“Mencurigai Billy? Jangan aneh-aneh!” Bima tampak tidak setuju setelah mendengar cerita Tania.
“Lalu apa Endi dan Leo berbohong? Kita nggak pernah tahu apa yang didalam otak mantan istrimu.” Wijaya membuka suaranya dengan nada kesal “Tampaknya bukan sekarang mereka bertindak.”Hening, suasana menjadi sunyi setelah Wijaya berkata seperti itu. Memikirkan hal yang sama, Mili sampai kapanpun tidak akan pernah selesai. Tania tahu jika dampak dari Mili sangat luar biasa, mereka semua sudah merasakan bagaimana kehilangan dari apa yang dilakukan Mili.“Kita seakan habis melakukan kejahatan besar.” Tania menggelengkan kepalanya “Memang dia nggak pernah mengerang kita menggunakan media?”Rifat menggelengkan kepalanya “Dia tahu kalau kita juga memegang media, pernah beberapa kali mencoba tapi selalu gagal dan akhirnya menyerah.”Tania mengingat itu semua, dirinya selalu ikut setiap kali Wijaya berbicara dengan Rifat atau yang lain. WijayaAnak-anak semakin besar, Rei sendiri sudah cukup usia untuk memiliki adik. Sejak Rei sudah tidak konsumsi ASInya membuat Tania memutuskan program hamil anak perempuan, menyetujui permintaan Wijaya dengan alasan melihat keadaan Zee yang tidak memiliki teman dalam bermain, walaupun saudaranya tidak pernah melupakan Zee.“Akhirnya kamu hamil juga.” Wijaya menatap penuh bahagia.“Dokter itu memang luar biasa.” Tania membelai perutnya yang sudah membesar.“Mami, adiknya nanti Zee yang kasih nama.” Zee datang dan langsung membelai perut Tania.“Memang apa namanya, sayang?” Tania bertanya dengan suara lembut.“Sabrina panggilannya Sabi, kaya cewek yang disukai abang.” Zee menjawab dengan polos.“Abang suka cewek namanya Sabi?” tanya Tania penasaran.“Bukan hanya abang tapi Endi juga.” Zee menjawab dengan mengerucutkan bibirnya.“Sabi itu siapa? Kelas berapa?’ tanya Tania penasaran.“Teman Zee
Ujian dan takdir, semua harus dijalani dengan sabar. Kondisi Sabi memang berbeda dengan kakak-kakakknya, perhatian lebih diberikan pada Sabi. Dokter mengatakan tidak ada larangan apapun untuk masalah makanan, tidak ada obat yang diberikan pada Sabi, tapi satu hal tidak boleh terlalu lelah atau sampai berubah menjadi pucat wajahnya. Sabi, berbeda dengan bayi lainnya yang juga di diagnosa penyakit jantung. Bayi lainnya terlihat kurus bahkan sampai ke terlihat bentuk tulangnya, sedangkan Sabi sama seperti bayi sehat pada umumnya dimana salah satunya adalah berat badan. Berat badan Sabi sama dengan bayi sehat, dariluar orang tidak akan menduga jika Sabi mengalami jantung bocor, mereka berdua berusaha agar Sabi tidak terlalu lelah.Kegiatan selama bayi yang membuatnya lelah adalah menangis, pemikiran ini adalah pikiran Tania sendiri dan tidak konsultasi dengan dokter, setidaknya Tania memiliki gambaran apa yang harus dilakukan pada Sabi.“Belum ada kabar
Berita bahagia datang saat Sabi akan menginjak usia lima tahun, dokter jantung anak mengatakan jika Sabi akan mendapatkan donor jantung, ukurannya sama dengan jantung Sabi. Mereka selama ini hanya bisa berdoa dan bersabar, agar semua bisa berjalan dengan baik untuk Sabi. Selama menunggu mereka berusaha agar Sabi tidak terlalu lelah, membuatnya pucat bahkan sampai pingsan.“Lama sekali ya untuk mendapatkan donor,” ucap Tania pada dokter pada saat berkunjung.“Kita belum tahu apa akan memakai dari donor atau menggunakan dari hewan.” “Hewan?” tanya Tania bingung dan langsung menatap Wijaya yang hanya mengangkat bahu.“Betul, ada beberapa pasien yang menggunakan dari hewan. Saya harap bapak dan ibu siap dengan kemungkinan operasi ini, bisa jadi berhasil atau tidak sama sekali.” “Saya harap berhasil.” Wijaya mengatakan dengan percaya diri.“Semoga, Sabi sudah bisa mulai untuk puasa nanti beberapa jam lagi akan mulai.”
