Deon naik ranjang menyusul Ayana yang sudah duduk di ranjang duluan. Dia lantas menyandarkan kepala di pundak istrinya itu, membuat Ayana keheranan.“Kenapa? Kenapa bersikap manja, hm?” tanya Ayana sambil melirik Deon yang bersandar padanya.“Tidak apa, hanya senang bergelayut seperti ini,” jawab Deon kemudian merangkul lengan Ayana.Ayana keheranan tapi membiarkan saja.“Kapan rencana mau buka kafenya?” tanya Ayana sambil meletakkan ponsel di nakas. Satu tangan lantas mengusap rambut Deon.“Mungkin minggu depan, aku harus mempersiapkan semua dengan matang. Juga ada yang ingin aku lakukan, agar merasa tenang, Ay.” Deon mengangkat kepala dari pundak Ayana, lantas menatap istrinya yang sudah memandang.“Apa?” tanya Ayana.“Meminta restu Ibu dan Ayah, juga menemui Karin untuk meminta maaf kepadanya,” jawab Deon.“Karin?” Dahi Ayana berkerut halus karena Deon menyebut nama wanita itu.“Ya, calon istri Kak Tirta yang sekarang di rumah sakit jiwa,” ujar Deon menjelaskan.Ayana diam sejenak.
“Bu.”Staff divisi perencanaan proyek menyapa Ayana yang baru saja selesai menghadiri rapat.“Ya.” Ayana membalas sapaan itu ketika melihat siapa yang menghampirinya.“Saya mau tanya. Apa benar Shirly sedang hamil? Saya dengar dia melakukan semua kesalahan karena terpaksa,” ujar staff yang bekerja satu tim dengan Shirly sebelumnya.“Ya, itu benar.” Ayana menjawab dengan tegas.Staff itu menunduk seolah menyesal, hingga kemudian bertanya, “Apa dia dipenjara?”Ayana menggelengkan kepala, hingga kemudian menjawab, “Aku akan sangat dianggap tak berperikemanusiaan dengan menjebloskannya ke penjara, mungkin aku juga akan dianggap tak adil karena tidak memprosesnya secara hukum. Namun, tentunya kalian yang punya hati, pasti bisa menilai dan memaklumi keputusan yang aku buat.”Staff itu mengangguk-angguk paham, sebelum kemudian membalas, “Saya kagum sama Bu Ayana yang masih mau memberinya kesempatan untuk tak dihukum, meski akhirnya dikeluarkan dari perusahaan. Saya hanya menyesal karena suda
“Totalnya tujuh puluh ribu.” Azlan sedang melayani pelanggan yang datang ke kafe. Gadis yang sedang membeli minuman dan makanan itu pun mengulurkan kartu debit untuk pembayaran. “Mohon tunggu sebentar,” kata Azlan sambil menerima kartu itu. “Lama ga papa,” balas gadis yang berdiri di depan Azlan sambil tersenyum. Azlan hanya mengulas senyum mendengar ucapan gadis itu. Sepertinya dia sudah lincah menghadapi para pelanggan setelah belajar dari Gery dan Deon sebelumnya. Bersamaan dengan Azlan yang sedang membalas senyum pelanggan, Hyuna datang untuk mengunjungi kekasihnya itu. Namun, ekspresi wajahnya langsung berubah ketika melihat Azlan tersenyum ke gadis lain. Hyuna buru-buru mendekat dan berdiri di samping pembeli. Dia melirik tajam melihat gadis itu senyum-senyum ke Azlan. “Sayang, kamu sudah makan siang?” Tanpa berpikir panjang, Hyuna langsung menyebut sayang ke Azlan. Gadis di sebelah Hyuna terkejut sampai menoleh, melihat Hyuna yang tersenyum ke Azlan. Azlan sendiri menol
“Sembunyikan aku.”Azlan panik dan bingung harus bagaimana atau bersembunyi di mana.Gery pun kebingungan, kenapa Azlan ingin bersembunyi. Dia sampai menurunkan pandangan ketika melihat Azlan berjongkok.“Kamu ini kenapa?” tanya Gery kebingung, melihat Azlan yang mengisyaratkan agar dirinya diam menggunkana telunjuk.“Tidak usah bersembunyi. Keluar!” titah Firman yang akhirnya mengetahui jika Azlan bekerja di kafe itu.Gery menatap Azlan yang ketahuan, meminta agar Azlan bangun dan menemui Firman.Azlan mencebik kesal, kenapa sang papa tidak bisa membiarkannya saja. Dia pun akhirnya berdiri, melihat sang ayah yang sudah memasang wajah garang.Keduanya akhirnya duduk di salah satu meja yang ada di kafe. Azlan melihat dua bodyguard yang biasa menjaganya berdiri di depan pintu, bahkan membalikkan tulisan open ke close yang membuat pelanggan tak ada yang bisa masuk.“Apa Papa harus melakukan ini? Papa akan membuat rugi kalau menutup kafe di jam buka,” ujar Azlan memprotes tindakan sang ay
Firman benar-benar tidak menyangka Deon akan ikut campur urusan keluarganya.“Siapa kamu sampai berani ikut campur masalah keluargaku. Ingat, kamu tidak akan pernah ada di sini jika bukan karena aku yang menikahkan kalian. Jadi ingat siapa dan apa posisimu!” Firman mencoba menggertak Deon agar tidak ikut campur.Ayana terkejut mendengar Firman membahas itu. Dia menatap suaminya dari belakang, takut jika Deon berkecil hati.Deon menatap Firman dengan ekspresi wajah datar, tapi meski demikian dia pun terlihat tenang saat mendengar ucapan Firman yang menyakitkan.“Sepertinya bicara formal pun akan terasa aneh ketika meluapkan amarah. Jadi biarkan aku bicara sebagai siapa aku di sini.” Deon membuang sikap formalnya sebab sang mertua memancing emosinya.Firman terhenyak melihat tatapan Deon yang begitu tajam.“Ayana adalah istriku. Dia sudah menjadi hakku, milikku yang tidak bisa kamu sentuh tanpa persetujuanku. Ingat, kamu yang memberikan tangannya kepadaku, jadi kamu masih ingin menyakit
“Ay.” Deon sangat cemas karena mendengar Ayana muntah. Dia ingin masuk kamar mandi, tapi takut Ayana melarang. “Ay, kamu baik-baik saja? Aku masuk, ya.” Deon mencoba meminta izin untuk masuk kamar mandi. Tidak ada jawaban dari Ayana, membuat Deon akhirnya masuk kamar mandi begitu saja. Dia melihat Ayana yang berjongkok di depan kloset. “Ay.” Deon segera menghampiri, bahkan membantu menekan tengkuk agar Ayana bisa muntah. Ayana sampai terbatuk karena terus muntah. Bahkan makanan yang tadi masuk ke lambung pun keluar tak bersisa. Deon menyalakan air untuk menyiram muntahan yang ada di kloset, lantas membantu Ayana berdiri. “Akan kubuatkan minuman hangat dulu,” kata Deon setelah membantu Ayana sampai di ranjang. Ayana memilih merebahkan tubuhnya, lambungnya terkuras habis membuatnya terasa lemas. Deon sendiri buru-buru keluar kamar untuk membuat teh hangat, hingga bertemu dengan Azlan yang juga sedang keluar kamar. “Ada apa?” tanya Azlan yang melihat sang kakak ipar cemas. “Aya
“Kamu yakin mau ke perusahaan?” tanya Deon cemas sambil menatap Ayana yang sedang bersiap-siap.Pagi itu Ayana kembali muntah, tapi dia bersikeras ingin pergi ke kantor.“Hari ini aku ada rapat penting, De. Mana mungkin aku tidak ke kantor. Lagi pula tadi hanya mual biasa, nanti aku minum obat setelah rapat dan istirahat sebentar di kantor. Aku janji.” Ayana membujuk suaminya agar tidak mencegahnya pergi.Deon menghela napas kasar, lantas mendekat ke Ayana dan merapikan helaian rambut istrinya itu.“Nanti siang akan kukirim makanan seperti biasa. Jika memang tidak banyak pekerjaan, istirahatlah meski sebentar,” ucap Deon penuh perhatian.Ayana mengangguk-angguk mendengar ucapan suaminya. Dia bahkan memulas senyum manis agar Deon tidak cemas.“Aku nanti akan ke kafe sebentar karena papan namanya jadi dan akan dikirim siang ini. Sekalian melihat kondisi Shirly. Kasihan sekali dia harus sembunyi agar tidak diincar pacarnya yang gila,” ujar Deon benar-benar tidak habis pikir ada pria yang
Deon pergi ke kafe barunya yang belum buka untuk mengurus papan nama yang akan dipasang siang itu. Dia juga sudah membawa makan siang yang akan dibawanya ke kantor Ayana.“Apa kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Deon saat menemui Shirly.Shirly tinggal sementara di kafe milik Deon. Dia diberi kesempatan Ayana untuk nantinya membantu di kafe bagian dapur, sekalian bersembunyi dari pacarnya.“Tidak, semua masih ada. Aku berterima kasih karena kalian mau membantuku,” kata Shirly yang sebenarnya malu karena Ayana sangat baik kepadanya.“Baiklah.” Deon mengangguk-angguk paham. “Kamu tidak keluar-keluar, kan?” tanya Deon kemudian untuk memastikan jika Shirly aman di sana.“Tidak, aku hanya keluar di belakang kafe saja untuk mencari sinar matahari atau udara,” jawab Shirly yang sangat patuh dengan perintah Ayana dan Deon.Deon mengangguk lagi, hingga kemudian berkata, “Aku akan pergi lagi. Tetap di sini dan jika memang membutuhkan sesuatu yang mendesak, hubungi aku. Tidak perlu sungkan karena m
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida