Papa pikir kamu nggak akan berani muncul?" Arya menenggelamkan kedua tangan pada saku celananya.
"Aku nggak salah, Pa. Makanya aku pulang," jawab Dania datar.
"Nggak salah kamu bilang? Kamu sudah bikin kepala Alvin bocor." Mata Arya melotot. "Dan kamu tahu? Kamu itu buronan. Kamu masuk daftar DPO. Pulang artinya kamu nyerahin diri."
Mata Dania melebar, tangannya berpegang erat pada sandaran sofa. Dengan gusar dia menatap sang ibu.
"Ma, apa itu benar?"Tak perlu menunggu jawaban. Dari raut yang ditunjukkan Niken, Dania tahu berita itu memang benar. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Pa, Dania nggak salah. Alvin mau memperkosaku. Yang aku lakukan hanya untuk membela diri," sanggah Dania membela diri.
"Apa pun itu alasannya, Dania. Bukti kamu mencelakai Alvin itu ada."
Dania menggigit bibir. Apa keputusannya salah sudah kembali ke rumah?
Arya beranjak dan duduk di sofa sebera
Dania berjalan dengan malas ke ruang besuk. Di sana sudah ada Clara dan Viona sahabatnya. Gara-gara ide gila Clara yang menyuruhnya pulang, Dania jadi ditangkap polisi."Astaga, Dan! Kenapa lo bisa gini, sih?!" pekik Vio melihat seragam orange yang Dania kenakan."Berkat saran temen lo tuh. Sarannya beneran hebat banget," jawab Dania sarkas saat berada di depan mereka."Lo belum menjalankan saran gue sepenuhnya, Dan," sanggah Clara."Emang lo nyaranin apa, Cla?" tanya Viona yang memang belum tahu apa-apa. "Gue heran lo habis lakuin kesalahan apa sampai-sampai bisa ditahan gini? Gue beneran syok dengar kabar ini.""Dia dituntut Alvin karena bocorin kepala tuh laki," Clara yang menjawab."Apa? Gimana bisa?" Vio terkejut. "Dania nggak mau cipokan sama Alvin. Jadi, dia memukul pria malang itu dengan botol wine sampai kepalanya bocor."Dania berdecak. "Gue mau diperkosa, ya. Kalau sek
Dania turun dari taksi di depan sebuah kelab malam besar ibu kota. Clara dan Viona sudah lebih dulu sampai. Waktu sebulan yang Alvin berikan akan dia manfaatkan sebaik mungkin. Oleh karena itu, setiap kali teman-temannya mengajak hangout, Dania akan segera menyetujuinya. Seperti malam ini. Sudah nyaris pukul sepuluh malam ketika dia memasuki pintu kelab yang dijaga ketat oleh para bodyguard berbadan besar.Masuk lebih dalam, dia bisa langsung menemukan keberadaan para sahabatnya. Viona melambai padanya, di samping wanita itu ada laki-laki tampan entah siapa. Mungkin gigolo yang dia pesan. Dania meringis.Sementara Clara, wanita itu tampak sedang minum bersama dengan Alian, pacarnya. Dania mendekati table mereka.Bunyi musik berdentam mengusik telinga, belum lagi bau asap rokok bercampur dengan bau parfum yang berseliweran. Kalau boleh Dania bilang, tempat ini sama sekali tidak cocok untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Namun, ber
Alex sedang asyik bermain games pada laptopnya ketika suara ketukan di pintu terdengar. Tidak lama kemudian, Arnold—manajernya—masuk. Kontan dia berdecak. Karena dia tahu persis tujuan Arnold mendatangi ruangannya."Seorang wanita muda menawarkan tarif tinggi, Lex," ujar Arnold begitu sampai di hadapan Alex. "Dia hanya butuh waktu satu jam. Untuk pertemuan pertama.""Gue kan udah bilang, kalau gue lagi nggak terima job dulu. Gue lagi bosan." Alex masih fokus pada layar laptopnya."Hanya main-main sebentar. Billy bilang dia masih virgin."Mendengar kata virgin, Alex langsung mendongak. Kedua alisnya yang tebal tertaut. Dia hampir tidak pernah memiliki klien seorang wanita yang masih virgin."Wanita virgin menyewa seorang gigolo buat menjebol keperawanannya?" Alex tertawa seraya menggeleng. Omong kosong macam apa ini?"Nggak. Kan gue bilang hanya main-main. Dia cuma ingin lo puasin tanpa bercinta
