Saat ini Arland bisa bernapas lega, karna Kiran dan Mamanya tak bertemu. Kalau sampai itu terjadi, mungkin beliau akan kembali memojokkan Kiran.
"Kita tepat waktu. Entah apa yang akan dilakukan Tante Kim kalau sampai ngeliat Kiran ada di sini.” Lega Tristan yang menghempaskan tubuhnya di sofa.
Arland kembali memasang jarum infus yang sempat ia tanggalkan barusan.
"Makanya, kalau ngelakuin apapun itu, ya dipikir dulu,” omel Arland pada Tristan.
"Iya iya, gue kan udah minta maaf."
Kiran yang tadinya tertidur pulas, tiba-tiba terbangun dan menatap Arland dan Tristan bergantian.
"Hai,” sapa Tristan pada Kiran dengan senyuman manis. Berharap dapat sambutan, tapi apa yang ia dapatkan? Hanya diabaikan, karena pandangan gadis itu malah fokus pada Arland.
"Kamu udah bangun?" tanya Kiran menghampiri Arland di tempat tidur dan mengacuhkan sapaan Tristan.
"Gue dicuekin,” dengus Tristan
Kiran hendak kembali ke kos'annya. Namun, di tengah perjalanan ia malah dicegat oleh sebuah mobil. Awalnya Kiran tak merasa khawatir, tapi saat matanya tertuju pada sosok yang turun dari mobil membuat rasa itu hadir."Kiran, keluar!"“Ck ... sepertinya dia masih kesal sama gue,” gumamnya.Ia segera membuka pintu mobil dan keluar. Tapi apa yang ia dapatkan? Baru kakinya menapaki jalanan, sebuah tamparan langsung menyerang pipinya."Dasar benalu! Berani-beraninya lo ngerebut Arland dari gue. Lo sadar nggak, sih, kalau lo itu nggak pantes buat dia. Gue yang pantes Kiran, gue!"Yap, dialah Dinda. Adiknya yang terus menyerangnya dengan perkataan kasarnya. Kadang ia suka heran, apa mata Dinda tak akan bisa tidur dengan nyenyak jika tak membuatnya kesal."Din ... gue sama Arland nggak punya hubungan apa-apa." Kiran mencoba menjelaskan pada
Mendapati dua orang sedang memandang aneh padanya dan Arland. Pertama, sobatnya sendiri. Kedua, malah dosennya."Itu mulut bisa disaring dulu nggak, sih? Berbuat mesum ... dikira kita lagi ngapain,” umpat Kiran pada Dira yang memberikan tuduhan aneh."Lo lagi pelukan," balas Dira cepat."Memangnya pelukan itu berbuat mesum?""Ya ... awalnya emang pelukan, tapi kita kan nggak tahu gimana endingnya."Kalau tak mengingat Dira adalah sahabatnya, mungkin saat ini ia sudah mencakar-cakar mulut rempong itu. Sementara Arland, dia malah santai menanggapi tuduhan itu."Dasar! Otak mesum.” Leo hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah Dira."Astaga! Ini lo kenapa, Ki? Habis kecelakaan atau habis dirampok?" Ia baru menyadari ada perban yang menempel di dahi Kiran."Gue jatoh,” ungkap Kiran."Yakin? Udah segede ini masih bisa j
"Sana tidur, bukannya besok kuliah. Nenek akan minta supir buat jemput mobil kamu,” jelas wanita itu pada cucunya.“Mobil,” pikir Kiran bergumam. "Eh, nggak usah, Nek. Biar mobilnya dipake sama Papa aja. Lagian disini ada mobil lain, masa Nenek nggak mau minjemin satu buat cucu nenek yang tercinta ini."Pasang muka imut-imut biar neneknya luluh. Yang benar saja jika mobilnya diambil, padahal ia sudah memberika mobil itu pada papanya."Ck, kamu ini. Ya udah, sana tidur.""Good night, Nek.”Sepeninggal neneknya, Kiran langsung menghempaskan badannya di kasur. Hari ini merupakan hari yang sangat melelahkan. Semalaman ia harus mengurus Arland, paginya harus ketemu lagi sama dia yang pingsan. Dinda yang bikin dia terluka, habis itu dianya malah yang kecelakaan. Dan sekarang, dirinya malah digeret pulang sama neneknya."Semoga besok lebih menyenangkan,” harapnya bergumam, sembari memjamkan kedua matanya untuk se
Pulang kuliah, Kiran makan siang di sebuah cafe bersama dengan Dira. Awalnya ia menolak, karena beniat menuju kantor Arland. Tak apalah, toh dari tad pagi ia menghubungi cowok itu balik, tapi tak direspon sama sekali panggilannya."Ki, lo yakin malam itu nggak berbuat macem-macem sama Arland?”Pertanyaan bodoh Dira itu memang bukan yang pertama, tapi tetap saja bikin ia tersedak minuman. Otak sobatnya benar-benar diciptakan untuk berpikiran negative."Gue harus ngapain lagi, sih, buat ngeyakinin lo. Nggak percayaan banget.""Jelasin.”Kiran mengatur napasnya untuk memulai penjelasan pada Dira. "Gini. Dia mau minta maaf gara-gara nggak dateng ke cafe. Gue kan masih kesal, jadinya ya gue nggak bukain pintu, padahal lagi hujan gede.""Trus, akhirnya lo bukain pintu dan kalian hujan-hujan berdua kaya di film-film romance gitu. Trus, kalian saling tatap penuh cinta, lalu terbawa suasana dan ..."Kiran langsung menggetok k
Sampai di rumah, Kiran langsung menuju ke kamarnya. Tanpa memperdulikan Dira yang mengekorinya sampai pulang. Perasaannya seolah berantakan begitu saja. Apalagi, kalau bukan pandangan matanya yang tak sengaja melihat Arland sedang bersam wanita lain.Rasanya ia ingin bersikap biasa, tapi kok susah sekali. Malah jadi luar biasa nyeseknya.“Kesal nggak, sih. Gue ngekorin dia sampai rumah, tapi gue malah ditinggal sendirian. Enggak tahu apa, kalau tamu adalah ratu.” Dira mengarahkan pandangan ke sekelilingnya. “Anggap aja rumah sendiri kali, ya,” gumamnya."Kamu siapa?” tanya seseorang yang mengagetkan Dira dan membuatnya seketika beranjak dari duduknya.Tersenyum manis. "Saya Dira temennya Kiran,” jelas Dira memperkenalkan diri sambil salaman."Oo, temennya Kiran toh. Saya neneknya Kiran.""Salam kenal, Nek,” ucap Dira. Biasalah, ya ... pertemuan pertama. Next, baru deh memperlihatkan betapa hebohnya d
"Astaga! Kiran.”Beliau mengarahkan telunjuk ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.“Ini sudah malam dan pintu kamar masih kamu buka lebar. Kalau maling masuk gimana?” Langsung mengomel."Hufft ....” lega Kiran.Bagaimana tak lega, karna ia barusan berpikir kalau neneknya melihat keberadaan Arland."Kenapa?" tanyanya melihat ekspressi Kiran."Enggak, Nek,” elak Kiran."Tutup pintunya dan segeralah tidur."Kiran mengangguk.Setelah ia yakin kalau neneknya sudah pergi, Kiran langsung menutup pintu kamar dan menuju ke arah lemari dengan sedikit berlari. Bisa-bisa apa yang dikatakan Arland tadi benar-benar terjadi.Saat pintu lemari terbuka, ia dapati cowok itu dalam keadaan terduduk dengan lemas dan keringat mengucur membasahi badannya."Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"Kiran membantu Arland keluar dari dalam lemari dan membawa menuju tempat tidur. Menyabar kotak tisu
Arland melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tak tahu kenapa ia kecewa atas jawaban Kiran. Ia paham, menolak ataupun menerima cintanya adalah keputusan Kiran. Tapi masalahnya sekarang, Kiran menggantungnya.Ia tak kembali ke apartment ataupun ke rumah orang tuanya, tapi menuju ke sebuah club tempat biasa bertemu dengan teman-temannya."Gimana?" Tanya Jefry padanya yang baru datang."Kalau dilihat dari tampangnya, sih, lo pasti ditolak,” tebak Sandy mematut-matut raut wajah Arland.Arland menarik napasnya berat. Rasanya juga malas untuk bernapas. "Gue nggak ditolak ataupun diterima,” ungkap Arland."Parah, lo digantung tanpa tali my bro,” tambah Sandy."Awalnya gue kira kalian berdua emang beneran pacaran, ternyata cuman pacaran bohongan supaya Ceryl ngejauhin lo. Tapi sekarang lo jadi jatuh cinta beneran dan ngejar-ngejar dia kaya layangan putus,” komentar Leo yang melihat kisah cinta Arland.
Semua orang di rumah sedang khawatir dengan kondisi Arland. Semalam dia terdengar muntah-muntah dan pagi ini justru tak keluar dari kamar. Yang paling heboh adalah Kim. Apalagi kalau bukan karena si pemilik kamar tak pernah mengijinkan siapapun untuk masuk."Arland, buka pintunya dong, Sayang. Mama mau cek kondisi kamu!" teriak Kim sambil terus mengetuk-ngetuk pintu kamar putranya.Ini bukan yang pertama kalinya Kim berteriak di depan pintu kamar Arland. Tetapi tetap saja hasilnya sama, putranya tak mau merespon panggilannya.Alvin yang sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, menghampiri istrinya yang sedari tadi masih berada di depan pintu kamar Arland.“Dia masih belum buka pintu?”“Belum,” jawab Kim.Alvin mengetuk perlahan pintu itu. "Land, jawab Papa kalau kamu baik-baik aja,” ujarnya."Aku nggak kenapa-kenapa, Pa. Hanya ingin istirahat,” jawabnya dari dalam. Tapi tidak berniat untuk membuka p
Kiran selesai menyiapkan sarapan. Berniat memanggil Ziel, ternyata anak itu sudah datang duluan.Arland meletakkan ponselnya di meja, saat anaknya itu datang. Setidaknya ia harus menghentikan kebiasaan ini jika di rumah.“Zi, nanti pulang sekolah Papa yang jemput, ya,” ujar Kiran menatap serius pada Ziel yang sedang menikmati nasi goreng kesukaannya. Tak ada suara, melainkan hanya anggukan yang ia terima dari bocah itu.Tenang. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terkadang bersenggolan dengan piring. Jadi, mau berkilah seperti apalagi, saat dua cowok ini memiliki sikap dan sifat yang sama.Selesai makan, Ziel turun dari kursinya. Begitupun dengan Arland. Keduanya bersiap untuk berangkat.“Belajar yang pintar, ya,” pesan Kiran pada Ziel.“Iya, Ma ... aku sekolah dulu,” pamitnya sambil mencium punggung tangan Kiran.“Papanya nggak dikasih pesan apa apa, gitu?” tanya Arland berkomen
Ziel terbangun dari tidurnya, membuka mata dan mendapati Kiran masih setia di sampingnya. Ia tersenyum, saat apa yang diharapkannya terkabul. Ya, wanita yang rasanya benar-benar dekat dengannya kini, tak meninggalkannya.“Sudah bangun,” ujar Kiran membelai lembut wajah itu.Ziel mengangguk. “Mama nggak meninggalkanku. Aku senang,” ucapnya.“Ziel, apa kamu benar mau tetap di sini denganku?”Ziel mengangguk cepat.“Kenapa?”“Aku nggak punya mama sama papa lagi. Aku juga nggak punya siapapun lagi. Percuma warisan banyak, tapi aku sendirian. Boleh, kan ... aku numpang hidup sama Mama? Aku janji akan jadi anak baik dan pintar. Aku janji akan jadi anak yang berbakti dan bersikap seperti pada orang tuaku sendiri.&rdquo
Sekarang Kiran, Arland bersama pihak berwajib begitupun beberapa dokter baru saja menemukan hal yang mengejutkan. Apalagi setelah dilakukannya visum pada Ziel dan beberapa test dari psikolog anak.“Aku benar-benar nggak percaya dengan semua ini,” gumam Kiran berpikir. “Membunuh orang tuanya dan beralibi kalau mereka bunuh diri. Kemudian menyiksa dia hingga luka fisik dan mental. Bersyukur banget aku om dan tantenya itu hangus kebakar sama mobil. Jadi nggak menuh-menuhin sel dan buang buang jatah makanan buat mereka. Dan selanjutnya bagaimana kehidupan dia, ya? Bukankah hanya tinggal sebatang kara.”Arland tak menanggapi perkataan istrinya. Ia seolah fokus pada makanannya.“Land! Kamu dengar aku nggak, sih?” Kiran malah kesal saat Arland tak merespon perkataannya dan asik makan begitu saja.“Maaf, Ki ... aku benar-benar lapar. Perutku sakit karena belum makan dari tadi pagi,” ungkapnya dengan ta
Kiran berada di rumah sakit. Tak hanya sendiri, ada Arland yang berada di sisinya. Karena di perjalanan tadi ia segera menghubungi suaminya itu.“Dia nggak kenapa-kenapa, kan?”Arland menarik Kiran ke pelukannya, saat ia rasakan kesedihan dan ketakut terlihat jelas di dalam diri istrinya itu. “Kamu tenang aja, Bukankah dokter bilang dia hanya shock.”Kiran mengangguk. “Iya, hanya sedikit luka di dahi dan lengannya.”Tak lama, pintu ruang UGD dibuka dari arah dalam. Menampakkan sesosok dokter. Kiran melepaskan diri dari pelukan Arland dan langsung menghampiri dokter.“Gimana keadaannya dokter?”Arland mengikuti langkah Kiran.“Anda tenang saja, dia tak apa apa. Hanya beberapa luka kecil. Hanya saja ...”“Ada apa?” Giliran Arland
Pernikahan sebenarnya yang paling penting adalah kenyamanan. Mau miskin ataupun kaya, tetap saja saat nyaman, semua terasa indah. Bahkan saat dokter sudah memprediksi kalau ia dan Arland tak akan memiliki keturunan, tetap saja hidupnya terasa tenang. Bahkan di usia pernikahan yang menginjak satu tahun.Menjadi seorang istri yang kasih sayang suami hanya miliknya, apalagi yang membuatnya tak nyaman dan tenang? Meskipun orang-orang mungkin akan mempermasalahkan tentang keturunan, tetap saja ia tak ambil pusing.“Hari ini pulang jam berapa?” tanya Kiran.Arland tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan istrinya itu. Bahkan pemikirannya seolah melayang jauh ke luar angkasa.Sebuah sentuhan di wajahnya, membuat ia tersentak dan mengarahkan pandangan pada sosok yang ternyata sudah duduk di sampingnya.“Kamu kenapa?”Arland lagi-lagi hanya diam seribu bahasa.“Kamu memintaku menceritakan semua permasalahan yang k
Arland akan segera kembali ke apartment, tapi tiba-tiba Jeremy menghentikan langkahnya di pintu keluar kantornya."Lo ngapain kesini?""Tau nggak, si Dosen ada dimana?""Harusnya kalau mau nyari Leo itu di kampus atau di rumahnya," balas Arland."Udah gue cari, tapi nggak ketemu. Lagian sekarang hari Minggu, dia nggak ada jadwal ngajar. Cek di rumah juga nggak ada," terang Jeremy"Coba telepon," saran Arland."Itu cara pertama yang gue lakuin sebelum nyariin dia. Nomernya aja kagak aktif.""Ck, gue juga bingung kalo gitu. Coba tanya yang lain dulu. Soalnya gue mau ke rumah nyokap.""Ya udah, gue tanya yang lain.""Gue duluan, ya."Arland meninggalkan Jeremy yang bingung mau mencari dimana keberadaan Leo. Bukannya apa-apa. Tapi, saat ini ia sangat butuh sama Leo. Sebenarnya bukan butuh sama Leo, sih. Lebih tepatnya sama tanda tangannya. Ganteng-ganteng gini, otaknya masih 1/4. Tiap tahun nyariin tanda tangan dosen,
Alvin baru saja pulang dari kantor dan ia segera menghampiri Kim yang berada di ruang keluarga."Lauren, Lhinzy, kalian ke kamar dulu, ya. Papa mau bicara sama Mama," pinta Alvin pada si kembar yang saat itu bersama Kim."Iya, Pa," jawab mereka serempak dan segera menuju kamar."Mau ngomong apa?" tanya Kim."Aku benar-benar nggak nyangka sama kamu, Kim!"Alvin bicara dengan penuh emosi. Wajah dan matanya langsung memerah menahan amarahnya."Apa, sih, baru pulang langsung marah-marah," balas Kim."Kenapa kamu menekan Kiran untuk berpisah dengan Arland? Kamu sudah kelewatan dengan merusak kebahagiaan anakmu sendiri!""Aku nggak bisa melupakan itu!""Baiklah kalau gitu. Aku juga akan memberikanmu pilihan. Kalau kamu terus berniat melakukan itu, aku juga akan memberikan surat perceraian untukmu!"Ancaman Alvin sukses membuat Kim shock. Ia tak menyangka Alvin akan mengatakan itu."Mengancam ku dengan mengorbanka
Malam ini harusnya Dira sudah berada di Mall untuk shooping. Tapi semuanya gagal total gara-gara tugas segunung yang diberikan Leo padanya. Satu pertanyaan saja itu sudah membuat separo otaknya kesemutan. Apalagi puluhan pertanyaan. Bisa dijamin, otaknya tak akan beres lagi.Harusnya Leo mengajaknya dinner atau kencan gitu, ini kan malam Minggu. Bukan memberinya tugas seperti ini."Sepertinya gue akan gila, trus mati dengan sangat menyedihkan," gumam Dira sambil menggetok-getok kepalanya dengan pulpen. "Azab seorang gadis yang tergila-gila dengan dosennya, mayatnya ditemukan tak bernapas di tumpukan buku," tambahnya lagi dengan tampang yang menyedihkan.Dari kalimat itu saja dia seperti sudah gila. Mana ada mayat yang masih bernapas. Itu sama saja dengan manusia, tapi tak bernapas."Non Dira!" teriak seorang asisten rumah tangganya sambil menggedor-gedor pintu kamarnya."Apaan, Bik!" Jawab Dira dari dalam kamar tanpa berniat membukakan pintu.
"Bisakah kamu tak berpakaian seperti ini lagi," ujar Leo menyambar Sweater miliknya dan mengenakannya pada Dira."Heh?""Kamu ke kampus, bukan kepesta."Kalau ia tak mencintai Leo, kalau ia tak tergila-gila pada Leo, dan kalau Leo tak ganteng tingkat dewa. Ia pastikan, sepatunya akan mendarat tepat di kepala Leo tanpa memandang kalau Leo adalah dosennya. Padahal pikirannya sudah kemana-mana. Ternyata Leo malah mengomentari pakaiannya yang memang terlalu terbuka untuk status mahasiswi."Tolong jaga diri kamu, sampai saya punya kewajiban menjaga kamu," jelas Leo. "Sebentar lagi," tambahnya."Sebentar lagi? Jangan bilang kalau Bapak berniat mau nikahin saya?" Entah itu sebuah pertanyaan ataukah sebuah tebakan. Ia yang awalnya duduk di pangkuan Leo, langsung berdiri saking syoknya."Tentu saja. Saya serius dengan hubungan ini!" tegas Leo membenarkan tebakan Dira.Apa yang terjadi pada Dira? Jangan ditanya lagi. Tadi ia ingin melempar Leo