Jleb!
Aku tersentak ketika tangan pak Bryan menggenggam tanganku. Aku terpaksa menghentikan aktivitas mengilap kemejanya. Aku langsung memandang wajah pak Bryan yang sudah memandang wajahku duluan. Menatapku tajam hingga seluruh tubuhku gemetaran. Tanganku yang sedang dipegangnya sampai terasa dingin dan kaku. Sumpah demi apa coba, pak Bryan menatap mataku begitu dekat. Aku menundukkan pandanganku, menghindari tatapan matanya. Aku tarik tanganku dan segera aku menjauh dari sisi supervisorku ini.
"Maafkan saya, Pak!"
Sekali lagi, dan mungkin akan berulang kali lagi aku mengucapkan kalimat ini. Sambil terus menunduk menahan rasa malu, aku menunggu jawaban atas permintaan maafku kepadanya.
Ayo dong Pak! Jangan diam saja! Katakan sesuatu yang membuat hatiku tenang. Aduh! Bagaimana ini! Apa aku harus pamit padanya? Atau aku sebaiknya mengundurkan diri saja! Jika begini terus, aku bakalan mati karena menahan malu!
"Kamu tahu ini masih jam berapa?" Pertanyaannya menyentakku.
"Ee ... jam ... jam sembilan lewat lima belas menit, Pak!" sahutku sambil menunjukkan jam tanganku kepadanya.
Oh, God! Untuk apa juga aku menunjukkan jam tanganku kepadanya! Dia kan juga pakai jam di tangannya! Apa maksud dari pertanyaannya itu? Apa yang selanjutnya dia katakan kepadaku? Apa dia akan mengultimatumku?!
"Masih jam segini, tapi kamu sudah mengotori pakaian saya! Bahkan saya saja belum menemui atasan saya hari ini! Lalu bagaimana saya akan melanjutkan pekerjaan saya kalau begini caranya! Apakah kamu tahu, siang ini saya akan ada meeting dengan para staf dan atasan yang ada di sini!" paparnya dengan nada suara yang terdengar berat.
"Maaf, Pak!"
Tidak ada kata lain lagi yang bisa aku ucapkan selain kata 'maaf'. Tolong dong pak! Aku rela diusir dari sini sekarang juga! Aku sudah tidak sanggup berhadapan dengan bapak! Aku malu pak!
"Bagaimana saya bisa memaafkanmu! Saya tidak akan mungkin pergi menemui atasan saya dengan pakaian kotor seperti ini! Bisa malu saya! Kalau sampai saya kehilangan pekerjaan karena ulahmu ini bagaimana?" kecamnya lagi.
Apa? Dia bilang apa?! Kalau sampai kehilangan pekerjaan? Oh, ya ampun Pak! Itu cuma noda kopi keles! Mana mungkin bapak bisa sampai kehilangan pekerjaan karenanya! Sangat tidak masuk akal pak! Hadeuh!
"Lalu, apa yang dapat saya lakukan untuk menebus kesalahan saya Pak?! Saya akan bersedia melakukan apa saja demi maaf dari Bapak!" ucapku memelas.
Mungkin karena supervisorku ini melihat wajahku yang memelas, dia mulai melembutkan tatapan matanya. Pak Bryan bangkit dari duduknya, lalu melangkah pelan mendekati diriku. Dia berdiri di hadapanku.
Eh, apa-apan ini! Dia membuka satu persatu kancing kemejanya tepat di hadapanku, hingga dada dan petakan tubuhnya terlihat olehku. Sungguh sangat atletis sekali badan pria ini. Aku sampai berhalusinasi yang tidak-tidak karena melihat otot-otot di lengan dan perutnya. Tapi kenapa dia membuka pakaiannya di hadapanku? Dia mau apa?!
Aku mundur satu langkah ke belakang. Tapi, dia langsung mengambil tanganku, lalu menyerahkan kemeja itu ke tanganku. Aku mendongakkan kepala, menatapnya bingung dan tidak mengerti.
"Pergi ke toilet! Bersihkan pakaian saya di sana! Kamu tidak akan dapat membersihkan noda kopi ini hanya dengan selembar atau berlembar tissue. Saya akan menunggumu di sini! Cepat laksanakan!!" bentaknya.
"Ba-baik Pak!" jawabku gemetaran.
Kaki kakiku dengan cepat melangkah menuju kamar mandi. Aku tinggalkan supervisorku yang sepertinya sedang menyimpan emosi kepadaku.
***
Cek, kucek, kucek!
Aku terus mengucek bagian kemeja yang terkena noda kopi itu di westafel toilet. Sampai aku sendiri merasa kesal karenanya. Dengan segala kemarahan yang entah harus pada siapa aku lemparkan, aku mencibir dan memaki hari sialku ini.
Andai saja aku tidak lemot begini! Andai saja aku tahu kalau jam ngantor anak-anak spg telah berubah jadwal! Dan andai saja aku mendengarkan perintah ibuku untuk tidak ke kantor pagi ini! Pasti kesalahan ini tidak akan terjadi. Biarlah aku absen satu hari tidak menyerahkan laporan minggu ini, dari pada aku harus menghadapi kesialan ini.
Andai, andai, andai! Itulah yang ada dibenakku saat ini. Rasanya kemarahanku lebih pantas aku lemparkan kepada diriku sendiri. Bukan pada pria yang seenaknya menyuruhku membasuh dan membersihkan noda di pakaiannya ini. Ya, walaupun aku tahu, bahwa ini adalah kesalahanku. Setidaknya, katakan sesuatu kek yang membuat perasaanku menjadi tenang. Seperti 'iya saya maafkan, tapi tolong basuh pakaian ini ya' kalau begitukan enak didengar. Bukan langsung memerintah seperti tadi. Aku jadi berasa kayak pembantu kalau begini caranya.
"Iiihhh .... kesaaal....!!!" desisku sambil meremas-remas kemeja itu dengan kasar.
***
Setelah noda kopi itu menghilang, aku kemudian mengibas-ngibaskan kemeja itu agar bagian yang aku basuh tadi segera mengering. Semerbak harum parfum dari kemeja yang ku pegang saat ini tiba-tiba menyapa hidungku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Ah! Benar-benar sangat memanjakan hidung dan pikiranku. Untuk beberapa saat, aku terdiam dalam lamunan. Tapi, lamunanku tiba-tiba buyar ketika seseorang masuk ke dalam toilet. Aku tersadar. Kepalaku langsung menggeleng-geleng tak menentu. Sebisa mungkin aku membuang pikiran kotor yang bersarang di kepalaku.Ku lihat wanita yang baru masuk ke dalam toilet tadi menaikkan satu alisnya ke arahku. Mungkin dia heran melihatku karena mendapati aku yang sedang menghirup udara di dalam toilet, padahal aku sedang menikmati harumnya parfum dari baju supervisorku ini. Tanpa mempedulikan tanggapan dari wanita yang juga tim leader di kantorku ini, aku langsung melangkah keluar menuju ruangan supervisorku kembali.Tok tok tok...Aku mengetuk
Eh, apa-apaan ini! Pak Bryan semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku melihat sorot matanya yang begitu memancarkan gairah kepadaku. Ketakutanku semakin menjadi-jadi saat laki-laki ini mencium bibirku. Aku meraung, segera menjerit. Tapi, jeritanku tertahan dalam mulutnya. Aku memukul-mukul dan mendorong-dorong dadanya. Tapi sepertinya itu tidak berdampak apa-apa pada dirinya. Dia tetap terpacu, mencium bibirku secara brutal."Lepaskan akuuu!!"Kata-kata itu yang terlontar dari mulutku. Tapi, sekali lagi. Suaraku tertahan di dalam mulutnya."Lepaskan aku!! Dasar bejat kau! Baj**ngan!!"Aku mulai menyadari sepenuhnya apa yang akan dia lakukan kepadaku. Terlebih saat ini dia mulai menjelajahi bagian dadaku. Saat aku ingin kembali berteriak, secepat kilat tangannya menyumpal dan menekan mulutku dengan kuat. Aku semakin memberontak. Ku tarik-tarik rambut belakangnya dan ku pukul-pukul kepalanya dengan kuat. Tapi dia tetap tidak merespon pukulan dariku.
