Dania dan kedua sahabatnya meluncur ke vila Alvin. Sesuai dengan undangan itu. Mereka pergi menggunakan mobil milik Clara. Lebih praktis berangkat bersama dalam satu mobil.
Clara mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Padahal jalanan lumayan ramai. Kebiasaan wanita itu memang sedikit anti mainstream. Viona sampai harus berpegang bangku depan kuat-kuat karena kelakuan Clara ini.
"Lo nggak bisa jalanin lebih pelan dikit, Cla?!" pekik Viona. "Gue belum kawin, tau!"
Clara tertawa tanpa merasa bersalah. "Lo udah kawin, ya,Vi. Nikah yang belum."
"Sialan! Gue beneran belum kawin."
"Apa perlu gue ingetin Minggu lalu Lo bareng siapa?"
Viona berdecak sebal. Dania sendiri hanya bisa memutar bola mata melihat kelakuan mereka.
"Kecuali Dania yang belum kawin, gue percaya. Dia mau menyerahkan keperawanannya sama suaminya." Lagi-lagi Clara tertawa.
Dania mendelik. Ucapan Clara benar, tapi wanita itu mengucapkannya dengan mode mengejek. Seolah mempertahankan keperawanan demi suami itu hal yang lucu.
"Di sana pasti banyak cowok ganteng," ujar Viona. Fokusnya teralihkan.
"Kalian jangan mulai, deh. Apa kalian berniat meninggalkan gue dan pergi bersenang-senang sendiri?" tanya Dania sebal. Mereka Dania bawa itu untuk menemaninya, bukan untuk hunting laki-laki. Dasar duo mahluk genit.
"Kita nggak akan ninggalin elo, santai, dong ah," timpal Clara.
"Awas aja kalau kalian ninggalin gue pas ketemu kenalan baru di sana," ancam Dania.
"Apa? SP tiga?" Clara berdecak. "Gue rasa kerjaan Lo nggak cuma ngeluarin SP deh, Dan."
"Kalau sama Lo berdua, kerjaan gue seolah-olah ngeluarin SP doang."
"Jangan, dong, Dan. Nyari kerja sekarang susah. Males gue kalau harus gabung sama perusahaan bokap," ujar Viona.
"Ya,udah. Lo jadi pengangguran aja."
"Enak aja. Tapi kan Lo di sana nanti ketemu Alvin. Gue yakin Lo yang bakal lupa kalau ada kita setelah ketemu laki-laki itu."
Clara membenarkan ucapan Viona.
"Gue jadi penasaran sama tampang jodoh lo itu, Dan."
"Dia bukan jodoh gue," pangkas Dania cepat.
"Sekarang emang bukan, tapi nanti." Clara dan Vio tertawa. Mereka teman yang jahat. Dania berdecak sebal mendengar olokan itu.
"Lo yakin ini vilanya, Dan?" tanya Clara.
"Buset, gede banget ini vila," komentar Vio.
"Menurut alamat, sih, benar. Tapi gue nggak tau. Kan gue belum pernah ke sini sebelumnya."
Clara membawa masuk mobilnya melalui gerbang utama vila. Di halaman vila itu, sudah ada beberapa mobil yang berjajar rapi. Mungkin itu tamu-tamu Alvin. Clara memarkirkan mobilnya tepat di samping mobil sport Range Rover.
"Gila, ini Range Rover asli bukan, ya?" celetuk Vio begitu keluar dari mobil. Pandangannya kemudian beralih pada vila di hadapannya yang tampak berdiri kokoh dengan banyak lampu pijar menyala. "Keren."
Clara keluar disusul Dania.
"Kita beneran akan menginap di sini, Da?" tanya Dania.
"Gue, sih, maunya balik," jawab Dania menutup pintu mobil.
"Mobil tamu Alvin keren semua. Gue nggak yakin bisa langsung balik setelah pesta bubar. Paling enggak, gue harus kenal salah satu pemilik mobil-mobil keren ini."
Vio mengamini ucapan Clara. Mereka satu aliran sangat wajar kalau kompak.
"Udah, ah. Kita masuk."
Ketiga wanita cantik yang berpenampilan anggun itu memasuki teras vila. Ada suara tawa dari dalam yang terdengar. Semakin mendekati pintu, suara bising itu makin terdengar jelas.
Dania yang pertama masuk, kemudian disusul Clara dan Viona di belakangnya. Ternyata di dalam benar-benar ada pesta.
Mata Clara dan Viona tampak berbinar. Dari semua tamu yang hadir kebanyakan dari mereka adalah pria. Clara dan Viona saling melempar senyum sebelum mengeringkan mata satu sama lain.
"Jadi, mana tuan rumahnya, Dan?" tanya Clara pelan.
"Entah. Gue belum lihat tanda-tanda keberadaannya."
Di antara kerumunan orang yang saling tawa dan mengobrol itu memang tak ada sosok Alvin.
"Permisi, Nona Dania?" Seseorang berpakaian butler menghampiri mereka. Otomatis pandangan ketiga wanita itu teralihkan.
"Ya, saya Dania ada apa ya?" tanya Dania sopan.
Pria itu tersenyum. "Anda sudah di tunggu di dalam oleh Tuan Alvin."
"Di dalam? Bukannya acaranya di sini bersama mereka?" Dania menunjuk gerombolan orang yang sedang berpesta.
"Khusus buat nona ada tempatnya sendiri. Tuan Alvin ingin ada momen merayakan ulang tahunnya hanya dengan Nona," terang pria itu membuat Dania melongo.
Fix, Alvin sinting.
"Jadi, silahkan ikut saya," pria itu tersenyum lagi.
"Tapi saya bawa teman-teman saya," ujar Dania berusaha menolak.
"Teman-teman Anda bisa bergabung di pesta itu."
"Udah, Dan. Nggak apa-apa, kok. Kita di sini aja."
Dania mengerutkan bibir, tidak suka mendengar ucapan Clara.
"Ya, udah. Kita ke sana dulu, ya." Clara menarik lengan Viona.
"Hei! Kalian! Kenapa gue ditinggal?!" seru Dania. Namun, dia tidak bisa mengejar kedua temannya. Pria berpakaian butler itu terus menunggunya. Ini sangat menyebalkan.
"Mari, Nona."
Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti pria itu. Apa mau Alvin sebenarnya? Kenapa pestanya harus dipisah seperti ini?
Pria itu membawa Dania melewati lorong, lalu menaiki anak tangga. Di ujung anak tangga itu ada sebuah pintu.
"Saya menunggu, Nona. Silakan Anda masuk. Tuan Alvin ada di dalam."
Dania berpikir apa dia perlu masuk? Bagaimana kalau di dalam terjadi sesuatu? Bagaimana kalau Alvin menjebaknya?
"Silakan, Nona. Tuan sudah menunggu." Pria itu terus mendesak. Sepertinya memang tidak ada jalan lain kecuali menurut. Mungkin dia akan menemani Alvin memotong kue setelah itu selesai. Semakin cepat, semakin baik. Dania bisa lekas keluar dari vila ini.
Dania membuka pintu kayu berpelitur itu perlahan. Tubuhnya bergerak masuk ke dalam. Dia belum sempat menutup pintu itu ketika di belakang terdengar suara pintu ditutup. Sialan. Itu pasti pelayan tadi.
Dania kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Ini seperti roof top. Tapi bukan. Di ujung sana ada meja kecil dan dua buah kursi. Lalu di mana Alvin?
"Selamat datang, Honey."
Dania tersentak kaget mendengar sapaan itu. Hanya sebuah suara tanpa wujud, itu mengerikan. Namun, tiba-tiba sebuah tangan memeluknya dari belakang. Astaga! Dania berjengit lagi.
"Akhirnya kamu datang juga."
Dan secepat kilat Dania merasakan sebuah sentuhan lembut di pipinya. Kurang ajar, Alvin menciumnya.
"Lepaskan tanganmu, Alvin." Dania menggeram jengkel.
"Aku merindukanmu." Bukannya menuruti perintah Dania, Alvin malah mempererat pelukannya.
"Aku enggak," hardik Dania.
"Masa, sih? Kita nggak pernah bertemu loh padahal."
"Aku nggak punya alasan untuk merindukanmu." Dania berusaha melepas tangan Alvin yang melingkari perutnya.
"Sayang sekali." Alvin melepas pelukannya dan berjalan melewati Dania. Dia menghampiri meja di ujung pembatas pagar.
"Jadi, kenapa kamu nggak pernah datang ke kencan kita?" tanya Alvin menuang minuman anggur pada gelas kaca yang tersedia di atas meja.
"Aku sibuk. Aku harus lembur."
Di tengah minimnya cahaya, Dania tidak pernah tahu kalau bibir Alvin menyunggingkan senyum miring.
"Apa itu penting?" tanya pria itu. Aura dominannya kentara sekali. Itu membuat Dania sedikit meremang. Pria itu mengenakan setelan jas rapi, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang menempel di kerah kemejanya. Berkelas dan ... tampan. Ya, Alvin jenis lelaki tampan meskipun sedikit menyeramkan. Kata-katanya yang kadang meremehkan sangat tidak disukai Dania.
"Tentu saja penting."
Alvin mengangguk. Dia mengacungkan sebuah gelas. "Mari kita bersulang. Malam ini adalah pesta ulang tahunku. Aku ingin merayakannya denganmu."
"Kenapa kamu tidak merayakan bersama teman-temanmu di bawah?" tanya Dania mendekat.
"Itu nanti, yang penting kali ini, aku mau merayakan ulang tahunku dengan calon istriku."
Percaya diri sekali dia? Apa dia tidak tahu kalau Dania sangat tidak menyetujui perjodohan itu?
"Aku bukan calon istrimu, jangan mimpi."
"Enggak, Honey. Aku nggak mimpi. Aku pastikan cepat atau lambat kamu akan jadi milikku." Dia menyerahkan gelas wine pada Dania. Ragu Dania menerimanya. Bisa saja kan Alvin sedang meracuninya?
"Percaya diri banget."
"Tentu. Di sana banyak wanita yang menginginkanku."
"Oh, ya? Kenapa tidak kamu undang mereka saja kalau begitu? Kamu nggak perlu repot-repot mengundangku kan?"
Alvin menatap tajam Dania. Wanita itu bicara apa? "Kamu kedengarannya cemburu?"
"Aku, cemburu?" Dania tertawa. Serius, pria di hadapannya terlampau percaya diri. "Yang benar saja."
Tidak Dania sangka Alvin menarik pinggangnya dengan cepat, membuat isi gelas wanita itu berceceran. Bahkan tumpahannya mengenai dress yang Dania kenakan.
"Aku nggak lagi bercanda, jadi jangan tertawa." Alvin mendekati wajah Dania. Sontak Dania menekan dada berbalut jas itu. Kepalanya menjauh menghindari hal yang tidak diinginkan. Alvin benar-benar suka main sambar tanpa aba-aba. Dan itu bahaya bagi Dania.
Dania mengerjap. Sementara pria di dekatnya menyeringai. Jujur, Alvin tampan, tetapi menyeramkan. Pria itu tidak sedang berusaha membuat Dania jatuh hati, justru membuat wanita itu merasa takut, dan antipati."Menjauh, Alvin," desis Dania."Enggak. Aku suka dekat denganmu seperti ini." Dia mengeratkan pelukannya pada pinggang Dania.Kekuatan pria ini terlalu besar. Dania tidak sanggup memberontak. Dia harus menunggu kelengahan Alvin."Kamu mau merayakan ultah kamu, kan? Jadi lebih baik lepaskan aku, dan potong kuemu."Alvin tertawa. "Kamu pikir aku anak kecil yang merayakan ulang tahun dengan tiup lilin dan potong kue?"Dania tampak mengernyit. Lalu, apa maksud pria itu?Alvin mengangkat tangan dan membelai pipi Dania. Namun, wanita itu langsung menepisnya."Jaga, tanganmu, Alvin." Dania melotot."Kenapa? Aku cuma ingin membelai pipimu. Gimana kalau aku minta lebih?"
Dania bergegas menghindari Alvin yang kian mendekat. Otaknya terus berpikir bagaimana cara untuk bisa keluar dari tempat ini. Sialan. Apa yang ada di kepala pria itu sebenarnya?Alvin mengikuti pergerakan Dania."Kamu kenapa lari-lari begitu? Ayo, bekerja sama. Semua akan baik-baik saja."Baik-baik saja? Sejak bertemu dengan Alvin, Dania tidak merasa baik-baik saja. Pria itu membuatnya ketakutan."Jangan mendekat!" jerit Dania. Bola matanya bergerak-gerak mencari sesuatu. "Kamu jangan gila.""Tidak, kalau kamu mau menikah denganku secepatnya." Alvin tersenyum. Dia sangat menikmati wajah panik Dania.Dania terus melangkah mundur seiring langkah Alvin yang semakin maju mendekat. Hingga tubuhnya membentur tepian meja tempatnya makan malam tadi. Ya Tuhan, apa tidak ada yang menolong? Dia ingin menghubungi Clara atau Vio. Namun, tas tangan yang dia bawa bahkan sudah jatuh. Ponselnya ada di tas itu. Dania tering
Setidaknya Dania aman di sini. Meskipun pria yang menolongnya asing, tapi ia percaya pria itu tidak akan berbuat macam-macam."Siapa nama lo?" tanya Dania. Pria itu menoleh. Ia lupa mengenalkan diri."Panggil aja gue Martin," jawab pria itu seraya menengok arlojinya. "Sori, gue harus cabut. Lo nggak apa-apa kan gue tinggal dulu? Kalau lo lapar di kulkas ada makanan."Dania hanya mengangguk, dan membiarkan pria bernama Martin itu pergi. Wanita itu menghela napas panjang. Lalu berjalan menuju salah satu kamar yang ada di vila tersebut."Jadi, pria tampan dan mesum itu bernama Martin," gumamnya duduk di tepian ranjang yang ada di kamar.Dia sedikit heran dengan Martin. Pria itu kenapa mempercayainya? Apa pria itu tidak takut Dania akan merampok vilanya ini? Untuk seseorang yang baru pertama kali kenal, Martin terlalu baik kalau menurut Dania. Whatever, yang penting Dania bisa lepas dari Alvin.Alvin? Bagaimana nasib pria itu?
Sekitar dua jam menempuh perjalanan, Martin membelokan arah mobilnya ke jalan menuju apartemen Dania. Tanpa wanita itu menyebutkan alamat, Martin tahu. Dia sadar dari awal bahwa Dania adalah wanita yang pernah dia temui secara tak sengaja di lift apartemen ini."Kita mau ke mana?" tanya Dania. Tujuan mereka benar, seandainya Dania tidak memiliki masalah. Tapi Dania tidak ingin kembali ke apartemennya."Ke apartemen lo, Episentrum kan?"Dania menggeleng. "Nggak. Kita akan ke apartemen lain. Tolong, arahkan mobilnya ke Semanggi.""Jadi, di episentrum bukan apartemen lo?" tanya Martin menuruti permintaan Dania."Itu apartemen gue. Cuma gue lagi nggak ingin pulang ke sana."Martin mengangguk dan membelokkan mobilnya ke arah yang Dania maksud tanpa banyak bertanya lagi. Sesampainya di depan gedung apartemen kawasan Petamburan itu, Dania meminta Martin menghentikan laju mobil."Punya sodara lo?" tanya Martin ke
Dua hari menginap di apartemen Clara memang aman, tapi tidak untuk hari ini. Di luar, tepatnya di depan pintu unit, ada tiga orang laki-laki bertubuh besar. Dari tadi orang itu menekan bel pintu. Dania bisa melihat mereka dari kamera pemantau, sebelum bergerak membuka pintu. Untungnya dia melihat dulu siapa orang yang datang itu. Kalau tidak, tamatlah riwayatnya. Dania menduga itu adalah orang-orangnya Alvin.Dania gelisah dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Bunyi bel masih beberapa kali terdengar. Dia mengabaikan dengan hati was-was. Bagaimana seandainya orang itu nekat menerjang pintu itu? Tidak, apartemen ini dilengkapi peralatan keamanan canggih. Orang-orang itu tidak akan mudah menerobos masuk secara paksa."Cla, orang-orang Alvin ada di depan apartemen," ucap Dania dengan nada pelan. Dia sedang menelepon Clara."Sial. Kenapa sih lo harus nyeret gue dalam masalah lo?" umpat Clara di ujung sana."Mereka nggak bakal masuk 'kan
Papa pikir kamu nggak akan berani muncul?" Arya menenggelamkan kedua tangan pada saku celananya."Aku nggak salah, Pa. Makanya aku pulang," jawab Dania datar."Nggak salah kamu bilang? Kamu sudah bikin kepala Alvin bocor." Mata Arya melotot. "Dan kamu tahu? Kamu itu buronan. Kamu masuk daftar DPO. Pulang artinya kamu nyerahin diri."Mata Dania melebar, tangannya berpegang erat pada sandaran sofa. Dengan gusar dia menatap sang ibu."Ma, apa itu benar?"Tak perlu menunggu jawaban. Dari raut yang ditunjukkan Niken, Dania tahu berita itu memang benar. Apa yang harus dia lakukan sekarang?"Pa, Dania nggak salah. Alvin mau memperkosaku. Yang aku lakukan hanya untuk membela diri," sanggah Dania membela diri."Apa pun itu alasannya, Dania. Bukti kamu mencelakai Alvin itu ada."Dania menggigit bibir. Apa keputusannya salah sudah kembali ke rumah?Arya beranjak dan duduk di sofa sebera
Dania berjalan dengan malas ke ruang besuk. Di sana sudah ada Clara dan Viona sahabatnya. Gara-gara ide gila Clara yang menyuruhnya pulang, Dania jadi ditangkap polisi."Astaga, Dan! Kenapa lo bisa gini, sih?!" pekik Vio melihat seragam orange yang Dania kenakan."Berkat saran temen lo tuh. Sarannya beneran hebat banget," jawab Dania sarkas saat berada di depan mereka."Lo belum menjalankan saran gue sepenuhnya, Dan," sanggah Clara."Emang lo nyaranin apa, Cla?" tanya Viona yang memang belum tahu apa-apa. "Gue heran lo habis lakuin kesalahan apa sampai-sampai bisa ditahan gini? Gue beneran syok dengar kabar ini.""Dia dituntut Alvin karena bocorin kepala tuh laki," Clara yang menjawab."Apa? Gimana bisa?" Vio terkejut. "Dania nggak mau cipokan sama Alvin. Jadi, dia memukul pria malang itu dengan botol wine sampai kepalanya bocor."Dania berdecak. "Gue mau diperkosa, ya. Kalau sek
Dania turun dari taksi di depan sebuah kelab malam besar ibu kota. Clara dan Viona sudah lebih dulu sampai. Waktu sebulan yang Alvin berikan akan dia manfaatkan sebaik mungkin. Oleh karena itu, setiap kali teman-temannya mengajak hangout, Dania akan segera menyetujuinya. Seperti malam ini. Sudah nyaris pukul sepuluh malam ketika dia memasuki pintu kelab yang dijaga ketat oleh para bodyguard berbadan besar.Masuk lebih dalam, dia bisa langsung menemukan keberadaan para sahabatnya. Viona melambai padanya, di samping wanita itu ada laki-laki tampan entah siapa. Mungkin gigolo yang dia pesan. Dania meringis.Sementara Clara, wanita itu tampak sedang minum bersama dengan Alian, pacarnya. Dania mendekati table mereka.Bunyi musik berdentam mengusik telinga, belum lagi bau asap rokok bercampur dengan bau parfum yang berseliweran. Kalau boleh Dania bilang, tempat ini sama sekali tidak cocok untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Namun, ber
Liam langsung menyambut kedatangan Dania dan Alvin. Dia berlari-lari kecil dan menghambur ke pelukan Dania. Menjelang siang, Dania baru pulang dari hotel. Ya, apa lagi kalau bukan karena menuruti kemauan Alvin yang minta nambah lagi dan lagi."Anggap saja ini bulan madu kedua."Itu jawaban yang lelaki itu berikan ketika Dania protes lantaran Alvin yang sepertinya belum juga bosan menggempurnya. Padahal kaki Dania sudah tidak sanggup berdiri."Maafin, Mama. Pulang telat. Liam udah makan?" tanya Dania mencium pipi chubby anaknya."Mamam dah.""Pinter anak Mama.""Anak Papa juga dong," sambar Alvin mengusap rambut tebal Liam."Oh iya anak Papa juga."Mereka beriringan menuju ruang tengah. Dengan masih memangku Liam, Dania duduk di sofa ruang tengah."Honey, kamu lapar enggak?" tanya Alvin beranjak menuju dapur."Setelah kamu kuras habis tenagaku masih perlu
"Congrats buat Dania dan Alvin. Moga kalian langgeng dan bahagia," seru Clara mengacungkan gelas minumannya, disusul gelas-gelas lainnya."Akhirnya kita bisa nyeret Dania ke kelab lagi, yuhuuuuu!" teriak Viona, di sisinya ada Bernard, pria yang disewanya untuk menemani minum.Clara lebih memilih duduk sendiri dan mengabaikan godaan para pria yang sesekali menghampirinya."Pantas saja. Laki lo tuh," ujar Viona mengarahkan pandangannya ke pintu masuk.Clara mengikuti arah pandang Dania dan menemukan pria bermata biru tampak melambai padanya. Arnold. Sontak senyum Clara mengembang."Selamat malam, Cinta," sapa Arnold mencium pipi Clara. "Wow, formasi kalian lengkap lagi ternyata," ucapnya melihat keberadaan Dania dan juga Viona."Kita sedang merayakan kebahagiaan Dania. Kamu mau minum?" sahut Clara menawarkan gelasnya."Tentu, Sayang." Arnold meraih gelas yang Clara angsurkan. Mata pria itu tak l
Alvin bergerak dengan mata yang masih terpejam. Beberapa detik kemudian tangannya terangkat mengucek mata. Sedikit mengerjap untuk menormalkan penglihatannya. Baru kemudian dia menoleh ke sisi kiri, dan matanya langsung bertemu pandang dengan mata Dania."Honey, kamu bangun?"Kata-kata pertama yang keluar dari mulut Alvin membuat Dania tercekat. Alvin menyebutnya apa tadi? Honey?"Liam juga bangun?" Lelaki itu menoleh ke ranjang tidur anaknya.Dania belum menjawab atau pun meluncurkan kata-kata. Hatinya terlalu bahagia.Lelaki itu menatap kembali kepada Dania yang tampak masih terbengong."Honey, are you okay? Kamu nggak senang aku datang?" tanya Alvin lembut.Dania kontan memejamkan mata. Merasakan kata-kata Alvin yang masuk ke telinganya dan menyebar memenuhi sanubarinya yang mendadak hangat."A-Alvin ... maafkan aku ...." Air matanya yang menggenang akhirnya terjatuh."Sst
Dania bergegas ke kamar Liam. Anak itu sedang ditimang-timang pengasuhnya. Dia cepat-cepat mengambil alih Liam dari gendongan wanita itu."Panasnya belum turun, Mbak?" tanya Dania."Belum, Bu."Dania terpaksa meminta izin pulang lebih cepat karena Liam dari kemarin demam. Tadi pagi demam anak itu sudah turun. Oleh karena itu Dania memutuskan masuk kerja. Namun, siang tadi pengasuh Liam menelepon kalau demam anak itu meninggi lagi."Tolong siapkan perlengkapan Liam, ya, Mbak. Kita ke poliklinik.""Baik, Bu." Wanita muda yang memakai seragam baby sitter itu segera berbenah.Dania paling tidak bisa melihat anaknya sakit. Kalau disuruh memilih mending dia saja yang sakit. Mereka langsung masuk ke taksi yang sudah menunggunya.Poli anak tidak terlalu ramai ketika Dania sampai. Hanya beberapa pasien yang menunggu. Jadi, dia tidak terlalu lama menunggu.Dania bersyukur karena tidak ada penyakit yang
"Ini kok lama-lama perusahaan udah kayak bola aja ya, lempar sana sini. Heran gue. Belum juga genap tiga tahun udah pindah tangan aja," ujar Clara.Dia dan kedua sahabatnya, sedang berjalan bersama menuju aula untuk sosialisasi owner baru perusahaan.Viona tertawa. "Alex menjual sahamnya karena hatinya udah dipatah-patahin dengan kejam sama temen lo."Dania di sebelahnya berdecak, tahu siapa yang Viona maksud."Hm, kasian juga si Alex sih. Kenapa sih lo nggak mau terima dia lagi? Dia itu pria tertampan sejagad. Apa lagi lo mantannya. Nggak akan sulit gue rasa." Clara mencolek lengan Dania yang masih dengan tenang mendengar ocehan kedua sahabatnya."Iya, lagi pula Liam kan butuh bapak. Kasihan dong kalau ketemunya cuma kita-kita aja," imbuh Viona.Ketiganya memasuki lift begitu pintu silver itu terbuka. Clara menekan tombol lantai tujuan mereka."Kalian pada gila apa gimana sih? Gue itu masih istriny
