Zivanna merebahkan diri di ranjang kamar tamu, tempat dia biasanya menginap di rumah tantenya. Dia terus saja menangis sambil menggenggam secarik kertas bertuliskan angka di tangannya. Dirasa matanya lelah dan bengkak, Zivanna merogoh ponsel yang selalu tersimpan di saku jaket rajut kesayangan yang selalu dia pakai ke manapun. Malas-malasan Zivanna bangkit dan duduk di tepiaan ranjang. Dipencetnya satu demi satu nomor yang sesuai dengan angka yang tertera di kertas catatan kecil dari Hendra. Belum sempat dirinya memencet tombol panggil, pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Maria muncul di ambang pintu dengan muka merah padam. Tangannya menggenggam sebuah benda pipih yang Zivanna ketahui sebagai sebuah ponsel. Maria mengacungkan ponsel itu ke arah Zivanna. "Jadi, ini penyebabnya," geram wanita itu. "Kenapa, Tante?" Zivanna keheranan melihat sikap Maria yang aneh. "Ini penyebab suamiku membunuh ibumu!" Maria melemparkan ponsel ke arah Zivanna dan tepat mengenai pelipisnya. Zivanna sempat
Zivanna tak berani ke luar kamar ketika terdengar suara pengacara Anthony West mendatangi rumah om-nya. Pria itu ternyata benar-benar menepati janjinya untuk menemui Zivanna. Sementara dirinya terjebak dalam dilema yang begitu besar antara mengakui perbuatannya dengan tetap pada rencana yang sudah diaturkan oleh Hendra. Pada akhirnya Zivanna memilih untuk berpegang pada rencana Hendra, mengingat Maria yang semakin menunjukkan sikap permusuhan padanya. Seperti saat itu, ketika Maria membuka pintu kamarnya begitu saja tanpa permisi dan menatap tajam pada Zivanna dengan raut wajah yang tak bersahabat. "Apa kau yang menelepon pengacara itu?" tanya Maria ketus. Zivanna terdiam beberapa saat. "I-iya, Tante," jawabnya ragu. Maria semakin mendekat ke arah Zivanna yang masih duduk di tepian ranjang. Badannya sedikit membungkuk ketika dia menyejajarkan wajah dengan wajah keponakannya itu. "Bagus! Kau dan ibumu sudah berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku membenci kalian semua, termasuk H
Zivanna menyelesaikan ceritanya di hadapan hakim. Sesekali mata indahnya melirik ke arah Raja yang memandangnya tak percaya. Raja masih tetap terlihat tampan, walaupun dia harus merasakan beberapa minggu terakhir di dalam penjara. Dia juga sempat memperhatikan semua pasang mata di ruang pengadilan yang luas itu. Mereka semua seperti memandang iba padanya. Zivanna tersenyum getir. Entah apakah pada akhirnya dia bisa mendapatkan keadilan dan hidup dalam ketenangan. "Apa kesaksianmu dapat dipertanggungjawabkan?" tanya hakim itu hati-hati. "Ya, Yang Mulia. Anda bisa memanggil ulang nama-nama yang sudah saya sebutkan tadi sebagai saksi," jawab Zivanna seraya menoleh pada Hendra yang ikut menghadiri persidangan. Pria paruh baya itu tak pernah absen dalam persidangan, walaupun statusnya sebagai tersangka telah dicabut. "Kalau yang kau katakan adalah kebenaran. Maka kami berhak memanggil setiap nama yang berhubungan dengan ceritamu. Sampai mereka berkumpul di tempat ini, maka kau wajib bera
