"Kok malah manyun?" Suara Ares membuyarkan lamunanku akan rasa iri yang terselip pada sosok cantik kakak iparku itu.
"Aku udah nggak percaya sama kata-kata tak ada manusia yang sempurna, Res," sahutku lirih mengalihkan tatapan dari luar jendela ke arah Ares. Wajah Ares tampak begitu bercahaya tertimpa matahari sore ini.
"Kenapa lagi, nih?" tanya Ares tertawa pelan, matanya masih terus memperhatikan jalanan di depan.
"Itu buktinya, Kak El. Sudahlah cantik, otak pinter, punya pekerjaan yang bergengsi, baik pula. Sempurna banget kan?" Kali ini aku memutar tubuh menghadap Ares.
"Terus, apa yang bikin lo manyun?" Ares mengerutkan keningnya. Menatap sekilas padaku seakan mencari jawaban dari kalimatku barusan.
"Kebalikan sama aku, Res. Sudahlah IQ mendekati jong
Hai, jika suka cerita ini. Please komen dan vote ya.. 😊
Malam telah menjelang ketika kami meninggalkan Kota Bandung. Niat awal akan kembali ke Jakarta sore hari, menjadi tertunda karena merasa belum puas dengan kunjungan nampak tilas kami di Kota Kembang tersebut. Apa yang kutakutkan selama ini saat mengunjungi Bandung tidak terbukti. Nyatanya kehadiran Ares benar-benar mampu menutup semua kenangan tentang Rio di kota itu.Bukan karena aku benar-benar telah mampu menepiskan Rio dari hati, tetapi karena tempat yang kukunjungi bersama Ares kali ini benar-benar berbeda dengan tempat yang sering kukunjungi bersama Rio dulu. Jika dulu bersama Rio, dia lebih sering mengajakku ke tempat-tempat gaulnya mahasiswa borju di Bandung, tidak dengan Ares. Dulu dia lebih banyak mengajakku ke tempat yang memang sering dikunjungi mahasiswa dengan kantong pas-pasan.Seharian aku benar-benar puas menikmati kuliner kaki lima yang sering kami da
Saat terbangun, kudapati lantai seberang tempat tidur sudah bersih. Tak ada kasur yang digunakan Ares untuk tidur digelar di sana. Bahkan si pemilik senyum miring itu pun tak kulihat ada di kamar. Aku meluncur turun dari tempat tidur setelah melihat jam pada ponsel menunjukkan pukul 05.20. Dengan langkah ragu menuju kamar mandi, mengetuknya pelan sambil memanggil Ares. Tak ada jawaban. Ruangan itu gelap ketika pintunya perlahan kubuka.Mengenyahkan rasa heran, aku memilih untuk mengambil wudu. Berniat mencari keberadaan Ares setelah melaksanakan shalat subuh. Pintu kamar terbuka tepat sesaat aku keluar dari kamar mandi. Kulihat Ares datang menenteng plastik bening yang terdapat bungkusan makanan di dalamnya."Udah bangun?" sapanya dengan senyum lebar.Membalas senyumnya sesaat sebelum bertanya, "Dari mana
Sapuan angin dingin terasa begitu menggigit di kulit. Aku berusaha membuka mata. Namun, rasanya masih terasa berat. Seakan berada dalam lorong yang begitu gelap dan berputar. Sekujur tubuhku terasa nyeri tatkala berusaha menggerakkan anggota tubuh. Perlahan, aku merasakan dingin itu kembali makin terasa menggigit. Sesuatu seakan mengiris di kulit punggung.Dengan bersusah payah, aku kembali berusaha membuka mata. Semua masih terlihat samar. Sesaat kemudian aku menyadari, bahwa aku tengah berada di antara semak-semak dalam kondisi tanpa mengenakan pakaian. Dengan perasaan ngeri, aku berusaha mengembalikan kesadaran. Berharap ini hanya mimpi buruk. Ketika menyadari di sekelilingku yang terlihat hanyalah tumbuhan seperti tanaman teh, tubuhku mulai menggigil. Bukan karena dinginnya udara, tetapi ketakutan yang menguasai.Dengan kepala masih te
Entah berapa lama aku tergugu dalam tangis, menumpahkan segala perasaan sakit yang tak mampu lagi tertahankan. Sakitnya melebihi sakit saat ditolak Ares dulu. Masih belum mampu menerima jalan takdir yang Tuhan gariskan untukku. Ares hanya diam seribu bahasa, menarikku ke dalam pelukan. membiarkanku melepaskan semua sakit yang entah bisa sembuh atau justru membunuhku.Pelukan Ares yang seharusnya terasa menenangkan, malah membuatku takut. Takut akan kehilangannya kembali, tetapi aku juga takut untuk terus melanjutkan hubungan dengan keadaanku yang seperti ini. Meskipun Ares mengatakan bahwa ia tak akan pergi. Namun, rasa takut itu seakan mencabik.Tak lama seorang perawat datang, membawa perlengkapan yang dibutuhkan untuk memeriksa pasien. Ares melepaskan pelukannya. Mengusap pelan sisa airmata di pipiku. Dia beranjak dari
Aku kembali terjaga di ruangan dengan aroma yang paling kubenci. Aroma obat-obatan dan disinfektan. Kurasakan sesuatu ditempelkan pada area bawah hidung. Dan selang dengan kantong cairan bening yang menggantung di sisi kiriku kembali menjadi pemandangan yang pertama kali kulihat. Seperti kembali pada potongan kejadian beberapa waktu lalu. Namun, kali ini tanpa Ares yang menelungkupkan wajah di samping brankar.Tiba-tiba saja aku merindukan sosok lelaki itu. Sedikit berharap ditengah rasa takut ini, ia kembali merengkuhku ke dalam pelukannya. Memberi sedikit ketenangan pada hati yang kembali bergolak. Penenang rasa sakit yang sangat kubutuhkan. Dengan mata mengabur oleh airmata, kulihat seseorang tengah bersimpuh membelakangiku dengan mukena, di atas sajadah tak jauh dari brankar. Menadahkan tangan tanpa menyadari tatapanku.Saat sosok itu bangki
Seraut wajah yang telah kurindukan menatap dengan ekspresi tegang begitu aku membuka kelopak mata. Mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan diri sedang tidak berhalusinasi. Ingin segera menghambur ke pelukannya."Li ...." Wajah itu semakin terlihat nyata ketika ia bersuara. Dan senyum itu, meski aku tau bukan senyum terbaiknya, tetapi cukup menghanyutkan tumpukan rindu yang telah mengendap.Tanganku bergerak hendak menjangkaunya, tetapi sesuatu menahan gerakanku. Aku terkejut saat mendapati kedua tanganku terikat ke samping sisi brankar."Kenapa aku diikat?" tanyaku dengan suara parau dan menatap Ares dengan tatapan terluka. Sungguh memalukan bertemu Ares dengan kondisi seperti ini."Kata Buk Rom lo berkali-kali mau cabut infus," gumam Ares dengan tatapan pilu."Aku mau pulang. Mau ketemu kamu." Kali ini aku sudah tidak mampu menahan derai
Berbeda dengan persiapan pernikahan dengan Rio dulu, kali ini aku tidak terlalu terlibat banyak. Aku dan Ares sepakat untuk menggunakan jasa Wedding Organizers untuk mengurus semua keperluan pesta. Bukan karena aku tak bersemangat mempersiapkan hari bahagiaku, tetapi setiap kali mengingat persiapan pernikahan, traumaku kembali muncul. Bukan hanya trauma kehilangan Rio dulu, trauma akan kejadian beberapa waktu lalu masih terasa begitu berbekas.Entah berapa kali aku menyatakan pada Ares, bahwa sebenarnya aku belum begitu siap untuk melangsungkan pernikahan ini. Namun, di sisi lain aku juga tidak mau kehilangan Ares. Aku terlalu egois untuk melepaskannya. Lalu malam ini, ketika Ares kembali menghubungiku melalui telepon, menceritakan tentang kegiatan yang ia lalui hari ini, aku kembali mempertanyakan niat Ares untuk menikahiku. Mengungkapkan keraguan yang masih saja bercokol di dada."
Hari ini adalah puncak dari segala persiapan selama dua bulan ini. Aku duduk diam dan patuh saat perias wajah memoles segala jenis kosmetik ke wajah. Tak berniat mencuri pandang akan hasil kerja sang perias tersebut. Saat ini pikiranku campur aduk. Ingin rasanya melarikan diri dan bersembunyi jika tidak mengingat bagaimana perjuangan Ares untuk meyakinkanku selama dua bulan ini.Tak berapa lama, pengeras suara terdengar dinyalakan di bagian depan rumah. Diiringi salam dan kata sambutan yang entah dari siapa. Sepertinya Ares dan keluarga telah sampai, dan kalimat dari pengeras suara tersebut memberikan sambutan untuk keluarga Ares. Tiba-tiba saja keringat dingin mengalir di punggung. Membayangkan sebentar lagi Ares resmi menjadi lelaki yang akan mengambil alihku dari papa. Membuktikan ucapannya beberapa tahun lalu untuk membuat kartu keluarga sendiri.Antara gamang dan geli jika mengingat tingkah konyol Ares dulu. Mungkin ada benarnya juga uc
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala