“Yara.” Adam memegang siku tangan Yara dan menarik Yara agar menghadap ke arahnya. Tapi sial! Ia kehilangan kata-kata saat berjarak terlalu dekat dengan Yara.
Entah jantung siapa yang saat ini berdetak lebih kencang. Yang jelas keduanya hanya bisa saling tatap sampai suara bel membuat keduanya sedara mendadak merenggangkan jarak.
‘Sialan! Siapa sih?’ umpat Adam dalam hati.
Rumah itu tidak pernah dihuni lama oleh keluarganya. Hanya jika ada keluarga jauh yang datang dan butuh tempat untuk beristirahat, atau ketika salah satu anggota keluarga butuh ketenangan, barulah rumah itu difungsikan.
Selebihnya, rumah itu dalam keadaan kosong, jadi agak tidak masuk akal ada yang bertamu ke rumah itu kecuali RT atau RW yang menarik iuran kebersihan dan keamanan.
“Aku … lihat dulu ke depan siapa yang dateng.” Adam menunggu sampai Yara mengangguk dan berlalu ke ruangan lain sebelum ia melangkah gontai dengan perasaan yang acak-acakan ke arah gerbang.
“Yara.”“Hmm.” Yara menjawab telepon dari kakaknya dengan malas-malasan. Fokusnya terbagi antara kemudi, telepon dari kakaknya dan tangan kirinya yang ingin mengecilkan volume musik di dalam mobilnya.“Mau makan bareng nggak?”Yara mengernyitkan kening sesaat, melirik kembali ke layar ponselnya untuk memastikan bahwa benar nomor kakaknya yang menghubunginya. ‘Dari suaranya sih bener Kak Ervin, tapi tumben ngajak makan bareng, itu kan kebiasaannya Kak Aileen.’“Matahari masih terbit dari timur kan hari ini? Bebek kakinya masih dua kan?” sambut Yara yang membuahkan decakan kesal dari seberang sambungan telepon.“Kakak serius nih.”“Dalam rangka apa? Dapet cewek baru? Atau sebenernya Kak Aileen yang ngajak makan tapi nggak sempet nelepon aku? Kayaknya itu lebih masuk akal deh.”“Ya ampun, ngajak adek sendiri makan aja sesusah ini ya.”Y
Kak Alsen: Berkas perkara Lintang udah masuk ke kepolisianYara membaca pesan yang baru saja dikirimkan Alsen kepadanya. Tapi group chat kelasnya jauh jauh jauh lebih ramai dan dalam sekejap menenggelamkan chat dari Alsen.Bahasan mereka masih sama, tentang siapa yang ada di foto bersama Yara, dan puluhan kali mention nama Yara untuk muncul. Tapi Yara benar-benar mengabaikannya. Ia hanya terkekeh geli setiap membaca temannya yang adu umpatan karena dirinya yang tidak kunjung muncul.Adam?Entahlah Adam sudah melihat foto itu atau belum. Ia tidak peduli. Harusnya sudah karena teman-temannya memang sekurang kerjaan itu sampai ada yang mention nama Adam.Tiba-tiba Yara tersadar kalau ia belum membalas chat dari Alsen.Yara: Ok KakYara: Trus gimana posisi dia di kantor ya Kak? Ada saran?Yara: Perlu kupecat atau gimana?Kak Alsen: Yang jelas prosesnya masih lama RaKak Alsen: Tapi kalau kamu mecat dia, aku akan lebih
“Yara! Bisa nggak sih kamu bales pesen di wa grup kelas. Berisik banget sumpah!” Adam berusaha menekan amarahnya, namun tetap saja nada suara yang keluar darinya tidak bisa dikatakan lembut sama sekali.Di dalam hatinya, Adam mengumpati dirinya yang tidak bisa menahan rasa penasarannya hingga menelepon Yara hanya untuk meminta Yara membalas ratusan pesan di grup chat kelas mereka.Tentu saja itu alasan semata. Grup chat bisa ia nonaktifkan notofikasinya kalau ia benar-benar merasa terganggu. Andai saja lidahnya bisa lancar mengutarakan isi kepalanya, padahal ia cuma ingin bertanya apa maksud Rian share foto Yara dan Alsen sedang makan berdua. Itu saja. Sekarang yang keluar dari mulutnya malah nada suaranya yang seperti mengajak perang seseorang.“Maaf, Pak. Saya kira ini ponsel saya.”Suara wanita dan yang jelas bukan Yara terdengar dari seberang sambungan telepon, membuat Adam membeku di tempat.Yuniar memang panik saat Yar
“Kamu kuat jalan sendiri atau mau kugendong?” tanya Adam yang sudah tidak sabar lagi melihat Yara hanya terdiam.Pelototan mata Yara membuat Adam mengulum senyumnya.“Kalo aku bilang minta gendong juga kamu belum tentu kuat, Dam.” Yara mematikan komputernya sambil menjawab Adam dengan asal.“Kamu tau aku nggak suka ditantang, Ra!”***-Adam dan Yara, kelas 1 SMA-Yara memijat pelipisnya sepanjang sisa jam pelajaran.Kalimat Adam masih terus terngiang dan membuat pertidaksamaan linear yang sedang diterangkan sang guru sama sekali tidak bisa ditangkapnya. ‘Lain kali kalo mereka nyari kamu lagi, bilang aja kita udah jadian.’‘Adam nembak gue?’‘Nggak kan?’‘Tadi cuma main-main kan?’Padahal Yara sedang tidak fokus pada pelajaran matematika yang sedang berlangsung, tapi kenapa otaknya terasa panas hanya karena memikirkan kalimat
“Aku bisa jalan sendiri, Dam.” Yara mundur dengan gelisah saat Adam mendekat, sepertinya ingin membuktikan kalau ia kuat menggendongnya.“Beneran kuat?”“Hmm.” Yara mengengguk cepat.Yuniar yang menyaksikan interaksi keduanya dari dekat pintu hanya bisa mengulum senyumnya. Yuniar bukan pertama kalinya bertemu Adam. Lintang sudah pernah memperkenalkan Adam ke semua orang. Tapi rasanya interaksi antara Adam dan Lintang berbeda dengan interaksi antara Adam dan Yara.Adam dan Yara kelihatan lebih … playful, mungkin seperti itu penggambarannya.“Jauh-jauh, Dam.” Yara mendorong pelan bahu Adam untuk keluar dari balik mejanya dan mengambil tasnya di atas kabinet.“Mbak Yuniar, makasih ya pertolongan pertamanya tadi.”“Kan dibantu Mas Adam tadi, Mbak. Kalo nggak dikasih dikasih tau Mas Adam, Mbak Yara biasa bawa inhaler di dalam tas, aku juga nggak akan tau mesti gimana.
"Emang boleh makan itu?" Yara yang hampir menyuapkan potongan martabak telur ke dalam mulutnya, terpaksa berhenti. Dengan sungkan melirik ke arah Alsen yang malam itu datang ke rumahnya sambil membawa banyak cemilan. "Emang nggak boleh? Om Pras nggak ngasih tau aku ada pantangan makan sesuatu." Dengan ketus Yara menjawab pertanyaan absurd Adam. Ketiganya sedang berada di ruang tengah kediaman orang tua Yara. Adam mengantar Yara pulang dan dipaksa ikut makan malam oleh mamanya Yara. Sementara Alsen datang untuk menjemput Ervin, yang akhirnya juga dipaksa makan malam bersama. Adam mengedikkan bahu. Sejak tadi, diam-diam Adam memperhatikan tindak-tanduk Alsen, begitu juga dengan interaksi antara Alsen dan Yara. Pun begitu dengan Alsen yang diam-diam bisa menangkap kecemburuan Adam. Tapi ia berusaha mengabaikannya, selama Yara tidak mengaku memiliki hubungan apa pun dengan Adam, artinya ia masih punya kesempatan. Keduanya seperti dua kucin
“Udah denger belum kalau Mbak Lintang dapet surat panggilan dari kepolisian plus surat pemecatan dari HRD?” Desas-desus itu terdengar santer di gedung kantor DN Fashion. Posisi Lintang sudah cukup tinggi di kantor itu, tentu saja mayoritas pegawai telah mengenalnya. “Dan sadar nggak kalo bos besar dari kemaren udah nggak ngantor lagi ke sini?” “Kan bos memang ngantor ke sini cuma seminggu tiga kali. Wajarlah kalo nggak masuk. Nggak masuk juga hartanya udah berlimpah. Dia kan ke sini cuma main-main doang, pengen menjatuhkan Mbak Lintang kayaknya. Pelakor jaman sekarang lebih galak daripada yang punya.” “Ehem!” Suara dehaman Yuniar itu membuat beberapa orang yang sedang riuh membicarakan bos besar a.k.a Yara vs Lintang, berhenti bicara seketika. “Saya bukannya udah pernah ngasih peringatan ya? Jangan bicara sembarangan kalau kalian nggak tau kenyataannya. Kalau kalian tau yang sebenernya ….” Yuniar menggeleng-gelengkan kepalanya, hampir saja kel
Kak Alsen: Yara, aku masih ada janji nraktir kamuKak Alsen: Aku lagi ada di deket kantormuYara: Mau nraktir nih?Yara: Tapi kan aku juga punya utang nraktir Kak AlsenKak Alsen: Giliran aku duluKak Alsen: Aku jemput sekarang yaYara: Ok“Na, gue makan siang si luar ya,” pamit Yara pada Nana yang duduk di sampingnya. Mereka hampir selalu menghabiskan waktu makan siang bersama, jadi ketika salah satu di antara mereka ada keperluan, mereka selalu saling memberi tahu.“Ciyeee … sama yang mana nih? Yang dulu berani ke kantor?”Yara memutar kedua bola matanya dengan malas. Ledekan ‘Ciyeee’ ini sudah didengarnya sejak ia SMA, sejak ia menjalin hubungan dengan Adam, dan sekarang … Wait! Yara menggeleng-gelengkan kepalanya, kenapa semuanya selalu bermuara ke Adam?“Iya, dia pernah ke sini kok.”“Adam?”“Bukan, kuasa hukumku, Ka
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa