Tara tahu, menginap di rumah Jeno adalah pilihan yang kurang tepat. Sebab ia paham, nenek Astuti tak pernah benar-benar menyukai dirinya sejak berkawan dengan Jeno dari zaman SMA.
Tapi apa boleh buat. Lebih baik tidur di rumah Jeno daripada harus bersedih sendirian di rumah. Karena, di rumah dia punya Papa, Kakak dan Paman tapi dia memilih untuk memeluk diri sendiri.
Di sini juga sama, Tara masih memeluk diri sendiri. Namun yang membuat berbeda adalah, Jeno selalu punya cara sendiri untuk menenangkan Tara. Jeno selalu punya cara untuk tahu, tanpa diberi tahu.
Tara memang bercerita tentang kuliahnya yang akhir-akhir ini terasa semakin memusingkan. Tapi, gadis itu tak akan pernah bercerita; tentang betapa sulit tidurnya setiap malam, atau tentang bagaimana sakitnya ia harus menelan obat-obatan pahit hanya agar bisa tertidur nyenyak sampai pagi. Tentang Juna dan obsesinya. Tentang dia, yang sebenarnya lebi
Embun belum sepenuhnya menghilang dari atas dedaunan tatkala Somad (nama motor Jeno) merayap di jalan menuju rumah Keluarga Taharja.Tak ada lagi percakapan pendek yang biasa dimulai oleh laki-laki itu, sebab baginya, ada sesuatu yang sangat menyebalkan; tentang bagaimana bisa Tara selalu berhasil menyembunyikan segala lukanya sendirian berhasil membuat Jeno merasa patah semalaman."Turun," titah Jeno tegas seraya melepas helm di kepalanya.Tara bergeming. Sejak sarapan tadi, rasa bersalah memenuhi dirinya. Namun daripada itu, Tara lebih takut kalau apa yang ia duga benar-benar Jeno lakukan hari ini."Jen, lo abis ini pergi 'kan?" Gadis itu bertanya memastikan sembari tetap duduk di atas jok motor Jeno."Pergi ke mana?!" Jeno bertanya sengak. Hanya dengan begitu saja, Tara segera turun dari motor Jeno.Jangan kira Jeno laki
Setiap hari Juna datang ke kediaman Keluarga Taharja, namun setiap hari pula, kedatangannya tidak diterima dengan layak. Sekalipun Taharja, Sang Kepala Keluarga memperlakukan ia seperti manusia pada umunya, hal itu tidak berlaku bagi Tirta dan Karen. Apa lagi Tara.Kau tahu? Juna rasanya sudah hampir gila. Bahkan ia mulai meminum obat tidur agar setidaknya bisa terlelap kala malam menjemput. Dia lupa mengonsumsi karbohidrat dan lebih memilih caramel macchiato-nya sebagai ganjal perut pagi, siang maupun malam.Laki-laki itu selalu bertanya, namun tak ada siapa-siapa yang memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Juna yakin, satu-satunya orang yang dapat memberikan ia jawaban hanyalah Tara. Tapi gadi itu ... seolah-olah pergi dan menghilang begitu saja.Kabar gembira datang di kala sore mulai menjemput. Merah muda kelabu tertata di atas biru yang mulai ungu. Nabastala berganti warna dari kelabu menjadi jingga
"Teressa adalah mama saya." Gadis itu menatap tajam. Wajahnya yang awalnya terkesan polos dan naif tiba-tiba berubah jadi agak tidak menyenangkan untuk dipandang. Setidaknya bagi Tiffany.Namun, wanita itu tak mengatakan apa-apa. Suara tepuk tangan terdengar agak keras hingga pengunjung lain berusaha mencuri-curi pandang ke arah mereka. Tiffany bertepuk tiga kali."Marvelous." katanya sambil tersenyum lebar. Tapi benar, Tara bisa menemukan sesuatu yang berbeda dari sinar matanya. Seperti sinar campur aduk antara benci, cinta, cemooh dan rindu. Seperti tatapan seorang ibu yang mengutuk anaknya secara terpaksa."Saya nggak menyangka dunia memang selebar daun kelor. Sebab saya terlalu sering berkeliling dunia, dan nyatanya dunia itu lebar. Tapi begitu saya menyadari bertemu 'cucu saya' di sini, dunia tiba-tiba menyempit." Tiffany terbahak. Dengan gaya sosialita kelas atas, wanita itu mengusap
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Udah?" Tara hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jeno. "Cus! Berangkat, ya, Om!" kata Jeno sambil melambai, Tara juga. Lalu Somad (nama motor Vespa Jeno) melaju pelan keluar dari pekarangan Keluarga Taharja. Sebenarnya Tara masih kebingungan. Soalnya Jeno sama sekali enggak bilang mereka mau pergi kemana. Laki-laki itu cuma datang dan Tara juga sudah siap-siap karena dipaksa bergerak cepat sama ayah dan kakaknya. Bahkan, ayahnya yang menyiapkan bekal mereka. Kalau melihat bekal yang dibawakan oleh Taharja sih, kayaknya mereka mau piknik. Terka Tara dalam hati. "Jen," panggilnya. Namun Jeno tak urung menjawab. "Jeno!" "Heh—eh, apa?!" tanya Jeno dengan sedikit berteriak, lalu kepalanya agak menoleh ke belakang sekilas. "Udah liatin jalan aja, nanti kecelakaan 'kan gak lucu!"
"Apa yang mereka lakuin di sana?" "Mereka makan mi ayam di sebuah kedai, Pak," jawab seseorang dari seberang panggilan. Juna meremas ponselnya agak kuat. Laki-laki itu mengeram rendah sebelum akhirnya berkata kepada laki-laki di seberang panggilan untuk terus mengikuti kemana arah perginya dua anak manusia itu, Tara dan Jeno. Ya, Juna memutuskan untuk menyewa orang buat mengikuti Tara kemana-mana. Mendengar Tara keluar bersama Jeno, dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dari ibukota membuat emosi Juna kontan menggebu-gebu. Bayangkan saja, Tara tak menerima teleponnya dan tak pernah membaca pesan darinya. Tapi di hari Minggu ini, gadis itu malah jalan-jalan dengan laki-laki lain. Juna hampir saja membanting ponselnya saat sebuah pesan masuk, membuatnya urung melempar ponsel mahal itu menjadi beberapa pecahan. Orang tadi
"Langit dibalik menimpa laut, laut dibalik menimpa langit. Tapi Tuhan tak pernah memutuskan buat membalik mereka. Karena Tuhan tahu, ada hal-hal yang harus dilindungi oleh masing-masing. Laut itu indah, di dalamnya ada suka duka. Tempat bekerja bagi para nelayan juga. Di sana, gue nggak tahu bakal menemukan apa. Tapi di sini, dengan melihat deburan ombak yang tenang, gue menemukan diri gue tiba-tiba baik-baik saja. Laut itu, sebuah mahakarya, hadiah dari Tuhan untuk kita." Jeno memaparkan. "Dari yang aku tangkap, kamu suka laut karena deburan ombak itu," laki-laki itu menunjuk jauh ke sana, "membuat kamu merasa tenang, 'kan?"Deburan ombak, membuat Tara merasa tenang.Iya, debur ombak memang selalu membuatnya Tenang. Sejenak, Tara melupakan bahwa dia menyukai laut karena baginya; hidup terlalu pelik dan curut-marut.Selesai menyantap mi ayam- karena cuaca sangat mendukung Tara mengiyakan saja padahal ti