Qeiza merasakan dadanya sesak. Dia ingin mengeluarkan semua sumpah serapahnya pada Ansel. Melampiaskan segenap rasa sakit hati yang ditanggungnya selama bertahun-tahun. Setelah dipikir-pikir, tak ada gunanya dia melakukan semua itu. Ansel telah mendapatkan balasannya. Lelaki itu sekarang mendapatkan siksa yang sama dengan apa yang dirasakannya dulu. Menanggung deraan rindu karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ya, itu pun kalau apa yang diceritakan Xander tadi benar. Ansel jatuh cinta padanya. Ah, andai cinta itu tumbuh di hati Ansel empat tahun yang lalu, tentu saat ini mereka telah memiliki keluarga kecil yang sempurna. Pasti mereka sudah dikaruniai seorang malaikat kecil yang membuat hari-hari mereka lebih berwarna. Ansel membuka kotak hitam itu. Kilau cahaya berlian menyilaukan Qeiza. Dia menyipitkan mata. Samar-samar dia menyadari bahwa satu set perhiasan yang kini terpampang di depan matanya itu bukanlah mas kawinnya dulu. Perhiasan tersebut tampak jauh lebih mewah darip
Sekarang ataupun nanti, aku tak bisa berhenti mencintaimu. ~ Ansel ~ *** Suara ketukan pintu diiringi munculnya seorang lelaki usia akhir tiga puluhan membuat Chin Hwa menoleh. Lelaki itu berperawakan tinggi dan agak kurus. Dia membungkuk pada Chin Hwa. Chin Hwa menyerahkan dua tas kepada lelaki tersebut. Miliknya dan Qeiza. Setelah mengambil alih kedua tas itu dari tangan Chin Hwa, lelaki tersebut langsung balik badan dan meninggalkan ruangan kantor Chin Hwa. Chin Hwa menarik napas panjang. Melihat pada Qeiza yang masih tertidur pulas. Dengan gerakan sangat hati-hati, dia mengangkat tubuh tunangannya itu. Dia menggendongnya ala bridal style. Tiba di pelataran parkir, Chin Hwa mendapati lelaki tadi sudah membukakan pintu mobil untuknya. Dia mendudukkan Qeiza di jok belakang sopir. Gerakannya pelan sekali. Dia tidak ingin membuat Qeiza terbangun dari tidurnya. Setelah Chin Hwa berjalan memutari bagian belakang mobil dan duduk di sebelah Qeiza dari pintu yang lain, lelaki itu men
“Kau cuti kerja?” tanya Dae Hyun. “Sudah hampir jam delapan lo.” Dia melirik jam dinding. “Ah, Oppa … kenapa tidak membangunkanku lebih awal?” Qeiza buru-buru merangkak ke tepi ranjang. Nada suaranya yang terdengar manja membuat Dae Hyun tersenyum. “Ish! Dasar ceroboh!” ledek Dae Hyun. Dia menyambar lengan Qeiza. Gadis itu nyaris saja terjerembap lantaran sebelah kakinya tersangkut selimut. “Jalannya pelan-pelan saja,” saran Dae Hyun. “Tidak ada yang akan memakai kamar mandimu.” Qeiza tetap melangkah cepat. Dia malu sekali. Pipinya juga memanas. Dia mengutuk kecerobohannya. Sampai sekarang dia masih belum bisa menghilangkan kebiasaan jeleknya itu. Gara-gara hal tersebut, bibir Dae Hyun hampir saja menyapu pipi kirinya. Untung dia refleks memiringkan kepala ke kanan. Bang! Dae Hyun mengelus dada ketika Qeiza membanting pintu dan menghasilkan bunyi yang sangat keras. Sudut bibirnya menjungkit naik. Dia tahu bagaimana perasaan Qeiza saat itu. Selesai sarapan, Dae Hyun mengantar Q
Sahabat memang tidak selalu bersikap manis. Tapi setidaknya, mereka juga tidak berpura-pura baik. *** Qeiza tersenyum puas. Meja kerjanya sudah kembali rapi. Dia bisa meninggalkan ruangan tersebut tanpa khawatir akan kehilangan sebagian barangnya. Sekilas Qeiza melihat ke luar jendela. Langit tampak mendung. Cuaca pada musim gugur memang mudah sekali berubah-ubah. Hujan juga sering turun. Untung saja dia sudah janji pada Dae Hyun untuk tidak lembur. Kalau tidak, lelaki itu pasti akan sangat mengkhawatirkan dirinya. Qeiza meninggalkan ruangannya dengan perasaan ringan. Desainnya sudah selesai. Dia hanya perlu mengirimkannya besok pagi. Rasanya Qeiza sudah tidak sabar untuk mengetahui hasil seleksi lima puluh besar nanti. Drrrt! Drrrt! Ponsel Qeiza bergetar. Dia segera merogoh kantong dan mengecek sebuah pesan. “Masih mendung,” bisik Qeiza. Melihat langit dari kejauhan. Pengirim pesan mengajaknya untuk bertemu di sebuah kafe. Qeiza sangat ingin pergi ke sana. Dia sudah lama tidak
Qeiza menarik mundur tangannya dan menyembunyikannya di bawah meja. Dia tersenyum kikuk. “I–iya,” akunya. “Maaf. Aku tidak mengabari kalian.” “Waaah! Qeiza, selamat ya!” Vany heboh. Dia meninggalkan tempat duduknya. Melompat memeluk leher Qeiza. Setelah Qeiza menepuk lengannya karena merasa tercekik, Vany kembali ke kursinya. “Siapa lelaki beruntung itu, Qei?” Raut mukanya terlihat antusias untuk mendengar cerita Qeiza. “Bukan mantan suami kamu, kan?” “Akh!” Vany terpekik. Dia mengusap puncak kepalanya. “Adnan! Kenapa kamu memukuliku?” “Biar otakmu berpikir!” “Pantas saja kamu enggak laku-laku.” Vany memamerkan seringai mengejek pada Adnan. “Kamu kejam!” “Ampun deh. Kalian ini seperti Tom dan Jerry saja!” Qeiza geleng-geleng kepala melihat ulah dua sahabat lamanya itu. Sejak duduk di bangku SMA, pola pertemanan mereka berdua selalu diwarnai pertengkaran dan saling ledek. Qeiza merasa hanya dirinya yang waras di antara mereka bertiga. “Dia yang mulai duluan!” “Dia yang mulai
Manusia bisa berubah seiring waktu. Jadi, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. *** Dae Hyun mendaratkan pandangan sudut matanya pada tangan yang mencengkeram pundak kanannya. Tatapannya terus menelusuri lengan berorot itu hingga sampai ke muka. Penglihatannya segera menangkap wajah oval dengan garis rahang nan tegas. Alis hitam dan tebal menaungi sepasang mata cokelat gelap yang menatap tajam kepadanya. Dae Hyun menyembunyikan perasaan terkejutnya di balik senyuman tipis. Dia tidak mengerti mengapa lelaki itu melihatnya dengan tatapan benci. Lelaki itu bahkan tak membalas senyumannya. “Jangan salah paham!” kata Dae Hyun. “Aku tidak melarang Anda berteman dengan Qeiza, tapi … ini hampir malam.” Dae Hyun pikir Adnan menahannya lantaran belum rela Qeiza meninggalkan kafe tersebut. Vany menarik baju Adnan dan berbisik, “Jangan gila, Ad! Semua orang melihatmu.” Adnan membuktikan perkataan Vany dengan memperhatikan sekitar. Benar saja. Semua mata di kafe itu kini tertuju
Qeiza tercengang melihat hamparan buket bunga yang berjajar di dekat pintu apartemennya. Matanya menyapu setiap buket bunga itu dengan rasa tak percaya. Sebagian sudah terlihat layu. “Untung kau pulang, Nona!” sapa seorang lelaki berusia mendekati lima puluhan. Qeiza mengenalnya sebagai salah satu penghuni apartemen di ujung lorong. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang. Langkahnya semakin dekat pada Qeiza. “Anda tahu siapa yang menaruh bunga-bunga ini di sini, Pak?” Lelaki itu tersenyum. Dia melayangkan pandangan pada tumpukan buket bunga tersebut. “Aku tidak yakin apakah semua bunga itu datang dari orang yang sama,” kata lelaki itu. “Aku hanya memergokinya sekali. Seorang lelaki muda.” Lelaki itu menoleh pada Qeiza. “Kurasa dia pengagum beratmu.” 'Siapa dia? Ansel atau Chin Hwa?' *** “Yes! Akhirnya!” Ansel melakukan selebrasi dengan kedua tangan terkepal. Bibirnya tersenyum lebar. Rekaman Qeiza berdiri bingung di depan pintu apartemennya terpampang jelas pada layar ponselny
Lelaki yang tulus mencintaimu akan selalu menjadi malaikat pelindungmu. *** Qeiza sedang dalam perjalanan menuju kantornya dengan mengendarai mobilnya sendiri. Dia ingin tiba di kantor lebih awal lantaran ingin mengecek ulang desainnya. Hari ini merupakan hari penyerahan karyanya untuk kompetisi bergengsi itu. Tiba di kantor, Qeiza melangkah cepat menuju ruangannya. Begitu masuk, matanya membulat sempurna. Ruangan tersebut sangat berantakan. Lembaran kertas serta peralatan gambarnya berserakan di mana-mana. “Apa yang terjadi?” Bergegas Qeiza mendekati meja kerjanya. Dia memotret ruangan kacau tersebut dari berbagai sudut. Setelah mengumpulkan cukup banyak bukti berupa gambar dan rekaman video, Qeiza mulai membenahi kekacauan itu. Dia memungut perlengkapannya yang bertebaran di atas lantai. “Oh, tidak!” Qeiza terpekik ketika teringat desain yang akan dikirimnya. Dia pun meletakkan kembali barang-barang di tangannya ke atas lantai. Dia berlari menuju meja kerjanya lagi. Jari-jari
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal