Maria dan Rosanna masuk tatkala Zivanna selesai membersihkan jenazah ayah tirinya. Wajah pria itu terlihat begitu tampan dan tenang. Diam-diam, Zivanna mengusap pipi Sena lembut sebelum menoleh ke arah Rosanna yang tengah menatapnya tajam. "Di mana temanmu tadi?" tanya wanita itu. "Pulang" jawab Zivanna singkat. Tak seperti biasanya, kali ini dia membalas tatapan ibunya tak kalah tajam. "Bagus! Kalau seandainya dia melaporkan kejahatanku, maka aku pasti akan ikut menyeretmu!" tuding Rosanna. Telunjuknya mengarah tepat ke pucuk hidung Zivanna. "Kalau itu terjadi, aku harap kita bisa berada di sel yang berbeda, Ma. Itu lebih baik," timpal Zivanna dengan mata coklat yang menyala. Satu hal yang dia sadari kini, ibunya bukanlah perempuan waras. Ada yang timpang dalam jiwanya dan itu yang membuat Zivanna tak tahan. Cepat atau lambat, dia harus mengumpulkan kekuatan untuk memberontak. "Kau!" Rosanna sudah mengayunkan tangan, hendak menyasar pipi mulus putrinya, tapi Maria lebih dulu mence
Pagi kelam itu adalah hari di mana seharusnya dia akan menjalani interview di sebuah perusahaan properti terkenal di London. Namun, sang ibu dengan berbagai alasan, terus menahannya untuk pergi. "Bilang saja kalau kau ingin kencan dengan Raja! Pakai ada alasan interview segala!" oceh Rosanna. "Aku tidak pernah berbohong dalam hal apapun, Ma. Justru akulah yang seringkali menutupi kebohonganmu," timpal Zivanna dengan santainya sambil memasukkan berkas-berkas ke dalam map. "Anak kurang ajar!" tangan kanan Rosanna melayang begitu saja, menampar pipi mulus Zivanna. Tamparan yang begitu keras, sampai-sampai sudut bibir gadis itu meneteskan darah. "Seharusnya dulu kamu mati!" umpatnya. "Mungkin lebih baik aku mati daripada menderita begini," Zivanna menyahut lirih sambil kakinya melangkah ke arah dapur. "Akan kumasakkan sarapan, supaya mama tidak mudah emosi," ujarnya setengah menyindir. Tak dipedulikannya sumpah serapah Rosanna yang membuat telinga dan hatinya memanas. Zivanna malah men
Gemetaran seluruh tubuh Zivanna. Dia sama sekali tak menyangka jika dirinya akan berbuat sekeji itu pada Rosanna. "Ma," bisiknya lirih seraya mengamati telapak tangannya yang berlumuran. Beberapa saat lamanya gadis itu membolak-balikkan tangan yan kini berwarna merah. Energi Zivanna seakan menguap, menghilang hingga membuatnya jatuh bersimpuh di depan tubuh Rosanna yang sudah tergeletak tak berdaya. "Ma, apa yang sudah kulakukan?" isakan pelan segera berubah menjadi tangisan kencang. "Ma'af, Ma. Ma'af," racaunya. Pikiran Zivanna kosong saat itu. Dia sudah tak bisa lagi melihat masa depannya. Segalanya gelap sampai dia mendengar ponselnya berdering. "Raja," desisnya tiba-tiba. Nama itu tiba-tiba terlontar begitu saja. Dengan tangan berlumuran darah, dia kembali ke ruang tengah dan merogoh ke dalam tas ransel. Noda darah itu akhirnya tersebar dan menempel di mana-mana, termasuk ke layar ponsel yang sedang menyala. Layar itu penuh dengan wajah Raja. Buru-buru Zivanna menekan tombol hij
"Kalian pergi saja dari sini! Biar aku yang membereskan semua," ujar Hendra yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Raja.Zivanna sudah terlihat rapi saat itu. Bajunya yang penuh oleh darah sudah dia cuci bersih. Tinggal kekacauan di lantai dapur yang dia tinggalkan."Aku yang akan membersihkan tempat ini. Kau pergilah," paksa Hendra yang seakan dapat menebak jalan pikiran Zivanna."Kau ikut denganku saja, Zi. Kita ke Indonesia. Rencananya setelah janji bertemu denganmu hari ini, aku akan langsung bertolak ke Indonesia nanti malam," tutur Raja sambil mengusap pipi kekasihnya."Akan kusiapkan tiketnya. Kau punya paspor dan visa, kan?" lanjut Raja. Dibalas oleh gelengan pelan Zivanna. "Kau tidak punya paspor dan visa?" "Mama melarangku mengurus itu semua. Dia berniat menyekapku seumur hidupnya. Aku tidak boleh ke mana-mana," Zivanna menunduk dalam-dalam sambil sesekali mengusap pipi yang basah oleh air mata."Astaga," Raja meraup wajahnya kasar. "Lalu, bagaimana? Aku harus pulang ke In
"Masuklah," titah Raja sraya mengecup punggung tangan Zivanna. "Temani aku, please," pinta Zivanna memelas. "Apa tantemu juga jahat padamu, seperti halnya mamamu, Zi?" setitik rasa khawatir mulai tampak di wajah tampan Raja. Zivanna menggeleng pelan, "Aku tidak tahu sifat dia sebenarnya. Yang jelas, dia selalu bersikap dingin padaku." Raja menatap kekasihnya lekat-lekat. Begitu berat masalah hidup yang harus dihadapi gadis belia di hadapannya ini. Wajah cantiknya terlihat begitu lelah. Bibir polosnya tanpa polesan lipstik bergetar pelan. Sisa-sisa ketakutan atas kejadian besar yang baru saja dia alami, masih menguasai dirinya. Lembut, Raja mencium bibir Zivanna. Kedua matanya terpejam merasakan betapa nikmat dan hangatnya bibir ranum itu. Begitu pula Zivanna yang harus menahan debaran jantungnya yang menggila saat wajah tampan itu tak berjarak dengan wajahnya. "Aku cinta kamu, Zi. Setelah semuanya selesai, ikutlah denganku ke Indonesia. Kita akan menikah di sana," pinta Raja. S
Zivanna menempati kamar atas, tempat di mana dia sering menginap jika berkunjung ke rumah Maria dan Hendra. Dia terpekur di sana, merenungi semua hal yang telah terjadi beberapa jam yang lalu. Sementara Hendra belum juga pulang dari rumah Rosanna. Entah apa yang om-nya lakukan di sana dan entah bagaimana caraya pria itu tiba-tiba berada di rumahnya. "Kenapa Hendra tidak bisa kuhubungi? Ada masalah apa lagi dengan ibumu?" tanya Maria tiba-tiba yang telah membuka pintu kamar tanpa permisi. "O-om He-Hendra ..." Zivanna terbata. Dia begitu gugup saat itu. Ingin rasanya dia menceritakan bahwa sang ibu telah mati di tangannya. Akan tetapi, Zivanna segera teringat akan pesan Hendra agar tidak memberitahukan apapun pada Maria. "Om Hendra sedang berbincang serius tadi dengan mama. Jadi, mereka menyuruh Zizi untuk datang lebih dulu kemari," tuturnya. "Apa ibumu mencoba menggoda suamiku?" tebak Maria dengan nada bicara yang tak mengenakkan. "Te-tentu tidak, Tante! Om Hendra adalah oang yang b
"Apa kamu bilang?" Maria terbelalak tak percaya. "Ka-kamu bercanda, 'kan?" desisnya seraya mendekat ke arah Hendra. Kedua tangannya terulur, mencengkeram kerah kemeja suaminya sedemikian erat. "Sayangnya, itu benar, Maria. Aku telah membunuh kakakmu. Dia mabuk, seperti biasanya dan mulai meracau. Aku hanya mencegahnya agar tidak menyakiti diri sendiri. Akan tetapi, dia tidak terima dan mulai menggila. Rosanna berlari ke dapur. Dia mengambil pisau, lalu menghampiriku. Aku hanya mempertahankan diri, Maria. Itu saja," beber Hendra. "I-itu tidak mungkin," tubuh Maria limbung dan hampir terjatuh ke belakang, jika saja Bimo tak sigap menangkap dan merengkuh tubuh ibunya. "Ma, duduk dulu, Ma," Bimo menuntun Maria untuk duduk di sofa. Sesekali pandangannya terarah ke atas, di mana Zivanna berdiri terpaku di ujung tangga dengan tatap mata yang tak dapat diartikan. "Aku akan menyerahkan diriku ke polisi," ujar Hendra lemah seraya meraih ponselnya. "Jangan!" cegah Maria. "Apa kau gila?" "K
Zivanna merebahkan diri di ranjang kamar tamu, tempat dia biasanya menginap di rumah tantenya. Dia terus saja menangis sambil menggenggam secarik kertas bertuliskan angka di tangannya. Dirasa matanya lelah dan bengkak, Zivanna merogoh ponsel yang selalu tersimpan di saku jaket rajut kesayangan yang selalu dia pakai ke manapun. Malas-malasan Zivanna bangkit dan duduk di tepiaan ranjang. Dipencetnya satu demi satu nomor yang sesuai dengan angka yang tertera di kertas catatan kecil dari Hendra. Belum sempat dirinya memencet tombol panggil, pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Maria muncul di ambang pintu dengan muka merah padam. Tangannya menggenggam sebuah benda pipih yang Zivanna ketahui sebagai sebuah ponsel. Maria mengacungkan ponsel itu ke arah Zivanna. "Jadi, ini penyebabnya," geram wanita itu. "Kenapa, Tante?" Zivanna keheranan melihat sikap Maria yang aneh. "Ini penyebab suamiku membunuh ibumu!" Maria melemparkan ponsel ke arah Zivanna dan tepat mengenai pelipisnya. Zivanna sempat
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
"Apa cuma ini barang-barangmu?" tanya Atmariani dingin. Zivanna menjawabnya dengan anggukan pelan."Ya, sudah. Kebetulan, di rumah nanti, kamu akan mendapat barang-barang dan pakaian baru. Ditinggal di sini juga tidak apa-apa," saran Wiyasa. Raut ramah yang senantiasa ditampakkan di hadapan keluarga Atmaja, seolah sirna. Ekspresinya saat menghadapi Zivanna, terlihat begitu dingin dan datar."Ayo, jangan buang-buang waktu," Atmariani menyodorkan koper Zivanna pada salah seorang anak buahnya sambil memberikan isyarat pada anak buahnya yang lain untuk mengapit Zivanna agar tak melarikan diri.Zivanna sendiri sudah pasrah atas semua yang akan dilakukan oleh Atmariani dan suaminya. Dia juga tak mengucapkan sepatah katapun sampai dia memasuki mobil SUV keluaran lama.Di dalam kendaraan, Zivanna hanya terdiam, sampai mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran kota Jakarta."Rumah siapa ini?" tanya Zivanna pelan.Wiyasa tak segera menjawab. Dia malah membantu Atmariani untuk turun da
"Apa mereka menyakitimu, Nak?" Hana mulai was-was dengan keadaan Zivanna. "Tidak, Tante. Hanya saja saya kecewa ketika Tuan dan Nyonya Gumilar mengatakan bahwa Raja tidak akan datang kemari. Dia juga membatalkan rencana pernikahan kami," jawab Zivanna lesu. "Itu yang terbaik untuk kalian, Zi," sahut Hana dengan segera. "Bolehkah tante menanyakan sesuatu padamu?" "Silakan, Tante." "Apakah kamu mencintai Raja ataukah hanya merasa berutang budi padanya?" tanya Hana lugas. "Saya ...." Hening sejenak. Zivanna tak melanjutkan kata-katanya. Hana hanya dapat mendengar desah napas gadis cantik itu. "Raja melakukan segalanya demi saya. Sekarang saatnya saya membalas semua kebaikan Raja. Apapun yang dia inginkan, akan saya lakukan," lanjut Zivanna pada akhirnya. "Jadi, apakah kamu mencintai Raja?" Hana mengulang pertanyaannya. Zivanna kembali terdiam, sampai-sampai Hana harus menunggu beberapa saat lamanya. "Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tidaklah sulit untuk mencintai Raja, Tante," jaw
"Astaga, bisa tidak kalian berhenti bercanda," Raja terkekeh. Namun, sorot matanya menunjukkan rasa sedih yang mendalam. "Tolong, berhentilah, Raja. Sudah cukup kamu mati-matian berkorban untuk Zivanna. Sekarang, saatnya fokus pada keluargamu. Berapa lama keluarga ini ditinggalkan saat kamu didakwa sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Rosanna? Pernah tidak, sekali saja, kamu berpikir tentang perasaan mama yang hancur melihat putranya duduk di kursi pesakitan?" ujar Hana panjang lebar. "Pernah tidak, kamu memikirkan kondisi mama yang benar-benar sedih dan terluka? Apakah sepenting itu Zivanna buatmu, Nak? Sampai-sampai kamu menepiskan keberadaan kami?" tampak jelas raut kecewa dari wajah Hana. Sementara Raja hanya bisa terdiam. Dia terpekur memikirkan ungkapan hati sang ibu. Selama ini memang dia terlalu fokus pada Zivanna, hingga melupakan keberadaan keluarganya. "Ah, sudahlah. Aku istirahat dulu. Kepalaku pusing sekali," tanpa menunggu tanggapan Raja, Hana segera berlalu dari
"Apa maksudnya dengan melepaskan mama?" sentak Raja. Tangannya terkepal kuat sembari melangkah mendekat. Diliriknya sang ayah yang lebih banyak menunduk dan tak banyak bicara. "Lelucon macam apa lagi ini, Pa?" geram Raja. "Mama harap kamu bisa mengerti, Raja. Perusahaan kita dalam bahaya. Tak hanya itu, nyawa mama juga terancam. Kamu lihat sendiri, tak ada siapapun di rumah kita selain pengawal Ibu Gumilar dan Pak Wiyasa. Sebesar itulah pengaruh mereka dalam keluarga ini," tutur Hana dengan raut pilu. "Tidak! Ini semua sama sekali tidak masuk akal," Raja menggeleng kuat-kuat. "Sejak kecil sampai sekarang, aku tidak pernah mendengar nama Atmariani dan Wiyasa. Mama dan papa tidak pernah menyebut nama itu satu kalipun," tolaknya. "Itu karena kedua orang tua kita menyembunyikan semuanya dari kita," sahut Dewa. "Suka atau tidak, inilah kenyataannya, Raja. Tuan dan Nyonya Gumilar hendak membawa ibu kita." "Ananda pasti sudah pernah mengenal Rosanna dan Maria, dua putri kami. Nak Raja bi
"Apa kamu suka?" tanya Raja lembut seraya memijit pundak Zivanna. "Suka," Zivanna mengangguk sambil tersenyum samar. Suasana dan desain interior apartemen itu mengingatkannya akan rumah Brandon di desa. Raja bukannya tak tahu perubahan air muka Zivanna, tetapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan itu semua. "Memang semuanya membutuhkan proses, Zi. Kamu sudah terbiasa tinggal di Inggris," tuturnya lembut. "Iya," Zivanna memaksakan tawa. "Terima kasih, ya. Kamu pengertian sekali," kedua tangannya terulur, menangkup paras rupawan Raja. "Aku mencintaimu, Zi," Raja mendekatkan wajah, hendak mencium bibir gadis yang telah membuatnya tergila-gila. Namun, dering telepon genggam miliknya lebih dulu menggagalkan niat Raja. "Ah, tunggu sebentar. Ini nada dering khusus milik Papa," ujar pria tampan itu sebelum meraih ponsel dan menerima panggilan. "Ya, halo," sapa Raja dengan raut kalem. Sesaat kemudian, raut wajah kalem itu berubah tegang. Raja diam mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah k