"Ihh, kenapa tuh orang yah?"
"Kok meluk angin sih?"
"Sudah stres kali yah?"
"Orang gila kali"
Seketika Herra melepas pelukannya pada Rizhan dan memandang orang-orang yang memperhatikannya. Herra menjadi heran dengan tatapan orang-orang itu yang seperti memandang aneh dirinya.
Ada yang salah yah dengan cara berpakaianku? Atau make up-ku menor kali yah? ~ batin Herra
"Kenapa orang-orang itu seperti aneh padaku?" tanya Herra pada Rizhan.
Rizhan tersenyum manis.
"Karena mereka kira kamu itu gila," jawab Rizhan
Herra langsung melototkan matanya dengan mulut yang terbuka. Apa?! Dia gila?!
"What?! Bagaimana bisa mereka mengira aku seperti itu?! Aku ini masih waras tau. Liat aja pakaianku seperti orang normal," protes Herra dengan tangan yang dilipat.
"Kamu dikira gila karena berbicara padaku," timpal Rizhan dengan senyuman.
"Kok gitu sih?! Emang salah aku berbicara padamu?" tanya Herra yang terbingung dengan perkataan Rizhan.
"Kalau menurutmu sih enggak salah karena kamu bisa melihatku. Beda halnya dengan mereka. Mereka enggak bisa melihat diriku," jelas Rizhan
"Loh?! Kok gitu?! Kamu kan nyata berdiri di hadapanku," sanggah Herra yang kembali dibuat bingung dengan perkataan Rizhan.
"Aku tau kalau aku sedang berdiri di hadapanmu. Tapi beneran hanya kamu aja yang bisa lihat aku. Orang lain enggak bisa," ulang Rizhan dengan tatapan meyakinkan.
Herra menautkan alisnya untuk mengerti perkataan Rizhan.
"Kamu kan bukan hantu," komentar Herra lagi.
"Iyah kamu benar aku bukan hantu. Tapi, aku ini kan teman khayalanmu. Jadi hanya kamu saja yang bisa melihatku," jawab Rizhan
"Ohh, jadi gitu cara kerjanya. Hanya aku aja gitu yang bisa melihatmu. Orang lain enggak bisa. Karena kamu itu teman khayalanku aja," timpal Herra
"Iyah kamu benar," balas Rizhan seraya tersenyum manis pada Herra.
"Ya udah, enggak apa-apa deh. Yang penting sekarang aku memiliki teman. Aku juga enggak akan kesepian lagi. Aku enggak peduli dikatain gila oleh mereka. Yuk, aku ajak ke rumahku," ajak Herra menarik tangan Rizhan.
Rizhan tersenyum indah saat Herra menarik tangannya. Dan tentu saja itu menjadi perhatian banyak orang lagi pada Herra karena dikira gila.
Saat sampai di depan pintu kosnya, Herra mempersilahkan Rizhan untuk masuk. Rizhan pun masuk dan melihat sekeliling kamar kos Herra. Tidak terlalu besar, tapi muat untuk tinggal satu atau dua orang.
Kamar kos Herra bisa dibilang cukup lengkap dengan ada ruang keluarga, dapur, kamar mandi di dalam dan satu kamar. Rizhan memilih duduk di kursi ruang keluarga.
"Apa boleh aku tanya sesuatu?" tanya Herra seraya ikut duduk di samping Rizhan.
"Boleh. Tanya saja," jawab Rizhan dengan senyuman manis.
Herra pun jadi ikut tersenyum melihat hal itu. Herra jadi berpikir apakah teman khayalannya ini terlalu sempurna. Karena ia meminta seorang pria yang sangat tampan.
"Apakah kamu makan atau minum?" tanya Herra
"Untuk saat ini aku enggak bisa melakukan banyak hal untuk kegiatan manusia. Karena tujuan utamaku adalah untuk menemanimu. Jadi makan atau minum aku enggak perlu," jelas Rizhan
"Untuk saat ini? Apa maksudnya?" tanya Herra
"Maksudnya aku bisa melakukan hal itu seperti makan atau minum ketika interaksi kita berdua sudah lebih banyak," ungkap Rizhan
"Ohh, jadi kamu bisa melakukan kegiatan manusia juga jika kita udah banyak berinteraksi. Interaksi seperti apa? Banyak berbicara gitu?" tanya Herra kembali.
