"Berita utama, hari ini, tepatnya 21 Oktober 2004 telah terjadi kecelakaan beruntun di Ibukota. Total, enam belas orang meninggal dunia dan perkiraan kerugian mencapai 2,3 miliar. Kami akan menghubungkan ...."
Seorang gadis kecil dengan gaun renda-renda berwarna merah muda dan jepitan stroberi kecil di rambut hanya bisa menata siaran berita di televisi. Sementara kedua orang tuanya sibuk berdebat yang sama sekali tak ia mengerti.
"Kak Tirta, aku mau ini." Tara kecil menunjuk hidangan yang dipesan oleh orang tua mereka, namun didiamkan begitu saja.
Tirta mengangguk, sebab adiknya terlalu kecil untuk bisa menggapai makanan itu. Wajah bocah kurus kerontang itu jelas-jelas lesu, tapi Tara tak bisa mengartikan hal itu.
"Tirta sama Tara ikut aku." Mama berkata, sontak Tirta menatap Sang Mama nanar. Begitupun Taharja, tak habis pikir.
"Kamu kan udah hamil l
Satu hari yang menyedihkan berhasil terlewatkan begitu saja, tak ada doa-doa apa lagi sambutan arwah seperti yang orang-orang pada umumnya lakukan.Lalu pagi kembali berjalan seperti biasa, semua orang kembali ke rumah Keluarga Taharja.Pagi-pagi buta, suara mobil seseorang terparkir di halaman rumah. Papa yakin, itu adalah Renjuna. Lelaki paruh baya itu kembali meneruskan acara memasak dan membiarkan siapa saja menyambut Juna.Namun, tak lama suara kendaraan roda dua yang juga sangat dikenali oleh Papa terdengar berhenti di halaman. Dan itu sudah jelas seorang Jeno.Kadangkala Papa merasa, anaknya sangat beruntung memiliki kekasih juga sahabat seperti Juna dan Jeno. Tak perlulah lelaki khawatir, sebab jelas kalau Juna maupun Jeno sangat menyayangi Tara.Namun, pada lubuk hatinya yang terdalam, Papa tetap saja khawatir. Sebab dari tatapan mata saja Papa su
Semua orang memasuki rumah ketika Papa akhirnya mengomel panjang— sepanjang jembatan Suramadu dan akhirnya berkacak pinggang seperti memarahi sekumpulan bocah berumur 5 tahun.Juna ragu memasuki rumah sebab jelas bajunya basah kuyup dari atas sampai bawah, pemuda itu berdiam di daun pintu, sangsi.Tak lama, Papa yang melihat itu pun segera berucap, "Juna masuk ke kamar mandi aja, Papa ambilkan handuk sama baju ganti punya Abang Tirta."Juna mau tidak mau mengangguk pasrah. Namun tak lama, suara lantang Tirta terdengar. "Kenapa baju aku sih, Pa?!""Emang kenapa sih?" Papa mengerutkan dahi, bertanya. "Ya nggak bisa dong! Bajunya Om Karen kek! Pokoknya jangan punya aku, nggak sudi.""Eh! Emangnya siapa yang sudi pake baju elo?" Juna menyergah tak kalah lantang."Bagus kalo gak mau." Tirta bersendekap dada.&
Dulu, waktu Tara kecil, dia ingat pernah masuk rumah sakit gara-gara terlalu banyak makan kertas dan berakhir muntah-muntah. Waktu itu dia masih kelas satu SD. Tara tak pernah lupa betapa menyeramkan bayangannya tentang rumah sakit dan dokter waktu itu, rasanya semuanya menakutkan karena orang-orang terlihat besar dan tinggi tapi tidak ramah ataupun cantik seperti Papa dan Mama. Tapi ada satu dokter yang sangat tampan dan baik, akhirnya dia mau dirawat oleh dokter itu.Tara tidak benci rumah sakit, cuma muak saja. Sejak kecelakaan besar itu, dia dirawat selama beberapa bulan di rumah sakit karena tulang retak. Beberapa tahun setelah itu, dia juga harus rajin cek ke rumah sakit perkara kesehatan mentalnya yang lemah. Kemudian lama dia tak pernah kemari lagi sejak mulai memasuki kuliah.Namun sore ini, dia kembali membuka mata dan menyapa udara rumah sakit yang pengap dan berbau obat-obatan pekat. Seingatnya hal terakhir yang dilak