Bryan POV~Aku belum terlalu mengenal S.P.Gku yang satu ini. Selama ini aku hanya melihat dia di kantor saat ada meeting bersama team leader dan supervisor. Itu juga saat dia sedang berbaur dengan teman-teman S.P.Gnya yang lain. Aku belum sempat visit ke store yang dia tempati karena gadis ini memang masih terbilang baru menjadi karyawan di perusahaan ini. Dan biasanya, karyawan baru seperti dirinya akan divisit oleh team leader saja.Saat aku melihatnya pagi tadi ngedumel sendirian, saat itu pula aku tiba-tiba merasa gemas pada dirinya. Entah mengapa, aku memberinya kesempatan untuk berdiskusi denganku hanya dengan empat mata. Saat dia tidak sengaja menumpahkan secangkir kopi dan kopi itu mengenai kemejaku, saat itu pula ku lihat dia menjadi kaku dan serba salah. Aku memahami apa yang ada di hatinya. Gadis ini pasti ketakutan karena tidak sengaja menumpahkan kopi itu dan mengenai pakaianku.Dengan sigap dia bangkit dari duduknya dan mengambil selembar tissue dari
Ananditha POV~Isak tangisku masih belum berhenti. Jika saja rasa sakit ini tidak menerpaku, aku pasti sudah berlari ke arah pintu dan keluar dari ruangan yang di mataku sudah berubah menjadi neraka. Penyesalan selalu datang terlambat, sepertinya kalimat itu yang mewakili perasaanku saat ini. Jika saja aku mendengar dan menuruti perintah ibu untuk tidak lagi bekerja di perusaahan ini, pasti kejadian ini tidak akan terjadi padaku. Oh Tuhan, tolongkah diriku! Aku tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang! Rasanya hidupku benar-benar sudah gelap dan tidak bercahaya.Dalam keterpurukan diriku, laki-laki iblis itu terlihat sedang menerima telepon dari seseorang. Dia duduk di kursi kekuasannya sambil tersenyum mesra saat mendengar dan menjawab teleponnya. Aku dapat mendengar apa yang dia bicarakan, dia berbicara sangat mesra kepada orang yang berada di sebrang sana. Sepertinya lawan bicaranya itu adalah seorang wanita. Itu terlihat ketika dia memanggil lawan bicaranya dengan se
Ya, Tuhanku! Sekali lagi, atau bahkan akan berulang kali aku bermohon kepadamu, tolong aku agar aku bisa segera pergi dari neraka ini! Aku ingin lepas dari cengkraman iblis yang ada di sampingku ini! Aku sudah kehabisan tenaga untuk memberontak, bahkan untuk bersuara saja aku sudah tidak sanggup.Dengan tubuh yang masih bergetar, aku berusaha menahan bulir air mata agar tidak lagi jatuh dari pelupuk mataku. Seberapapun lembutnya sentuhan yang dilakukan oleh laki-laki keji ini saat ini, tidak melongsorkan kebencianku terhadap dirinya. Dia yang telah membodohiku dengan menyuruhku untuk melakukan perintahnya, dia yang telah menindih dan memperkosaku dengan sadis tanpa memikirkan kesakitan yang aku rasakan sama sekali, dan dia yang telah menyemburkan air hinanya ke dalam tubuhku tanpa izin dariku!"Anandita!" Laki-laki ini mulai bersuara lagi. "Tak peduli seberapa bencinya kau melihatku saat ini ... mulai saat ini aku akan bertanggungjawab atas perbuatanku ke
"Terima kasih, Neng!" ucap abang ojek yang telah mengantarku pulang ke rumah. Setelah menerima bayaran dariku, dia pun berlalu. Ku arahkan pandangan ke bangunan rumah megah orang tuaku. Aku menatapnya sangat dalam. Timbul rasa takut dalam diriku untuk masuk ke dalam rumah ini. Langkahku terasa berat dan ragu. Terbayang di mataku raut wajah ibu tadi pagi. Raut wajah yang menggambarkan ketidaksenangan karena aku telah membantah kata-katanya, karena aku tidak menuruti saran darinya. Jika waktu bisa diputar kembali, maka aku akan memutar waktu untuk memperbaiki kesalahanku pada ibu. Aku menelan salivaku dengan kasar. Ku bulatkan tekadku untuk masuk ke rumah. Aku mulai melangkahkan kedua kakiku. Pagar yang menjulang tinggi itu aku buka dengan perlahan, lalu aku berjalan masuk ke rumah. Sunyi dan sepi. Seperti biasa, rumahku ini terasa seperti kuburan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah megah ini. Walau ibu sedang tidak visit hari ini, tetap saja rumah ini sepi mencekam. Ini y
Derai demi derai air mata tidak juga mau berhenti mengalir dari pelupuk mataku. Dengan mengenakan handuk kimono berwarna putih dan lilitan handuk kecil di kepalaku, aku keluar dari kamar mandi dengan langkah yang terhuyung-huyung. Langkahku terhenti ketika aku melihat pantulan diriku di cermin yang terletak di sudut kamar.Aku menatap diriku dalam-dalam. Membayangkan betapa menjijikkannya diriku. Ternoda pada pria yang sama sekali tidak aku cintai. Jujur aku memang kagum melihatnya, tapi itu hanya sebatas penilaianku sebagai karyawan yang menyukai kinerja atasannya. Bukan karena aku mencintainya. Tapi sekarang, rasa kagum itu sudah bertukar dengan rasa benci yang sangat mendalam!Aku terus memandang seluruh tubuhku di cermin itu. Nafasku mulai terasa sesak. Mataku memerah menahan segala emosi yang menghantam perasaanku. Ingin rasanya aku melempar cermin itu dengan batu hingga hancur berkeping-keping. Agar tidak ada lagi benda yang memperlihatkan sel
Author POV~Anandita Aldaina. Gadis itu perlahan-lahan mulai membuka kembali matanya. Dia baru saja terbangun dari tidur siangnya. Ternyata banyak menangis membuatnya tidak sadar kalau dia sudah tertidur selama beberapa jam!Anandita yang masih mengenakan handuk kimono berwarna putih, perlahan mencoba bangkit dari rebahannya. Dia duduk bersender di atas ranjang. Matanya melirik ke arah jam dinding yang berada di dinding kamar.Sudah pukul tujuh malam!Hah!Anandita terlonjak. Dalam sejarah hidupnya, baru kali ini dia tertidur di siang hari hingga malam menjelang. Biasanya jika dia tidur di siang hari, tidurnya hanya bertahan satu sampai dua jam saja. Tidak pernah lebih. Tapi kali ini dia benar-benar keceplosan.Anandita bangkit dari duduknya. Dia berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil dan memakai pakaiannya. Setelah beberapa menit, gadis itu telah selesai mengenakan piyamany
Dalam samar-samar penglihatan, aku mencoba membuka mataku yang terasa berat. Tersenyum ketika melihat suami yang sedang duduk di tepi ranjang. Menggendong bayi mungil kami dengan raut wajah yang sumringah. Aku dan bayiku sudah dibolehkan pulang dua hari yang lalu. Dan tadi, aku disuruh Bryan istirahat sejenak. Dia yang menggantikan tugasku menjaga si baby. Kebetulan hari ini hari libur. Bryan bilang, aku harus banyak istirahat agar tidak terlalu lelah. Agar ASI eksklusif yang aku berikan kepada bayi kami tetap lancar. Maklum, memang belum seminggu aku menjadi seorang ibu. Tapi, semua tanggungjawab ini sudah membuatku kalang kabut. Sebab aku tidak punya pengalaman mengurus bayi. Jangankan bayi, menjaga adik saja aku tidak pernah. Sebab aku kan anak tunggal. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu, berusaha untuk duduk dan bersender di ranjang. Ngilu jahitan caesarku masih terasa. "Apa dia rew