"Bukan hanya itu. Seperti kamu selalu memegang tanganku, memelukku juga bisa atau menciumku itu yang paling berpengaruh," jelas Rizhan dengan senyumannya.
"What?! Ci-ciuman yang paling berpengaruh?!" pekik Herra dengan pipi yang mulai memerah.
Jujur selama berpacaran dengan Vian saja ia tak pernah melakukan hal itu. Palingan hanya sekedar memegang tangan, memeluk, atau mencium kening.
"Iyah. Apalagi cium di sini," ujar Rizhan seraya menunjuk bibirnya.
"H-hei, kamu kan bertugas jadi temanku. Ma-masa aku cium temanku sendiri sih," komentar Herra yang menjadi gugup sekarang karena pernyataan itu.
"Iyah, aku tau. Aku kan cuma menjawab apa yang kamu tanyakan. Enggak perlu cium juga, cukup pegang tanganku atau memelukku itu juga ampuh kok. Walau agak lama," balas Rizhan
"Jadi maksudnya kayak upgrade gitu yah?" tanya Herra
"Iyah"
Rizhan menganggukkan kepalanya.
"Kayak main game virtual aja jadinya," komentar Herra
Rizhan tertawa mendengar perkataan yang keluar dari mulut Herra.
"Kamu lucu Herra. Aku suka deh," ujar Rizhan
'deg'
Kenapa jantungku tiba-tiba berdetak begitu cepat kala mendengar perkataan Rizhan? Aku enggak mungkin suka dengan teman khayalanku sendiri. Bagaimanapun dia kan enggak nyata ~ batin Herra seraya memegang dadanya.
"Kok melamun Herra?" tanya Rizhan mendekat ke arah Herra.
"O-oh enggak apa-apa kok. Hanya sedikit kaget kamu mengatakan suka padaku," timpal Herra
"Aku suka punya teman seperti kamu. Kamu baik," ujar Rizhan
"O-oh gitu. Aku juga senang punya teman kayak kamu," balas Herra
Bagaimana bisa aku berpikiran hal yang lebih ~ batin Herra
To be continued....
Seorang wanita tengah bersiap-siap untuk mencari pekerjaan lagi. Setelah memakai setelan formalnya, ia segera keluar dari kamarnya. Sudah sebulan ini ia terus mencari pekerjaan."Selamat pagi Herra""Ahh! O-oh, kamu Rizhan. Selamat pagi," balas Herra yang terkejut dengan sapaan Rizhan di pagi hari."Maaf yah udah buat kamu terkejut," ucap Rizhan dengan wajah sesal."Eh?! Enggak kok. Bukan salah kamu. Aku cuma belum terbiasa aja dengan kehadiranmu," timpal Herra yang sedikit kasihan dengan wajah itu."Kamu mau ke mana hari ini?" tanya Rizhan"Aku mau cari kerja lagi. Uang tabunganku udah mulai menipis jadi aku harus cepat-cepat cari pekerjaan," jawab Herra dengan senyuman."Tunggu sebentar," ucap Rizhan"Ada ap...."Perkataan Herra langsung terhenti ketika tangan Rizhan mendarat di bibirnya. Rizhan mengusap perlahan ujung b
Orang-orang berkumpul mengelilingi tubuh Dara yang tertabrak. Herra mencoba mendekatinya. Saat mendekat ke sana untuk melihat keadaan Dara. Seketika Herra melebarkan matanya. Bagaimana tidak, darah mengalir cukup deras dari kepalanya Dara. Walaupun sejahat apapun Dara padanya, tetap saja rasa kemanusiaannya tetap ada.Herra begitu terkejut melihat Vian yang menangis histeris melihat Dara yang tertabrak. Ia memangku kepala Dara di pahanya. Herra merasakan hatinya berdenyut sakit. Padahal selama mereka berpacaran, Vian tidak pernah menangis untuknya. Apakah Vian dulu benar-benar mencintainya? Apakah Vian secepat itu melupakannya? Padahal rasa untuk Vian masih tersisa di hati Herra walau tidak sebesar dulu.Tak terasa air matanya mengalir karena rasa sakit di dadanya. Namun, tiba-tiba Herra merasa terkejut karena ada tangan yang menyentuh bahunya. Ia melihat sosok Rizhan. Herra jadi mengingat kalau Rizhan yang tadi mendorong Dara ke tengah ja
Malam yang begitu hening dan tenang. Terlihat seorang wanita yang tengah tertidur lelap. Sesekali wanita itu tengah meracau sesuatu.Tak lama kemudian datanglah sosok pria. Pria itu berjalan mendekatinya. Saat sampai di hadapan si wanita, pria itu tersenyum manis hingga terlihat lesung pipinya.Wajah pria itu mendekat pada wajah wanita itu.'cup' Satu ciuman mendarat di kening wanita itu. Ciuman itu diberikan cukup lama. Hingga pria itu melepasnya seraya menatap dalam pada si wanita. Setelahnya pria itu beranjak meninggalkannya.***Pagi yang begitu cerah membangunkan sosok wanita yang tengah tertidur lelap. Setelahnya, ia bangkit dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.Tak lama, hanya dua puluh menih yang ia butuhkan untuk membuat dirinya wangi. Pintu kamar mandi itu terbuka dan menampilkan sosok wanita dengan sebuah bathrobe.
Pagi yang sangat cerah mewakili perasaan wanita yang tengah mengoleskan make up pada wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia pun segera keluar dari kamarnya untuk segera berangkat bekerja."Selamat pagi Herra," sapa Rizhan dengan senyum yang cerah.Jujur senyum cerah Rizhan membuat Herra jadi ikutan tersenyum."Pagi juga Rizhan," sapa Herra balik."Kamu udah mau berangkat?" tanya Rizhan"Iyah""Tapi kamu belum sarapan. Seenggaknya sarapan yang dikit dulu," tutur Rizhan"Iyah, nanti aku sarapan di jalan aja. Aku takutnya telat di hari pertama aku masuk kerja. Aku harus Buru-buru. Kalau begitu aku pamit dulu," ucap Herra seraya keluar dari dalam kosnya.Herra lebih memilih memanggil taksi hari ini. Ia takut kalau menunggu bus terlalu lama nanti. Sungguh ia harus menampilkan image yang baik di hari pertamanya bekerja. Ia pun berharap agar
Herra membuka pintu kamar kosnya dan mencari keberadaan Rizhan. Ia mencari ke sekeliling kamarnya itu. Ia langsung baru ingat kalau Rizhan akan muncul kalau ia memanggilnya."Rizhan! Kamu di mana?" Herra sedikit teriak memanggil Rizhan."Aku di sini. Kenapa?"Rizhan muncul di belakang Herra hingga membuatnya sedikit terkejut. Herra mengelus dadanya yang betgemuruh karena terkejut. Ia langsung menatap serius pada wajah Rizhan."Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Rizhan dengan wajah bingungnya."Rizhan, aku mau kamu jujur sama aku. Apa kamu ada di tempat kerjaku hari ini?" selidik Herra dengan pandangan serius."Bagaimana bisa aku ada di tempat kerjamu jika kamu tidak ada memanggilku?" tanya Rizhan
"Kamu mau ke mana?""Eh? Rizhan. Aku mau berangkat kerjalah," jawab Herra dengan senyuman."Bukannya perutmu masih sakit? Enggak usah berangkat kerja aja hari ini. Mending istirahat di rumah," timpal Rizhan seraya mendekati Herra."Aku enggak bisa lah Rizhan. Belum seminggu juga aku bekerja. Masa udah minta izin," tolak Herra seraya menyampitkan tas di tangannya."Kamu yakin? Aku khawatir kamu sakit lagi," balas Rizhan dengan raut wajah khawatir."Enggak kok. Kamu tenang aja. Lagipula udah enggak terlalu sakit lagi kayak kemarin. Kan udah disembuhin sama kamu," timpal Herra memberikan senyuman meyakinkan pada Rizhan.Rizhan menghela napas pasrah."Baiklah. Kamu hati-hati yah. Ingat, panggil