Dania menggeram ketika melihat Alex datang ke rumahnya membawa sebuah bingkisan. Apa lagi isinya kalau bukan mainan untuk Liam, putranya. Padahal baru kemarin kurir mengantar paket berisi kebutuhan Liam dan mainan untuk anak itu."Jangan beli mainan terus. Kamu tau, semua akan jadi sampah kalau dia sudah besar," ujar Dania protes."Hanya sesekali, Sayang." Alex tersenyum kepada bayi berusia satu tahun di hadapannya.Dania terlalu capek untuk meminta Alex menjauhinya. Pria itu tidak pernah kapok bertandang ke rumahnya."Tapi, kamu baru kemarin mengirimi Liam hadiah, Tin. Dia baru setahun, belum butuh itu," omel Dania seraya membereskan mainan anaknya yabg berantakan."Kemarin kapan? Aku baru kali ini kasih Liam mainan, Dania," ujarnya tak peduli sambil terus mengajak Liam bermain.Dania menoleh sesaat. Kebiasaan sekali suka menyangkal. Sering tidak mengakui perbuatannya kalau Dania sudah mengomel.Dania be
Dania baru saja mengisi aplikasi pengajuan cuti ketika perutnya merasakan nyeri. Sebenarnya tadi pagi dia sempat melihat ada bercak darah di celana dalamnya. Namun, dia tidak terlalu khawatir karena tidak ada reaksi apa pun pada perutnya. Hanya sesekali merasa kencang di perut bagian bawahnya. Dania meraba perutnya. Apakah sekarang sudah waktunya? Menurut dokter, hari perkiraan lahirnya masih dua minggu lagi. Dania menggeleng. Mungkin ini hanya kontraksi palsu.Dania bergegas membereskan meja kerjanya. Dia harus cepat sampai rumah agar bisa segera istirahat. Clara sedang bertemu klien di luar, sementara Viona menemani Pak Robbi meeting. Jadi, Dania terpaksa pulang sendiri.Nyeri pada perutnya makin sering terjadi. Hanya jeda beberapa menit lantas rasa sakit itu muncul lagi. Dania makin yakin kalau ini bukanlah kontraksi palsu.Dia memeluk perutnya erat-erat ketika sedang menunggu lift terbuka. Matanya memicing menikmati gelombang cinta yang tim
Dania menghela napas panjang beberapa kali ketika lagi-lagi Alex datang menjenguknya di rumah sakit. Kali ini pria itu membawa sekotak kue balok cokelat lumer. Ini sudah hari kelima Dania berada di rumah sakit. Setiap malam Clara dan Viona bergantian menjaganya. Dan, Alex biasanya akan datang menjelang makan siang tiba."Lihat, Sayang, apa yang aku bawa." Alex membuka kotak itu. Menunjukkan kue cokelat berbentuk balok kecil-kecil dengan lelehan cokelat yang melumer di tengahnya. Terlihat menggiurkan. "Baby pasti suka. Kamu coba, ya." Alex masih saja bersikap baik dan manis kendati Dania tidak pernah bersikap sebaliknya. Dia mengambil satu potong kue dan menyodorkannya pada Dania.Dania menatap kue itu sesaat sebelum menatap pria di hadapannya yang kini tengah tersenyum manis. Senyum yang tak pernah lekang oleh waktu. Ketampanan Alex memang luar biasa, apa lagi saat tersenyum seperti itu. Dulu Dania selalu bergetar ketika Alex bersikap manis seperti ini. Nam
Tawaran Alex agar Dania mau menikah dengannya terus terngiang. Meski Dania tidak bisa menjawab apa-apa, tetapi hatinya sedikit terusik. Sudah hampir enam bulan suaminya pergi. Tinggal beberapa bulan anaknya akan lahir. Namun, kabar dari Alvin tidak pernah dia terima."Alvin, sebenarnya kamu di mana? Aku minta maaf."Kembali air matanya merembes. Tidak ada yang tahu kepiluan Dania setiap malam. Hanya doa yang bisa dia lakukan, berharap di mana pun Alvin berada, lelaki itu akan baik-baik saja.Dania pikir hanya hari itu saja Alex datang menemuinya. Namun, hari berikutnya dan berikutnya pria itu selalu menyambangi kantornya. Dania mulai bosan mengusir mantan pacarnya itu. Namun, pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu tak pernah berhenti datang. Jika bukan sosoknya yang datang, maka Alex akan mengirimkan makanan untuk Dania.Seperti siang ini. Dania meletakkan sebuah kotak makan tepat di kedua sahabatnya."Makan gih, Cla,"