Bintang-bintang terlihat begitu cantik menghiasi langit malam yang gelap. Ada bulan separuh di tengah-tengah mereka. Seakan menjadi ratu di antara hamparan bintang-bintang itu.Di balkon kamar, aku berdiri menengadah ke atas langit. Tersenyum dalam lamunan. Menyaksikan indahnya ciptaan Tuhan. Ku elus perutku yang sudah membuncit. Gerakan si jabang bayi langsung menyambut tanganku. Begitu kuat dan aktif. Membuatku tertawa dalam hati.Tidak terasa kini usia kehamilanku sudah memasuki usia 9 bulan. Hamil di usia muda tidak mudah bagiku. Aku sempat mengalami stres saat trimester pertama dan kedua. Panik memikirkan bagaimana rasanya persalinan nanti. Beruntung ibu dan suamiku selalu menyemangatiku, hingga aku dapat menyingkirkan pikiran buruk yang ada di otakku.Sekarang berat badanku naik dua kali lipat. Wajar saja, karena selama hamil, nafsu makanku naik dari biasanya. Ditambah lagi dengan sikap suami yang selalu mengingatk
Perutku benar-benar sedang keroncongan sekarang. Sampai badanku gemetaran karena menahan lapar. Setelah tadi makan siangku tertunda karena jengkel dengan bik Sumi, sekarang aku harus kembali menunda untuk makan. Sebab aku sedang menunggu makanan yang ingin aku cicipi. Nasi goreng kampung buatan suami dadakanku sedang bergumul dalam wajan.Tak pernah ku sangka, aku akan menghadapi hari-hari seperti ini. Rumahku terasa ramai dengan kehadiran suami dadakanku. Bagaimana tidak, dia selalu saja membuatku jengkel. Begitu juga dengan bi Sumi. Mereka bagaikan dua kubu yang berbeda jenis tapi satu haluan. Mahir sekali membuatku kesal.Akan tetapi, kekesalan itu kini berubah 180 derajat. Sepertinya tingkah kedua orang ini sekarang berubah menjadi semacam hiburan bagiku. Sebab aku tidak lagi merasakan yang namanya kesunyian di rumah ini seperti hari-hari sebelumnya. Bryan dan bi Sumi berhasil mengembalikan senyumku.Klentang, klenteng!Suara sendok dan wajan pe
Anandita POV~Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Perutku keroncongan. Pantas saja tidurku terganggu, aku kan belum makan siang. Ketika aku membuka mata, tak sengaja pandanganku tertoleh ke samping. Mataku langsung menangkap sosok Bryan yang tertidur pulas di sampingku. Tepatnya di bahuku. Kepalanya bertengger di bahu polosku yang tanpa alas.Melihat keberadaannya, baru aku sadar kenapa tubuhku terasa lelah tak karuan. Aku baru ingat tadi Bryan menjelajahi seluruh lekuk tubuhku hingga akhirnya dia kembali menggauliku. Aku terhanyut dalam sentuhannya, terbuai pada indahnya surga dunia. Meski masih terasa perih, tapi aku menikmati permainannya. Sebab dia melakukannya dengan lembut. Tidak seperti ketika pertama kali dia menjamahku. Begitu kasar dan sama sekali tidak memikirkan kesakitan yang aku rasakan saat itu.Aku mengeliatkan tubuh. Badanku terasa remuk. Persetubuhan yang kami lakukan tadi benar-benar menguras tenaga. Hingga tanpa sengaja kami
Bryan POV~"Kau sudah sadar?" tanyaku ketika Anandita sudah sempurna membuka matanya.Anandita langsung kaget ketika menyadari keberadaanku yang tepat berada di atasnya. Aku duduk di tepi ranjang dengan separuh badan yang mengurung tubuh mungilnya."Kau?""Ssshh ...."Cepat aku menahannya, menenangkannya agar tidak mengamuk seperti biasa. Dan untungnya, dia menurut. Anandita kembali tenang. Meski matanya menyiratkan sebuah ketakutan yang tak menutup kemungkinan adanya pertanyaan di sana."Tenanglah! Kau jangan terlalu banyak bergerak," ucapanku pelan. Mengelus kening atasnya dengan lembut."A-apa yang terjadi padaku? Dan kenapa aku tiba-tiba bisa ada di kamar ini?" tanyanya dengan suara parau."Kau pingsan. Makanya aku membaringkanmu di ranjang.""Pingsan?"Aku mengangguk cepa
Anandita POV~Perutku terasa begah karena memaksakan diri menghabiskan sepiring nasi goreng. Posisiku masih sama seperti tadi. Berhadapan dengannya yang juga telah selesai menyantap sajian bi Sumi. Bahkan saat makan pun, dia tetap fokus melihatku. Mengawasiku agar aku menghabiskan makanan ini. Anehnya, kenapa aku harus takut? Aku benar-benar payah! Sangat pengecut, seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orang tuanya. Oh ... God!Aku mendorong kursi, bangkit dari duduk."Aku mau mandi. Kau tetaplah di sini sampai aku selesai!" titahku pada Bryan.Bryan yang baru saja meneguk segelas air putih, langsung mendongak melihatku."Ngapain aku di sini? Kalau aku ikut denganmu, emang kenapa?" tanyanya menyelidik.Aku mendesah. Melipat kedua tangan ke dada."Kalo kau ikut masuk ke kamar, bagaimana bisa aku memakai pakaianku! Aku tidak terbiasa memakai baju di dalam toilet!" keluhku. Berharap dia mau memahami.Bryan berdehem, menyerin
Ada perasaan yang berbeda bagi Anandita ketika mencicipi masakan bi Sumi. Nasi goreng yang dikunyahnya tidak seperti yang pernah dibuatkan oleh Bryan untuknya, meski nasi goreng itu masih terasa enak, tapi lidah Anandita merindukan nasi goreng buatan suaminya.Pelan Anandita mengunyah makanannya seperti tidak rela makanan itu berada di mulutnya. Bi Sumi yang melihat itu dari kejauhan merasa keheranan. Diamatinya Anandita lekat-lekat. Sambil membawa segelas air putih yang diambilnya dari kulkas."Ada apa Non? Kenapa ngunyahnya kayak gak ikhlas gitu? Apa masakan bibi gak enak ya?" tanya bi Sumi. Meletakkan gelas ke hadapan Anandita."Oh, enggak kok Bi. Nasi gorengnya enak. Cuma ....""Cuma ...??" Bi Sumi membeo."Umm ... cuma ... cuma ... cuma ... entahlah Bi. Entah kenapa rasanya tenggorokanku pahit. Gak nyaman kalo nelan makanan." Anandita beralasan."Oh ... wajar sih Non. Emang gitu kalo lagi hamil. Apalagi Non sedang hamil muda. Wajar kala
Bryan POV~Pagi ini, tidak seperti pagi-pagi biasa. Sebab pagi ini adalah pagi pertamaku bersama wanita yang telah sah menjadi istriku.Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha menyesuaikan cahaya yang menyerang retinaku. Sebelum akhirnya aku menemukan wajah cantik yang berada di dekatku. Kami sama-sama terbaring miring berhadapan. Reflek aku tersenyum ketika menyadari wajah cantik istriku menempel di dadaku.Wajah mulus yang nyaris tidak ada cela ini membuatku terhipnotis. Tuhan ... begitu cantiknya istriku ini. Tak tahan rasanya aku untuk tidak menyentuhnya. Maka, tanganku mulai menghampiri lekuk wajahnya yang terpahat rapi.Kecantikannya tidak berkurang meski dalam keadaan mata terpejam. Anandita, gadisku! Sampai kapan aku bisa menahan untuk tidak menyentuhmu, Sayang. Aku tidak yakin kau akan selamat dari jeratan birahiku. Mungkin aku akan melakukannya lagi saat kau sudah agak tenang. Dan disaat itu, kau akan menyadari betapa sayangnya aku padamu.
Anandita POV~Tak terbayangkan betapa kesalnya rasa hatiku kepada pria yang notabennya sudah resmi menjadi suamiku ini. Bertindak sesuka hati tanpa memikirkan ketakutanku. Aku juga bodoh. Kenapa harus takut pada laki-laki yang telah berbuat jahat kepadaku. Bukankah seharusnya dia yang harus waspada terhadapku? Lalu, kenapa semuanya seakan ... terbalik!Dan karena jeritanku yang tertahan tadi, membuatnya cekikikan dan kembali menutup pintu kamar mandi. Sayup-sayup kudengar dia bernyanyi. Sebuah nyanyian riang. Enjoy di dalam sana seperti orang yang tak pernah melakukan kesalahan apapun terhadapku. Sebal!Well, biarkan saja dia mau melakukan apa. Asal dia tidak menggangguku. Asal dia tidak merepotkanku. Asal dia tidak macam-macam padaku, apalagi sampai menyentuhku. Kalau itu terjadi, aku pastikan dia takkan lagi menempati kamar yang sama denganku.What???Kamar yang sama? Oh, God! Kenapa aku tidak menyadari hal ini sejak tadi. Sejak Oma membawanya ke