Tidak bisa tidur, Tania merasakan perasaan tidak enak dan membuatnya tidak bisa tidur. Wijaya sudah lelap disampingnya, pandangan matanya tertuju pada ranjang yang masih kosong dan sampai sekarang belum ada kabar tentang Sabi.“Tidurlah, nanti kalau Sabi lihat kamu bisa senang. Kalau lihat kamu pucat seperti ini nanti dia takut, sayang.” Wijaya membuka suaranya dengan memejamkan matanya.Tania menatap Wijaya yang masih memejamkan matanya, tarikan tangan yang dilakukan Wijaya membuat Tania akhirnya menyerah dengan bergabung bersama untuk memejamkan matanya dan menenangkan pikiran, tepukan pelan yang dilakukan Wijaya membuat perasaan Tania tenang.“Permisi,” ucap seseorang dengan suara lembut.Tania membuka matanya perlahan, menatap sekitar dimana tempatnya berada. Melebarkan matanya saat melihat perawat berada dihadapannya, beranjak dari tempatnya dan memilih duduk langsung dengan menepuk paha Wijaya pelan.“Ada apa?” tanya Tania
Suasana didalam rumah tampak ada perbedaan, terutama pada diri Tania. Sudut jantungnya seakan menghilang ikut dengan Sabi, melihat kesedihan Tania membuat anak-anaknya secara bergantian memberikan hadiah atau memasakkan sesuatu untuk dirinya.“Jangan terlalu bersedih, memang kamu mau Sabi tidak tenang?” Tania menatap tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari bibir Rifat, tersenyum kecil mendengarnya. Memberikan tatapan lembut pada Tania, tangannya terangkat membelai pipi Tania dan mulai mendekatkan bibir mereka, mengecupnya singkat sebelum akhirnya melepaskan dan sedikit menjauh. Tania membeku ketika merasakan sentuhan yang dilakukan Rifat, sentuhan singkat pada bibirnya membuat dirinya sedikit lebih tenang.“Kembalilah menjadi Tania sebelum ini, aku tidak suka melihatmu sedih.”Tania menatap punggung Rifat yang menjauh, menggelengkan kepalanya dan kembali menatap anak-anak yang sedang bermain. Tidak lama kemudian Tania melangkah me
Berjalan normal seperti sebelumnya, mencoba melupakan Sabi bukan hal yang mudah, walaupun hanya hidup selama tiga tahun tapi sudah memberikan kenangan bagi mereka. Perlahan mulai bangkit dan akhirnya berhasil, menjalani kehidupan normal pada umumnya.“Mami, dimana dasiku?” tanya Lucas yang keluar dari kamar.“Mami, aku nggak bisa nemuin buku matematika.” Leo tiba-tiba keluar dari kamar yang lain.“Mami..aku lapar....” teriakan Jimmy terdengar keras.Tania hanya menggelengkan kepalanya, anak-anak sudah besar semua. Lucas yang ada di akhir sekolah menengah pertama, Leo dan Zee yang berada dibawah Lucas, Jimmy di bangku sekolah dasar kelas empat, dan Rey yang baru masuk sekolah dasar. “SAYANG....dimana? Kaos kaki aku nggak ada...” teriakan Wijaya terdengar keras.Tidak hanya anak-anak tapi juga suami tuanya, menarik dan menghembuskan nafas panjang mendengar suara teriakan mereka secara bersamaan. Mengambil apa yang dii
Suara desahan terdengar jelas didalam kamar, memang tidak senikmat Tania tapi setidaknya bisa membuat Wijaya tidak terlalu memikirkan hal-hal gila. Menggerakkan juniornya didalam dengan kasar, tidak peduli dengan keadaan wanita yang berada dibawahnya yang menahan rasa sakit. Merasakan akan mencapai klimaks mendorong semakin masuk kedalam, beberapa kali semprotan keluar didalam dan setelah tidak ada yang keluar secara perlahan melepaskan penyatuan mereka.Berbaring disamping wanita yang ada disampingnya, menatap ke langit kamar dengan tatapan kosong. Wanita yang ada disampingnya memilih beranjak dari tempatnya, gerakannya terhenti saat pergelangan tangannya dipegang Wijaya.“Kenapa? Ada masalah apalagi?” “Tidak.” Wijaya menjawab singkat.Mona, wanita yang ditemui Wijaya secara tidak sengaja. Saat itu dia baru saja lulus kuliah dan melamar di salah satu perusahaannya, menatap wanita itu membuat jiwa petualangnya hadir. Pada saat mereka bert
Wijaya menatap kedatangan mereka dengan tatapan yang tidak bisa dibaca, melihat itu perasaan tidak enak menghampirinya dengan mulai mendekatinya dan mencium singkat bibirnya.“Apa ada masalah?” tanya Tania yang tidak dijawab Wijaya.Tania menghembuskan nafas panjang, sikap Wijaya yang begini membuatnya terlihat seperti anak-anak. Sikapnya yang seperti ini sangat menggemaskan, tidak jauh berbeda dengan Lucas yang tidak jauh berbeda dengannya.“Darimana saja tadi?” Wijaya membuka suaranya.“Jemput Jimmy dan Rey, memang kenapa? Ah...aku memang sama Rifat tapi ada anak-anak, apa kamu cemburu?” Wijaya langsung menggelengkan kepalanya, “Cemburu hanya untuk mereka yang tidak mampu.” Tania mencibir kata-kata Wijaya “Selalu saja dengan percaya diri. Aku bisa saja curiga, kamu memberikan ijin aku sama Rifat bukan berarti ada wanita lain kan?”Wijaya menatap tidak percaya mendengar tuduhan Tania yang memang benar ad
“Jadi kita tidak perlu mencari tahu tentang Mona lagi?” tanya Rifat setelah membaca surat yang Tania bawa.“Memang ketemu?” tanya Tania penasaran.“Menurutmu?” tanya Rifat malas.“Wow...hebat banget kamu!” Tania menepuk lengan Rifat pelan dengan bangga “Aku sudah bilang ke Wijaya kalau menolak semua rencana dia tentang kita.”Rifat menganggukkan kepalanya “Aku terserah apa katamu.”“Apa kamu nggak lebih baik mencari wanita lain?” tanya Tania hati-hati.“Melihat kamu sedih pas aku menikah sama dia? No! Aku tidak akan melakukan hal itu, aku akan menunggu dan bisa jadi kita tidak akan bersatu sama sekali, setidaknya Rey ada di tengah-tengah kita.” Tania tidak bisa mengatakan apapun, hidup mati seseorang tidak bisa ditebak sama sekali. Meninggalkan Wijaya dengan kondisi sakit seperti saat ini jelas tidak akan dilakukannya, beda cerita jika Mona ada disamping pria itu, tapi nyatanya wanita itu hanya menginginka
Proses penyembuhan Wijaya berjalan lambat, walaupun setidaknya sudah mulai ada perkembangan. Wijaya sudah tidak bisa melakukan aktivitas berat, selama beberapa bulan hubungan intim mereka berkurang. Tania tidak memikirkan itu semua, begitu juga dengan Rifat. Kata-kata Wijaya di rumah sakit sama sekali tidak dihiraukan Tania, tetap berada disampingnya dengan membantu semua kebutuhannya, tidak hanya Tania tapi juga anak-anak. Satu bulan setelah Wijaya keluar dari rumah sakit kabar duka hadir dimana Tina meninggalkan mereka selamanya, Wijaya semakin terpuruk dengan kehilangan Tina yang sudah dianggap sebagai anak sendiri. Devan memutuskan kembali setelah lama di Kalimantan, tinggal bersama dengan Emma yang sudah menjadi istri sahnya. Wijaya sudah merasa gagal menjaga Tina, membiarkannya melihat suaminya bersama dengan wanita lain, janjinya pada sahabatnya benar-benar tidak bisa dilaksanakan.Tari mencari rumah yang jaraknya tidak jauh dengan rumah Wijaya, membuat
