“Lonely, lost inside.”
‘Glassy Sky’
•••
Rafan terus berjalan lambat, tak tentu arah. Alasan tidak terus berada di rumah sakit, karena enggan untuk mendengar secara langsung keadaan Asya. Bisa dibilang, semenjak merasakan firasat dan rasa takut—sudah menduga hal ini akan terjadi.
Lebih tepatnya, hubungannya mulai renggang. Benar sekali, salah satu dari mereka akan ada yang terlupakan dan melupakan. Pastinya, tanpa sengaja ataupun karena satu alasan. Itu sebabnya, Rafan yang sudah menduga—memilih lebih dulu menjauh. Agar rasanya tidak terlalu amat menyakitkan—mungkin?
“Hah, kejadian ini membuat emosiku berada di ambang batas.” Dengan nada dinginnya, Rafan menggerutu. Bahkan, terkesan mengerikan—menurut orang yang kebetulan melintas di sekitarnya.
Beberapa dari mereka yang berpapasan, seketika menjauh. Karena merasa, Ra
Hari-hari berlalu begitu cepat, Asya kini sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, terpaksa mengambil cuti kuliah karena Asya masih harus istirahat, dan tidak ingin terjadi hal lain juga. Yang paling penting, karena ingatannya masih belum pulih. Lebih tepatnya, hanya kenangan lama yang diingatnya. Membuat orang-orang baru—terutama Rafan, sebagai status yang menjalin hubungan dengannya pun tidak bisa diingatnya.Semenjak kecelakaan yang menimpa Asya, membuatnya seperti orang asing. Meskipun, baik Asya ataupun Rafan belum bertemu secara langsung. Kecuali Rafan, meskipun menjauh—hampir setiap harinya selalu memantau.Satu hal, mengenai pelaku yang menabrak Asya. Adalah Liana, ternyata alasannya karena ingin memiliki Rafan seutuhnya. Di sisi lain, Levan—ayah dari Liana tidak menyangka, melihat anaknya melakukan hal itu. Lebih tepatnya, keluar dari rencana yang dibuatnya.Saat itu juga, Levan melenyapkan semua renc
Hingga malam tiba, Asya masih berada di kediaman Alexander. Karena Azdi juga terus sibuk mendiskusikan sesuatu dengan Rivo. Mendadak bosan, Asya memilih berkeliling. Sebenarnya, ingin bergabung dengan Vio. Tetapi, karena tidak ingin mengganggu Vio yang sedang bersama Refan.“Hm, ayah masih lama kah?” Asya amat bosan, karena tidak ada yang mengajak ngobrol. Seketika terusik, saat Rafan melintas menuju dapur. Saat itu juga, membuatnya kembali menatap ke arah Rafan.Lagi?Asya benar-benar bingung, di satu sisi juga kesal. Kenapa tidak ada yang mau membantunya untuk menjelaskan? Lalu tersentak, saat Rafan melintas lagi sambil menggenggam sebotol air mineral dingin.Rafan berhenti melangkah, mulai melirik Asya, yang sedari tadi terus mengamatinya denganintens. “Apa?”Asya terkejut, saat diajak ngobrol. Refleks menggeleng cepat. “Nggak!&rdquo
Rafan terlihat berjalan lambat masuk ke pekarangan kediaman Alexander, meskipun tadi melihat jelas Asya berciuman dengan laki-laki lain—teman lama. Sudah tidak terlalu dipikirkan olehnya, walau sadar tadi sempat emosi. Di sisi lain, Asya juga tidak mengingatnya—jadi harus apa? Terus melangkah, tanpa mempedulikan semua rekan kerja Rivo. Ternyata masih rapat, lebih tepatnya sedang istirahat sebentar. Terkejut, melihat Rafan muncul dengan pakaian yang penuh lumuran darah. "Rafan," panggil Risa, mulai mendekatkan diri pada anak sulungnya ini. "Melakukannya lagi?" Rafan menatap sebentar dan enggan menjawab, kemudian pergi begitu saja. Saat ini ingin sendiri, sekalian menenangkan diri. Entah kenapa, emosinya ingin terpancing lagi! Namun, langkah kakinya terhenti lagi. kali ini Rivo meminta jawaban. Sebelum sempat bertanya, langsung terhenti karena Raskal mendekat. "Kenapa?" "Biar kujelaskan
Pukul tiga malam, Rafan kembali terlihat melangkah lambat di pekarangan bangunan besar—lebih tepatnya markas Raskal. Sepertinya, tengah malam pergi diam-diam dari rumah lagi untuk meluapkan emosinya. Terlihat jelas, pakaian yang dikenakannya penuh dengan lumuran darah lagi, dan kedua tangannya juga. Langkah kakinya, mendadak terhenti saat Raskal mendekatinya lagi. “Anak buahku yang melanggar sudah kau habisi semua.” Raskal sengaja berbatuk sebentar. “Apa kau akan melakukan teror seperti dulu lagi? Buat melampiaskan emosi?” Ternyata penasaran. Rafan enggan menjawab, melengos dan pergi begitu saja. Itu membuat Raskal menghela napas pasrah, karena tidak mendapatkan jawaban. Hawa begitu dingin, seakan menusuk kulit. Rafan terus berjalan dalam keheningan, tatapan kembali dingin dan kosong sekali. Awalnya, ingin berkeliaran entah ke mana dan sekarang ingin pulang lagi. Langkahnya terhenti seketika, saat sada
Setelah hal mengerikan hampir menimpa Asya, karena saat itu Rafan dalam kondisi amat kacau. Ditambah baru saja, habis meluapkan emosi pada sebagian anak buah Raskal—menjadi pemicunya juga. Rafan sudah kembali biasa, tetapi tatapannya masih agak kosong. Setelah sadar dengan apa yang dilakukannya pada Asya—hampir menjadi korban. Rasa bersalah mulai menguasainya, manik hitamnya, terus terpaku pada siku Asya yang lecet akibat terdorong kasar olehnya. Asya baru saja mengobati luka di lengan Rafan, setelahnya sibuk mengeringkan rambut Rafan. Tersadar apa yang ditatap olehnya, langsung menangkup wajah Rafan dengan kedua telapak tangannya. “Tidak parah, hanya lecet sedikit dan kau tidak sengaja melakukannya.” Kembali mengingatkan, agar Rafan tenang dan tidak terlalu memikirkannya. “Tetap saja, kau hampir jadi korbanku.” Sesekali memijit pelipisnya, benar saja sama seperti kejadian waktu itu kepalanya pusing sekali. Sedikit berb
Beberapa tahun telah berlalu, Asya juga sudah wisuda meskipun sempat mengulang—saat itu mengambil cuti kuliah—karena kecelakaan yang menimpanya. Sekarang, terlihat sedang bertemu dengan seorang laki-laki satu tahun lebih muda darinya, bernama Rendra. Tidak lain, adik kelas yang satu fakultas dengannya—saat masih kuliah. Mereka bertemu karena sedang membicarakan sesuatu, lebih tepatnya Rendra yang meminta bertemu. Untuk menyarankan sesuatu. “Jadi, kau meminta bertemu. Hanya untuk itu?” tanya Asya, masih menatap tidak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. “Iya, habisnya nanya siapa lagi? Ibu sedang ikut ayah ke luar kota, kakak perempuan sudah ikut suaminya tinggal di luar kota, otomatis aku bingung ... minta saran pada siapa?” Rendra dengan nada kikuk menjelaskan. “Ya, ya, ya. Aku paham.” Asya mengangguk. “Tidak mengganggu, ‘kan?” tanya Rendra tiba-tiba, pasti Asya memiliki kesibukan sendiri. Entah
Waktu berlalu begitu cepat, di pagi hari yang cerah terlihat Asya terus-menerus menyentuh wajah Rafan. Sedangkan Rafan sendiri, masih tertidur. Sudah sebulan, Rafan mengambil cuti. Karena Asya tidak mau ditinggal olehnya, katanya sedang ingin bertingkah—alias—manja. Terkadang menjadikan Rafan, bahan kekesalan. Yap, saat ini emosi Asya sedang labil. Maklum, faktor kehamilan yang sudah memasuki usia tiga bulan. Itu sebabnya Asya meminta Rafan untuk tetap di rumah. Terbukti, sekarang mencoba membuat Rafan terusik dari tidurnya. Tangannya masih menyentuh wajah Rafan, sesekali mencubit dan mengecup pelan. “Apa?” Benar saja Rafan terbangun, sebenarnya sudah bangun lebih dulu dari Asya. Tetapi, karena malas membuka mata. Memilih terpejam lagi. “Nggak!” balas Asya cepat, masih terus menggerayangi wajah Rafan. Rafan hanya menaikkan satu alis, jujur suka heran dan berganti kesal juga. Karena Asya dalam kondisi l
Dalam kehidupan, pasti ada pahit dan manisnya. Setiap orang berbeda cara untuk memulainya. Terutama Rafan, dulu hidupnya dimulai begitu pahit dan hampir ingin menyerah. Namun, perlahan berubah menjadi manis. Meskipun masih diselingi masalah-masalah kecil, dan untung saja sudah selesai. Walau agak merumitkan semuanya. Sekarang, kehidupan manis yang dirasakan Rafan semakin bertambah. Telah membentuk sebuah keluarga kecil, baginya. Rafan sudah lumayan terpaku di tempat, tetapi manik hitamnya terus menatap ke arah kaca jendela yang terhubung pada ruang inkubator. Sembilan bulan Asya mengandung, kini telah lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dengan proses normal. Sebenarnya, diperbolehkan masuk untuk melihat langsung. Entah kenapa, Rafan belum ingin mendekati anaknya sendiri. Atau mungkin, masih tidak percaya bila sudah memiliki anak tunggal—bersama Asya. “Dekati sana, anak sendiri juga!” ce
Segerombolan orang misterius, masih bersikeras mengejar Arsen. Itu pun secara acak, buktinya mereka muncul dari berbagai arah. Sukses membuat Arsen kelimpungan. "Kau beda sekali," celetuk salah satunya, berhasil mendahului Arsen dan kembali memberi serangan telak. Tepat, mengenai perut Arsen hingga membuatnya terbatuk. Lalu terhempas lagi ke jalan raya, sepertinya mereka bersungguh-sungguh untuk menyerang Arsen ya? Atau mungkin, ingin membunuhnya? Decakan kesal, terdengar dari orang tadi yang berhasil menyerang. Setelah melihat Arsen masih bisa menyeimbangkan diri, dan berpindah cepat dari jalan raya ke area yang aman. Napas Arsen mulai memburu, sesekali terbatuk kecil. Efek dari tendangan keras yang mengenai perut dan mendekati uluh hatinya. "Kau benar-benar lemah ya?" Arsen telat menghindar. Bahkan, kehilangan konsentrasi dan kewaspadaannya terhadap sekitar. Ada apa denganku? Arsen amat bingung, sulit
Rafan sengaja berjalan lambat menuju ruangan pertemuan. Menurutnya, amat mengherankan. Padahal sudah ada Refan. Kenapa dirinya harus juga? Tidak hanya sengaja melambatkan langkah kakinya. Akan tetapi, sama sekali tidak ada niat berganti pakaian formal lebih dulu? Kemunculannya di Xander Corp, dengan pakaian serba hitam—perpaduan jaket, kaus, celana—berwarna hitam semua. Melewati sekretaris, langsung masuk, dan bergabung dengan para pebisnis lain. Refan hanya menghela napas pasrah, dengan kelakuan Rafan sama sekali belum berubah. Setidaknya, sedikit biasakan gitu? Lah ini, malah berpakaian di luar jam kegiatan formal. "Ka—" Rafan melirik dengan sorot mata malas nan dingin, berhasil membuat Refan berhenti berbicara. Setelahnya, kembali ke posisi semula—diam. Helaan napas pasrah, kembali terdengar. Refan membiarkan, daripada pusing sendiri. Pada akhirnya, tetap memulai rapat. Rafan hanya diam, tetapi mendengarkan dengan baik apa yang oran
Arsen masih berdiam diri di kelas—sendirian. Sedangkan yang lain, sudah pulang maklum kegiatan sekolah telah usai. Pikirannya melayang pada penjelasan Rafan mengenai 'kunci dari latihannya'. Meskipun, sudah dijelaskan tetap saja membuatnya ragu untuk memulai. Semenjak penjelasan itu, Arsen sudah mantap untuk melakukan percobaan kedua. Walau, keraguan terus melandanya. "Dengan santai ya?" gumam Arsen. Sembari beranjak dari bangku dan menyampirkan tas sekolahnya, mulai melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Sepertinya, sudah hilang rasa keraguannya untuk melakukan percobaan lagi. Terus melangkah, mencari tempat yang cocok dan jauh dari keramaian orang. Jujur, risi bila kelakuannya dilihat—terlebih lagi menjadi pusat perhatian! Arsen tidak mau terjadi lagi, cukup menjadi pusat perhatian ketika diserang oleh segerombolan orang tidak dikenal saja. Selebihnya, Arsen memilih enggan dan mungkin akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cepat. Juga k
Arsen memilih duduk di teras rumah, mulai memikirkan cara cepat menguasai gerakan seperti Rafan. Mulai dari parkour, larian cepat, dan terakhir teknik serangan juga cengkeraman kuat.Dengkusan kekesalan kembali terdengar, sesekali mengusap pelan kepalanya akibat terjungkal tadi masih agak pusing. Lalu mendongak dan mengerutkan kening.Sejak kapan Rafan sudah muncul dan berdiri di hadapannya?"Jangan dilakukan secara terpisah, tapi langsung aja." Rafan sengaja memberi tahu kunci latihannya selama ini, karena mempraktikkannya secara langsung di hutan tanpa perlu melatih awalan."Tetap saja, sulit." Arsen membalas cepat, karena sadar dirinya tidak langsung liar seperti Rafan.Rafan mendudukkan dirinya di sebelah Arsen, manik hitamnya tertuju ke depan dan amat tenang. Sepertinya, sudah berhasil menahan emosi."Lebih baik kau melatih kecepatan saja, jangan menyeimbangkan dan pijakan kaki didahulukan."Arsen mulai mengernyit heran, dengan u
Meskipun Arsen tidak suka disamakan dengan Rafan, walau sadar dalam waktu tertentu bisa persis sekali. Bukan berarti Arsen tidak kepo dengan kelebihan—kemampuan ekstrem dan liar yang dimiliki Rafan.Arsen nyatanya amat kepo, lebih lagi setelah diajak oleh Rafan ke lingkungan yang berbeda—alias—hutan. Tujuannya, melatih meski bagi Rafan sendiri baru pertama kali melatih seseorang—anak sendiri. Membuat Rafan sulit, menahan diri buktinya hampir melukai—kalau tidak sadar bisa saja membunuh anak sendiri.Hutan yang sering kali didatangi Rafan untuk menyendiri dan melatih kemampuannya. Sayangnya, bukan karena itu. Melainkan, Arsen penasaran setelah berusaha mengamati cara Rafan yang mulanya berjalan santai. Namun, dalam sekejap bisa melenyapkan diri amat cepat dari pandangannya. Itu membuat Arsen semakin penasaran. Oh iya, gerakan parkour liar. Arsen juga penasaran dan ingin bisa melakukannya.****Kebetulan masih
Arsen kini sudah beranjak dewasa, perangai asli mulai terlihat. Bisa dibilang, seperti koin. Sisi asli yang tertutup oleh sisi pencegah—dinding pembatas keluarnya perangai asli Arsen.Terbukti, semakin beranjak dewasa. Yang lebih dominan diperlihatkan adalah sifat yang mirip sekali dengan Asya. Tampak kalem, kutu buku—penggemar novel misteri lain, efek sisi kalem membuat Arsen jarang berbaur. Lebih memilih menghabiskan waktu dengan buku kesayangan, terakhir maniak cokelat.Setiap di rumah, si kalem Arsen mengurung diri dengan buku dan berbagai macam jenis cokelat. Asya? Hanya sedikit. Arsen lah, yang seringkali menghabiskan.Arsen juga cocok dijuluki, si kalem asam manis. Kalemnya, karena menyendiri. Asemnya, sekali diajak berbincang ada dua reaksi, satu dibalas ketus dan terakhir diabaikan. Kelakuannya, asamnya sekali 'kan?Sisi manisnya, itu karena Arsen penggemar cokelat. Selalu menyetok ban
Asya sibuk membuat sesuatu, sesekali melirik Arsen. Tengah menarik kursi kayu lumayan tinggi, sengaja didekatkan antara lemari makan dengan kulkas. Arsen perlahan memanjat, hingga berhasil berdiri di atas kursi. Tangannya terulur, untuk membuka pintu lemari makan. Ya, Arsen mencoba mengambil camilannya sendiri. Asya mendekati Arsen, masih asik berdiri di kursi kayu lumayan tinggi. Memang saat naik—memanjat, tidak terpeleset atau salah memijak. Tetap saja, ngeri bagi Asya. "Udah ngambilnya 'kan?" Asya langsung menggendong Arsen, otomatis sudah tidak berdiri di kursi lagi. "Ih cokelatnya belum!" Arsen berontak dalam gendongan Asya, camilan kripik atau makanan lain, sedangkan cokelat ada di kulkas dan Arsen belum mengambilnya, lebih dulu digendong Asya. Pada akhirnya, Asya menurunkan Arsen. Benar saja, langsung berlari ke arah kulkas. Manik hitamnya, memindai berbagai macam makanan hingg
Dalam kehidupan, pasti ada pahit dan manisnya. Setiap orang berbeda cara untuk memulainya. Terutama Rafan, dulu hidupnya dimulai begitu pahit dan hampir ingin menyerah. Namun, perlahan berubah menjadi manis. Meskipun masih diselingi masalah-masalah kecil, dan untung saja sudah selesai. Walau agak merumitkan semuanya. Sekarang, kehidupan manis yang dirasakan Rafan semakin bertambah. Telah membentuk sebuah keluarga kecil, baginya. Rafan sudah lumayan terpaku di tempat, tetapi manik hitamnya terus menatap ke arah kaca jendela yang terhubung pada ruang inkubator. Sembilan bulan Asya mengandung, kini telah lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dengan proses normal. Sebenarnya, diperbolehkan masuk untuk melihat langsung. Entah kenapa, Rafan belum ingin mendekati anaknya sendiri. Atau mungkin, masih tidak percaya bila sudah memiliki anak tunggal—bersama Asya. “Dekati sana, anak sendiri juga!” ce
Waktu berlalu begitu cepat, di pagi hari yang cerah terlihat Asya terus-menerus menyentuh wajah Rafan. Sedangkan Rafan sendiri, masih tertidur. Sudah sebulan, Rafan mengambil cuti. Karena Asya tidak mau ditinggal olehnya, katanya sedang ingin bertingkah—alias—manja. Terkadang menjadikan Rafan, bahan kekesalan. Yap, saat ini emosi Asya sedang labil. Maklum, faktor kehamilan yang sudah memasuki usia tiga bulan. Itu sebabnya Asya meminta Rafan untuk tetap di rumah. Terbukti, sekarang mencoba membuat Rafan terusik dari tidurnya. Tangannya masih menyentuh wajah Rafan, sesekali mencubit dan mengecup pelan. “Apa?” Benar saja Rafan terbangun, sebenarnya sudah bangun lebih dulu dari Asya. Tetapi, karena malas membuka mata. Memilih terpejam lagi. “Nggak!” balas Asya cepat, masih terus menggerayangi wajah Rafan. Rafan hanya menaikkan satu alis, jujur suka heran dan berganti kesal juga. Karena Asya dalam kondisi l