“Abin, jangan ngerokok terus!”
Seorang gadis berambut cokelat sepinggang merebut korek api yang hampir menyulut sebatang rokok yang terselip di bibir seorang laki-laki.Gadis itu berkacak pinggang seraya memelototkan mata. Bibir tipisnya tertekuk hingga pipi tirusnya itu menggembung. “Iya, Jisya sayang ...." Laki-laki bernama Abin itu terkekeh seraya menekan pipi gadis itu dengan kedua telapak tangannya.“Kan udah aku bilang, kalau rokok itu nggak baik buat kesehatan. Kamu nggak kasihan sama paru-paru? Nggak kasihan sama aku juga kalau kena asapnya? Perokok aktif sama perokok pasif itu lebih berisiko perokok pasif, Abin.... Kamu mau aku mati muda?”Sementara Jisya berceloteh panjang lebar, Abin hanya menopang pipi menatapnya dengan tersenyum. Ingin rasanya menggigit pipi chubby kekasihnya itu saking menggemaskannya .Sadar ditatap Abin dengan tatapan tak biasa, Jisya langsung mengatupkan mulutnya. “Ih, Abin! Kok ngelihatian nya gitu sih?”Senyuman Abin perlahan berubah menjadi kekehan ringan yang menawan. “Cie, salting ya?” goda laki-laki itu dengan mencolek dagu Jisya. Apa daya Jisya yang imannya lemah, tak kuasa menahan semburat merah muda di pipiya. Dia tersipu dengan perlakuan kecil dari Abin.“Enggak. Siapa juga yang salting?” Bagaimana pun Jisya tetap mempertahankan gengsinya di hadapan Abin. Tidak mau membiarkan Abin semakin menggodanya kalau tahu dia tengah salah tingkah.“Oh ... yakin, nggak salting?”“Abin, apaan sih? Kamu jangan ngalihin pembicaraan! Kita lagi bahas rokok, oke?”Abin berdeham tiga kali seperti orang yang hendak mengawali sebuah pidato. “Gini ya, Jisya sayangku ... rokok itu udah jadi kebutuhan buat aku. Kalau aku nggak ngerokok, rasanya tuh kayak ada yang kurang. Kayak kamu yang hobinya shopping. Emangnya kamu bisa tahan buat nggak shopping?” ucap Abin seraya menyisipkan helai demi helai rambut kebelakang daun telinga Jisya.Jisya membalas perlakuan Abin dengan merapikan rambut Abin yang berantakan. Mengusap peluh di sekitar pelipisnya dan berakhir menagkup kedua pipi laki-laki itu. “Itu namanya kamu udah kecanduan, Abin sayang …. Kalau kamu nggak berhenti dari sekarang, nanti lebih susah lho ngilanginnya. Lagian, aku kan nggak suka shopping. Nggak perlu kamu cari pembanding yang sia-sia.”Abin mengorek telinga kanannya dengan telunjuk. Seolah mendegarkan ceramah Jisya lama-lama bisa membuat gendang telinganya pecah. Sudah satu bulan berpacaran, selalu itu itu saja yang mereka bahas. Seperti tidak ada pembahasan lain saja. Dan selama itu juga Abin tetap tidak berubah. Ucapan Jisya hanya seperti angin lalu baginya.Yang lebih ajaib lagi, meskipun jenuh dengan ocehan Jisya, Abin tetap dengan sabar mendengarkannya. Entah dia akan menurutinya atau tidak, itu urusan belakangan. Yang terpenting ketika Jisya bicara dia merasa didengarkan.“Ya udah, gini aja, kalau kamu kasih aku kiss sekali aja, aku bakal berhenti ngerokok. Gimana?” Abin mengetuk-ngetuk bibirnya menggoda Jisya. Jisya pun seolah memberikan reaksi untuk tawaran Abin. Dia memutar-mutarkan pandangannya seperti mempertimbangkan sesuatu.“Hm ….” Jisya menggantungkan kalimatnya membuat Abin semakin tidak sabar.“Gimana? Mau nggak?” tawar Abin lagi.Dan Jisya hanya menjawabnya dengan satu kata. “Enggak.”Penolakan Jisya itu membuat Abin menghela napas dengan kecewa. “Ya udah, kalau gitu aku tetep ngerokok,” jawab Abin berpura-pura tak acuh dan kembali mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya.“Abin!”Melihat Jisya membentaknya dengan pelototan tajam, Abin benar-benar tak bisa berkutik. Dia memasukkan kembali batang rokok itu ke dalam kotak dan meletakkannya di atas meja. “Bercanda, Sayang …,” rayunya kembali.Jisya kembali menekuk bibirnya dengan kesal. Abin itu masuk dalam kategori bad boy. Suka merokok, mabuk-mabukan, bahkan bolos kuliah. Berpacaran dengannya membuat Jisya mengelus dada setiap hari. Dia bertekad ingin mengubah laki-laki itu menjadi lebih baik.Di saat Abin berusaha merayu Jisya, tiba-tiba ponsel yang dia letakkan di atas meja bergetar dan memunculkan panggilan dari kontak bernama Leo. Jisya yang menyandarkan bahunya dengan tangan terlipat di depan dada melirik ponsel Abin dan tanpa sengaja membaca nama kontak yang meneleponnya. Bukannya menerima pangilan itu, Abin justru menggeser tombol merah.“Kok direject?” Jisya heran saja dengan Abin yang seenaknya menolak panggilan orang lain. “Dianggkat dong, Abin! Siapa tahu penting.”Bukannya menjawab pertanyaan Jisya, Abin justru tersenyum jail dan mencolek dagu gadis itu. “Udah nggak ngambek lagi nih ceritanya?” Jisya menangkis tangan Abin. “Pokoknya kalau kamu masih ngerokok, kita putus aja. Aku nggak mau deket-deket sama perokok.”Abin tahu Jisya tidak serius mengatakannya. Abin juga tahu Jisya itu tidak bisa jauh-jauh darinya. Lebih dari dua puluh tahun dia hidup, dia belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang laki-laki. Ayahnya sudah meninggal semenjak dia masih di dalam kandungan. Dan kehadiran Abin membuatnya merasa selalu nyaman dan dilindungi.Jisya memang bisa mengendalikan perilaku Abin. Bahkan dia membuat Abin kesal dan gemas dalam satu waktu. Sebaliknya, Abin juga bisa mengendalikan hati Jisya. Dia bisa membuat Jisya was-was dan kasmaran dalam waktu bersamaan. Mana bisa Jisya memutuskan Abin kalau seperti itu.Lagi-Lagi ponsel Abin bergetar mendapat panggilan dari orang yang sama untuk kedua kalinya. “Diangkat, Abin!” Abin tetap tidak peduli dengan perintah Jisya. Dia kembali menggeser tombol merah, lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.Setelah itu dia menarik lengan Jisya agar gadis berdiri dari tempatnya. Jisya yang masih dalam mode merajuk dengan malas mebiarkan tubuhnya mengikuti pergerakan Abin. “Udah sore. Yuk, aku antar pulang. Nanti dimarahi Mama lho,” ucap Abin seraya merapikan rambut pajang Jisya yang berantakan.Jisya menatap Abin dengan menahan senyumannya. Dia benar-benar tidak bisa lama-lama marah pada laki-laki berwajah cuek itu. Bagaimana bisa marah jika dia selalu memperlakukan Jisya bak putri raja.“Biasa aja ngelihatinnya. Aku tahu kalau aku ganteng.” Dengan mudahnya Abin mencubit hidung mancung Jisya. Jisya pun langsung memutuskan pandangannya dari Abin dan melihat ke arah lain. “Leo itu siapa sih? Kok aku nggak pernah tahu kamu punya teman namanya Leo?” tanya Jisya penasaran.Abin tetap melanjutkan acaranya merapikan seragam Jisya dan berganti mengusap rok belakang Jisya yang berdebu. “Temen aku kan banyak. Emang kamu hafal semua temen aku?”“Ya, enggak sih. Tapi mau dong dikenalin sama temen kamu yang namanya Leo itu. Aku suka banget kalau ada cowok namanya Leo. Pasti keren banget orangnya.”Mendengar permintaan dari Jisya, Abin seketika menghentikan pergerakannya dan menjauhkan tangannya dari rok Jisya. “Jangan! Nanti kamu malah suka lagi sama dia.” Jisya memang selalu suka melihat wajah cemburu Abin. Ketika laki-laki itu cemburu, Jisya merasa menjadi gadis paling cantik sedunia.Setelah memastikan seragam Jisya sudah rapi kembali, Abin mengambil jaket hitam yang dia gantung di stand hanger. Satu persatu lengan jaketnya dia pakaikan pada Jisya dengan penuh perhatian. Sudah biasa bagi Jisya mendapat perlakuan manis Abin.Mungkin mereka baru satu bulan berpacaran dan bahkan belum saling mengenal semakin dalam, tapi Jisya semakin yakin Abin adalah sosok yang pantas untuknya. Tumbuh dengan sisi lain yang manja mebuatnya merasa cocok bersama Abin yang perhatian dengan hal-hal kecil tentangnya.Abin menyelipkan kelima jarinya di sela-sela jemari Jisya. Menuntunnya keluar dari ruangan itu untuk segera mengantarkannya pulang. Sejak pulang sekolah Abin langsung mengajak Jiysa ke rumahnya untuk menyaksikan bandnya berlatih. Di rumahnya memang ada studio musik yang sudah disiapkan oleh ayahnya yang juga merupakan pecinta musik.Abin dan dua temannya memberi nama bandnya dengan nama AFK. Bukan berarti kalah, melainkan diambil dari insial ketiga personilnya. Abin vokalis, Fras gitaris dan Kaffa yang menjadi drummer. Meskipun pada umumnya vokalis yang mendapat perhatian lebih dari fansnya, tapi di AFK mereka sama rata. Tidak ada yang lebih populer, tidak ada yang paling tenggelam.Setelah memasang helmnya dengan benar, Jisya naik ke atas motor Harley Davidson milik Abin. Dari kaca spionnya, Abin bisa melihat Jisya sudah duduk manis dengan melingkarkan tangan di pinggangnya. Dia pun melajukan motornya dengan kecepatan maksimal. Menyusuri lalu lintas ibu kota yang semakin ramai karena bertepatan dengan karyawan-karyawan yang juga pulang bekerja.Jisya menyandarkan kepalanya di punggung Abin dengan mata terpejam. Dia selau takut setiap diajak Abin kebut-kebutan. Tentu saja Jisya masih sayang nyawa. Dia masih ingin pulang dengan keadaan selamat dan melihat senyuman mamanya. Sedangkan Abin yang menjadi tersangka ketakutan Jisya, hanya mengulas senyum tak berdosa sambil melirik Jisya dari kaca spion.Ketika Abin menurunkannya di depan rumah, Jisya tak berhenti menggerutu pada Abin. “Udah dibilangin, kalau naik motor jangan ngebut susah banget sih, Abin? Aku nggak mau ya mati muda!”Seperti biasa, ketika Jisya mengomel panjang lebar, Abin hanya memandanginya saja dengan senyuman yang menawan membiarkan gadisnya itu menyelesaikn ucapannya sediri. “Ih, Abin! Kamu denger nggak sih?” kesal Jisya.“Iya, Jisya… aku denger kok. Ya udah, masuk, gih! Besok aku jemput. Bye, Sayang….” Abin segera melepas helm yang dipakai Jisya. Cara itu berhasil membuat Jisya berhenti mengomel dan menarik napas panjang.“Ya udah, kamu buruan pulang. Jangan lupa, besok antar aku pemotretan.”Baru membuka gerbangnya, Jisya kembali menoleh ke Abin. “Inget ya, jangan ngebut-ngebut!”Setelah Jisya benar-benar memasuki rumahnya, ponsel Abin kembali bergetar dan lagi-lagi mendapatkan panggilan dari kontak bernama Leo. “Iya, Sayang…. Maaf ya tadi masih latihan band. Jadi, nggak bisa angkat telepon kamu. Ini aku udah di jalan buat jemput kamu." Abin melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul lima lebih lima menit. "Kamu tunggu di sana. Sepuluh