“Semua akan baik-baik saja,” ucap Rifat menenangkan Tania dengan menepuk punggung tangannya pelan.“Aku jadi kasihan, melihat seperti ini membuatku tidak tega meninggalkan dia.” Tania menghembuskan nafas panjangnya.Waktu berjalan sangat lambat, kedua anak Wijaya sudah meninggalkan rumah sakit. Biasanya di saat seperti ini Tania akan ditemani Tina, tapi kondisi Tina semakin lama semakin menurun dan harus di rawat. “Apa perlu kita mencari Mona?” tanya Rifat hati-hati.“Entahlah, aku tidak peduli dengan keberadaannya sekarang.” Tania menjawab dengan tatapan kosong.“Rencana kita lebih baik...”“Aku sudah tidak memikirkan itu, sekarang yang ada didalam kepalaku adalah Wijaya sembuh.” Tania memotong perkataan Rifat.Keheningan menemani mereka, berdoa di dalam hati dilakukan Tania untuk Wijaya. Tidak siap jika Wijaya meninggalkan dirinya dan anak-anak, walaupun sebenarnya bisa saja hal itu terjadi. Tania tetap
Wijaya mengenalkan Mona pada rekan kerjanya, Tania memilih tidak hadir di setiap acara yang mengundang Wijaya. Alasan utama Tania tidak datang adalah bermain dengan anak Wijaya dan Mona yang bernama Gita, kehadiran Gita membuat anak-anak sedikit melupakan Sabi. Gita adalah pengganti Sabi, membuat dunia mereka kembali lagi. Mona sementara tinggal dalam satu atap dengan Tania, kamar yang di tempati adalah kamar yang dulu digunakan anak-anak pada saat kecil.“Kamu nggak berencana menikahi dia resmi?” tanya Tania saat Wijaya melepaskan penyatuan mereka.“Belum ada kearah sana.” Wijaya menjawab santai. “Sejauh ini aku masih adil sama kalian berdua.”“Aku yang merasa tidak baik-baik saja, Mona bisa merawatmu dengan baik jadi kamu bisa melepaskan aku.” “Melepaskan kamu?” tanya Wijaya dengan tatapan berpikir “Aku belum bisa.”Tania mengerucutkan bibirnya “Kamu benar-benar egois, aku tahu begini tidak akan mendukung atau membantumu saat
Mendatangi pengirim pesan dengan berbagai macam perasaan, sedikit terkejut ketika mendapatkan pesan tapi tetap berusaha untuk tenang. Menatap lingkungan sekitar dengan memastikan semuanya aman, menekan bel sebelum akhirnya yakin jika memang benar-benar aman.“Kamu datang juga, aku kira nggak akan datang.” Masuk ke dalam setelah diminta masuk, tidak menanggapi sama sekali perkataannya. Memilih masuk ke dalam dan duduk di tempat yang ada di ruangan, menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.“Maaf, kalau aku tiba-tiba kabur.”“Apa alasanmu kabur? Kamu tidak memikirkan perasaan Wijaya, Mona?” Tania langsung bertanya semuanya.“Aku tahu kalau salah masuk ke dalam hubungan kalian, melihat bagaimana tatapannya padamu membuatku cemburu, harusnya aku tidak perlu memiliki perasaan itu karena sudah tahu dari awal jika hanya pelampiasan. Aku adalah salah satu wanita yang beruntung dinikahi Wijaya, bukan hanya melakukan hubungan inti
Kata-kata yang keluar dari bibir Wijaya membuat Tania tidak bisa berkata-kata, pembicaraan mereka terhenti dan tidak ada lanjutannya. Tania meminta Rifat mencari keberadaan Mona dan anak Wijaya, sampai sejauh ini belum mendapatkan jawaban sama sekali.“Kamu seakan sudah melupakan mereka,” ucap Tania saat Wijaya melepaskan penyatuan mereka.“Aku masih mencari bukan berarti dengan begini aku melupakan mereka, bagaimanapun Mona membawa darah dagingku.” Wijaya membaringkan badannya dengan menatap langit kamar.“Dia tidak akan melakukan hal-hal yang aneh, bagaimanapun anak yang dibawanya juga darah dagingnya.” Tania mengatakan untuk menenangkan Wijaya.Tania memeluk Wijaya dari samping yang membuat tubuh mereka saling bersentuhan, membelai tubuh Wijaya tanpa busana dan pelukan erat diberikan yang membuat Tania bisa merasakan detak jantung Wijaya.“Aku hanya takut sesuatu terjadi pada mereka.” Wijaya membuka suaranya.“Semu
Kelahiran anak Wijaya dengan Mona membuat Wijaya bahagia, anak perempuan dan melihat itu membuat Tania teringat kembali Sabi. Kebahagiaan tidak berlangsung lama saat mereka berada di rumah mendapatkan kabar jika Mona keluar dari rumah sakit dengan membawa bayi mereka, pada saat mendapatkan kabar memang waktunya mereka keluar dari rumah sakit.“Bagaimana bisa dia mikir buat....” Wijaya tidak bisa berkata-kata sambil mengusap kasar wajahnya.Tania hanya menepuk punggung Wijaya pelan, tidak tahu harus berbicara apa karena memang sama-sama terkejut. Awalnya Tania berpikir jika ini adalah salah satu trik Wijaya, tapi melihat reaksinya membuat Tania percaya jika memang Mona kabur bersama dengan anak mereka.“Kamu ada bayangan akan kemana dia?” tanya Tania yang hanya dijawab Wijaya gelengan kepala.“Dia itu nggak punya siapa-siapa.” Wijaya mengingatkan Tania.“Coba ke tempat kalian dulu atau tempat tinggal masa kecilnya.” Tania memberi
“CERAI!” Wijaya sedikit teriak mendengar permintaan Tania. “Win win solution,” ucap Tania santai. “Aku salah dan mengakui tapi sebelum kamu bertemu dengan Mona tidak ada permintaan gila ini.” Wijaya menatap tidak percaya dengan permintaan Tania yang baru saja keluar dari mulutnya “Kamu sudah tidak mencintaiku?” “Aku masih mencintaimu, melihat Mona mengingatkanku pada awal pertemuan kita.” “BEDA! KAMU DENGAN MONA BERBEDA! Kalian berbeda dan perasaanku pada kalian juga berbeda.” “Aku tahu, tapi...” “Tidak ada tapi, pembicaraan tentang permintaan kamu tidak akan pernah terjadi dan case close.” Wijaya mengatakan dengan nada datar. “Loh. Nggak bisa begitu!” Tania menatap Wijaya tajam “Kamu harus memenuhi permintaanku yang ini.” “Apa alasan kamu mau cerai? Rifat? Kalian sudah aku beri kesempatan bersama bahkan sampai anak, lalu sekarang kamu minta pisah?” Wijaya menatap Tania frustasi “Aku memang SALAH melakukan hal ini pada wanita lain, aku ng
Rifat hampir saja menghentikan mobil tiba-tiba mendengar pertanyaan Tania, mencoba tenang dengan tidak menjawab pertanyaannya. Tujuan mereka adalah rumah Rifat, tempat mereka bisa saling berbicara satu sama lain tanpa gangguan. Memasuki rumah dan langsung menutup pagarnya, tidak ada orang yang akan mengganggu mereka. Rifat sendiri tidak mempekerjakan asisten di rumah, masalah bersih-bersih orang tuanya mengirim asisten yang ada di rumah mereka. “Apa maksud pertanyaanmu itu? Tidak mungkin suami kamu setuju dengan ide gila itu.” Rifat langsung mengatakan apa yang ditahannya tadi. “Aku kan cerita tentang wanita tadi, jadi aku...” “Jangan mikir yang aneh-aneh,” potong Rifat langsung. “Artinya kalau aku cerai kamu tidak akan menikahiku?” tanya Tania dengan menatap dalam Rifat. “Sayang, aku akan tetap menikahi kamu nanti tapi jika Wijaya meninggal dunia.” Rifat memegang lengan Tania dengan memberikan tatapan dalam. “Lihat dia hamil buat aku jadi pen