"Gue juga nggak kalah terkejut tahu kalau lo itu seorang pria penghibur. Sama sekali nggak gue duga," Dania mengedikkan bahu. Entah kenapa ada sedikit perasaan aneh—mungkin bisa disebut kecewa—mengetahui kenyataan ini. Pria setampan dan nyaris sempurna seperti Martin ternyata seorang gigolo. Sulit membayangkan sudah berapa banyak wanita yang dia layani.Dania jadi mengingat pertemuannya pertama kali dengan pria itu. Ya, seharusnya Dania tidak perlu terkejut mengingat waktu itu dia melihat pemandangan panas antara lelaki dan perempuan di koridor menuju apartemennya. Yang mana lelaki tersebut adalah Martin.Dan lagi-lagi Dania diingatkan pada pertemuan keduanya di Puncak. Saat pria itu menolongnya kabur dari vila Alvin. Bukankah Martin malam itu meninggalkannya sendiri dan bilang akan bertemu dengan klien? Lalu pagi buta dia baru kembali. Dania mengangguk. Sekarang dia tahu siapa klien-klien itu. Wanita kesepian atau juga wanita yang hanya cari ke
Dania mengumpat beberapa kali ketika merasa terganggu dengan suara berisik ponselnya yang terus saja berbunyi. Ini menyebalkan. Di saat tumpukan pekerjaan menanti, panggilan tak tahu diri itu terus saja masuk. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Alvin. Apa pria itu tidak ada pekerjaan selain mengganggunya terus tiap hari? Dua jam lalu padahal dia sudah mengangkat panggilannya.Syukurlah deringan pada ponsel itu akhirnya berhenti. Hanya sesaat sebelum deringan lain terdengar. Kali ini dari pesawat telepon yang ada di mejanya. Dania mengembuskan napas kuat-kuat. Tangan kanannya meraih gagang telepon sementara jari jemari tangan kirinya terus menari di atas keyboard."Ya, halo, dengan HR Welfare di sini, ada yang bisa saya bantu?" sapa Dania ramah seraya mengapit gagang telepon itu di antara telinga dan bahunya. Sementara tangan kanannya sekarang berpindah ke atas keyboard lagi. "Sibuk banget ya, sampai nggak bisa angkat panggilanku?"J
Dania tertegun di tempat saat tahu dirinya ada di mana. Dia benar-benar seperti orang bodoh sekarang. Berdiam diri di depan pintu apartemen Alex. My God. Apa yang sebenarnya sedang dia lakukan?Tadi itu dia kesal dengan manusia posesif bernama Alvin yang setiap jam sekali meneleponnya. Dania heran, apa manusia itu kurang kerjaan? Ada saja hal remeh temeh yang lelaki itu tanyakan. Belum juga Dania menjadi istrinya, bagaimana seandainya mereka sudah menikah nanti? Dania sulit membayangkan. Entah hidup seperti apa yang akan dia jalani.Dania mengembuskan napas. Menggenggam erat-erat sebuah kartu kecil yang mencetak nama dan tempat tinggal Alex. Dania tidak tahu kenapa kakinya membawanya ke sini. Mungkin hanya iseng. Kejadian beberapa waktu lalu kembali terlintas. Saat Dania menyewa Alex untuk membuatnya puas. Wajahnya terasa hangat. Astaga, Clara dan Viona akan tertawa melihat muka meronanya sekarang.Dania membalik kartu kecil itu. Di sana ada ko
Matahari semakin turun ke perut bumi. Gelap mengiringi, dan angin malam mulai berembus perlahan. Dania merasakan hawa di sekitarnya mulai dingin. Dia makin merapatkan diri ke pelukan Alex. Entah ini perasaan apa, yang jelas dia nyaman.Setelah beberapa menit lalu tiba-tiba Alex membuatnya terkejut dengan ciumannya, dia lantas dikejutkan dengan dirinya sendiri karena membalas apa yang Alex lakukan. Sekarang dirinya sedang berada di atas dada bidang Alex yang tengah merebah di atas sofa.Lelaki itu menaik-turunkan tangannya mengusap punggung Dania. Dia gagal memindahkan wanita itu ke kamarnya. Jadilah mereka di sini saling berpelukan. Alex tahu Dania tidak baik-baik saja. Instingnya terhadap perasaan perempuan sudah sangat terlatih. Saat ini Dania hanya butuh kenyamanan. Sebagai seorang yang memberi jasa, Alex akan melakukan tugasnya dengan baik."Kamu sudah merasa baik?" tanya Alex perlahan.Dania hanya mengangguk. Dia masih betah m
Dania sangat menyayangkan itu. Pria setampan Alex dan tidak terlalu membutuhkan uang kenapa harus memilih menjadi gigolo? Apa tidak ada pekerjaan yang lebih keren lainnya? Atau Alex terobsesi dengan wanita yang lebih tua? Dan, Dania juga baru tahu bahwa kelab tempatnya memesan jasa Alex adalah milik lelaki itu sendiri."Apa kamu bangga dengan julukanmu sekarang?" tanya Dania. Punggungnya menyadar di sofa, sementara pandangannya lurus menatap Alex.Alex mengernyit. "Julukan apa?""Teman satu profesimu bilang kamu dijuluki The King of Gigolo."Alex menganga. "Siapa yang bilang begitu?""Kalau nggak salah namanya Billy."Alex mengumpat kecil. Dia tentu saja sangat mengenal Billy. Bukannya lelaki itu yang dijuluki King Of Gigolo, kenapa jadi Alex yang kena gosip?"Kamu jangan percaya dia. Dia sendiri yang King Of Gigolo. Pengalaman dan jam terbangnya lebih tinggi." Alex membantah."Ma
Liam langsung menyambut kedatangan Dania dan Alvin. Dia berlari-lari kecil dan menghambur ke pelukan Dania. Menjelang siang, Dania baru pulang dari hotel. Ya, apa lagi kalau bukan karena menuruti kemauan Alvin yang minta nambah lagi dan lagi."Anggap saja ini bulan madu kedua."Itu jawaban yang lelaki itu berikan ketika Dania protes lantaran Alvin yang sepertinya belum juga bosan menggempurnya. Padahal kaki Dania sudah tidak sanggup berdiri."Maafin, Mama. Pulang telat. Liam udah makan?" tanya Dania mencium pipi chubby anaknya."Mamam dah.""Pinter anak Mama.""Anak Papa juga dong," sambar Alvin mengusap rambut tebal Liam."Oh iya anak Papa juga."Mereka beriringan menuju ruang tengah. Dengan masih memangku Liam, Dania duduk di sofa ruang tengah."Honey, kamu lapar enggak?" tanya Alvin beranjak menuju dapur."Setelah kamu kuras habis tenagaku masih perlu
"Congrats buat Dania dan Alvin. Moga kalian langgeng dan bahagia," seru Clara mengacungkan gelas minumannya, disusul gelas-gelas lainnya."Akhirnya kita bisa nyeret Dania ke kelab lagi, yuhuuuuu!" teriak Viona, di sisinya ada Bernard, pria yang disewanya untuk menemani minum.Clara lebih memilih duduk sendiri dan mengabaikan godaan para pria yang sesekali menghampirinya."Pantas saja. Laki lo tuh," ujar Viona mengarahkan pandangannya ke pintu masuk.Clara mengikuti arah pandang Dania dan menemukan pria bermata biru tampak melambai padanya. Arnold. Sontak senyum Clara mengembang."Selamat malam, Cinta," sapa Arnold mencium pipi Clara. "Wow, formasi kalian lengkap lagi ternyata," ucapnya melihat keberadaan Dania dan juga Viona."Kita sedang merayakan kebahagiaan Dania. Kamu mau minum?" sahut Clara menawarkan gelasnya."Tentu, Sayang." Arnold meraih gelas yang Clara angsurkan. Mata pria itu tak l
Alvin bergerak dengan mata yang masih terpejam. Beberapa detik kemudian tangannya terangkat mengucek mata. Sedikit mengerjap untuk menormalkan penglihatannya. Baru kemudian dia menoleh ke sisi kiri, dan matanya langsung bertemu pandang dengan mata Dania."Honey, kamu bangun?"Kata-kata pertama yang keluar dari mulut Alvin membuat Dania tercekat. Alvin menyebutnya apa tadi? Honey?"Liam juga bangun?" Lelaki itu menoleh ke ranjang tidur anaknya.Dania belum menjawab atau pun meluncurkan kata-kata. Hatinya terlalu bahagia.Lelaki itu menatap kembali kepada Dania yang tampak masih terbengong."Honey, are you okay? Kamu nggak senang aku datang?" tanya Alvin lembut.Dania kontan memejamkan mata. Merasakan kata-kata Alvin yang masuk ke telinganya dan menyebar memenuhi sanubarinya yang mendadak hangat."A-Alvin ... maafkan aku ...." Air matanya yang menggenang akhirnya terjatuh."Sst
Dania bergegas ke kamar Liam. Anak itu sedang ditimang-timang pengasuhnya. Dia cepat-cepat mengambil alih Liam dari gendongan wanita itu."Panasnya belum turun, Mbak?" tanya Dania."Belum, Bu."Dania terpaksa meminta izin pulang lebih cepat karena Liam dari kemarin demam. Tadi pagi demam anak itu sudah turun. Oleh karena itu Dania memutuskan masuk kerja. Namun, siang tadi pengasuh Liam menelepon kalau demam anak itu meninggi lagi."Tolong siapkan perlengkapan Liam, ya, Mbak. Kita ke poliklinik.""Baik, Bu." Wanita muda yang memakai seragam baby sitter itu segera berbenah.Dania paling tidak bisa melihat anaknya sakit. Kalau disuruh memilih mending dia saja yang sakit. Mereka langsung masuk ke taksi yang sudah menunggunya.Poli anak tidak terlalu ramai ketika Dania sampai. Hanya beberapa pasien yang menunggu. Jadi, dia tidak terlalu lama menunggu.Dania bersyukur karena tidak ada penyakit yang
"Ini kok lama-lama perusahaan udah kayak bola aja ya, lempar sana sini. Heran gue. Belum juga genap tiga tahun udah pindah tangan aja," ujar Clara.Dia dan kedua sahabatnya, sedang berjalan bersama menuju aula untuk sosialisasi owner baru perusahaan.Viona tertawa. "Alex menjual sahamnya karena hatinya udah dipatah-patahin dengan kejam sama temen lo."Dania di sebelahnya berdecak, tahu siapa yang Viona maksud."Hm, kasian juga si Alex sih. Kenapa sih lo nggak mau terima dia lagi? Dia itu pria tertampan sejagad. Apa lagi lo mantannya. Nggak akan sulit gue rasa." Clara mencolek lengan Dania yang masih dengan tenang mendengar ocehan kedua sahabatnya."Iya, lagi pula Liam kan butuh bapak. Kasihan dong kalau ketemunya cuma kita-kita aja," imbuh Viona.Ketiganya memasuki lift begitu pintu silver itu terbuka. Clara menekan tombol lantai tujuan mereka."Kalian pada gila apa gimana sih? Gue itu masih istriny
Dania menggeram ketika melihat Alex datang ke rumahnya membawa sebuah bingkisan. Apa lagi isinya kalau bukan mainan untuk Liam, putranya. Padahal baru kemarin kurir mengantar paket berisi kebutuhan Liam dan mainan untuk anak itu."Jangan beli mainan terus. Kamu tau, semua akan jadi sampah kalau dia sudah besar," ujar Dania protes."Hanya sesekali, Sayang." Alex tersenyum kepada bayi berusia satu tahun di hadapannya.Dania terlalu capek untuk meminta Alex menjauhinya. Pria itu tidak pernah kapok bertandang ke rumahnya."Tapi, kamu baru kemarin mengirimi Liam hadiah, Tin. Dia baru setahun, belum butuh itu," omel Dania seraya membereskan mainan anaknya yabg berantakan."Kemarin kapan? Aku baru kali ini kasih Liam mainan, Dania," ujarnya tak peduli sambil terus mengajak Liam bermain.Dania menoleh sesaat. Kebiasaan sekali suka menyangkal. Sering tidak mengakui perbuatannya kalau Dania sudah mengomel.Dania be
