Maaf ya, Bab kemarin ada salah penulis nama. Harusnya Darris Rusman, malah Darris Borman. Tapi it's okay, nggaak memengaruhi isi kok.
Yuk lanjut baca. Jangan lupa ramaikan ya. Happy reading.
______________________
Dania turun dari ruang fitting ditemani darris di belakangnya. Dia mengenakan gaun pengantin warna senada dengan setelan jas yang Alvin pakai. Dengan sedikit pulasan make up, Dania tampil menawan.
Alvin di bawah termangu melihat Dania turun dari anak tetangga. Dia tidak bisa menutupi rasa takjub yang sontak datang begitu menyaksikan kecantikan wanita yang sebentar lagi jadi miliknya itu. Hingga Dania sampai di hadapannya mata Alvin belum juga berkedip saking terpananya.
"Please, deh. Mingkem itu mulut," celetuk Darris melihat muka Alvin yang saperti orang bodoh.
Alvin terkesiap, dan tersenyum kikuk. Dia mengusap tengkuk salah tingkah.
"Aku anter calon pengantin kamu. Ini masih pake make-
Terima kasih yang sudah mau berkenan memberi ulasan Bintang limanya. Yuk jangan lupa simpan cerita ini di library kalian ya gaes. Happy reading._______________Viona menunjukkan undangan dari Dania kepada Robbi ketika dia menyambangi ruangan pria itu. Robbi yang mengenakan kacamata baca menoleh sekilas."Siapa yang akan menikah, Vi?" tanya Robbi tanpa melepas pandangannya dari layar laptop."Dania, Mas.""Dania teman kamu, orang HRD itu?" Robbi melepas kacamatanya, dan menatap Viona lurus."Iya. Kamu mau datang sama aku, Mas?""Ya, tentu saja. Karena aku juga dapat undangan dari Pak Alvin." Robbi menarik laci meja, dan mengeluarkan sebuah undangan yang sama persis dengan undangan yang Viona tunjukkan.Viona beringsut duduk, dan membuka undangan itu. "Kamu tau nggak, Mas. Desain undangan ini yang pilih aku sama Clara loh, bagus, ya?""Bagus.""Nanti kalau kit
Alex berjalan perlahan mendekati wanita yang tengah duduk di kursi meja makan. Dirinya takut ini hanyalah mimpi. Sejak memutuskan pulang cepat dari kelab, dia langsung tidur karena Arnold masih saja terus mengganggunya perkara klien bernama Laras yang masih ingin memakai jasanya. 2 M bukan jumlah yang sedikit, Alex juga sempat tergiur. Namun, ketika ingatan tentang Dania melintas, dirinya sadar kalau dia sudah berniat untuk tidak menerima job itu lagi. Meskipun hubungannya dengan perempuan itu masih belum membaik juga.Dan sekarang, ketika dia tiba-tiba menemukan Dania ada di ruang makan, hatinya yang gersang mendadak basah kembali. Sosok Dania yang sekarang tengah menatapnya bukan halusinasi. Itu benar-benar wanita yang beberapa hari ini sangat dia rindukan.Mata Alex berbinar ketika mendapati Dania tepat berada di hadapannya.Dengan perlahan, Dania pun berdiri, dan terus menatap pria yang membuatnya galau beberapa hari belakangan. Jujur, hati
"Jadi, benar kamu pernah dilamar dia?" Dania melebarkan mata. Tidak menyangka tebakannya akan benar. Meskipun Alex belum menjawabnya, tapi dari reaksi pria itu, dia bisa tahu. Dania menggeleng seraya berdecak. "Pantas saja, dia berani bayar kamu mahal. Kenapa kamu nggak terima dia saja? Kurang cantik apa dia?"Alex memutar bola mata. Dia lantas menyentil dahi Dania. "Aku cuma anggap dia nggak lebih dari seorang klien. Tidak mungkin aku menikah dengannya.""Tapi sepertinya dia ingin kamu jadi miliknya seutuhnya."Alex mengangkat bahu, lalu menarik lengan Dania agar memeluk dirinya. "Aku nggak peduli seberapa cantik dan tajirnya dia. Intinya aku nggak cinta ya nggak bakal aku terima dia. Lain hal jika yang melamar aku itu kamu. Pasti aku langsung terima."Dania mencibir. "Siapa juga yang mau melamar kamu.""Ya, tentu saja, hanya wanita sinting yang mau menikahi seorang gigolo.""Nggak, aku bercanda. Ya ampun." Dan
WARNING KERAS 18+BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN.________________________Dania tampak lebih rileks setelah mendapat sentuhan-sentuhan lembut dari Alex. Dia menangkup pipi pria itu, dan menariknya untuk kemudian mencium singkat."Sekarang, Martin," bisiknya.Seakan tahu apa yang Dania ingin, Alex mulai bergerak pelan. Sebisa mungkin dia tidak membuat gesekan yang akan membuat Dania sakit.Dania masih merasakan perih di bawah sana. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Rasanya benar-benar aneh. Miliknya terasa penuh dan mengganjal. Sesuatu yang bergerak di sana terasa asing. Ini adalah kali pertama untuknya. Dan, awal-awal memang menyiksa sungguhan. Dania meringis menahan sakit dan nikmat yang ditimbulkan secara bersamaan. Kadang dia mengerang, kadang mendesah.Alex sendiri sama saja. Dia sesekali mendesis dan menengadahkan kepalanya menikmati sensasi bergetar yang menjalar sampai ke puncak kepala
"Sekarang cara jalanku pasti persis bebek," gerutu Dania yang merasa tidak nyaman dengan daerah sekitar selangkangannya."Nggak akan sampai seperti itu," sahut Alex, dia menuang teh hangat dalam cangkir."Kamu mah nggak rasain apa yang aku rasa," delik Dania jengkel."Memang apa yang kamu rasa aku nggak rasa?" Alex menarik bibir."Aku nggak percaya ini. Tapi rasanya masih ada yang nyangkut di bawah sana. Rasanya sangat mengganjal dan nggak nyaman." Dania beranjak duduk.Alex terkekeh. "Nanti juga biasa lagi. Apa itu sakit?" tanya Alex meletakkan cangkir teh itu ke meja makan."Sedikit.""Kamu bisa minum obat pereda nyeri. Mau aku ambilkan?""Nggak perlu, kata kamu nanti juga biasa lagi." Alex yang tadi hendak beranjak, kembali duduk. Dia lantas mengambil sebuah triangle sandwich dan meletakkannya di piring Dania."Kalau begitu kamu makan. Tenagamu terkuras habis kan?
Niken terkejut saat membuka pintu rumah. Anak yang dia cari seharian kini berada tepat di hadapannya. Hampir saja dia dan suaminya akan melapor kepada polisi, seandainya hingga pukul dua belas nanti anaknya tak kunjung ada kabar. Seharian ini dia dan suaminya kelimpungan mencari keberadaan Dania, yang tidak ada kabar sejak pagi tadi. Bahkan Clara dan Viona teman akrab anaknya tidak mengetahui keberadaan Dania."Dania! Astaga, kamu baik-baik saja, Nak?" Niken kontan menyentuh wajah anaknya."Aku nggak apa-apa, Ma." Dania menarik kopernya masuk. Sebelum ke rumah orang tuanya, dia sempat kembali ke apartemen untuk mengambil beberapa baju."Kamu ke mana saja? Seharian ini kami mencari kamu." Niken mengiringi langkah Dania menuju ruang tengah. Dia mengabaikan ruang tamu yang dilewatinya tadi. Ruang tamu sudah disulap menjadi ruangan kosong yang sudah didekorasi cantik. Dania juga mengabaikan tenda yang berdiri megah di halaman rumahnya itu. Ada panggung k
Prosesi pernikahan Alvin dan Dania sudah selesai beberapa saat lalu. Saat ini mereka sedang melakukan pemotretan tukar cincin dan pengabdian buku nikah serta maharnya. Tidak ada air mata saat dia akhirnya sah menjadi milik Alvin. Air matanya sudah kering. Hanya ada tatapan kosong ketika proses itu berlangsung. Bahkan ketika fotografer mengarahkannya untuk tersenyum, dia hanya menarik sudut bibitnya tanpa minat.Rombongan pengantin langsung menuju Jakarta Convention 1Hall. Mereka diiringi dengan pengawalan yang sangat ketat menuju ke tempat acara resepsi."Besok kita akan langsung terbang ke Maldives." ujar Alvin. "Aku sudah mempersiapkannya." Dia melirik Dania di sampingnya yang hanya diam sedari tadi. "Dania, kamu dengar aku kan?""Aku dengar," sahut Dania."Jadi, kamu setuju rencana ke Maldives kan? Atau ada tempat spesial yang ingin kamu kunjungi?"Dania menggeleng. "Nggak ada."Alvin tersenyum. Dia lan
Maaf dari awal memang cerita ini tanpa edit. Maaf kalau banyak typo. Happy reading.__________________"Halo, Sayang. Masih mau di sini atau pulang?"Viona menoleh dan mendapati Robbi sudah ada di hadapannya beserta Aliqa anaknya."Pak Robbi, anaknya imut sekali, siapa namanya?" tanya Clara melihat gadis cantik berumur sepuluh tahun dengan gaun berwarna navy yang sama seperti Viona. Sepertinya Viona memang sangat siap untuk menjadikan mereka keluarganya."Namaku Aliqa, Tante," jawab gadis itu menyambut uluran tangan Clara."Kalau Tante namanya Clara. Aliqa, gaun kamu bagus banget. Kamu cantik pake gaun itu," puji Clara seraya melirik Viona."Ini yang pilihin, Tante Vio. Lihat, kami pakai gaun couple." Aliqa mendekati Viona dan berdiri di sebelahnya.Clara menyatukan tangan kagum. "Kalian sangat serasi, cocok jadi ibu dan anak."Aliqa menatap Viona yang terseny
Liam langsung menyambut kedatangan Dania dan Alvin. Dia berlari-lari kecil dan menghambur ke pelukan Dania. Menjelang siang, Dania baru pulang dari hotel. Ya, apa lagi kalau bukan karena menuruti kemauan Alvin yang minta nambah lagi dan lagi."Anggap saja ini bulan madu kedua."Itu jawaban yang lelaki itu berikan ketika Dania protes lantaran Alvin yang sepertinya belum juga bosan menggempurnya. Padahal kaki Dania sudah tidak sanggup berdiri."Maafin, Mama. Pulang telat. Liam udah makan?" tanya Dania mencium pipi chubby anaknya."Mamam dah.""Pinter anak Mama.""Anak Papa juga dong," sambar Alvin mengusap rambut tebal Liam."Oh iya anak Papa juga."Mereka beriringan menuju ruang tengah. Dengan masih memangku Liam, Dania duduk di sofa ruang tengah."Honey, kamu lapar enggak?" tanya Alvin beranjak menuju dapur."Setelah kamu kuras habis tenagaku masih perlu
"Congrats buat Dania dan Alvin. Moga kalian langgeng dan bahagia," seru Clara mengacungkan gelas minumannya, disusul gelas-gelas lainnya."Akhirnya kita bisa nyeret Dania ke kelab lagi, yuhuuuuu!" teriak Viona, di sisinya ada Bernard, pria yang disewanya untuk menemani minum.Clara lebih memilih duduk sendiri dan mengabaikan godaan para pria yang sesekali menghampirinya."Pantas saja. Laki lo tuh," ujar Viona mengarahkan pandangannya ke pintu masuk.Clara mengikuti arah pandang Dania dan menemukan pria bermata biru tampak melambai padanya. Arnold. Sontak senyum Clara mengembang."Selamat malam, Cinta," sapa Arnold mencium pipi Clara. "Wow, formasi kalian lengkap lagi ternyata," ucapnya melihat keberadaan Dania dan juga Viona."Kita sedang merayakan kebahagiaan Dania. Kamu mau minum?" sahut Clara menawarkan gelasnya."Tentu, Sayang." Arnold meraih gelas yang Clara angsurkan. Mata pria itu tak l
Alvin bergerak dengan mata yang masih terpejam. Beberapa detik kemudian tangannya terangkat mengucek mata. Sedikit mengerjap untuk menormalkan penglihatannya. Baru kemudian dia menoleh ke sisi kiri, dan matanya langsung bertemu pandang dengan mata Dania."Honey, kamu bangun?"Kata-kata pertama yang keluar dari mulut Alvin membuat Dania tercekat. Alvin menyebutnya apa tadi? Honey?"Liam juga bangun?" Lelaki itu menoleh ke ranjang tidur anaknya.Dania belum menjawab atau pun meluncurkan kata-kata. Hatinya terlalu bahagia.Lelaki itu menatap kembali kepada Dania yang tampak masih terbengong."Honey, are you okay? Kamu nggak senang aku datang?" tanya Alvin lembut.Dania kontan memejamkan mata. Merasakan kata-kata Alvin yang masuk ke telinganya dan menyebar memenuhi sanubarinya yang mendadak hangat."A-Alvin ... maafkan aku ...." Air matanya yang menggenang akhirnya terjatuh."Sst
Dania bergegas ke kamar Liam. Anak itu sedang ditimang-timang pengasuhnya. Dia cepat-cepat mengambil alih Liam dari gendongan wanita itu."Panasnya belum turun, Mbak?" tanya Dania."Belum, Bu."Dania terpaksa meminta izin pulang lebih cepat karena Liam dari kemarin demam. Tadi pagi demam anak itu sudah turun. Oleh karena itu Dania memutuskan masuk kerja. Namun, siang tadi pengasuh Liam menelepon kalau demam anak itu meninggi lagi."Tolong siapkan perlengkapan Liam, ya, Mbak. Kita ke poliklinik.""Baik, Bu." Wanita muda yang memakai seragam baby sitter itu segera berbenah.Dania paling tidak bisa melihat anaknya sakit. Kalau disuruh memilih mending dia saja yang sakit. Mereka langsung masuk ke taksi yang sudah menunggunya.Poli anak tidak terlalu ramai ketika Dania sampai. Hanya beberapa pasien yang menunggu. Jadi, dia tidak terlalu lama menunggu.Dania bersyukur karena tidak ada penyakit yang
"Ini kok lama-lama perusahaan udah kayak bola aja ya, lempar sana sini. Heran gue. Belum juga genap tiga tahun udah pindah tangan aja," ujar Clara.Dia dan kedua sahabatnya, sedang berjalan bersama menuju aula untuk sosialisasi owner baru perusahaan.Viona tertawa. "Alex menjual sahamnya karena hatinya udah dipatah-patahin dengan kejam sama temen lo."Dania di sebelahnya berdecak, tahu siapa yang Viona maksud."Hm, kasian juga si Alex sih. Kenapa sih lo nggak mau terima dia lagi? Dia itu pria tertampan sejagad. Apa lagi lo mantannya. Nggak akan sulit gue rasa." Clara mencolek lengan Dania yang masih dengan tenang mendengar ocehan kedua sahabatnya."Iya, lagi pula Liam kan butuh bapak. Kasihan dong kalau ketemunya cuma kita-kita aja," imbuh Viona.Ketiganya memasuki lift begitu pintu silver itu terbuka. Clara menekan tombol lantai tujuan mereka."Kalian pada gila apa gimana sih? Gue itu masih istriny
Dania menggeram ketika melihat Alex datang ke rumahnya membawa sebuah bingkisan. Apa lagi isinya kalau bukan mainan untuk Liam, putranya. Padahal baru kemarin kurir mengantar paket berisi kebutuhan Liam dan mainan untuk anak itu."Jangan beli mainan terus. Kamu tau, semua akan jadi sampah kalau dia sudah besar," ujar Dania protes."Hanya sesekali, Sayang." Alex tersenyum kepada bayi berusia satu tahun di hadapannya.Dania terlalu capek untuk meminta Alex menjauhinya. Pria itu tidak pernah kapok bertandang ke rumahnya."Tapi, kamu baru kemarin mengirimi Liam hadiah, Tin. Dia baru setahun, belum butuh itu," omel Dania seraya membereskan mainan anaknya yabg berantakan."Kemarin kapan? Aku baru kali ini kasih Liam mainan, Dania," ujarnya tak peduli sambil terus mengajak Liam bermain.Dania menoleh sesaat. Kebiasaan sekali suka menyangkal. Sering tidak mengakui perbuatannya kalau Dania sudah mengomel.Dania be
Dania baru saja mengisi aplikasi pengajuan cuti ketika perutnya merasakan nyeri. Sebenarnya tadi pagi dia sempat melihat ada bercak darah di celana dalamnya. Namun, dia tidak terlalu khawatir karena tidak ada reaksi apa pun pada perutnya. Hanya sesekali merasa kencang di perut bagian bawahnya. Dania meraba perutnya. Apakah sekarang sudah waktunya? Menurut dokter, hari perkiraan lahirnya masih dua minggu lagi. Dania menggeleng. Mungkin ini hanya kontraksi palsu.Dania bergegas membereskan meja kerjanya. Dia harus cepat sampai rumah agar bisa segera istirahat. Clara sedang bertemu klien di luar, sementara Viona menemani Pak Robbi meeting. Jadi, Dania terpaksa pulang sendiri.Nyeri pada perutnya makin sering terjadi. Hanya jeda beberapa menit lantas rasa sakit itu muncul lagi. Dania makin yakin kalau ini bukanlah kontraksi palsu.Dia memeluk perutnya erat-erat ketika sedang menunggu lift terbuka. Matanya memicing menikmati gelombang cinta yang tim
Dania menghela napas panjang beberapa kali ketika lagi-lagi Alex datang menjenguknya di rumah sakit. Kali ini pria itu membawa sekotak kue balok cokelat lumer. Ini sudah hari kelima Dania berada di rumah sakit. Setiap malam Clara dan Viona bergantian menjaganya. Dan, Alex biasanya akan datang menjelang makan siang tiba."Lihat, Sayang, apa yang aku bawa." Alex membuka kotak itu. Menunjukkan kue cokelat berbentuk balok kecil-kecil dengan lelehan cokelat yang melumer di tengahnya. Terlihat menggiurkan. "Baby pasti suka. Kamu coba, ya." Alex masih saja bersikap baik dan manis kendati Dania tidak pernah bersikap sebaliknya. Dia mengambil satu potong kue dan menyodorkannya pada Dania.Dania menatap kue itu sesaat sebelum menatap pria di hadapannya yang kini tengah tersenyum manis. Senyum yang tak pernah lekang oleh waktu. Ketampanan Alex memang luar biasa, apa lagi saat tersenyum seperti itu. Dulu Dania selalu bergetar ketika Alex bersikap manis seperti ini. Nam
Tawaran Alex agar Dania mau menikah dengannya terus terngiang. Meski Dania tidak bisa menjawab apa-apa, tetapi hatinya sedikit terusik. Sudah hampir enam bulan suaminya pergi. Tinggal beberapa bulan anaknya akan lahir. Namun, kabar dari Alvin tidak pernah dia terima."Alvin, sebenarnya kamu di mana? Aku minta maaf."Kembali air matanya merembes. Tidak ada yang tahu kepiluan Dania setiap malam. Hanya doa yang bisa dia lakukan, berharap di mana pun Alvin berada, lelaki itu akan baik-baik saja.Dania pikir hanya hari itu saja Alex datang menemuinya. Namun, hari berikutnya dan berikutnya pria itu selalu menyambangi kantornya. Dania mulai bosan mengusir mantan pacarnya itu. Namun, pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu tak pernah berhenti datang. Jika bukan sosoknya yang datang, maka Alex akan mengirimkan makanan untuk Dania.Seperti siang ini. Dania meletakkan sebuah kotak makan tepat di kedua sahabatnya."Makan gih, Cla,"