Kiran yang menerima sebuah ciuman di bibirnya dari Arland, sampai mencengkeran pinggiran kemejanya karena shock. Seolah waktu dan napasnya ikut terhenti saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Arland.
Berharap ini semua tak terjadi, tapi apa? Arland malah benar-benar melakukan tantangan yang diberikan Ceryl. Berniat mengakhiri adegan ini, tapi Arland malah menahannya untuk tetap lanjut. Benar-benar ... apa yang dilakukan cowok ini di luar pemikirannya.
Semua yang menyaksikan adegan itu terdiam dan terpana. Lebih tepatnya mereka semua kaget karna Arland benar-benar melakukan itu. Terlebih para sahabatnya.
"Kakak jahat!” pekik Ceryl. “Dan aku membenci kalian berdua!” sambil menunjuk Kiran dan Arland bergantian.
Sontak, suara melengking Ceryl membuat Arland langsung mengakhiri semua itu. Ada yang aneh dengan perasaannya. Kenapa ia bisa melakukan ini semua. Berniat hanya memberikan bukti pada Ceryl, tapi entah kenapa saat bersentuhan, membuat
"Parah, lo bener-bener nyium Kiran.""Tris, lo udah bilang itu ke gue berkali-kali,” balas Arland sedikit kesal."Habisnya gue nggak nyangka kalo lo bakal lakuin itu, Land ... gue shock. Apa jangan-jangan lo beneran suka sama Kiran?" Tristan mencoba menebak, meskipun tebakannya cuman sekedar tebakan."Heh!”Tristan bersidekap dada dihadapan Arland. “Land, lo nyentuh cewek aja ogah-ogahan. Dan sekarang sama Kiran, lo kayaknya iklas-iklas aja bersentuhan sama dia. Dan ciuman dong.”"Dia cuman pacar bohongan, jadi gue mesti total dong ngikutin permainan itu.""L
"Kiran!”Panggilan itu membuatnya menghentikan langkah yang saat itu sedang berjalan di lorong kampus.Seorang gadis dengan sedikit berlari menghampirinya dan sampai dengan napas yang ngos-ngos’an.“Capek gue lari-lari,” ungkapnya dengan naps sesak.“Dih, siapa suruh lari-lari, sih,” ledek Kiran.Saat berjalan menuju kelas, Kiran hanya diam. Seolah-olah ada masalah besar yang tengah dia pikirkan dan Dira bisa merasakan itu."Lo kenapa, sih ... ada masalah samapacar bohonganlo yang ganteng, tajir, dan berstatus dokter itu?” tanya Dira dengan penjelasan panjang sosok Arland."Apaan, sih, RA. Lo nggak percaya, ya, sama omongan gue tentang tu cowok?"Padahal ia sudah menjelaskan sosok dan bentukan Arland secara detail dan kejujuran penuh, tapi sobatnya ini seolah tak percaya."Kan gue belum pernah ketemu,” komentar Dira."Ntar, kalo lo ketemu ... gue
“Dan harus lo tahu, kalau Kiran adalah cewek gue!” Perkataannya ditujukan pada Dinda.Kiran kaget dengan pernyataan Arland. Kemudian dengan paksa melepaskan rengkuhan cowok itu yang seenaknya melingkar di badannya."What!!'' Efek kaget Dira."Jangan bercanda!” Dinda tak terima.“Amazone,” respon Dira dengan pernyataan dadakan Arland."Inget, kan ... kalau kita cumanpacar bohongan. Dan saat ini juga semuanya sudah berakhir,dokter," ingatkan Kiran pada Arland dengan sedikit berbisik."Itu menurutmu, bukan menurutku,"bantah Arland."Kenapa begitu ... aku punya hak untuk mengakhiri permainan ini," geram Kiran atas jawaban Arland."Aku juga punya hak untuk terus melanjutkannya. Jadi, diamlah.’' Kekeuh Arland tak mau kalah."Land ... bisa nggak lo lepasin Kiran. Gue eneg liatnya!" Kesal Dinda tak suka menyaksikan Arland yang masih merangk