"Ahh, aku kenyang banget karena nasi goreng itu. Sumpah, Rizhan pintar banget yah masaknya. Aku aja enggak sehebat itu masaknya. Walaupun bayarannya dia harus menciumku secara tiba-tiba. Aneh, dulu aku enggak terlalu suka dia kayak gitu. Tapi sekarang, aku suka juga dengan ciuman itu," gumam Herra sambil senyam-senyum sendiri.'tok-tok'Perhatian Herra seketika teralih dengan suara ketukan pintu. Herra melihat seorang wanita berdiri di depan pintu ruangannya."Iya, Nona. Masuk saja," celetuk HerraWanita itu langsung masuk dan berdiri di depan meja Herra. Herra sedikit terheran. Ia yakin wanita itu bukan karyawan dari perusahaan ini. Karena itu terlihat jelas pada pakaian yang ia kenakan."Permisi Nona. Boleh saya berbicara sebentar dengan anda?" tanyanya.
11. PindahSesuai perkataannya, hari ini Herra akan pindah ke apartemennya. Bukan apartemen miliknya sih, melainkan milik perusahaan yang diberikan padanya sebagai seorang asisten pribadi. Sebenarnya kunci apartemen itu sudah diberikan padanya saat hari pertama masuk kerja. Hanya saja baru hari ini Herra memiliki kesempatan untuk pindah.Herra sudah menyewa jasa pemindahan barang untuk mengangkat barang-barang di kamar kosnya. Tidak mungkin kan dia minta bantuan Rizhan untuk hal ini. Bisa-bisa ada orang yang pingsan nanti melihat barang-barang itu melayang di udara.Setelah dirasa semua barang di kamarnya sudah dibereskan, ia segera masuk ke dalam mobil pengangkut barang itu. Jarak antara kos-kosannya dengan apartemen memakan waktu sekitar dua puluh menit. Ternyata jarak antara perusahaannya dengan apartemen itu lebih dekat. Ternyata ini alasan perusahaan memberikan Herra fas
"Makasih yah Tuan. Ini kalung yang bagus," ucap Herra dengan senyum lebar.Rizhan hanya mengangguk pelan. "Iyah. Tapi jangan langsung lupa diri yah. Aku memberikanmu itu hanya untuk memberikan apresiasi pada kerja kerasmu. Jangan memikirkan banyak hal," tukas Rizhan seraya berbalik menuju mobil kembali.Baru saja Herra ingin memuji kebaikan presdirnya itu. Namun, ia harus kembali lada kenyataan jika presdirnya itu bukan orang yang pantas mendapatkan predikat baik darinya.Sudahlah, yang penting ia senang bisa menerima kalung yang cantik ini."Hei! Kenapa masih diam di sana?! Apa kau mau aku tinggalin?!" teriak Rizhan dari arah mobil.Herra lansgu berbalik arah dan berlari menyusul ke mobilnya."Iya Tuan! Tunggu sebentar!" teriak Herra pula.Benar-benar orang yang tak sabaran presdirnya ini.***Se
"Enghh!"Herra mengerjapkan matanya pelan. Namun, sontak mata itu melebar kala melihat sebuah dada bidang ada di depannya. Aroma ini sangat dikenal Herra. Ia mencoba mengangkat kepalanya untuk melihat.Benar saja, sang presdir ada di depannya sedang menutup matanya dengan damai. Dengkuran halus ia dengar dari presdirnya itu. Herra melihat betapa tampan wajah itu ketika sedang tidur dengan damai seperti ini. Namun, ia menggeram kesal ketika mengingat jika presdirnya ini bangun akan berubah seperti seekor macan.Herra mencoba mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah presdirnya itu. Perlahan hampir mendekat. Hingga ia berhasil menyentuh wajah itu.Herra menahan agar jantungnya tak berdetak terlalu kencang. Rasanya ia ingin menangis saja saat ini. Bagaimana tidak, tekstur wajah presdirnya dengan Rizhan, teman khayalannya itu sangat mirip.Rasa Rindu itu kembali menyelimuti dirinya. Ingin ras