"Hari ini kamu kesini, kan?" Juna memandang ujung-ujung kakinya yang menggantung di udara saat ia duduk di sisi ranjang. Di luar, hujan rintik-rintik mulai membasahi pekarangan, turun di celah-celah jendela dengan tak beraturan."Hujan, males, ah." Tara berujar di seberang sana, disusul sebuah hela malas yang terdengar menyakitkan di telinga Juna."Ya udah, aku yang kesana.""Kamu nggak capek? Beneran nggak ada capek-capeknya ya. Liburan tuh istirahat aja di rumah, aku juga capek lho kuliah. Banyak tugas, mana bentar lagi skripsian.""Aku nggak capek. Justru yang bikin capek tuh kangen sama kamu." jawab pemuda itu sembari beranjak dari kasur, memandang keluar dengan tubuh terbalut bathrobe abu— jelas memperlihatkan bahwa lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan bukti nyata rambut yang basah."Tapi kamu tiap hari anterin aku, jemput a
Mobil Juna berhenti di halaman rumah minimalis miliknya, Tara praktis melipat dahi saat melihat ada mobil lain yang tak ia ketahui pemiliknya (jelas bukan punya Juna) terparkir di garasi pemuda itu."Siapa yang dateng? Temen kamu?" Tara bertanya sembari menoleh ke samping, hanya untuk mendapatkan Juna yang tengah membuka sabuk pengaman."Eyang." jawab pemuda itu dengan santainya."Apa?!" Tara memekik tertahan. "Bisa-bisanya kamu nggak bilang dari tadi!"Dengan wajah tanpa dosa Juna mengedikkan bahu tak peduli. "Emangnya penting?""Ya penting lah, Juna! Masa aku ketemu nenek kamu kayak gini?" Tara merasa minder karena hanya memakai kaos polos putih dan celana jeans pendek di atas lutut dan bahkan sama sekali tak memakai make up."Apanya yang kayak gini? Kamu cantik kok." Juna meyakinkan.Bukannya tersipu
Hari ini juga, di tempat lain, Jeno mendesah berat. Minggu-minggu seperti ini harusnya dia berada di toko distro untuk mengais rezeki, namun agaknya hari ini ada yang lebih berat daripada tanggungjawab itu; menjaga keponakannya.Entah tersambar gledek atau bagaimana, saudara jauhnya berkunjung hari ini. Lengkap formasinya dengan anak-anak, beserta satu gadis SMP yang sedang dalam masa pertumbuhan— yang rupa-rupanya menaruh hati lebih kepada Jeno— Omnya sendiri."Om, om, lihat nih! Aku punya jam tangan Superman." Seorang anak laki-laki menunjukkan pergelangan tangan yang bertahta jam bergambar Superman di sana, tersenyum pongah kepada Jeno.Jeno berpura-pura antusias, tersenyum dan menatap seolah iri, padahal tidak sama sekali. "Wahhh, bagus banget. Om jadi pengen. Kamu beli di mana?" Pemuda itu akhirnya masuk ke dalam drama kanak-kanak.Tak cukup sampai itu, Jeno j
Tara mulai mengabsen setiap stand-stand penjual makanan maupun mainan. Bermain-main dengan panahan untuk mendapatkan boneka beruang yang berujung menghabiskan lebih dari seratus ribu tanpa membawa pulang apapun. Kemudian mereka berhenti lagi di stand penjual kentang spiral, mengantre di sana dengan tertib sambil berpegangan tangan layak remaja yang baru saja kasmaran."Kamu mau yang rasa pedes atau original?" tanya Tara ketika antrian semakin menipis, maju seiring berjalannya waktu."Original aja. Kalau kamu pasti pedes, kan?" Juna merangkul bahu Tara dari belakang, dunia serasa milik berdua. Mereka tiada memperdulikan tatapan iri serta menghardik dari orang-orang."Iya. Kamu tahu lah. Boleh, kan?""Iya, yang penting jangan pedes-pedes. Nanti sakit." Juna sesekali mengecup pucuk kepala gadis itu, membaui vanilla yang selalu menjadi favoritnya.Tara m