menit lagi aku sampai.”Abin dan Jisya berjalan dari parkiran menuju gedung kampus. Semenjak berpacaran dengan Jisya, Abin banyak berubah. Yang sebelumnya sering bolos kuliah, mendadak rajin masuk. Tentunya atas paksaan Jisya. Gadis itu tak main-main dengan keinginannya mengubah Abin. Di sepanjang jalan, tak ada pasang mata yang lepas memandangi mereka. Meskipun tak terlihat saling bersentuhan satu sama lain, hanya jalan bersebelahan saja sudah membuat iri semua pengagum Abin. Bahkan, Abin dan Jisya disebut sebagai Couple goals di kampusnya. Jisya adalah mahasiswi yang berprestasi. Selalu mendapatkan IPK tertinggi setiap semester hingga namanya selalu menjadi buah bibir dosen. Dia juga memiliki pekerjaan sampingan menjadi model di bebagai majalah dan brand ambassador kosmetik ternama. Sedangkan Abin, personel band terkenal di kotanya. Dia juga menjadi standar pacar idaman mahasiswi di kampusnya. Begitulah perempuan, ingin pacar bad boy, tapi tidak siap disakiti. Kalau
Jisya meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Sejak pagi dia enggan untuk beranjak dari kursinya. Yuna, teman yang duduk di sebelahnya mengernyitkan kening melihat Jisya yang tak sesemangat biasanya. Tangan lembutnya terulur menyentuh kening Jisya. “Nggak panas kok,” ujarnya.Jisya perlahan menepis tangan Yuna menjauh dari kepalanya. “Aku nggak sakit, Yuna.” Yuna bernapas lega karena akhirnya Jisya mau bersuara. Pasalnya, sejak pagi Jisya murung seperti tak memiliki semangat hidup.Bagaimana mau semangat kalau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Semalaman penuh dia memikirkan tentang Abin yang berubah beberapa hari terakhir. Jujur saja, Jisya khawatir kalau Abin pindah ke lain hati.Bukannya apa-apa. Abin dulu terkenal playboy dan suka gonta-ganti pacar. Jisya sebenarnya sudah mempersiapkan itu. Tapi, tetap saja ada rasa tidak rela melepas Abin untuk perempuan lain.“Kamu mau ke kantin, kan? Duluan aja. Aku nggak ke
Setelah meninggalkan restoran, Abin langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit. Masih dengan setelan jas rapinya, Abin berlari menyusuri koridor mencari ruangan seseorang. Sampai di ruangan tujuannya, Abin berpapasan dengan dokter yang memeriksa orang yang dia cari. “Gimana, Dok kondisi teman saya?” Dokter pria paruh baya itu tersenyum pada Abin. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Hanya luka ringan. Tidak perlu menginap juga.” Abin menghela napasnya dengan lega dan bergegas memasuki ruangan itu. Belum sempat melewati pintu, Abin spontan menghentikan langkahnya. Mengambil sebuah cincin dari saku kemeja, lantas memakainya di jari manis. Ketika membuka pintu, Abin melihat seorang gadis berambut pirang seumuran dengannya sedang tiduran di ranjang sambil memainkan ponsel dengan santai. “Bikin orang khawatir aja,” omel Abin pada gadis itu. Gadis itu berd
Abin mengelilingi setiap sudut kampus untuk mencari Jisya. Sejak pagi, kekasihnya itu tidak menunjukkan batang hidung di hadapannya. Terlebih, ketika berangkat ke kampus Jisya tidak mau menunggu Abin menjemputnya dan lebih memilih berangkat dengan taksi online. Setelah lelah mencari, akhirnya Abin menemukan Jisya di perpustakaan tengah sibuk menyicil skripsi. Jisya yang tengah sibuk mengetik tiba-tiba merasakan pipinya dingin. Abin datang dengan menempelkan es krim di pipinya. “Jadi, aku dicuekin nih?” tanya Abin sambil duduk di samping Jisya. Jisya pun berdecak sebal, lantas menutup laptopnya. Menatap Abin dengan mata yang memutar. “Abin… kebiasaan banget sih ngagetin orang,” gerutunya. Abin pun hanya memandangi wajah kesal Jisya dengan senyuman. “Siapa suruh nyuekin aku?” protes Abin kembali berpura-pura tak acuh. Jisya memalingkan wajahnya dari Abin dan kembali sibuk membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. Abin memamerkan es krim ber
Abin dan Jisya sudah berada di depan kos-kosan Yuna. Melihat Yuna dari dalam mobil tengah mengunci kos-kosannya. Lantas perlahan menghampiri mobil Abin. “Sorry, nunggu lama ya?” tanya Yuna ketika sudah duduk di bangku belakang. “Nggak kok, baru juga sampai,” jawab Jisya. Dan Abin pun mulai melajukan mobilnya. Dia melirik Yuna dari kaca spion. Yuna, gadis perantauan yang melanjutkan kuliah di kota itu. Tinggal sendirian di kos-kosan yang baginya sangat sempit. Bahkan luasnya hanya seperempat kamarnya. Rambut hitam legam sangat kontras dengan kulit putihnya. Bibir tipisnya terlihat manis ketika tersenyum. Abin sempat tidak percaya kalau gadis secantik Yuna belum pernah pacaran. Dia mendengar semua ceritanya dari Jisya. Jisya pun sebenarnya sama. Dia baru pertama kali pacaran. Awalnya, Abin mati-matian mengejar gadis itu hingga akhirnya luluh. Memang sifat sahabat itu biasanya tidak jauh-jauh. Bahkan, semakin hari wajah Jisya dan Yuna semakin mirip
Jisya mengunjungi kos-kosan Yuna sekalian numpang mengerjakan skripsi. Duduk lesehan di atas karpet dengan laptop di depannya dan tumpukan kertas. Jisya selalu semangat mengerjakan skripsinya karena dia punya target lulus lebih cepat dari teman-temannya. “Abin kayaknya beneran berubah deh sejak pacaran sama kamu," ucap Yuna di tengah kesibukan Jisya. Dia istirahat sejenak untuk menonton drama Korea karena lelah mengerjakan skripsi dari pagi. Sejenak Jisya pun menghentikan tangannya yang sedang mengetik di atas keyboard laptop karena mendengar nama Abin disebutkan Yuna. “Nggak tahu juga sih. Kalau emang beneran berubah ya syukur. Semoga aja berubahnya bukan karena aku.” Yuna mengernyitkan keningnya. “Kok gitu?” “Kalau Abin berubah karena aku, kalau kita putus, pasti dia balik lagi kayak dulu. Aku nggak mau. Aku maunya Abin berubah memang niat dari dirinya sendiri.” Yuna menganggukkan kepala menyetujui ucapan Jisya. “Bener juga ya? Eh, tapi, aku
Brak! "What the fuck!" Pagi itu di kampus Abin dan Jisya tengah ramai membicarakan mahasiswi baru yang sudah membuat ulah. Siapa lagi kalau bukan Linzy. Baru saja masuk di area kampus, mobil mercy merah kesayangannya sudah menabrak sepeda motor matic milik salah satu mahasiswi di kampus itu sampai rusak parah. Kemampuan mengemudi Linzy memang payah, tapi tetap saja nekat menyetir sendiri. Pemilik motor itu sudah sesenggukan meratapi nasib motornya yang sama sekali tidak bisa digunakan. Tidak sedih bagaimana, dia mahasiswi perantauan yang jauh dari orang tua. Susah mencari uang lagi. Dan tega-teganya Linzy memperparah keadaannya. "Keluar kamu!" Mahasiswi itu mengetuk kaca mobil Linzy dengan keras. Linzy tak berhenti mengumpat di dalam mobil. Dia membuka pintunya dan turun dengan gaya ala selebriti seraya melepas kaca mata hitamnya. Jadi, you yang punya motor butut ini?" "Kamu harus ganti motor aku!" bentak mahasiswi itu.
Yuna sangat tidak nyaman berada di dalam satu mobil yang sama dengan Kaffa dan Fras. Dia duduk di bangku belakang seraya menatap jalanan dari jendela. Kalau bukan Jisya yang menyuruh, tidak mungkin mau pulang bersama dua laki-laki dalam satu mobil. Kaffa melirik Fras dan mengarahkan lirikannya pada Yuna. Tingkah mereka berdua sangat mencurigakan. Untung saja Yuna tak melihat ke depan hingga tidak tahu kode apa yang saling mereka lemparkan. "Yun, kok lo jarang bales chat gue sih?" tanya Kaffa memecah kesunyian dalam mobil. "Lagi males aja." Sikap cuek Yuna membuat Kaffa dan Fras terkekeh. Mereka semakin tertantang memenangkan pertaruhan yang mereka jalankan. "Kalau chat dari gue masih males bales juga nggak?" tanya Fras. Dalam hatinya mengumpati Kaffa karena mendahului start. "Sama aja. Udah, deh, kalian jangan ngomong aja. Tuh, kos-kosan aku udah di depan." Kaffa dan Fras sama-sama tertawa. Mereka kira kos-ko
Pagi itu Yuna sudah membersihkan diri dan tengah mengeringkan rambut di depan cermin. Hari terakhir mereka di bali. Tak bosan mereka menghabiskan malam berdua dengan melakukan hubungan suami istri sekalipun mereka belum sah secara hukum maupun agama. Namun, beberapa hari terakhir dia dibuat uring-uringan pasca melihat panggilan dari Linzy di kontak Abin. Abin keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit piganggya. Bibirnya tersenyum menatap pantulan wajah Yuna dari cermin. Dia tak pernah bosan mengakui kecantikan Yuna. Namun, dia belum bisa memutuskan pada siapa menjatuhkan hati. "Linzy siapa sih, Bin?" tanya Yuna dengan wajah terlihat sinis. "Mantan aku. Kenapa?" Jawaban Abin terdengar meyakinkan. Seolah memang yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. Kalau seperti itu sulit untuk Yuna tidak percaya. Namun, yang namanya wanita, dia mudah sekali mencemburui. "Oh. Masih saling contact ya?" Abin jelas tahu Yuna cemburu. Dia hanya menutupinya saja. Wajah cemburu Yuna yang
Hari-hari Jisya semakin terasa sepi. Dia mendapat kabar bahwa Yuna sedang ada Pemotretan di Bali untuk satu minggu ke depan dan Abin masih saja tidak menghubungi. Kalau perempuan lain, pasti sudah minta untuk putus. Untunya, dia Jisya. Perempuan yang memiliki pikiran selalu positif dan selalu sabar.Yuna sudah sampai Bali bersama crew dan Abin. Dia bahkan sudah menyelesaikan pemotretan hari pertama dengan sangat sempurna.Sore itu Yuna sudah mengganti pakaiannya dengan gaun berwarna putih sedikit transparan dan berjalan di bibir pantai tanpa alas kaki seraya menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam.Dari kejauhan Abin yang kebetulan membawa kamera, lantas mengarahkan lensanya untuk menangkap potret perempuan cantik itu. Tidak salah Dion sangat membanggakan Yuna karena dalam situasi apa pun, foto-foto Yuna selalu bagus, sekalipun tanpa diedit.Bibir Abin melengkungkan sebuah senyuman seraya berlari mengejar Yuna dan langsung memeluknya dari belakan
Jemari lentik Linzy sibuk mengetikkan kombinasi angka untuk membuka pintu apartemen Abin. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka hingga membuatnya menghentakkan kaki dengan kesal. Sebelum-sebelumnya dia bisa leluasa mengakses tempat pribadi tunangannya itu. Tapi, sejak Abin sering membawa Yuna keluar masuk, dia sengaja mengganti kodenya agar Linzy tak sembarangan masuk dan bisa-bisa mengetahui kelakuan bejatnya. "Ini kenapa diganti sih passwordnya?" kesal Linzy seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya.Dia akhirnya menyerah dan memilih untuk menghubungi Abin. "Hallo, Bin! Kok passwordnya diganti sih? Aku kan jadi nggak bisa masuk! Aku capek tahu dari tadi ngetik passwordnya nggak kebuka juga! Kamu tahu nggak sih kalau kaki sama jari aku sampai pegel gini? Sekarang kamu di mana? Di dalem, kan? Atau lagi di luar? Ini passwordnya berapa? Aku mau masuk, buruan!" "Ck, berisik banget sih kamu, Zy!" Belum juga Linzy menutup teleponnya, Abin tiba-
Pagi itu Jisya tengah berjalan gontai di koridor rumah sakit dengan menggenggam selembar surat hasil tes laboratorium. Kepalanya menunduk menatap lantai yang dia pijak, seolah tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dia yang biasanya selalu ceria dan semangat, kini menjadi pemurung. Bruk! Tiba-tiba ada seorang yang dengan sengaja membenturkan diri padanya hingga surat hasil laboratorium itu jatuh. "Ups! Sorry, sengaja." Jisya membungkukkan badannya untuk meraih kembali hasil tesnya. Namun, lagi-lagi orang itu membenturkan diri lagi hingga Jisya tersungkur di lantai. Jisya memejamkan matanya untuk menahan segala emosi yang melanda. Tangannya mengepal dengan berkali-kali menghela napas panjang. Demi menghindari adu mulut dengan perempuan itu, Jisya memilih untuk melanjutkan langkah tanpa memedulikannya. "Heh, tunggu!"
Sudah seharian Jisya tidak mendapat kabar dari Yuna maupun Abin. Bukannya apa-apa, hanya saja tidak biasanya Yuna melupakannya. Terlebih dia mendapatkan kabar baik karena berkerja sama dengan designer luar negri. Biasanya dia akan curhat pada Jisya tentang hari-harinya. Abin pun juga begitu. Tidak ada sekali saja niat menanyakan kabar Jisya. Tidak tahu kalau gadis itu tengah menahan tubuhnya yang tengah sakit. Ditambah lagi sudah berhari-hari mamanya tidak pulang. Dia harus merawat dirinya sediri yang lemah. Masih memandangi layar ponsel, tiba-tiba saja darah menetes melalui hidungnya dan mengenai selimut. Dalam hatinya sangat panik dengan hal itu, hanya saja Jisya mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Nggak apa-apa, Jisya... Cuma mimisan kok," monolognya seraya meraih tisu di atas nakas untuk mengusap hidungnya. Bukannya berhenti, darahnya justru semakin banyak menetes hingga Jisya berkali-kali
Jisya sampai rumah dengan selamat. Beruntung sebelum baterai ponselnya habis, taksi online yang dia pesan tiba di waktu yang tepat. Hanya saja karena kehujanan gadis itu mendadak terserang flu. Sejak malam sampai pagi hanya bergelut dengan selimut tebal dan tidak berhenti bersin hingga hidungnya memerah. Bahkan dia terpaksa membatalkan jadwal bertemu dengan designer yang bekerja sama dengannya karena kondisinya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Ketidakprofesionalan Jisya membuat Dion murka sampai harus meneleponnya pagi-pagi. "Kamu, gimana, Jisya? Udah gue bilangin, jaga kesehatan. Jangan sampai pas ada jadwal kamu seenaknya batalin! Ini project penting lho, Sya! Jangan sampai cuma gara-gara kamu mereka cabut kontraknya." "Maaf, Mas... Aku janji cuma kali ini aja aku izin," jawab Jisya. Suaranya bahkan terdengar lemah dan berkali-kali menarik ingusnya. Tapi, Dion seolah tak mau tahu dengan
Jisya berjalan menuju ruang kesehatan seraya merogoh tas untuk mencari ponselnnya. Ketika sampai dia melihat Abin duduk menjauh dari Yuna dengan menyilangkan kaki seraya memainkan ponsel miringnya. Entah mengapa melihat kediaman Yuna dan Abin terasa mengganjal di hatinya."Kamu udah enakan?" Jisya menempelkan punggung tangannya pada kening Yuna. Tidak panas, hanya sedikit hangat."Udah enakan kok, Sya. Tadi Bu Indri gimana? Pasti marah ya sama aku? Bukan kamu kan yang dimarahi?"Jisya terlihat mengulas senyumnya. Terlihat tulus, hanya saja sebenarnya tak begitu. Jisya hanya pura-pra untuk melegakan prasangka Yuna. "Nggak kok. Bu Indri makhlumi. Tapi, aku belum bisa buktiin kalau itu ulahnya Linzy."Yun akahirnya bisa bernapas dengan lega. "Syukurlah kalau gitu. Makasih ya, Sya...." Jisya menganggukkan kepalanya dengan senyuman tulus. Dia akan selalu melakukan apa pun demi sahabatnya. Yun
Linzy berjalan menyusuri koridor kampus bersama dua teman barunya sambil memelintir rambut dengan jari. Tanpa sengaja dia melihat Yuna yang tengah sibuk membawa tumpukan dokumen di tangannya. Mengingat Yuna teman dekat Jisya, Linzy berinisiatif menjaili untuk menjailinya.Mencetak seringaian tipis dan menahan langkah kedua temannya. "Guys guys!"Kedua temannya pun spontan menghentikan langkah dan menatap Linzy dengan kerutan kening. Linzy melirik keberadaan Yuna dengan mencurigakan. Mereka pun akhirnya tahu apa yang dimaksud Linzy."Cus!" Linzy mengayunkan tangannya untuk segera melakukan aksinya. Mereka bertiga berjalan sambil bergurau seolah tak peduli dengan sekitar. Dan ketika berpapasan dengan Yuna, Linzy sengaja membenturkan bahunya dengan kencang hingga membuat Yuna jatuh tersungkur dan dokumennya berserakan ke mana-mana. Lututnya membentur ujung kursi hingga mengluarkan banyak darah.
Jisya tengah sibuk menghapus make up setelah sesi pemotretan. Tak lupa juga melepas perhiasan yang dia pakai dibantu seorang perempuan yang menjadi assistannya. Di sebelahnya juga ada Yuna yang masih mempersiapkan diri untuk pemotretan pertamanya."Jisya, aku nervous banget nih. Gimna kalau pemotretannya gagal?""Makanya jangan nervous. Kalau kamu nervous, hasilnya nggak bakal maksimal. Santai aja, Yuna. Kamu pasti bisa kok. Percaya deh sama aku."Yuna mengulas senyumnya dengan manis. Jisya selalu membuatnya merasa tenang. "Makasih, Sya.""Itu kan gunanya teman? Kalau nggak saling support buat apa?""Yuna, lima menit lagi take." Manager Jisya yang sekaligus menjadi manajer Yuna memberi aba-aba untuk Yuna agar segera bersiap.Ketika Yuna meninggalkan ruangan itu, Abin tiba-tiba datang meghampiri Jisya dengan menutup mata perempuan itu dari belakang. "Abin...," peringat Jisya dengan lembut.Abin melepas tangannya dan t