Dania baru saja mengisi aplikasi pengajuan cuti ketika perutnya merasakan nyeri. Sebenarnya tadi pagi dia sempat melihat ada bercak darah di celana dalamnya. Namun, dia tidak terlalu khawatir karena tidak ada reaksi apa pun pada perutnya. Hanya sesekali merasa kencang di perut bagian bawahnya. Dania meraba perutnya. Apakah sekarang sudah waktunya? Menurut dokter, hari perkiraan lahirnya masih dua minggu lagi. Dania menggeleng. Mungkin ini hanya kontraksi palsu.Dania bergegas membereskan meja kerjanya. Dia harus cepat sampai rumah agar bisa segera istirahat. Clara sedang bertemu klien di luar, sementara Viona menemani Pak Robbi meeting. Jadi, Dania terpaksa pulang sendiri.Nyeri pada perutnya makin sering terjadi. Hanya jeda beberapa menit lantas rasa sakit itu muncul lagi. Dania makin yakin kalau ini bukanlah kontraksi palsu.Dia memeluk perutnya erat-erat ketika sedang menunggu lift terbuka. Matanya memicing menikmati gelombang cinta yang tim
Dania menghela napas panjang beberapa kali ketika lagi-lagi Alex datang menjenguknya di rumah sakit. Kali ini pria itu membawa sekotak kue balok cokelat lumer. Ini sudah hari kelima Dania berada di rumah sakit. Setiap malam Clara dan Viona bergantian menjaganya. Dan, Alex biasanya akan datang menjelang makan siang tiba."Lihat, Sayang, apa yang aku bawa." Alex membuka kotak itu. Menunjukkan kue cokelat berbentuk balok kecil-kecil dengan lelehan cokelat yang melumer di tengahnya. Terlihat menggiurkan. "Baby pasti suka. Kamu coba, ya." Alex masih saja bersikap baik dan manis kendati Dania tidak pernah bersikap sebaliknya. Dia mengambil satu potong kue dan menyodorkannya pada Dania.Dania menatap kue itu sesaat sebelum menatap pria di hadapannya yang kini tengah tersenyum manis. Senyum yang tak pernah lekang oleh waktu. Ketampanan Alex memang luar biasa, apa lagi saat tersenyum seperti itu. Dulu Dania selalu bergetar ketika Alex bersikap manis seperti ini. Nam
Tawaran Alex agar Dania mau menikah dengannya terus terngiang. Meski Dania tidak bisa menjawab apa-apa, tetapi hatinya sedikit terusik. Sudah hampir enam bulan suaminya pergi. Tinggal beberapa bulan anaknya akan lahir. Namun, kabar dari Alvin tidak pernah dia terima."Alvin, sebenarnya kamu di mana? Aku minta maaf."Kembali air matanya merembes. Tidak ada yang tahu kepiluan Dania setiap malam. Hanya doa yang bisa dia lakukan, berharap di mana pun Alvin berada, lelaki itu akan baik-baik saja.Dania pikir hanya hari itu saja Alex datang menemuinya. Namun, hari berikutnya dan berikutnya pria itu selalu menyambangi kantornya. Dania mulai bosan mengusir mantan pacarnya itu. Namun, pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu tak pernah berhenti datang. Jika bukan sosoknya yang datang, maka Alex akan mengirimkan makanan untuk Dania.Seperti siang ini. Dania meletakkan sebuah kotak makan tepat di kedua sahabatnya."Makan gih, Cla,"