[Kalau ada tanda: *** artinya kejadian itu terjadi dalam hari yang sama. Kalau ada tanda - oOo - artinya sudah berganti hari.]
***
Seperti yang sudah berlalu, tak peduli sehebat apa mereka bertengkar. Selama apa mereka saling diam, dan betapa tajam tatapan mereka menghujam satu sama lain—mereka tetap kembali.
Tetap di sini, untuk saling memeluk. Untuk bertahan dan mencintai sebagaimana mesti.
Juna tak tahu apa yang dipikirkan oleh Tara, pun sebaliknya. Tapi setidaknya mereka sama-sama tahu, apa pun keadaannya, mereka saling mencintai.
Itu saja. Sudah cukup untuk membuat mereka tetap tidur dalam satu selimut yang sama malam ini.
Setelah drama air murahan yang mereka lakukan di bawah hujan, Juna dan Tara kembali masuk ke dalam mobil. Pergi, pulang.
Mereka kembali seperti biasa, Juna menghang
Pukul satu siang, mereka kehabisan bahan seru-seruan. Bahkan sekarang Martin dan Dava tengah tertidur di atas sofa, berselimutkan sarung bekas sholat dhuhur.Jeno dan Deva, si tidak banyak bicara namun kompetitif sekarang sedang berusaha saling mengalahkan."Yes! Lo kalah." Jeno mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi, berbangga diri sebab telah mengalahkan Si kompetitif dari jurusan farmasi, Aldeva!Deva mengeram kesal, dia membuang stick begitu saja. Lantas mengacak rambut sebab merasa gagal. Sekompetitif itulah Deva, sangat berbeda dengan Dava yang santai.Jay dan Elendra sedang bergulat sengit melalui tatapan mata masing-masing, mereka sedang bermain catur secara sengit dan panas. Orang-orang selalu bertanya, kenapa pertandingan mereka tidak pernah selesai sejak masih kuliah?Ini alasannya ..."Gue bakal menang wahai
Gadis dengan rambut yang sudah dicepol asal, wajah lesu, dan pikiran yang hampir saja meledak seandainya dia adalah mesin. Menjadi mahasiswi tahun ketiga tidak pernah mudah, praktik dan makalahnya sering ditolak. Tara jadi menyesal tidak giat belajar sejak lalu-lalu.Dia membuang bungkus permen lewat celah jendela, dengan lagu ballad berbahasa Mandarin—yang Tara mau tidak mau suka, karena Juna juga suka—mengalun lembut di setiap inci mobil Juna.Tara memperhatikan air embun di jendela mobil yang ia dan Juna kendarai saat ini, dalam hati ia bertanya-tanya: apakah sebab sekarang hujan, jadi embun datang, kalau iya, ia suka."Jun." Tara mengalihkan pandangannya pada Juna yang fokus menyetir.Mereka baru saja pulang dari kafe, lebih tepatnya Juna menjemput Tara yang sedang berada di kafe. Gadis itu tengah mengerjakan tugas kelompok."Hm, kena
Tara melihat tangan kecilnya digenggam erat-erat. Dia terserang panik berlebihan saat bunyi klakson bersahut-sahutan di telinga, ditambah lagi suara ayahnya yang meneriakkan nama Tara dan seorang wanita di sebelahnya keras-keras.Begitupun yang dilakukan oleh Tirta, Kakaknya.Mereka bersiap untuk menyebrang. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti langkah orang itu. Tenaganya tak cukup besar untuk menolak.Tin!!! Tin!!!Sebuah truk pengangkut pasir terang-terangan menabrak tubuhnya, ia terpelanting jauh. Tubuh kecil itu terseret beberapa meter di atas material aspal yang kasar.Selesai.Tubuhnya sudah tergolek tak bernyawa. Bersimbah darah di kanan kiri dengan luka memenuhi setiap inci.Tara terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat mengucur deras lewat pelipisnya. Rambut basah oleh keringat dengan tangan gemetar hebat.Buru-buru ia membuka nakas yang berada tepat d
"Ra cepet turun sini, cepet!""Ih bentar!!" Tara balas berteriak.Dia sedang mencari antingnya yang tinggal sebelah. Hari ini mau berangkat kuliah bareng ayahnya karena dia masih kesal terhadap Juna.Bahkan gadis itu sama sekali tak membuka ponsel sebab tahu, Juna pasti sudah menghubungi berkali-kali dan mengirim pesan spam sambil marah-marah."Ih cepetan."Tara sontak menoleh saat mendapati ayahnya sudah berdiri di daun pintu kamarnya yang berwarna biru langit."Bentar, ih! Anting aku kemana ya, Pa?" Tara kembali mengacak-acak ranjangnya, siapa tahu anting berhiaskan permata mini itu menyelip di sana."Anting?""Iya. Papa liat nggak?""Anting yang ada permatanya?"Tara kembali melihat Papanya yang sudah berpakaian rapi, hendak mengurus masalah penyewaan gedung."Iya," balas gadis itu penu
Bagi orang-orang kalimat "Aku tak bisa hidup tanpanya" adalah bualan semata. Tapi bagi Juna, rangkaian kata itu bukan sekedar rayuan. Itu nyata adanya.Juna tak bisa hidup tanpa Tara. Tak ada hari tanpa Tara dan tak ada napas tanpa memikirkan gadis itu.Semua. Semua napas, setiap butir nasi yang masuk ke dalam tubuh, setiap inci tubuh dan jiwanya, Juna merasa; itu semua untuk Tara. Milik Tara.Juna merasa ... dia bisa melawan semuanya termasuk semesta untuk mendapatkan Tara.Pada hari-hari penuh kebimbangan, Juna berusaha mati-matian untuk menerima Tara. Tak mudah memang, tapi gadis itu berhasil.Mereka akhirnya saling mencintai.Tapi tak ada yang berubah, Juna tetap Juna yang dulu dan Tara semakin parah. Tapi mereka bersikap abai terhadap kenyataan tersebut.Mereka berdua hanya berderap pada jala
Hari ini semua orang kembali sibuk, Tirta sebagai pemegang predikat manusia ganteng yang tak pernah pacaran tapi sangat populer di kalangan para penyewa gedung—harus kembali ke kantor untuk mengurus segalanya yang harus diurus.Pemuda itu telah siap dengan celana chinos hitam dan kemeja merah jambu yang sialnya tampak serasi-serasi saja dengan rambutnya yang baru dicat berwarna biru. Rambut yang sudah berganti warna sebanyak tiga kali dalam empat bulan terakhir.Pemuda itu membenarkan kacamatanya sebelum beranjak dari kursi bar, menyelesaikan sarapannya. Begitupun yang dilakukan oleh satu-satunya perempuan di rumah itu, Tara. Gadis tersebut sudah siap dengan kemeja biru muda dan celana jeans senada, wajahnya yang selalu ceria kini kontras dengan kepribadiannya. Terlihat sangat frustasi serta kelelahan, kantung mata terlihat jelas seperti digambar dengan eyeshadow.Kantor Tirta tidak jauh-jauh amat
Juna marah-marah lagi. Seperti biasa, karena Tara lupa mengabari ditambah masalah ponsel tadi. Setelah beberapa menit mengobrol dengan ponsel Sonya, akhirnya pemuda itu kembali tenang begitupun Tara.Setelah benar-benar berpisah dengan lambaian tangan yang kian mengecil ditelan jarak, Tara berjalan ke arah pintu utama. Sidak pasti akan dilakukan hari ini kepada pelaku pencurian sabun cuci motor, yang tak lain dan tak bukan adalah Tirta. Tara yakin sekali.Saat memasuki rumah, Tara dibuat super heran dengan keadaan sekitar yang amat kacau. Tampak ayahnya yang sedang membersihkan pecahan kaca di lantai, sedangkan omnya—Karen—duduk di sofa dengan pose yang sangat sopan. Jelas itu adalah sebuah kejanggalan, sebab Karen dan Sopan adalah dua hal yang tidak mungkin berkolaborasi. Lalu yang lebih mengherankan, kakaknya sedang menangis dengan nada super nelangsa, di pelukannya terdapat kucing hitam temuan tempo hari. Ditambah
Karen menurunkan bahu dan kertas yang diangkat tinggi-tinggi itu bersama helaan panjang yang muak. "Siapa sih yang main ke rumah malem-malem?! Nggak tau apa kalau lagi ada sidang penting di sini?!" Lelaki itu kembali menghamburkan diri ke sofa, tanda bahwa ia sama sekali tak mau membuka pintu dan mempersilahkan Sang tamu masuk ke kediaman mereka."Tau tuh!" Tirta pun ikut-ikutan menghamburkan diri ke sofa. Sudah cukup sedih kehilangan Kulas hari ini, dia sedang tidak memiliki ide, bahkan hanya untuk tersenyum kepada seseorang.Papa dan Tara beradu pandang sengit. Semula, Tara hendak tidak tahu diri dan menyuruh Papanya untuk membuka pintu. Tapi setelah mendapatkan pelototan dari Kakaknya, gadis itu ngibrit menuju selasar, pintu utama."Aduh-aduuhhh!! Saya nggak budek, ya." Gadis itu menggerutu sambil berjalan cepat lantaran bel ditekan semakin tangkas tiap detiknya. Gadis itu tiba-tiba memiliki ide, ten
Tiffany dan Taharja duduk di taman rumah sakit. Suasana agak cerah dan ramai oleh pasien maupun pengunjung. Beberapa di antara mereka datang sendirian, ada juga yang berdua. Meski suasana cukup bising, Taharja dan Tiffany tak dapat merasakan keramaian itu sebab; mereka terlalu hanyut dalam lamunan masing-masing.Canggung mendera atmosfer di antara keduanya. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang bersikap biasa-biasa saja sementara masa lalu mereka yang cukup gila masih berbekas hingga sekarang.Taharja berdeham sekali. Tenggorokannya terasa serak dan kering, maka laki-laki paruh baya itu kontan berdiri. "Saya beli minuman dulu," pamitnya.Tiffany mengangguk tanpa kata. Sebab wanita tua itu pun juga merasa sangat tidak nyaman."Terima kasih." Tiffany menerima uluran tangan Taharja yang berisi air mineral dingin. Taharja tak membalas, ia kembali mendudukkan diri di samping Tiffany
Jeno dan Tara mengikuti pak Suryo ke rumah sakit. Berniat menjenguk Juna meski cuma sebentar. Ada rasa cemas di hati Tara sewaktu perjalanan yang cukup memakan waktu itu.Setiba di ruang rawat, terlihat Tiffany sedang bersama Juna. Juna tertidur pulas sementara Tiffany memegang lengan Juna dengan raut cemas.Mereka bertiga masuk. Kontan mata Tiffany dan Tara bertemu, canggung menerpa keduanya.Jeno berdehem kecil untuk mencairkan suasana. "Malam, Tante. Masih ingat saya nggak? Saya Jeno, temen kuliahnya Juna." Jeno mendekat, memberi salam.Tiffany tersenyum, lalu mengangguk. "Ingat kok, Juna juga pernah cerita soal kamu sama saya." Tiffany berkata, tapi menatap pada Tara. Seketika yang ditatap kembali merasa canggung.Diam kembali mewarna atmosfer tempat itu. Tiffany bangkit dengan canggung. "Saya belum makan malam, ayo makan malam Pak Suryo!" ajakny
"Ayo ... ayo bilang kalau kamu nggak baik-baik saja, kalau kamu sakit, kamu nangis setiap hari, kamu ... kamu nggak kuat. Ayo bilang sama aku!" Tangis Jeno menderu-deru. Bak suara debur ombak yang berlomba-lomba mencapai pesisir. Laut yang biasa terasa menenangkan, kini menyayat hati."Padahal dari dulu, susah payah aku buat nggak terlihat lemah di depan kamu. Karena apa? Karena aku mau kamu sadar, kalau aku itu bisa diandalkan. Kamu bisa mengandalkan aku. Kamu bisa cerita semua masalah kamu, kamu boleh bersandar di bahuku ketika kamu nggak ada tempat yang tepat untuk pulang." Laki-laki itu berkata.Dia menggeleng kuat hingga air matanya semakin berlomba-lomba untuk jatuh di pipi. "Tapi kamu nggak pernah. Kamu nggak pernah datang sama aku dan berkata kalau kamu lelah, kalau kamu letih dan muak dengan hidup ini. Kamu nggak pernah. Kamu seolah-olah menganggap aku nggak pantas buat jadi sandaran kamu saat berada di titik rendah. Beg
"Langit dibalik menimpa laut, laut dibalik menimpa langit. Tapi Tuhan tak pernah memutuskan buat membalik mereka. Karena Tuhan tahu, ada hal-hal yang harus dilindungi oleh masing-masing. Laut itu indah, di dalamnya ada suka duka. Tempat bekerja bagi para nelayan juga. Di sana, gue nggak tahu bakal menemukan apa. Tapi di sini, dengan melihat deburan ombak yang tenang, gue menemukan diri gue tiba-tiba baik-baik saja. Laut itu, sebuah mahakarya, hadiah dari Tuhan untuk kita." Jeno memaparkan. "Dari yang aku tangkap, kamu suka laut karena deburan ombak itu," laki-laki itu menunjuk jauh ke sana, "membuat kamu merasa tenang, 'kan?"Deburan ombak, membuat Tara merasa tenang.Iya, debur ombak memang selalu membuatnya Tenang. Sejenak, Tara melupakan bahwa dia menyukai laut karena baginya; hidup terlalu pelik dan curut-marut.Selesai menyantap mi ayam- karena cuaca sangat mendukung Tara mengiyakan saja padahal ti
"Apa yang mereka lakuin di sana?" "Mereka makan mi ayam di sebuah kedai, Pak," jawab seseorang dari seberang panggilan. Juna meremas ponselnya agak kuat. Laki-laki itu mengeram rendah sebelum akhirnya berkata kepada laki-laki di seberang panggilan untuk terus mengikuti kemana arah perginya dua anak manusia itu, Tara dan Jeno. Ya, Juna memutuskan untuk menyewa orang buat mengikuti Tara kemana-mana. Mendengar Tara keluar bersama Jeno, dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dari ibukota membuat emosi Juna kontan menggebu-gebu. Bayangkan saja, Tara tak menerima teleponnya dan tak pernah membaca pesan darinya. Tapi di hari Minggu ini, gadis itu malah jalan-jalan dengan laki-laki lain. Juna hampir saja membanting ponselnya saat sebuah pesan masuk, membuatnya urung melempar ponsel mahal itu menjadi beberapa pecahan. Orang tadi
"Udah?" Tara hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jeno. "Cus! Berangkat, ya, Om!" kata Jeno sambil melambai, Tara juga. Lalu Somad (nama motor Vespa Jeno) melaju pelan keluar dari pekarangan Keluarga Taharja. Sebenarnya Tara masih kebingungan. Soalnya Jeno sama sekali enggak bilang mereka mau pergi kemana. Laki-laki itu cuma datang dan Tara juga sudah siap-siap karena dipaksa bergerak cepat sama ayah dan kakaknya. Bahkan, ayahnya yang menyiapkan bekal mereka. Kalau melihat bekal yang dibawakan oleh Taharja sih, kayaknya mereka mau piknik. Terka Tara dalam hati. "Jen," panggilnya. Namun Jeno tak urung menjawab. "Jeno!" "Heh—eh, apa?!" tanya Jeno dengan sedikit berteriak, lalu kepalanya agak menoleh ke belakang sekilas. "Udah liatin jalan aja, nanti kecelakaan 'kan gak lucu!"
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Teressa adalah mama saya." Gadis itu menatap tajam. Wajahnya yang awalnya terkesan polos dan naif tiba-tiba berubah jadi agak tidak menyenangkan untuk dipandang. Setidaknya bagi Tiffany.Namun, wanita itu tak mengatakan apa-apa. Suara tepuk tangan terdengar agak keras hingga pengunjung lain berusaha mencuri-curi pandang ke arah mereka. Tiffany bertepuk tiga kali."Marvelous." katanya sambil tersenyum lebar. Tapi benar, Tara bisa menemukan sesuatu yang berbeda dari sinar matanya. Seperti sinar campur aduk antara benci, cinta, cemooh dan rindu. Seperti tatapan seorang ibu yang mengutuk anaknya secara terpaksa."Saya nggak menyangka dunia memang selebar daun kelor. Sebab saya terlalu sering berkeliling dunia, dan nyatanya dunia itu lebar. Tapi begitu saya menyadari bertemu 'cucu saya' di sini, dunia tiba-tiba menyempit." Tiffany terbahak. Dengan gaya sosialita kelas atas, wanita itu mengusap