“Kamu terlalu keras ke Ibu dan Ayah, De.”Ayana dan Deon berada di kamar. Mereka baru saja menemani Mita dan Haikal membuat laporan di kantor polisi.Deon membalikkan badan, lantas menatap Ayana yang berdiri memandangnya. Dia pun mendekat ke sang istri, lantas mengusap perut Ayana sebelum membalas ucapan istrinya itu.“Bukannya aku keras tanpa alasan, Ay. Kamu tahu sendiri kalau Satria memang sudah keterlaluan,” ujar Deon yang benar-benar sudah tak bisa memaafkan perbuatan kakaknya itu.“Iya, aku paham.” Ayana mengusap lengan Deon agar tak emosi.“Seperti kamu sendiri. Kamu juga bersikap tegas dan keras ke orang tuamu, itu juga demi kebaikan bersama, kan.” Deon kembali bicara sambil memandang Ayana.Ayana mengangguk mendengar ucapan suaminya. Ya, memang sikap mereka sama ke orang tua masing-masing meski dengan cara yang berbeda.“Semoga polisi segera bisa menangani kasus ini, agar Ibu dan Ayah lega,” ucap Ayana kemudian.Deon mengembuskan napas kasar, hingga kemudian mengangguk.“Ya,
“Selamat, akhirnya kalian benar-benar akan maju ke jenjang selanjutnya,” ucap Ayana saat memberi selamat ke Azlan dan Hyuna. Acara pertunangan Hyuna dan Azlan berjalan lancar. Para tamu undangan kini sedang menikmati hidangan serta sajian musik yang dihadirkan. “Terima kasih,” ucap Hyuna terlihat bahagia. “Kapan rencana pernikahan kalian?” tanya Deon kemudian. Azlan dan Hyuna saling tatap, hingga Hyuna yang menjawab, “Sebenarnya kami belum tahu. Mungkin akan ikut para orang tua saja bagaimana keputusan mereka.” “Lagi pula, baik aku dan Hyuna masih bergantung dengan orang tua. Jadi ya kami ikut saja,” timpal Azlan. Ayana dan Deon mengangguk-angguk mendengar ucapan Azlan juga Hyuna. “Tidak masalah, kalian juga masih belajar bekerja. Soal menikah bisa dibahas nanti, yang penting kalian sudah saling memiliki. Ingat untuk saling memercayai karena tinggal selangkah lagi kalian bersama,” ujar Ayana menegaskan karena takut Hyuna dan Azlan hanya menjadikan hubungan keduanya sebagai sebu
Deon menepikan mobil dengan cepat. Bahkan dia langsung turun begitu mobil terparkir sempurna.Ayana, Mita, dan Haikal pun buru-buru turun saat melihat ke mana arah Deon pergi.“De!” Ayana memanggil karena takut suaminya melakukan tindakan gegabah.Deon tak mendengarkan panggilan Ayana. Dia terus berjalan mengejar Satria yang dilihatnya. Deon ingin meluapkan semua kekesalannya karena perbuatan sang kakak.“Dasar bajingan!”Deon menarik kerah baju Satria, lantas menghantamkan bogem mentah tepat di wajah kakaknya itu.Satria sangat terkejut hingga tersungkur di trotoar.“Apa-apaan kamu, hah?” Satria memandang Deon yang sedang menatap nyalang ke arahnya.“Kamu yang apa-apaan bajingan tak tahu diri!” Deon meraih kerah baju bagian depan Satria, lantas kembali menghajar sang kakak.“Kamu masih bisa hidup enak, jalan ke sana-kemari tanpa memikirkan Ibu dan Ayah yang terusir dari rumah karena ulahmu!” Deon memaki sambil terus menghajar Satria.Orang-orang yang ada di sekitar sana terkejut meli
Deon langsung membawa Ayana ke IGD. Di sana perawat langsung mendapat penanganan dari dokter. Deon terlihat begitu cemas. Dia sampai mondar-mandir di depan ruang perawatan menunggu dokter selesai memeriksa. “Tenang, De. Berdoa Ayana baik-baik saja. Ibu yakin dia mau melahirkan,” ujar Mita mencoba menenangkan Deon. “Tapi tetap saja, Bu. Aku tidak bisa tenang sampai tahu kondisi Ayana,” balas Deon. Perawat keluar dari ruang pemeriksaan lantas menemui Deon dan Mita. “Sudah ada pembukaan di jalan rahimnya. Serta terjadi kontraksi berulang. Melihat kondisi sang ibu yang kurang stabil, dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan operasi, sebab posisi janin sudah tidak bisa dipertahankan sampai siap dilahirkan sesuai HPL yang ditentukan,” ujar perawat menjelaskan. Deon sangat terkejut karena tebakan Mita ternyata benar. “Apa ini beresiko untuk istri dan bayiku?” tanya Deon memastikan sebelum mengambil keputusan. “Jika bayinya tidak segera dilahirkan, malah akan semakin beresiko untuk
“Lebih baik kamu jujur saja, Sat. jangan memperkeruh keadaan!” Haikal memaksa Satria untuk mengakui semua perbuatan yang sudah dilakukan. Satria menatap kesal ke ayahnya, hingga kemudian membalas, “Aku tidak melakukannya, lalu bagaimana bisa aku mengaku!” Polisi memandang perdebatan Haikal dan Satria, hingga mencoba menengahi masalah ini. “Pada tanggal 4, apa kamu tidak masuk ke rumah saudara Haikal, lantas mengobrak-abrik lemari dan mengambil sejumlah uang juga sertifikat rumah?” tanya polisi lagi setelah sebelumnya dibantah Satria. “Sudah aku bilang berapa kali. Aku tidak masuk ke sana setelah bertengkar dengan Ibu!” Satria tetap kekeh dengan penjelasannya sejak awal. “Kamu punya kunci rumah, Sat. Bagaimana bisa kamu bilang tidak mengambil, kemudian menjual rumah tanpa izin kami.” Haikal tetap berusaha membuat Satria mengaku. Satria menjambak rambutnya sendiri karena terus ditekan. Hingga dia terdiam seperti mengingat sesuatu. Polisi dan Haikal pun menatap Satria, menunggu ap
“Yang mencuri dan menjual rumah, ternyata memang benar bukan Satria.”Haikal datang ke rumah sakit, lantas menceritakan fakta yang baru saja diketahuinya.Deon dan Mita tentunya sangat terkejut mendengar hal itu. Bahkan Deon sangat tidak percaya dengan ucapan sang papa.“Mana mungkin, aku yakin jika ada campur tangannya,” ujar Deon yang sudah terlanjur benci ke kakaknya itu.“Ayah pun awalnya tak percaya, De. Polisi dan pengacara tadi langsung bertindak, pembelinya bilang kalau memang bukan Satria yang datang ke sana saat menjual, tapi istrinya,” ujar Haikal menjelaskan.Deon semakin geram. Dia mengepalkan tangan mengetahui fakta itu.“Tetap saja, Yah. Satria harus bertanggung jawab atas perbuatan istrinya itu. Dia itu terlalu memanjakan istrinya, kalau tidak dimanja dengan segala kebutuhan diberikan, mana mungkin wanita itu berani mencuri dan menjual rumah hanya untuk kesenangannya!” Deon tetap tak bisa mengontrol emosi jika sudah menyangkut tentang keluarga.“Iya, ayah paham.” Haik
Deon mendorong kursi roda yang diduduki Ayana. Setelah 24 jam, Ayana akhirnya bisa bangun. Kini dia diantar Deon menggunakan kursi roda untuk bisa melihat bayi mereka.“Itu bayi kita.” Deon menunjuk ke dalam ruangan tempat bayi mereka diinkubator.Bayi mereka terlihat jelas dari luar kaca, berada di kotak khusus untuk perawatan bayi lahir prematur.“Perkembangan bayinya bagus.” Salah satu perawat mendekat untuk menyampaikan kondisi bayi Deon dan Ayana.Ayana menoleh ke perawat, terlihat senang mendengar ucapan perawat itu.“Kondisi alat vitalnya bagus. Sekarang ini kita tinggal menunggu apakah bayinya sudah bisa menyusu tanpa alat bantu atau tidak. Berat badannya juga bertambah meski baru sehari, kami akan memantaunya terus sampai tubuh bayi siap keluar dari inkubator,” ujar perawat itu menjelaskan lagi.“Saya harap dia segera bisa keluar dan ada di pelukan,” ucap Ayana sambil memandang bayinya.“Tentu saja. Kami pun akan berusaha merawat dengan baik bayi Anda,” balas perawat.Ayana d
“Di mana bayinya?” tanya Gery yang sore itu datang untuk menjenguk Ayana dan bayinya.“Masih diinkubator. Karena lahir prematur dengan berat badan di bawah normal, membuatnya harus tetap berada di inkubator sampai kondisinya stabil,” jawab Deon.Shirly juga datang menjenguk, dia menatap Ayana yang sedikit sedih karena belum bisa bersama bayinya.“Ah … begitu.” Gery mengangguk sambil menoleh Ayana.Ayana sendiri mencoba tersenyum meski masih sedih belum bisa menggendong bayinya.“Tidak apa, Bu. Yang terpenting bayinya lahir dengan sehat dan selamat. Bukankah hanya berat badan yang membuatnya diinkubator, jadi tak masalah kalau sekarang belum bisa melihatnya langsung,” ujar Shirly mencoba memberi semangat untuk Ayana.“Iya.” Ayana mengangguk untuk membalas ucapan Shirly.Deon dan Gery duduk di sofa, sedangkan Shirly menemani Ayana membahas masalah bayi.“Aku akan menikahi Shirly, tapi menunggu sampai bayinya berumur 6 bulan, itu yang Shirly mau,” ujar Gery menyampaikan niatnya.“Benarka