Perjalanan yang begitu melelahkan akhirnya sampai juga. Pesawat berjenis Garuda Indonesia yang mereka naiki sudah sampai di bandara Yogyakarta.Rasa lelah tentu saja ada dalam dirinya Herra. Bahkan beberapa kali ia melakukan peregangan pada tubuhnya yang lelah itu. Rizhan terkekeh pelan melihat sikap lucu Herra. Ia jadi merasa seperti membawa anak kecil pergi bertamasya saja."Hei, ayo jalan! Kita harus mengambil koper kita dulu," sentak Rizhan dengan nada ketus. Rizhan berjalan duluan meninggalkan Herra yang terkejut dengan nada sentakan itu. Ia langsung memicingkan dengan tajam matanya pada presdir galaknya itu. Melayangkan pukulan dengan angin seakan ingin menghabisi presdirnya itu. Di saat Rizhan membalikkan tubuhnya, buru-buru Herra bersikap diam saja sambil mengalihkan pandangannya dari Rizhan.Rizhan memandang aneh pada wanita itu. "Kenapa masih diam aja di sana?! Kau mau aku tinggal yah?!" tukas R
'kring-kring''kring-kring'Herra meraih ponsel yang terletak di nakas samping ranjangnya. Menyipitkan matanya untuk melihat nama dari penelpon. Detik berikutnya ia melebarkan matanya kala melihat nama dari penelpon. Nama 'Presdir Galak' terpampang nyata di sana.Sontak Herra bangkit dari tidurnya dan duduk di ranjangnya itu. Dengan segera menggeser ikon hijau di ponselnya itu."Ha-Halo Tuan. Ada apa ya?" tanya Herra dengan suara khas orang bangun tidur.["Apa kau baru bangun tidur, hah?! Jangan bilang kau lupa kalau hari ini kita ada perjalanan bisnis ke Jogja," ucap Rizhan dengan nada protes.]Sontak Herra menepuk dahinya kala melupakan hal yang sangat penting."Ma-Maaf Tuan. Saya sungguh melupakan hal itu. Tu-Tuan tenang saja. Saya akan bersiap dengan cepat," ucap Herra seraya berdiri untuk segera bersiap.
41. Perhatian Yang Menghangatkan"Mau kubantu bawakan enggak?" tawar Daniar saat melihat berkas yang begitu banyak itu. Herra menggeleng pelan."Enggak perlu Daniar. Aku bisa bawa kok. Lagian enggak terlalu berat kok ini," tolak Herra seraya mengangkat kardus kecil yang berisi berkas yang sudah ia fotokopi itu. "Hmm, ya udah. Tapi, kau hati-hati yah. Jangan sampai nasibmu bakal kayak karyawan lainnya," timpal Daniar sedikit berbisik. Herra sedikit terkekeh melihat ekspresi lucu Daniar yang memberikan nasihat padanya. "Iya, kau tenang aja. Aku bakal hati-hati dengan presdir kita itu. Aku duluan ya," balas Herra dengan senyum tipis. "Iya, bye," ujar DaniarHerra segera keluar dari ruang fotokopi. Menaiki lift untuk ke ruangan presdirnya itu. "Huh, berat banget sih. Enggak enak tadi minta tolong sama Daniar. Disaat dia
Herra tengah bersiap dengan tergesa-gesa pagi ini. Pasalnya ia bangun sedikit telat karena banyak cerita dengan Salsa tadi malam. Dengan cepat ia memakai setelan kantornya dan mengoleskan sedikit make up saja ke wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia segera mengambil tas jinjingnya dan segera keluar dari kamar. Saat keluar kamar ia melihat Salsa yang tengah mengoleskan selai pada roti. "Sal, aku berangkat dulu yah," pamit Herra dengan buru-buru. "Eh, tunggu dulu. Makan ini sebentar," tahan Salsa seraya memberikan roti yang sudah ia oleskan. "Makasih yah Sal. Aku berangkat dulu yah," timpal Herra seraya berlari ke arah pintu apartemennya. Salsa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Herra. Di lain tempat, Herra tengah berlari menuju halte bus. Untung saja bus itu mau berhenti saat ia meneriakinya. Dengan cepat Herra masuk ke dalam bus itu dengan napas yang tersenggal.
Di sinilah mereka saat ini. Di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari mall. Saat ini Herra memandangi wajah Salsa dengan mata yang sembab karena sedari tadi menangis. Di sana juga ada Bulan yang menemani."Apa kau akan cerita sekarang?" tanya HerraSalsa mengangkat sedikit wajahnya. Ia menggenggam erat tangan Herra di atas meja."Aku bener-bener hancur Her! Aku udah enggak bisa hidup lagi. Aku udah banyak salah padamu. Aku mohon kau maafkan aku sebelum aku pergi jauh darimu. Itu saja. Aku udah terlalu hina untuk meminta maaf darimu. Harusnya aku tau kalau kau enggak pernah berbuat seperti itu. Tapi, aku malah mempercayainya. Liat sekarang. Aku terkena karna dari apa yang aku perbuat," papar Salsa dengan air mata yang terus mengalir.Herra menghela napas kasar. Sebenci bencinya Herra pada mantan sahabatnya ini, ia juga seorang wanita yang tak 'kan tega melihat Salsa menangis terus seperti ini. Perasaan seo
"Udah siap"Herra segera mengambil tasnya dan keluar dari apartemennya itu. Hari ini ia ada janji untuk ketemuan dengan Bulan. Itu memang sudah sering terjadi jika hari Minggu tiba. Mereka akan janjian untuk jalan-jalan bersama untuk melepas penat.Apalagi Herra yang harus melepas segela tekanan hidup ketika sang presdir sudah kembali ke perusahaan. Sungguh, selama sang presdir kembali, berbagai perintah dilakukan oleh presdirnya itu. Bukan sekali ia menyuruh Herra menbuatkannya kopi. Melainkan dalam sehari ada lima sampai tujuh kali ia disuruh untuk membuat kopi.Herra berpikir, apa sekarang pekerjaannya sebagai sekretaris juga merangkap sebagai Office Girl juga. Karena bukan hanya membuat kopi, ia juga disuruh untuk menyapu bekas kertas yang berserakan di sekitar mejanya.Saat ia tanya kenapa tidak suruh OB saja, ia kembali diajari apa itu asisten. Sungguh ia sangat kesal dengan kelakuan presdirnya itu.
Herra mengatur napasnya yang naik turun. Ia menetralkan degup jantungnya yang menggila. Hatinya masih terasa amat sakit karena kejadian tadi.Sepertinya dugaannya itu memang salah. Enggak seharusnya ia mengira presdirnya itu adalah Rizhan. Memang sih nama mereka sama. Tapi, sifat mereka sangat bertolak belakang. Presdirnya itu selalu menampilkan wajah yang datar. Sedangkan Rizhan itu murah senyum.Apalagi presdirnya itu mempunyai tunangan. Mending dia mengambil langkah untuk menjaga jarak. Daripada akan menimbulkan gosip yang tak enak nanti.'kring-kring'Perhatian Herra langsung teralihkan begitu suara dering telpon di meja kerjanya. Segera ia mengangkat telpon itu."Halo. Dengan sekretaris Herra di sini. Ini siapa ya?" tanya Herra dengan sopan.["Ini aku bosmu. Segera ke rua