Mariana tersadar dari pingsannya. Bau minyak kayu putih yang tercium sangat tajam ke dalam hidungnya, membuat Ana sontak membuka matanya. Sudah ada banyak orang mengelilinginya, termasuk Bang Jay. Lelaki itu tengah memegang plastik yang sepertinya berisi air teh hangat.
"Alhamdulillah, sudah sadar Mbaknya," ujar salah satu ibu yang juga tengah berjongkok memijat telapak kaki Ana.
"Terima kasih, Bu. Saya sudah tidak apa-apa," ucap Ana sembari mencoba duduk walau kepalanya terasa sedikit pusing.
"Ayo, minum dulu," kata Jay sambil menyodorkan ujung sedotan ke dalam mulut Ana. Wanita itu menerima plastik teh dan meneguknya dengan banyak. Jay nampak lega, begitu juga dengan beberapa orang yang ada di sana-akhirylnya satu per satu bubar meninggalkan Ana dan Jay saja.
"Bang, kita harus ke mana sekarang?" tanya Ana masih dengan wajah sedikit pucat dan nampak lemas.
"Saya ada teman di Tangerang. Semoga saja bisa kita tumpangi sementara. Bagaimana?"
"Saya bersedia jadi istri Bang Jay."Huk!Huk!Huk!"Tapi bo'ong! Ye ...." Ana tergelak hingga sakit perut. Sedangkan Jay, seketika itu juga berhenti terbatuk, sembari tersenyum miring pada wanita di sampingnya ini."Dah, jangan bengong! Kapan sampainya ini, Bang? Lama sekali. Saya mau rebahan ini," rengek Ana yang sudah merasa sangat tak nyaman dengan tubuhnya yang berkeringat dan sangat bau."Di halte depan. Ayo, siap-siap!" Jay mengajak Ana bangun dari duduknya, lalu berdiri tepat di dekat kernet metromini yang berada di pintu belakang."Kiri depan, Bang," ujarnya pada kernet itu.Trek!Trek!Trek!Kernet memukul uang logam perak di kaca sebanyak tiga kali. Pertanda ada penumpang yang minta berhenti. Metromini menepi di halte. Ana diminta Jay turun terlebih dahulu, baru kemudian dirinya. Tak hanya mereka berdua, ada beberapa orang penumpang lagi yang ikut turun juga, tetapi dari pintu belakang.Setelah bu
"Sudah, jangan menangis lagi. Kita sudah jauh dari rumah bajingan itu," bujuk Jay dengan suara penuh iba. Ana masih saja terisak di balik punggungnya;bahkan getaran dari rangkulan erat tangannya masih sangat terasa di lehernya."Saya masih takut," balas Ana dengan suara gemetar."Hhm ... Sekarang sudah aman, Mbak. Jangan sampai ada yang mendengar isakan Mbak Ana. Nanti malah kita dikira pasangan mesum," terang Jay sembari menoleh sedikit ke samping kiri pundaknya."Iya, Bang. Saya akan berhenti menangis," sahut Ana akhirnya."Turunin, Bang. Saya bisa jalan kaki saja," lanjutnya lagi sembari bergerak turun dari punggung Jay. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Ana turun, lalu berjalan bersisian dengan Jay. Suara jangkrik, kodok, dan suara burung di sekitar tempat ia berjalan kini, membuat Ana merinding. Tubuhnya ia rapatkan pada Jay. Sigap dipeganganya lengan Jay dengan kuat. Sembari mengendarkan pandangan ke sekeliling yang sangat menyeramkan.
Jay dan Ana sudah tidak berada di penginapan lagi. Keduanya kini tengah berada di pasar tradisional untuk membeli beberapa pakaian. Hal itu diputuskan setelah Ana jujur pada Jay, bahwa ia ketinggalan celana dalam di kamar mandi Darto yang sedang ia jemur. Sehingga merahlah wajah Jay saat Ana membisikinya hal tabu seperti itu. Berarti, sejak menggedongnya semalam, Ana tak memakai pakaian dalam."Bang, jangan jauh-jauh!" rengek Ana saat ia memilih beberapa celana dalam obral dari dalam box. Jay mengangguk, sambil terus mengawasi keadaan sekitar. Ana membeli setengah lusin pakaian dalam untuknya dan juga untuk Jay. Setelah dari sana, mereka pindah ke toko daster. Ana membeli 2 buah daster, satu baju kaus, dan juga satu celana boxer selutut untuknya dan juga untuk Jay."Bang, dua ratus ribu," bisik Ana saat tangan dan matanya sibuk memilih motif kaus untuk Jay. Ia mendekatkan kaus di tubuh lelaki tegap yang masih setia menunggu dan memegang semua belanjaannya.
Saat ini, Rangga sudah berada di Terminal Lebak Bulus, sesuai arahan dari seseorang yang mengakui mengetahui keberadaan Ana. Jujur, sebenarnya lelaki itu sangat malas, karena kondisinya baru saja pulih. Hingga ia lebih memilih menunggu di dalam mobil saja. Rangga hanya memerlukan dua orang yang menemui lelaki yang berjanji dengannya.Berjanji di terminal dan bila ia nekat turun, maka dapat dipastikan ia akan kembali muntah-muntah. Sukurlah, Tante Hepi baru berangkat ke Thailand untuk urusan bisnisnya selama sepekan, hingga ia bisa bergilir menemui Dini, Eka, dan dua pacar gelap lainnya.Matanya sibuk mencari keberadaan lelaki yang katanya memakai celana pendek dan juga baju kaus hitam, dari balik kaca mobil. Namun sudah lima belas menit menunggu tidak juga muncul lelaki dengan ciri-ciri yang ia cari. Dua orang ajudannya sudah berpencar, mencari seseorang yang dimaksud. Hingga tinggalah Rangga seorang diri di dalam mobil, bak raja."Mbak yakin itu mobilnya?
