menenangkan. "Iya, saya tahu ini sakit. Biar saya periksa ya, Bu," ucap Dokter itu dengan nada lembut.Lalu, dokter itu pun mengeluarkan barangnya dan kemudian menggunakannya."Dok, tolong bayi yang ada di dalam kandungan saya. Saya tidak mau terjadi sesuatu kepadanya," kata Amilie."Iya, saya akan mencoba melakukan yang terbaik sebisa saya. Harap tenang ya, Bu."Lantas, dokter itu pun memerintahkan sesuatu kepada perawat yang ada di sampingnya."Tolong kamu bantu saya ambilkan semua peralatan penting yang ada di ruangan saya!" pinta dokter itu kepada perawatnya.Dengan sopan, perawat itu mengangguk seraya menyahut perkataannya. "Baik, dok. Segera saya ambilkan untuk Anda," katanya, lalu pergi meninggalkan ruangan itu.Ditemani dengan dokter itu, Amilie terus merintih kesakitan. Tak berapa lama kemudian, perawat itu kembali dengan membawa barang-barang yang dipe
"Aku tidak boleh melewatkan waktu yang berharga ini karena mungkin esok hari aku akan sibuk. Lagi pula, aku harus memastikan semuanya, bahwa yang dikatakan oleh Tante Ros itu memang benar adanya," ucap Amanda sembari mengemudi.Tangannya meraih secarik kertas itu dan membaca kembali alamat yang tertera dalam karta tersebut. Ia melihat ke samping dan melihat nomor rumah yang terpasang di depan sebuah pagar rumah."Sepertinya memang ini alamat rumahnya. Tidak mungkin Om San salah memberikanku alamat."Amanda pun menghentikan mobilnya. Ia membuka pintu mobil itu untuk kemudian keluar.Walaupun rasa sakit masih terasa, tetapi itu tidak menjadi halangan baginya untuk tidak menemukan jawaban dari rasa penasarannya tersebut."Kalau mereka memang bersama, artinya mereka pun pasti bersama jika sedang ada di rumah ini."Perlahan, Amanda memandangi rumah. Satu persatu sudutnya ia lihat."Rumahnya tidak terlalu besar. Kenapa dia mau tinggal di tempat semacam ini? Padahal, rumahnya jauh lebih enak
Langkah kakinya kembali berlanjut. Entah kenapa ia melangkah ke arah sana. Perasaannya membawanya pada sebuah luar ruangan yang tak begitu jauh dari ruangan sebelumnya."Aaarghhh!" rintih Amilie. "Semoga bisa berjalan dari sini, Theo pasti mencariku," ucapnya.Satu rintihan sebelumnya ternyata sampai terdengar ke telinga Theo yang baru saja melewati ruangan itu. Kakinya langsung berhenti dengan kepala yang ikut menoleh ke jendela. Jendela ruangan yang terbuka, membuat dirinya melihat sosok wanita yang sepertinya ia kenal. Kedua alisnya saling bertautan. "Amilie," gumamnya.Perlahan, ia membuka pintu ruangan itu dan langsung masuk ke dalamnya.Dokter yang melihat Theo masuk ke dalam sana pun langsung mengikuti. "Amilie?" ujarnya saat melihat sosok Amilie yang kini ada di hadapannya tersebut.Amilie mengangkat wajahnya, melihat suaminya yang tiba-tiba ada di sana. "Bagaimana mungkin kamu bisa menemukan aku di sini?" ucapnya.Theo mendekat dan terus melangkah untuk menghampiri Amilie.
Dengan wajah malas, Amilie hanya terdiam. Sebab, dirinya pun menyimpan sedikit kekesalan dalam benaknya tersebut."Aku mau pulang, Mas. Aku sudah tidak betah berada di sini. Emmhh! Di sini bau obat!" umpatnya sembari menutup hidung dengan jarinya."Tunggu saja sampai beberapa hari. Lagi pula, di rumah pun sama saja. Kamu hanya diam dan tidak melakukan apapun," balas Theo. Nada bicaranya langsung berubah, tidak semanis sebelumnya."Ya sudah, kalau begitu kamu pulang saja ke rumah. Apalagi aku tahu, kamu pasti banyak pekerjaan sekarang-sekarang ini," kata Amilie.Theo tidak menyahut, ia hanya menoleh sebentar dan kemudian duduk di sofa."Eh, aku mau keluar sebentar. Nanti kembali lagi," ujar Theo berpamitan.Setelah meminta izin kepada Amilie, ia pun melangkah keluar dari ruang rawat inap itu. Dirinya terus fokus melangkah.Amilie yang tidak tahu suaminya akan pergi ke mana, membuatnya langsung mengomel dalam hati."Baru saja aku bilang buat pulang, dia malah pergi. Ah ... Ya sudahlah,
"Sayang, kamu lapar, ya? Sini, aku bawakan makanan yang enak untukmu. Makanan kesukaanmu~!" ucap Theo tiba-tiba datang dengan membawa plastik putih yang tampaknya ada dua box makanan. Aromanya belum sampai ke hidung. Tetapi, Amilie melihatnya dengan antusias seolah sudah tahu apa yang dibawa oleh suaminya itu."Mas, kamu bawa makanan? Jadi, tadi itu ..." "Iya, aku pergi untuk membeli makanan. Kebetulan, aku juga belum makan dari tadi pagi. Jadi, aku beli saja sekalian sama kamu," lanjutnya.Amilie mendekat. Tetapi, Theo melarang. "Kamu cukup duduk cantik saja di kursi, biar aku yang menyiapkan semuanya untuk kamu," kata Theo.Begitu baiknya Theo pada Amilie. Amilie kembali memandang kagum suaminya. Walau dirinya masih berpikir apakah pernikahan ini akan bertahan lama. Sedangkan saja, sebelumnya niat Theo menikahinya hanya agar Stephen menyesal dan menyelamatkan dirinya dari bunuh diri. "Aku tidak menyangka kalau dia sampai memikirkan hal seperti ini. Aku pikir ... Ah, ternyata dia
"Kamu begitu yakin sekali, padahal kamu tidak melihatnya secara langsung," ledek Theo sembari mengaduk-aduk nasi yang diatasnya ada sambal goreng kecombrang. "Tapi aku mendengarnya tadi!" balas Amilie sembari membuka box nasi. Pertama kali dibuka, wanginya sudah mulai tercium dan menusuk hingga ke hidung. Wangi bawang goreng dan ayam pedas begitu menggugah lidah."Mas, kamu beli ini di mana? Wanginya sangat enak dan ... eeemhhh ..."Amilie mencium aromanya dengan mata terpejam, merasakan aroma yang begitu nikmat di hidung dan lidah."Sudah makan, sana. Aku tahu kamu lapar, mumpung tidak ada siapa-siapa," celetuk Theo sembari menyuap satu sendok. "Eh ada Stephen!" ujar Amilie sembari menoleh ke arah pintu.UHUUUK-UHUUUK! Theo langsung tersedak. Ia mencari air yang ada di dekatnya. Amilie yang melihat hal itu pun malah tertawa cekikikan.Ia menoleh ke arah istrinya yang malah menertawainya itu. "Omonganku malah kamu anggap serius, jadinya malah tersedak, 'kan!""Cepat ambilkan aku
"Iya, Mas."Lalu, Amilie melanjutkan makan kembali. Karena lapar, ia menyantap semua makanan dalam box itu dengan lahap. Bahkan, sayuran selada yang biasanya ia abaikan, untuk kali ini ia telan habis.Seusai makan, Amilie pun membereskan semuanya. Tetapi, Theo menghentikan tangan Amilie yang tengah beres-beres."Kamu diam saja, biar aku yang melakukannya.""Tidak usah, Mas. Aku juga sudah bisa banyak bergerak.""Tidak boleh! Aku tidak mau melihatmu begitu."Keduanya terus saja begitu sampai ponsel berdering. Perdebatan itu pun antara terjeda dan berhenti. Keduanya saling menatap satu sama lain.Theo mengambil ponsel miliknya, ia melihatnya sebentar dan mematikannya.Sanjaya yang kini berada di kantor pun menjadi kesal. Ia kembali menghubungi anak pertamanya, tetapi tak lagi dijawab."Heh! Anak itu benar-benar ...!"Lantas, Sanjaya pun menghubungi Stephen. Saat itu, Stephen baru meluncur pergi ke kantor. Karena, beberapa hari ini ia selalu keluar kantor sebelum semua pekerjaannya se
"Mungkin saja 'kan, Pa. Emm ... Ya sudah, kalau begitu aku permisi," ucap Stephen sembari bergegas pergi.Tetapi, kemudian Sanjaya menahannya. "Kamu mau pergi ke mana lagi? Kerjaan di kantor masih banyak!""M-mmaksudnya mau pergi ke ruangan aku, Pa. Gitu. Boleh 'kan, Pa?" "Tidak boleh. Kamu di sini dulu, Papa belum selesai bicara sama kamu!""Iya, Pa."Stephen pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menemui dokter itu. Tetapi, di samping itu ia juga merasa pusing dengan pekerjaan yang ada di kantor ini.Seeettt! Tap ... Tap ... Tap ..."Sepertinya aku mendengar suara orang lewat," gumam Stephen. Lalu, menoleh ke arah pintu.Sanjaya pun mendengarnya. Ia bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu. Namun, setelah ia membukanya ... Ternyata tidak ada siapapun di sana."Pa, Papa juga dengar suara langkah kaki?" tanya Stephen."Benar. Mungkin karyawan yang lewat," sahutnya.Kemudian, Sanjaya kembali duduk di kursi untuk melanjutkan obrolan yang tadi.*** Di tempat lain, Amanda yang