Setelah menyelesaikan tugasnya di Rumah sakit, Arland saat ini baru saja sampai di kediaman orang tuanya. Karna sudah beberapa hari ia berada di Apartment disebabkan percekcok'an antara ia dan Mamanya."Kakak!" heboh Lauren dan Lhinzy menyambytnya.“Apa kabar kalian?” tanyanya pada kedua adiknya."Kakak kenapa, sih, nginep di apartment terus. Nggak pernah ngajak kita jalan lagi,” komentar Lauren dengan nada kesal."Maaf, ya ... soalnya Kakak lagi banyak kerjaan,” jelasnya."Ya ... kami mengerti, dokter,” respon kedua berbarengan."Makan dulu, Land," ujar mamanya bersikap yang seolah-olah tak terjadi apa-apa. Oke, mungkin juga mama nya sudah melupakan permasalahan yang terjadi."Nggak, Ma ... soalnya aku ada janji makan di luar,” tolaknya berniat menuju kamarnya."Bentar lagi Tante Hani, Om Dylan sama Ceryl mau kesini. Kita makan malam bareng.”Langkah Arland terhent
Kiran yang bingung harus melakukan apa, kemudian mencoba menghubungi Tristan. Sejujurnya, ia bukan bingung harus apa, tapi ia tak mau melakukannya. Jelas saja kalau Arland kondisinya menurun, dia masih dalam keadaan basah kuyup. Karna pakaiannya belum diganti. Itulah inti masalahnya dan Kiran tak sanggup kalau harus melakukan itu.Sudah berulang kali ia meneleponn Tristan, tapi panggilannya sama sekali tak direspon. Apa dia sudah tidur? Tapi tak mungkin juga. Cowok, jam tidurnya biasanya kan sering larut malam."Tristan kemana, sih ... gak tahu orang lagi butuh bantuan apa,” dumel Kiran melempar ponselnya di kasur dan menuju ke dapur."Tetep saja, kalau pakaiannya basah gini kondisinya nggak akan baik," pikirnya.Mengganti pakaian dia adalah cara yang paling tepat. Tapi masalahnya matanya belum siap untuk melihat tubuh cowok dalam keadaan tanpa pakaian. Dan tangannya juga belum siap untuk menyentuh tubuh cowok. Mondar-mandir sabi
"Kenapa?” tanya Arland."Dira ... Dira kesini,” hebohnya."Trus?” Masih memasang wajah santai."Trus, trus ... ya kamu ngumpet lah. Gila aja kalau dia ngeliat kamu di sini dengan keadaan kaya gini. Pemikirannya kan rada-rada nggak beres."Kiran memaksa Arland untuk masuk ke kamarnya. "Itu, pakaian'mu mungkin udah kering,” tunjuknya ke arah jeans dan kemeja yang ada di kasur. "Dan jangan berisik,” tambahnya segera keluar dan mengunci pintu kamar."Hoh ... semoga nggak ketahuan,” harapnya."Kiran!!”Teriakan itu diiringi ketukan pintu."Iya!” sahut Kiran segera membuka pintu. Tentunya dengan wajah yang ia ciptakan dengan serileks mungkin.Pintu terbuka, menampakkan sosok Dira yang seperti biasa. Ceria, heboh dan ... berisik."Lama banget buka pintunya, lagi ngapain sih?" tanya Dira yang langsung menyelonong masuk dan duduk di sofa."Toilet, biasa transfera
Saat ini Arland bisa bernapas lega, karna Kiran dan Mamanya tak bertemu. Kalau sampai itu terjadi, mungkin beliau akan kembali memojokkan Kiran."Kita tepat waktu. Entah apa yang akan dilakukan Tante Kim kalau sampai ngeliat Kiran ada di sini.” Lega Tristan yang menghempaskan tubuhnya di sofa.Arland kembali memasang jarum infus yang sempat ia tanggalkan barusan."Makanya, kalau ngelakuin apapun itu, ya dipikir dulu,” omel Arland pada Tristan."Iya iya, gue kan udah minta maaf."Kiran yang tadinya tertidur pulas, tiba-tiba terbangun dan menatap Arland dan Tristan bergantian."Hai,” sapa Tristan pada Kiran dengan senyuman manis. Berharap dapat sambutan, tapi apa yang ia dapatkan? Hanya diabaikan, karena pandangan gadis itu malah fokus pada Arland."Kamu udah bangun?" tanya Kiran menghampiri Arland di tempat tidur dan mengacuhkan sapaan Tristan."Gue dicuekin,” dengus Tristan
Kiran hendak kembali ke kos'annya. Namun, di tengah perjalanan ia malah dicegat oleh sebuah mobil. Awalnya Kiran tak merasa khawatir, tapi saat matanya tertuju pada sosok yang turun dari mobil membuat rasa itu hadir."Kiran, keluar!"“Ck ... sepertinya dia masih kesal sama gue,” gumamnya.Ia segera membuka pintu mobil dan keluar. Tapi apa yang ia dapatkan? Baru kakinya menapaki jalanan, sebuah tamparan langsung menyerang pipinya."Dasar benalu! Berani-beraninya lo ngerebut Arland dari gue. Lo sadar nggak, sih, kalau lo itu nggak pantes buat dia. Gue yang pantes Kiran, gue!"Yap, dialah Dinda. Adiknya yang terus menyerangnya dengan perkataan kasarnya. Kadang ia suka heran, apa mata Dinda tak akan bisa tidur dengan nyenyak jika tak membuatnya kesal."Din ... gue sama Arland nggak punya hubungan apa-apa." Kiran mencoba menjelaskan pada
Kiran selesai menyiapkan sarapan. Berniat memanggil Ziel, ternyata anak itu sudah datang duluan.Arland meletakkan ponselnya di meja, saat anaknya itu datang. Setidaknya ia harus menghentikan kebiasaan ini jika di rumah.“Zi, nanti pulang sekolah Papa yang jemput, ya,” ujar Kiran menatap serius pada Ziel yang sedang menikmati nasi goreng kesukaannya. Tak ada suara, melainkan hanya anggukan yang ia terima dari bocah itu.Tenang. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terkadang bersenggolan dengan piring. Jadi, mau berkilah seperti apalagi, saat dua cowok ini memiliki sikap dan sifat yang sama.Selesai makan, Ziel turun dari kursinya. Begitupun dengan Arland. Keduanya bersiap untuk berangkat.“Belajar yang pintar, ya,” pesan Kiran pada Ziel.“Iya, Ma ... aku sekolah dulu,” pamitnya sambil mencium punggung tangan Kiran.“Papanya nggak dikasih pesan apa apa, gitu?” tanya Arland berkomen
Ziel terbangun dari tidurnya, membuka mata dan mendapati Kiran masih setia di sampingnya. Ia tersenyum, saat apa yang diharapkannya terkabul. Ya, wanita yang rasanya benar-benar dekat dengannya kini, tak meninggalkannya.“Sudah bangun,” ujar Kiran membelai lembut wajah itu.Ziel mengangguk. “Mama nggak meninggalkanku. Aku senang,” ucapnya.“Ziel, apa kamu benar mau tetap di sini denganku?”Ziel mengangguk cepat.“Kenapa?”“Aku nggak punya mama sama papa lagi. Aku juga nggak punya siapapun lagi. Percuma warisan banyak, tapi aku sendirian. Boleh, kan ... aku numpang hidup sama Mama? Aku janji akan jadi anak baik dan pintar. Aku janji akan jadi anak yang berbakti dan bersikap seperti pada orang tuaku sendiri.&rdquo
Sekarang Kiran, Arland bersama pihak berwajib begitupun beberapa dokter baru saja menemukan hal yang mengejutkan. Apalagi setelah dilakukannya visum pada Ziel dan beberapa test dari psikolog anak.“Aku benar-benar nggak percaya dengan semua ini,” gumam Kiran berpikir. “Membunuh orang tuanya dan beralibi kalau mereka bunuh diri. Kemudian menyiksa dia hingga luka fisik dan mental. Bersyukur banget aku om dan tantenya itu hangus kebakar sama mobil. Jadi nggak menuh-menuhin sel dan buang buang jatah makanan buat mereka. Dan selanjutnya bagaimana kehidupan dia, ya? Bukankah hanya tinggal sebatang kara.”Arland tak menanggapi perkataan istrinya. Ia seolah fokus pada makanannya.“Land! Kamu dengar aku nggak, sih?” Kiran malah kesal saat Arland tak merespon perkataannya dan asik makan begitu saja.“Maaf, Ki ... aku benar-benar lapar. Perutku sakit karena belum makan dari tadi pagi,” ungkapnya dengan ta
Kiran berada di rumah sakit. Tak hanya sendiri, ada Arland yang berada di sisinya. Karena di perjalanan tadi ia segera menghubungi suaminya itu.“Dia nggak kenapa-kenapa, kan?”Arland menarik Kiran ke pelukannya, saat ia rasakan kesedihan dan ketakut terlihat jelas di dalam diri istrinya itu. “Kamu tenang aja, Bukankah dokter bilang dia hanya shock.”Kiran mengangguk. “Iya, hanya sedikit luka di dahi dan lengannya.”Tak lama, pintu ruang UGD dibuka dari arah dalam. Menampakkan sesosok dokter. Kiran melepaskan diri dari pelukan Arland dan langsung menghampiri dokter.“Gimana keadaannya dokter?”Arland mengikuti langkah Kiran.“Anda tenang saja, dia tak apa apa. Hanya beberapa luka kecil. Hanya saja ...”“Ada apa?” Giliran Arland
Pernikahan sebenarnya yang paling penting adalah kenyamanan. Mau miskin ataupun kaya, tetap saja saat nyaman, semua terasa indah. Bahkan saat dokter sudah memprediksi kalau ia dan Arland tak akan memiliki keturunan, tetap saja hidupnya terasa tenang. Bahkan di usia pernikahan yang menginjak satu tahun.Menjadi seorang istri yang kasih sayang suami hanya miliknya, apalagi yang membuatnya tak nyaman dan tenang? Meskipun orang-orang mungkin akan mempermasalahkan tentang keturunan, tetap saja ia tak ambil pusing.“Hari ini pulang jam berapa?” tanya Kiran.Arland tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan istrinya itu. Bahkan pemikirannya seolah melayang jauh ke luar angkasa.Sebuah sentuhan di wajahnya, membuat ia tersentak dan mengarahkan pandangan pada sosok yang ternyata sudah duduk di sampingnya.“Kamu kenapa?”Arland lagi-lagi hanya diam seribu bahasa.“Kamu memintaku menceritakan semua permasalahan yang k
Arland akan segera kembali ke apartment, tapi tiba-tiba Jeremy menghentikan langkahnya di pintu keluar kantornya."Lo ngapain kesini?""Tau nggak, si Dosen ada dimana?""Harusnya kalau mau nyari Leo itu di kampus atau di rumahnya," balas Arland."Udah gue cari, tapi nggak ketemu. Lagian sekarang hari Minggu, dia nggak ada jadwal ngajar. Cek di rumah juga nggak ada," terang Jeremy"Coba telepon," saran Arland."Itu cara pertama yang gue lakuin sebelum nyariin dia. Nomernya aja kagak aktif.""Ck, gue juga bingung kalo gitu. Coba tanya yang lain dulu. Soalnya gue mau ke rumah nyokap.""Ya udah, gue tanya yang lain.""Gue duluan, ya."Arland meninggalkan Jeremy yang bingung mau mencari dimana keberadaan Leo. Bukannya apa-apa. Tapi, saat ini ia sangat butuh sama Leo. Sebenarnya bukan butuh sama Leo, sih. Lebih tepatnya sama tanda tangannya. Ganteng-ganteng gini, otaknya masih 1/4. Tiap tahun nyariin tanda tangan dosen,
Alvin baru saja pulang dari kantor dan ia segera menghampiri Kim yang berada di ruang keluarga."Lauren, Lhinzy, kalian ke kamar dulu, ya. Papa mau bicara sama Mama," pinta Alvin pada si kembar yang saat itu bersama Kim."Iya, Pa," jawab mereka serempak dan segera menuju kamar."Mau ngomong apa?" tanya Kim."Aku benar-benar nggak nyangka sama kamu, Kim!"Alvin bicara dengan penuh emosi. Wajah dan matanya langsung memerah menahan amarahnya."Apa, sih, baru pulang langsung marah-marah," balas Kim."Kenapa kamu menekan Kiran untuk berpisah dengan Arland? Kamu sudah kelewatan dengan merusak kebahagiaan anakmu sendiri!""Aku nggak bisa melupakan itu!""Baiklah kalau gitu. Aku juga akan memberikanmu pilihan. Kalau kamu terus berniat melakukan itu, aku juga akan memberikan surat perceraian untukmu!"Ancaman Alvin sukses membuat Kim shock. Ia tak menyangka Alvin akan mengatakan itu."Mengancam ku dengan mengorbanka
Malam ini harusnya Dira sudah berada di Mall untuk shooping. Tapi semuanya gagal total gara-gara tugas segunung yang diberikan Leo padanya. Satu pertanyaan saja itu sudah membuat separo otaknya kesemutan. Apalagi puluhan pertanyaan. Bisa dijamin, otaknya tak akan beres lagi.Harusnya Leo mengajaknya dinner atau kencan gitu, ini kan malam Minggu. Bukan memberinya tugas seperti ini."Sepertinya gue akan gila, trus mati dengan sangat menyedihkan," gumam Dira sambil menggetok-getok kepalanya dengan pulpen. "Azab seorang gadis yang tergila-gila dengan dosennya, mayatnya ditemukan tak bernapas di tumpukan buku," tambahnya lagi dengan tampang yang menyedihkan.Dari kalimat itu saja dia seperti sudah gila. Mana ada mayat yang masih bernapas. Itu sama saja dengan manusia, tapi tak bernapas."Non Dira!" teriak seorang asisten rumah tangganya sambil menggedor-gedor pintu kamarnya."Apaan, Bik!" Jawab Dira dari dalam kamar tanpa berniat membukakan pintu.
"Bisakah kamu tak berpakaian seperti ini lagi," ujar Leo menyambar Sweater miliknya dan mengenakannya pada Dira."Heh?""Kamu ke kampus, bukan kepesta."Kalau ia tak mencintai Leo, kalau ia tak tergila-gila pada Leo, dan kalau Leo tak ganteng tingkat dewa. Ia pastikan, sepatunya akan mendarat tepat di kepala Leo tanpa memandang kalau Leo adalah dosennya. Padahal pikirannya sudah kemana-mana. Ternyata Leo malah mengomentari pakaiannya yang memang terlalu terbuka untuk status mahasiswi."Tolong jaga diri kamu, sampai saya punya kewajiban menjaga kamu," jelas Leo. "Sebentar lagi," tambahnya."Sebentar lagi? Jangan bilang kalau Bapak berniat mau nikahin saya?" Entah itu sebuah pertanyaan ataukah sebuah tebakan. Ia yang awalnya duduk di pangkuan Leo, langsung berdiri saking syoknya."Tentu saja. Saya serius dengan hubungan ini!" tegas Leo membenarkan tebakan Dira.Apa yang terjadi pada Dira? Jangan ditanya lagi. Tadi ia ingin melempar Leo