Keduanya masih saling pandang untuk beberapa saat."Bang, jantung saya kok berdetak ya?" tanya Ana dengan polosnya. Wanita meletakkan tangan kanannya di atas dada."Ya karena masih idup. Ha ha ha ... emang mau gak ada detak jantungya lagi?" tanya Jay yang sudah tergelak sambil menggelengkan kepalanya."Emang kalau gak ada detak jantung kita bisa mati? Bukannya kita mati karena gak ada napas?" tanya Ana lagi dengan wajah polosnya. Jay kembali tergelak. Lelaki itu bangun dari duduknya, lalu meletakkan telapak tangannya di kening Ana."Hangat, Mbak. Belum buang air besar ya? Pantesan anget," ledek Jay sambil terkikik geli. Ana pun akhirnya ikut tertawa. Dalam hati ia berkata, kalau belum buang air yang diperiksa itu pantat, bukan kening. Sepertinya Bang Jay yang benar-benar korslet."Yuk Mbak, ikut saya," ajak Jay yang sudah berjalan lebih dulu tiga langkah mendahului Ana."Mau ke mana?""Mau ziarah ke makam istri saya. Mau ikut nd
"Bohong!" Jay menelan ludah, saat ucapannya disanggah oleh seseorang. Tidak mungkin istrinya yang menyahut dari dalam kuburankan? Ini pasti suara mertuanya. Pelan Jay menoleh ke asal suara, dan sudah ada Ana berdiri tak jauh darinya sambil tertawa terpingkal-pingkal sembari menutup mulutnya."Sial!" umpat Jay kesal sambil memainkan bibirnya."Ketepu yee ....!" ledek Ana lagi kali ini sambil berbalik badan, kemudian berlari sangat kencang meninggalkan Jay yang kesal. Lelaki itu bahkan melemparkan kerikil kecil kepada Ana. Namun sayang tidak kena. Karena Ana sudah kembali berdiri di depan gerbang kuburan."Dek, Abang pergi ya. Kamu gak perlu cemburu sama wanita rada-rada seperti Ana. Kami hanya teman. Bahasa novelnya, friendshit!" ujar Jay sembari menyeringai lebar. Lelaki itu pun mencium batu nisan yang masih terbuat dari kayu. Begitu hikmat dan sahdu. Ana memandang dari kejauhan dengan perasaan sedih.Cinta Jay untuk istrinya sangat jelas terlihat d
"Eh, maaf Tuan," ucap Delon sembari berbalik badan meninggalkan Rangga yang juga tengah kaget. Jangan tanyakan bagaimana malunya Eka saat ini. Untunglah ia sudah memakai bra dan juga menutupi bagian bawah tubuhnya dengan selimut."Mas, i-itu ....""Kamu diam di sini ya. Jangan ke mana-mana! Jangan keluar kamar!" ujar Rangga dengan suara tertahan. Lelaki itu cepat keluar dari kamar untuk menyusul Delon."Delon, tunggu!" panggil Rangga dengan setengah berteriak. Ajudannya itu sudah berada di depan pintu apartemen. Rangga mengejar, lalu menahan lengan lelaki itu."Jangan katakan apapun pada Tante Hepi. Saya akan ganti ponsel kamu dengan yang baru," bujuk Rangga dengan raut wajah memohon. Udara dingin di dalam apertemen ternyata tak mampu mengusir gelisah lelaki itu, saat kepergok dengan salah satu wanitanya. Keringatnya bahkan mengalir dengan sangat deras.Delon diam. Keningnya berkerut nampak tengah memikirkan sesuatu. Haruskah ia bantu pacar b
"Ka, bos aku ada di bawah sama pacarnya," ucap Rangga dengan wajah pucat. Tangannya sibuk membuka seprei, bermaksud menggantinya dengan yang baru. Jangan sampai aroma percintaannya dengan Eka tercium oleh nenek girang. Apalagi hidung Tante Hepi sangat tajam terhadap bau-bau dua satu plus."Trus, Mas?" tanya Eka kebingungan. Dirinya baru saja terbangun dengan tubuh lemas karena habis menikmati peraduan cinta hingga berlabuh berkali-kali. Baru juga dia mengirimkan sejumlah uang yang diminta Rangga. Sudah repot seperti ini. Ada-ada saja. Eka bermonolog."Jangan bengong, Kak. Kamu cepat pake baju! Kita keluar dari sini sebelum bos aku datang bersama pacarnya," umtukas Rangga tak sabar. Dengan tangan gemetar dan dada berdebar takut. Eka pun memakai semua pakaiannya. Lalu ia membantu Rangga merapikan seprei yang baru saja diganti.Tubuhnya mondar-mandir kebingungan, mau ditaruh di mana seprei ini? Karena pasti nenek itu mengecek baunya jika sudah di taruh di tempat sa