Zivanna meringkuk di atas ranjang besi beralaskan kasur spons. Dia menyembunyikan wajahnya di antara lutut yang tertekuk. Penjara kepolisian metro ini terasa begitu dingin menusuk tulang. Penghangat yang berada di luar jeruji sel yang dekat dengan pintu keluar, sepertinya tidak berfungsi.Gadis cantik itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Diliriknya jam dinding di atas meja penjaga yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Musim gugur yang mulai menjelang, membuat suhu menurun drastis. Seakan lengkap sudah penderitaannya kali ini."Papa," isaknya lirih. Angannya membayangkan sosok pria hangat yang berada jauh di Edinburgh. Pria yang bertalian darah dengannya. Ayah kandung yang baru saja ditemukannya. Tak disangka, gumaman pelan itu bersahut."Zizi, are you alright?" tanya seseorang. Zivanna langsung menoleh dan mendapati sang ayah berdiri gagah di samping polisi. "Papa!" mata indah Zivanna terbelalak. Dia bergegas berdiri merapat ke dekat jeruji demi bisa mendekat pada s
"Apa kamu sungguh-sungguh mengucapkan itu, Zi?" tanya Raja sekedar untuk meyakinkan kekasihnya. Zivanna sendiri hanya menanggapinya dengan senyuman samar. Sekilas sosok Brandon hadir dalam benaknya. Tak dapat dipungkiri, pria tampan bermata biru itu telah membuat Zivanna jatuh cinta. Cinta yang berbeda dengan yang dia rasakan pada Raja. Akan tetapi, Zivanna harus kembali pada kenyataan jika Raja telah berkorban demikian banyak untuknya. Raja pula yang bertemu dengan Zivanna lebih dulu jika dibandingkan dengan Brandon. "Kamu tahu aku tidak akan memaksamu, Zi. Apalagi di situasi yang pelik seperti sekarang," ucap Raja, membuyarkan angan Zivanna. "Aku sangat yakin dengan keputusanku. Kuharap kedua orang tuamu menerima aku yang ... ." "Mereka selalu mendukung apapun pilihanku. Jangan khawatirkan itu. Mama dan papa juga tulus menyayangimu," potong Raja. Tangannya terulur melewati dua jeruji besi dan menyentuh lembut pipi Zivanna. "Aku tidak pernah mencintai seseorang seperti aku mencint
"Kita pikirkan itu nanti, Zi. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya supaya kamu bebas," tutur Raja dalam bahasa Indonesia. Tak ada seorang pun di sana yang mengerti kecuali Zivanna. Ingin rasanya Brandon memrotes dan menimpali perkataan gadis itu sebelumnya. Namun, sebelum hal itu terjadi, Jean lebih dulu memegang lengan adiknya, seolah menhannya untuk tidak bereaksi. "Tunggulah sampai semua mereda," bisik Jean lirih. Brandon tak mempunyai pilihan lain selain mengangguk dan menurut. Dia terdiam hingga seorang petugas polisi memasuki ruangan khusus berisi sel-sel yang berderet. "Maaf, jam menjenguk sudah habis. Kami akan menutup ruang sel ini sampai besok pagi," ucap polisi itu. Theo yang tak tega melihat putrinya sendirian di sana, egera berbalik dan memohon pada polisi tadi. "Tidak bisakah statusnya diganti menjadi tahanan rumah?" tanyanya seraya menangkupkan kedua tangan. "Maaf, Sir. Ini semua adalah keputusan dari pengadilan. Putri anda harus menghadapi peradilan leb
Zivanna melangkah masuk ke ruang persidangan dengan tangan terborgol awalnya. Baru setelah dia duduk di kursi terdakwa, borgol itu dilepaskan. Wajahnya masih terlihat cantik meskipun tanpa make up dan hanya memakai baju tahanan. Dua orang pengacara telah menunggunya, yaitu Anthony West dan Jean. Zivanna sempat mengedarkan pandangan ke arah pengunjung. Mata indahnya mendapati Brandon turut hadir di sana dan duduk di bangku terdepan. Pria itu telah ditolak oleh Zivanna. Akan tetapi, dia masih menunjukkan simpati dan dukungan tak terbatas. Di sudut ruangan lain, Raja juga datang bersama kedua orang tuanya. Dia tersenyum begitu manis seraya melambaikan tangan pada Zivanna. Gadis itu mengangguk, lalu membalas dengan senyuman tipis. Dia lalu kembali menghadapkan dirinya ke depan, ketika hakim dan para jaksa penuntut tiba di ruangan. Semua aparat hukum tersebut, mulai dari hakim, jaksa dan pengacara memakai rambut palsu berwarna putih, yang disebut dengan Peruke. Di Inggris, Peruke ini w
"Memangnya apa yang tidak saya ketahui tentang Zizi, Om? Apa dia mempunyai saudara? Terus terang saja, bagi saya, keluarganya terasa begitu misterius," Raja tampak begitu resah. Sesekali ekor matanya melirik pada Zivanna yang lebih banyak diam dan menyembunyikan wajahnya di balaik tubuh tegap Raja.Sementara, ruang persidangan sudah mulai sepi. Bahkan hakim pun terlihat sudah meninggalkan kursi kebesarannya."Kita lanjutkan bicara di luar saja," ajak Hendra. Mau tak mau, semua orang mengikuti. Tak terkecuali Jean dan Brandon yang sebetulnya tidak paham dengan apa yang dibicarakan. Hendra lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.Pengacara Raja sendiri memutuskan untuk mendekat pada kedua orang tua Raja yang sibuk menerima telepon.Hendra memilihkan sebuah kafetaria yang terletak di seberang gedung pengadilan. Meja paling pojok menjadi spot paling tepat bagi pria paruh baya tersebut. Terlebih, mejanya berukuran paling besar dibandingkan meja lainnya di tempat itu."Nona Jean, kuharap
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
"Apa cuma ini barang-barangmu?" tanya Atmariani dingin. Zivanna menjawabnya dengan anggukan pelan."Ya, sudah. Kebetulan, di rumah nanti, kamu akan mendapat barang-barang dan pakaian baru. Ditinggal di sini juga tidak apa-apa," saran Wiyasa. Raut ramah yang senantiasa ditampakkan di hadapan keluarga Atmaja, seolah sirna. Ekspresinya saat menghadapi Zivanna, terlihat begitu dingin dan datar."Ayo, jangan buang-buang waktu," Atmariani menyodorkan koper Zivanna pada salah seorang anak buahnya sambil memberikan isyarat pada anak buahnya yang lain untuk mengapit Zivanna agar tak melarikan diri.Zivanna sendiri sudah pasrah atas semua yang akan dilakukan oleh Atmariani dan suaminya. Dia juga tak mengucapkan sepatah katapun sampai dia memasuki mobil SUV keluaran lama.Di dalam kendaraan, Zivanna hanya terdiam, sampai mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran kota Jakarta."Rumah siapa ini?" tanya Zivanna pelan.Wiyasa tak segera menjawab. Dia malah membantu Atmariani untuk turun da
"Apa mereka menyakitimu, Nak?" Hana mulai was-was dengan keadaan Zivanna. "Tidak, Tante. Hanya saja saya kecewa ketika Tuan dan Nyonya Gumilar mengatakan bahwa Raja tidak akan datang kemari. Dia juga membatalkan rencana pernikahan kami," jawab Zivanna lesu. "Itu yang terbaik untuk kalian, Zi," sahut Hana dengan segera. "Bolehkah tante menanyakan sesuatu padamu?" "Silakan, Tante." "Apakah kamu mencintai Raja ataukah hanya merasa berutang budi padanya?" tanya Hana lugas. "Saya ...." Hening sejenak. Zivanna tak melanjutkan kata-katanya. Hana hanya dapat mendengar desah napas gadis cantik itu. "Raja melakukan segalanya demi saya. Sekarang saatnya saya membalas semua kebaikan Raja. Apapun yang dia inginkan, akan saya lakukan," lanjut Zivanna pada akhirnya. "Jadi, apakah kamu mencintai Raja?" Hana mengulang pertanyaannya. Zivanna kembali terdiam, sampai-sampai Hana harus menunggu beberapa saat lamanya. "Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tidaklah sulit untuk mencintai Raja, Tante," jaw
"Astaga, bisa tidak kalian berhenti bercanda," Raja terkekeh. Namun, sorot matanya menunjukkan rasa sedih yang mendalam. "Tolong, berhentilah, Raja. Sudah cukup kamu mati-matian berkorban untuk Zivanna. Sekarang, saatnya fokus pada keluargamu. Berapa lama keluarga ini ditinggalkan saat kamu didakwa sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Rosanna? Pernah tidak, sekali saja, kamu berpikir tentang perasaan mama yang hancur melihat putranya duduk di kursi pesakitan?" ujar Hana panjang lebar. "Pernah tidak, kamu memikirkan kondisi mama yang benar-benar sedih dan terluka? Apakah sepenting itu Zivanna buatmu, Nak? Sampai-sampai kamu menepiskan keberadaan kami?" tampak jelas raut kecewa dari wajah Hana. Sementara Raja hanya bisa terdiam. Dia terpekur memikirkan ungkapan hati sang ibu. Selama ini memang dia terlalu fokus pada Zivanna, hingga melupakan keberadaan keluarganya. "Ah, sudahlah. Aku istirahat dulu. Kepalaku pusing sekali," tanpa menunggu tanggapan Raja, Hana segera berlalu dari
"Apa maksudnya dengan melepaskan mama?" sentak Raja. Tangannya terkepal kuat sembari melangkah mendekat. Diliriknya sang ayah yang lebih banyak menunduk dan tak banyak bicara. "Lelucon macam apa lagi ini, Pa?" geram Raja. "Mama harap kamu bisa mengerti, Raja. Perusahaan kita dalam bahaya. Tak hanya itu, nyawa mama juga terancam. Kamu lihat sendiri, tak ada siapapun di rumah kita selain pengawal Ibu Gumilar dan Pak Wiyasa. Sebesar itulah pengaruh mereka dalam keluarga ini," tutur Hana dengan raut pilu. "Tidak! Ini semua sama sekali tidak masuk akal," Raja menggeleng kuat-kuat. "Sejak kecil sampai sekarang, aku tidak pernah mendengar nama Atmariani dan Wiyasa. Mama dan papa tidak pernah menyebut nama itu satu kalipun," tolaknya. "Itu karena kedua orang tua kita menyembunyikan semuanya dari kita," sahut Dewa. "Suka atau tidak, inilah kenyataannya, Raja. Tuan dan Nyonya Gumilar hendak membawa ibu kita." "Ananda pasti sudah pernah mengenal Rosanna dan Maria, dua putri kami. Nak Raja bi
"Apa kamu suka?" tanya Raja lembut seraya memijit pundak Zivanna. "Suka," Zivanna mengangguk sambil tersenyum samar. Suasana dan desain interior apartemen itu mengingatkannya akan rumah Brandon di desa. Raja bukannya tak tahu perubahan air muka Zivanna, tetapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan itu semua. "Memang semuanya membutuhkan proses, Zi. Kamu sudah terbiasa tinggal di Inggris," tuturnya lembut. "Iya," Zivanna memaksakan tawa. "Terima kasih, ya. Kamu pengertian sekali," kedua tangannya terulur, menangkup paras rupawan Raja. "Aku mencintaimu, Zi," Raja mendekatkan wajah, hendak mencium bibir gadis yang telah membuatnya tergila-gila. Namun, dering telepon genggam miliknya lebih dulu menggagalkan niat Raja. "Ah, tunggu sebentar. Ini nada dering khusus milik Papa," ujar pria tampan itu sebelum meraih ponsel dan menerima panggilan. "Ya, halo," sapa Raja dengan raut kalem. Sesaat kemudian, raut wajah kalem itu berubah tegang. Raja diam mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah k