Saat ini Alvin sedang membaca koran di ruang keluarga bersama istrinya yang juga sibuk membaca majalah. Sedangkan Lauren dan Lhinzy tak berada di rumah. Berhubung hari minggu, mereka lagi pergi main ke rumah Restu.
Pada saat itu, ponsel Kim yang berada di atas meja bordering, pertanda ada sebuah pesan masuk. Ia segera menyambar dan membaca pesan itu. Seketika wajahnya langsung memperlihatkan mimik kaget.
"Ada apa?” tanya Alvin.
"Ceryl, dia kecelakaan. Dan sekarang lagi di Rumah Sakit,” jelas Kim dengan wajah panik.
"Kita kesana sekarang,” ajak Alvin.
Jadilah, keduanya menuju Rumah sakit untuk mengecek keadaannya Ceryl. Mereka sangat khawatir, terlebih lagi Kim. Karna ia sudah dekat dengan Ceryl layaknya seorang Ibu dan putrinya.
"Gimana keadaannya?" tanya Kim pada Hani dan Dylan yang saat itu berada di ruang tunggu .
"Belum ada informasi, Kim ... dokter masih memeriksa,” jawab Hani yang terlihat sekali raut kec
Setelah mengantarkan Dira dan Leo pulang, Arland berniat mengantarkan Kiran. Tapi gadis itu malah minta ikut dengannya ke rumah sakit untuk melihat kondisi Ceryl.Sebenarnya Kiran merasa tak enak untuk datang bersama Arland. Karena mungkin saja kedatangannya malah membuat Ceryl tak nyaman. Tapi jujur, ia hanya ingin tahu keadaan Ceryl. Itu saja.Setelah mendapatkan informasi dimana keberadaan ruangan Ceryl dari seorang suster, mereka berdua langsung menuju kesana. Dan ternyata di sana sudah ada Alvin dan Kim. Begitu juga dengan orang tua Ceryl."Arland, Kiran ... kalian kok disini. Bukannya masih di villa,” ujar Alvin."Kita langsung balik waktu denger kalau Ceryl kecelakaan, Om." Kiran yang menjawab."Diem! Gue nggak pingin lo ada disini,” geram Ceryl bahkan sampai membentak Kiran.Kiran tersenyum dan mengangguk. "Maaf, aku hanya ingin tahu kondisimu. Kalau gitu aku permisi dulu,” pamit Kiran hendak keluar dari ruangan itu
"Kiran, ada makanan yang menempel di sudut di bibirmu," ujar Arland sambil menyodorkan sebuah sapu tangan dari sakunya.Kiran cuman bisa bengong memandangi sapu tangan itu. Apa yang ia harapkan barusan? Arland hanya menyodorkan sebuah sapu tangan. Oh, ayolah Kiran ... jangan memikirkan yang tidak tidak."Oh, makasih," ucapnya menerima sapu tangan yang disodorkan Arland, kemudian segera mengelap bibirnya.Apa Arland tak bisa sedikit bersikap romantis? Harusnya dia membantu mengelap bibirnya seperti di film-film. Astaga! Kiran. Sadarlah! Ini dunia nyata, bukan film. Jadi, jangan berharap lebih. Apalagi Arland, cowok itu bukan salah satu dari deretan cowok yang memiliki sikap romantis."Kenapa?" tanya Arland menatap ke arah Kiran yang bengong sambil terus mengaduk-aduk minumannya."Ah, tidak,” elaknya."Ki ... apa kamu bahagia bersamaku?" tanya Arland menunjukkan keseriusan dalam pertanyaan yang ia lontarkan
Kiran menyadari kalau sikapnya pada Arland tadi sangatlah berlebihan. Tapi ya mau gimana lagi. Iacemburu! Tahu cemburu, kan? Bagi yang jomblo pasti nggak tahu gimana rasanya.Haruskah ia menghubungi Arland untuk meminta maaf atas sikap judesnya tadi? Tidak, ini bukan salahnya. Justru ini adalah kesalahan Arland yang sudah membuatnya cemburu. Tapi sungguh, ia tak tahan harus berlama-lama ngambek sama Arland.Apa yang akan ia katakan pada Arland? Minta maaf, begitukah? Atas apa? Jelas-jelas ini bukanlah kesalahannya.Merebahkan badannya di kasur, kemudian menutupi wajahnya dengan bantal."Arland, maafkan aku. Habisnya kamu sangat menyebalkan. Aku jadi tak tahan ingin berkata judes padamu. Tapi sungguh, aku cemburu karena aku benar-benar mencintaimu,” ujar Kiran bicara sendiri di kamarnya.Setelah berpikir panjang, sepanjang rasa cintanya pada Arland, akhirnya Kiran memutuskan untuk menghubungi laki-laki yang sudah beberapa
Saat ini Kiran baru sampai di parkiran area Apartment Arland. Entah kenapa, perasaannya malah tak enak tentang Arland. Ia takut terjadi sesuatu pada kekasihnya itu. Apalagi setelah Tristan juga mengatakansepertinya Arland tak baik-baik saja.Dari situ ia menjadi tambah khawatir .Sesampainya di depan pintu Apartment milik Arland, Kiran segera memencet bel, tapi nihil. Entah sudah kali keberapa ia lakukan itu, tetap saja tak ada respon oleh Arland dari dalam."Arland, kamu kenapa, sih? Jangan bikin aku panik gini dong!" Kiran sampe gregetan sendiri di depan pintu .Ia yakin Arland ada di dalam. Soalnya Satpam di bawah juga mengatakan Arland ada dan ia juga melihat keberadaan mobilnya Arland di parkiran."Haruskah pintu ini aku dobrak? Kenapa tidak, kalau memang itu yang terbaik."Kiran sudah bersiap mengambil posisi untuk mendobrak pintu. Resikonya hanya dua. Pintu yang hancur atau badannya yang berasa remuk. Tapi ia lebih memili
Kiran saat ini berada di kampus. Tapi, pikirannya malah tak fokus. Ia terus memikirkan keadaan Arland."Ki, lo kenapa, sih? Dari tadi gue liatin, bengong mulu," Dira menghampiri Kiran yang duduk di sebuah kursi taman kampus.''Gue lagi mikirin Arland. Dia lagi sakit.""Oo, gitu. Kalau lo penasaran kenapa nggak disamperin aja. Sebelum lo bener-bener bakal mati penasaran,'' ujar Dira memberi saran."Iya, tapi gue masih ada kelas.”Pada saat itu ponsel Kiran tiba-tiba berdering. Ia mengarahkan pandangannya pada Dira yang berada di sampingnya sambil berucap, "Dari Arland.""Ya dijawab lah, Ki. Masa cuman lo pelototin doang tu ponsel," geram Dira. Kenapa Kiran tiba-tiba jadi bego?"Hallo,""Aku udah didepan kampus, kita jalan, ya.”"Jalan? Tapi ..."Ucapan Kiran terhenti saat Dira memberinya kode agar ia menyetujui. "Iya, aku kesana sekaran
"Jadi, dia mutusin Kiran karena sakit?" tanya Ceryl yang sedang bersama dengan Tristan.Tristan mengangguk, kemudian menyeruput minumannya dan kembali berfokus pada gadis yang ada dihadapannya. "Tadi aja aku liat wajahnya pucat banget dan tiba-tiba dia langsung drop.""Benarkah? Trus, gimana keadaannya sekarang? Apa udah baik-baik aja?" tanya Ceryl dengan raut wajah penuh kekhawatiran.Melihat ekspresi Ceryl yang tampak sangat mengkhawatirkan Arland, tentu saja Tristan merasa sedikit cemburu. Tapi, ia sadar. Nama Arland sudah lebih dulu berada di hati Ceryl.Ceryl tiba-tiba menyadari kalau rasa dan ekspressi khawatirnya akan Arland terlalu berlebihan. Apalagi saat bersama Tristan. "Maaf, aku bukan bermaksud ...""Tidak apa-apa," sanggah Tristan.Akhirnya keduanya pun menikmati makan malam dalam suasana yang sedikit hambar. Jus strawbery yang biasanya manis aja, brasa kecut. Dan Ceryl bsa merasakan itu semua dari raut wajah Tristan."T
Kiran saat ini sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Dan benar sekali, sampai detik inipun ia tak bisa melupakan Arland. Walaupun ia sadari kalau hubungannya baru beberapa saat, tapi sosok Arland memang tak bisa dihilangkan dari hidupnya begitu saja.Kiran berdecak. "Gila! Sampai-sampai orang lainpun gue liat berubah jadi dia," ucapnya ketika pandangannya tertuju pada seorang cowok yang berada di taman tepian jalan saat lampu merah menyala.Tapi, pandangannya tak bisa lepas dari sosok itu. Apa ia sudah mulai gila?Kiran melajukan mobilnya saat lampu merah sudah berganti hijau, kemudian berhenti di pinggir jalan. Menggosok kedua matanya dengan tangan. Berharap penglihatannya kembali pulih.Sekali lagi ia mencoba mengarahkan pandangannya ke arah lain. Dan ujung-ujungnya matanya kembali mengarah pada cowok itu."Apa itu benar-benar kamu,” gumamnya lirih.Kiran mulai tak tenang. Ia segera turun dari mobil untuk memas
Hari ini ia ada kelas hingga jam 5 sore. Sungguh melelahkan. Berharap bisa secepatnya menyelesaikan status mahasiswinya di tahun ini. Jadi, ia bisa mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya."Ki, gimana masalah lo sama Arland?" tanya Dira.“Kita udah baikan, kok,""Syukurlah. Tapi, kemaren kenapa sih dia mutusin elo? Lo nggak nanya, gitu?""Nggak. Gue nggak nanya. Kalau saatnya udah tepat, mau nggak mau dia pasti bicara sama gue."Dira manggut-manggut pertanda paham."Ra, jujur aja gue beneran takut kalau dia kenapa-kenapa.”"Coba deh, lo tanya sama temen-temennya. Siapa tau mereka tahu lebih banyak. Sepertinya, dia lebih terbuka sama teman-temannya dari pada orang tuanya," jelas Dira memberikan sarannya."Tristan dan Pak Leo," pikir Kiran.Senyuman girang terukir di bibir Dira saat nama Leo disebut. “Kalau lo mau ketemu sama Pak Leo, gue temenin.”“Sayangnya gue memilih un
Kiran selesai menyiapkan sarapan. Berniat memanggil Ziel, ternyata anak itu sudah datang duluan.Arland meletakkan ponselnya di meja, saat anaknya itu datang. Setidaknya ia harus menghentikan kebiasaan ini jika di rumah.“Zi, nanti pulang sekolah Papa yang jemput, ya,” ujar Kiran menatap serius pada Ziel yang sedang menikmati nasi goreng kesukaannya. Tak ada suara, melainkan hanya anggukan yang ia terima dari bocah itu.Tenang. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terkadang bersenggolan dengan piring. Jadi, mau berkilah seperti apalagi, saat dua cowok ini memiliki sikap dan sifat yang sama.Selesai makan, Ziel turun dari kursinya. Begitupun dengan Arland. Keduanya bersiap untuk berangkat.“Belajar yang pintar, ya,” pesan Kiran pada Ziel.“Iya, Ma ... aku sekolah dulu,” pamitnya sambil mencium punggung tangan Kiran.“Papanya nggak dikasih pesan apa apa, gitu?” tanya Arland berkomen
Ziel terbangun dari tidurnya, membuka mata dan mendapati Kiran masih setia di sampingnya. Ia tersenyum, saat apa yang diharapkannya terkabul. Ya, wanita yang rasanya benar-benar dekat dengannya kini, tak meninggalkannya.“Sudah bangun,” ujar Kiran membelai lembut wajah itu.Ziel mengangguk. “Mama nggak meninggalkanku. Aku senang,” ucapnya.“Ziel, apa kamu benar mau tetap di sini denganku?”Ziel mengangguk cepat.“Kenapa?”“Aku nggak punya mama sama papa lagi. Aku juga nggak punya siapapun lagi. Percuma warisan banyak, tapi aku sendirian. Boleh, kan ... aku numpang hidup sama Mama? Aku janji akan jadi anak baik dan pintar. Aku janji akan jadi anak yang berbakti dan bersikap seperti pada orang tuaku sendiri.&rdquo
Sekarang Kiran, Arland bersama pihak berwajib begitupun beberapa dokter baru saja menemukan hal yang mengejutkan. Apalagi setelah dilakukannya visum pada Ziel dan beberapa test dari psikolog anak.“Aku benar-benar nggak percaya dengan semua ini,” gumam Kiran berpikir. “Membunuh orang tuanya dan beralibi kalau mereka bunuh diri. Kemudian menyiksa dia hingga luka fisik dan mental. Bersyukur banget aku om dan tantenya itu hangus kebakar sama mobil. Jadi nggak menuh-menuhin sel dan buang buang jatah makanan buat mereka. Dan selanjutnya bagaimana kehidupan dia, ya? Bukankah hanya tinggal sebatang kara.”Arland tak menanggapi perkataan istrinya. Ia seolah fokus pada makanannya.“Land! Kamu dengar aku nggak, sih?” Kiran malah kesal saat Arland tak merespon perkataannya dan asik makan begitu saja.“Maaf, Ki ... aku benar-benar lapar. Perutku sakit karena belum makan dari tadi pagi,” ungkapnya dengan ta
Kiran berada di rumah sakit. Tak hanya sendiri, ada Arland yang berada di sisinya. Karena di perjalanan tadi ia segera menghubungi suaminya itu.“Dia nggak kenapa-kenapa, kan?”Arland menarik Kiran ke pelukannya, saat ia rasakan kesedihan dan ketakut terlihat jelas di dalam diri istrinya itu. “Kamu tenang aja, Bukankah dokter bilang dia hanya shock.”Kiran mengangguk. “Iya, hanya sedikit luka di dahi dan lengannya.”Tak lama, pintu ruang UGD dibuka dari arah dalam. Menampakkan sesosok dokter. Kiran melepaskan diri dari pelukan Arland dan langsung menghampiri dokter.“Gimana keadaannya dokter?”Arland mengikuti langkah Kiran.“Anda tenang saja, dia tak apa apa. Hanya beberapa luka kecil. Hanya saja ...”“Ada apa?” Giliran Arland
Pernikahan sebenarnya yang paling penting adalah kenyamanan. Mau miskin ataupun kaya, tetap saja saat nyaman, semua terasa indah. Bahkan saat dokter sudah memprediksi kalau ia dan Arland tak akan memiliki keturunan, tetap saja hidupnya terasa tenang. Bahkan di usia pernikahan yang menginjak satu tahun.Menjadi seorang istri yang kasih sayang suami hanya miliknya, apalagi yang membuatnya tak nyaman dan tenang? Meskipun orang-orang mungkin akan mempermasalahkan tentang keturunan, tetap saja ia tak ambil pusing.“Hari ini pulang jam berapa?” tanya Kiran.Arland tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan istrinya itu. Bahkan pemikirannya seolah melayang jauh ke luar angkasa.Sebuah sentuhan di wajahnya, membuat ia tersentak dan mengarahkan pandangan pada sosok yang ternyata sudah duduk di sampingnya.“Kamu kenapa?”Arland lagi-lagi hanya diam seribu bahasa.“Kamu memintaku menceritakan semua permasalahan yang k
Arland akan segera kembali ke apartment, tapi tiba-tiba Jeremy menghentikan langkahnya di pintu keluar kantornya."Lo ngapain kesini?""Tau nggak, si Dosen ada dimana?""Harusnya kalau mau nyari Leo itu di kampus atau di rumahnya," balas Arland."Udah gue cari, tapi nggak ketemu. Lagian sekarang hari Minggu, dia nggak ada jadwal ngajar. Cek di rumah juga nggak ada," terang Jeremy"Coba telepon," saran Arland."Itu cara pertama yang gue lakuin sebelum nyariin dia. Nomernya aja kagak aktif.""Ck, gue juga bingung kalo gitu. Coba tanya yang lain dulu. Soalnya gue mau ke rumah nyokap.""Ya udah, gue tanya yang lain.""Gue duluan, ya."Arland meninggalkan Jeremy yang bingung mau mencari dimana keberadaan Leo. Bukannya apa-apa. Tapi, saat ini ia sangat butuh sama Leo. Sebenarnya bukan butuh sama Leo, sih. Lebih tepatnya sama tanda tangannya. Ganteng-ganteng gini, otaknya masih 1/4. Tiap tahun nyariin tanda tangan dosen,
Alvin baru saja pulang dari kantor dan ia segera menghampiri Kim yang berada di ruang keluarga."Lauren, Lhinzy, kalian ke kamar dulu, ya. Papa mau bicara sama Mama," pinta Alvin pada si kembar yang saat itu bersama Kim."Iya, Pa," jawab mereka serempak dan segera menuju kamar."Mau ngomong apa?" tanya Kim."Aku benar-benar nggak nyangka sama kamu, Kim!"Alvin bicara dengan penuh emosi. Wajah dan matanya langsung memerah menahan amarahnya."Apa, sih, baru pulang langsung marah-marah," balas Kim."Kenapa kamu menekan Kiran untuk berpisah dengan Arland? Kamu sudah kelewatan dengan merusak kebahagiaan anakmu sendiri!""Aku nggak bisa melupakan itu!""Baiklah kalau gitu. Aku juga akan memberikanmu pilihan. Kalau kamu terus berniat melakukan itu, aku juga akan memberikan surat perceraian untukmu!"Ancaman Alvin sukses membuat Kim shock. Ia tak menyangka Alvin akan mengatakan itu."Mengancam ku dengan mengorbanka
Malam ini harusnya Dira sudah berada di Mall untuk shooping. Tapi semuanya gagal total gara-gara tugas segunung yang diberikan Leo padanya. Satu pertanyaan saja itu sudah membuat separo otaknya kesemutan. Apalagi puluhan pertanyaan. Bisa dijamin, otaknya tak akan beres lagi.Harusnya Leo mengajaknya dinner atau kencan gitu, ini kan malam Minggu. Bukan memberinya tugas seperti ini."Sepertinya gue akan gila, trus mati dengan sangat menyedihkan," gumam Dira sambil menggetok-getok kepalanya dengan pulpen. "Azab seorang gadis yang tergila-gila dengan dosennya, mayatnya ditemukan tak bernapas di tumpukan buku," tambahnya lagi dengan tampang yang menyedihkan.Dari kalimat itu saja dia seperti sudah gila. Mana ada mayat yang masih bernapas. Itu sama saja dengan manusia, tapi tak bernapas."Non Dira!" teriak seorang asisten rumah tangganya sambil menggedor-gedor pintu kamarnya."Apaan, Bik!" Jawab Dira dari dalam kamar tanpa berniat membukakan pintu.
"Bisakah kamu tak berpakaian seperti ini lagi," ujar Leo menyambar Sweater miliknya dan mengenakannya pada Dira."Heh?""Kamu ke kampus, bukan kepesta."Kalau ia tak mencintai Leo, kalau ia tak tergila-gila pada Leo, dan kalau Leo tak ganteng tingkat dewa. Ia pastikan, sepatunya akan mendarat tepat di kepala Leo tanpa memandang kalau Leo adalah dosennya. Padahal pikirannya sudah kemana-mana. Ternyata Leo malah mengomentari pakaiannya yang memang terlalu terbuka untuk status mahasiswi."Tolong jaga diri kamu, sampai saya punya kewajiban menjaga kamu," jelas Leo. "Sebentar lagi," tambahnya."Sebentar lagi? Jangan bilang kalau Bapak berniat mau nikahin saya?" Entah itu sebuah pertanyaan ataukah sebuah tebakan. Ia yang awalnya duduk di pangkuan Leo, langsung berdiri saking syoknya."Tentu saja. Saya serius dengan hubungan ini!" tegas Leo membenarkan tebakan Dira.Apa yang terjadi pada Dira? Jangan ditanya lagi. Tadi ia ingin melempar Leo