Sebenarnya, tempo hari sebelum pulang, Tiffany sempat bertanya apakah Minggu depan Tara memiliki cukup waktu. Dan tanpa ragu, gadis itu menjawab iya. Memang setiap hari Minggunya selalu kosong, kok. Dia tak punya agenda apa-apa selain merebahkan diri di atas kasur sampai malam kembali menjemput.Jadi hari-hari yang sibuk sudah terlewati begitu saja. Hari ini, pagi-pagi buta mobil limusin mewah yang dikemudikan oleh Pak Suryo- supir kesayangan Tiffany- sudah terparkir rapi di halaman rumah Tara. Yang sempat membuat Papa, Om, Tirta dan Jojon sukses terheran-heran di Sabtu pagi yang cerah ini.Tak lama, Tara keluar dari kamarnya. Jelas semua orang lebih heran, sebab angka di jam menunjukkan masih pukul setengah tujuh pagi. Itu artinya Satara bangun 1,5 jam lebih awal daripada biasanya. Semua orang terkesiap di tempat."Mau kemana, Ra?" Akhirnya, setelah meredakan kaget, Papa bertanya dengan raut penuh seli
Tiffany dan Taharja duduk di taman rumah sakit. Suasana agak cerah dan ramai oleh pasien maupun pengunjung. Beberapa di antara mereka datang sendirian, ada juga yang berdua. Meski suasana cukup bising, Taharja dan Tiffany tak dapat merasakan keramaian itu sebab; mereka terlalu hanyut dalam lamunan masing-masing.Canggung mendera atmosfer di antara keduanya. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang bersikap biasa-biasa saja sementara masa lalu mereka yang cukup gila masih berbekas hingga sekarang.Taharja berdeham sekali. Tenggorokannya terasa serak dan kering, maka laki-laki paruh baya itu kontan berdiri. "Saya beli minuman dulu," pamitnya.Tiffany mengangguk tanpa kata. Sebab wanita tua itu pun juga merasa sangat tidak nyaman."Terima kasih." Tiffany menerima uluran tangan Taharja yang berisi air mineral dingin. Taharja tak membalas, ia kembali mendudukkan diri di samping Tiffany
Jeno dan Tara mengikuti pak Suryo ke rumah sakit. Berniat menjenguk Juna meski cuma sebentar. Ada rasa cemas di hati Tara sewaktu perjalanan yang cukup memakan waktu itu.Setiba di ruang rawat, terlihat Tiffany sedang bersama Juna. Juna tertidur pulas sementara Tiffany memegang lengan Juna dengan raut cemas.Mereka bertiga masuk. Kontan mata Tiffany dan Tara bertemu, canggung menerpa keduanya.Jeno berdehem kecil untuk mencairkan suasana. "Malam, Tante. Masih ingat saya nggak? Saya Jeno, temen kuliahnya Juna." Jeno mendekat, memberi salam.Tiffany tersenyum, lalu mengangguk. "Ingat kok, Juna juga pernah cerita soal kamu sama saya." Tiffany berkata, tapi menatap pada Tara. Seketika yang ditatap kembali merasa canggung.Diam kembali mewarna atmosfer tempat itu. Tiffany bangkit dengan canggung. "Saya belum makan malam, ayo makan malam Pak Suryo!" ajakny
"Ayo ... ayo bilang kalau kamu nggak baik-baik saja, kalau kamu sakit, kamu nangis setiap hari, kamu ... kamu nggak kuat. Ayo bilang sama aku!" Tangis Jeno menderu-deru. Bak suara debur ombak yang berlomba-lomba mencapai pesisir. Laut yang biasa terasa menenangkan, kini menyayat hati."Padahal dari dulu, susah payah aku buat nggak terlihat lemah di depan kamu. Karena apa? Karena aku mau kamu sadar, kalau aku itu bisa diandalkan. Kamu bisa mengandalkan aku. Kamu bisa cerita semua masalah kamu, kamu boleh bersandar di bahuku ketika kamu nggak ada tempat yang tepat untuk pulang." Laki-laki itu berkata.Dia menggeleng kuat hingga air matanya semakin berlomba-lomba untuk jatuh di pipi. "Tapi kamu nggak pernah. Kamu nggak pernah datang sama aku dan berkata kalau kamu lelah, kalau kamu letih dan muak dengan hidup ini. Kamu nggak pernah. Kamu seolah-olah menganggap aku nggak pantas buat jadi sandaran kamu saat berada di titik rendah. Beg
"Langit dibalik menimpa laut, laut dibalik menimpa langit. Tapi Tuhan tak pernah memutuskan buat membalik mereka. Karena Tuhan tahu, ada hal-hal yang harus dilindungi oleh masing-masing. Laut itu indah, di dalamnya ada suka duka. Tempat bekerja bagi para nelayan juga. Di sana, gue nggak tahu bakal menemukan apa. Tapi di sini, dengan melihat deburan ombak yang tenang, gue menemukan diri gue tiba-tiba baik-baik saja. Laut itu, sebuah mahakarya, hadiah dari Tuhan untuk kita." Jeno memaparkan. "Dari yang aku tangkap, kamu suka laut karena deburan ombak itu," laki-laki itu menunjuk jauh ke sana, "membuat kamu merasa tenang, 'kan?"Deburan ombak, membuat Tara merasa tenang.Iya, debur ombak memang selalu membuatnya Tenang. Sejenak, Tara melupakan bahwa dia menyukai laut karena baginya; hidup terlalu pelik dan curut-marut.Selesai menyantap mi ayam- karena cuaca sangat mendukung Tara mengiyakan saja padahal ti
"Apa yang mereka lakuin di sana?" "Mereka makan mi ayam di sebuah kedai, Pak," jawab seseorang dari seberang panggilan. Juna meremas ponselnya agak kuat. Laki-laki itu mengeram rendah sebelum akhirnya berkata kepada laki-laki di seberang panggilan untuk terus mengikuti kemana arah perginya dua anak manusia itu, Tara dan Jeno. Ya, Juna memutuskan untuk menyewa orang buat mengikuti Tara kemana-mana. Mendengar Tara keluar bersama Jeno, dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dari ibukota membuat emosi Juna kontan menggebu-gebu. Bayangkan saja, Tara tak menerima teleponnya dan tak pernah membaca pesan darinya. Tapi di hari Minggu ini, gadis itu malah jalan-jalan dengan laki-laki lain. Juna hampir saja membanting ponselnya saat sebuah pesan masuk, membuatnya urung melempar ponsel mahal itu menjadi beberapa pecahan. Orang tadi
"Udah?" Tara hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jeno. "Cus! Berangkat, ya, Om!" kata Jeno sambil melambai, Tara juga. Lalu Somad (nama motor Vespa Jeno) melaju pelan keluar dari pekarangan Keluarga Taharja. Sebenarnya Tara masih kebingungan. Soalnya Jeno sama sekali enggak bilang mereka mau pergi kemana. Laki-laki itu cuma datang dan Tara juga sudah siap-siap karena dipaksa bergerak cepat sama ayah dan kakaknya. Bahkan, ayahnya yang menyiapkan bekal mereka. Kalau melihat bekal yang dibawakan oleh Taharja sih, kayaknya mereka mau piknik. Terka Tara dalam hati. "Jen," panggilnya. Namun Jeno tak urung menjawab. "Jeno!" "Heh—eh, apa?!" tanya Jeno dengan sedikit berteriak, lalu kepalanya agak menoleh ke belakang sekilas. "Udah liatin jalan aja, nanti kecelakaan 'kan gak lucu!"
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Teressa adalah mama saya." Gadis itu menatap tajam. Wajahnya yang awalnya terkesan polos dan naif tiba-tiba berubah jadi agak tidak menyenangkan untuk dipandang. Setidaknya bagi Tiffany.Namun, wanita itu tak mengatakan apa-apa. Suara tepuk tangan terdengar agak keras hingga pengunjung lain berusaha mencuri-curi pandang ke arah mereka. Tiffany bertepuk tiga kali."Marvelous." katanya sambil tersenyum lebar. Tapi benar, Tara bisa menemukan sesuatu yang berbeda dari sinar matanya. Seperti sinar campur aduk antara benci, cinta, cemooh dan rindu. Seperti tatapan seorang ibu yang mengutuk anaknya secara terpaksa."Saya nggak menyangka dunia memang selebar daun kelor. Sebab saya terlalu sering berkeliling dunia, dan nyatanya dunia itu lebar. Tapi begitu saya menyadari bertemu 'cucu saya' di sini, dunia tiba-tiba menyempit." Tiffany terbahak. Dengan gaya sosialita kelas atas, wanita itu mengusap