“Mau nggak jadi nyonya rumahku? Jadi tempatku pulang?”
Jantung Yara menggila. Puluhan kali menerima pernyataan cinta dari laki-laki, tapi rasanya tidak pernah seperti ini.
“Yara.” Kembali Adam menegur Yara yang hanya diam sambil menatapnya.
“Ini … aku dilamar?”
Adam mengulum senyumnya. Sudah susah payah dia membangun suasana, setengah mati menyusun kata-kata selama beberapa hari, yang akhirnya hanya kalimat sesederhana itu yang mampu ia ucapkan, dan sekarang … Yara malah bertanya apa dia dilamar dengan sepolos itu.
“Bukan! Diajak nikah.” Adam mencubit pipi Yara dengan gemasnya.
Yara merasa tiba-tiba wajahnya memanas. Kalau seperti ini, mungkin wajahnya juga sudah merona merah.
“Diterima nggak?” Adam juga sudah hampir kehilangan kepercayaan diri dan hampir tidak bisa berpikir lagi untuk mengatakan sesuatu untuk meyakinkan gadis di hadapannya itu.
"Hm
Rasa canggung benar-benar menemani perjalanan pulang mereka ke kediaman orang tua Yara. Padahal di dalam kamar tadi mereka sama-sama agresif. Mungkin karena membayangkan apa yang akan mereka hadapi setelah inilah yang menyebabkan mereka berdua memilih diam.Security di depan rumah langsung membukakan pintu gerbang kala mobil Adam mendekat.“Tenang aja, Dam,” ujar Yara memecahkan keheningan saat Adam baru saja mematikan mesin mobilnya.“Aku tenang kok, bukannya kamu yang nggak tenang?” Adam sudah melirik Yara sejak di perjalanan, dan jelas Yara kelihatan gelisah karena meremas gaunnya berkali-kali.Yara menarik napas dalam lantas menghembuskannya perlahan. “Ayo, makin malem makin ngamuk Papa.” Yara turun lebih dulu tanpa menunggu Adam membukakan pintu mobil.“Mbak Yara, ditunggu Bapak di ruang keluarga.”Yara menatap bingung ke arah Bi Ijah yang ada di teras rumah.“Iya, kenap
“Ciyeee … yang mau pamer baru dilamar,” goda Rian saat memasuki salah satu cabang Amigos, tempat ia memiliki janji temu dengan Yara.“Apaan sih, ini mumpung gue tadi ketemu supplier di deket sini. Udah buruan, mau pesen apa? Gue yang bayar.”“Kalau mau bayarin tuh di tempat yang lebih mahal. Bayarin kok di coffee shop punya nyokap. Keluar kantong lo, masuk ke kantong nyokap lo. Sama aja.”“Sebelum sampe ke kantong nyokap gue, ada porsi buat petani kopi, ada porsi buat baristanya, ada porsi buat pegawai coffee shop, ada porsi buat PLN, ada porsi buat—”“Stop it! Gue baru kelar meeting, jangan lu bikin otak gue kerja lagi.” Rian menarik tangan Yara dan memperhatikan cincin baru yang melingkar di jari manis sahabatnya itu. “Aaaah, finally. Kualat kan si Adam. Kemakan omongan sendiri. Sekarang klepek-klepek lagi sama lo. I’m happy for you, Ra. Tapi ini gimana deh ceritanya? P
“Mau kuanter ke kantor?”Yara menggeleng cepat. “Aku bawa mobil kok.”Adam berdiri, mengikuti Yara yang juga berdiri dan bersiap pergi dari ruangannya. “Balik ke kantor kan? Atau site visit?”“Ke kantor.”“Kalo besok-besok aku yang gantian ke kantormu boleh kan?”“Sejak kapan izin? Biasanya juga langsung nongol di lobby atau di ruang tunggu.”Adam terkekeh, memeluk Yara sebentar sebelum gadis itu benar-benar pergi. “Aku anterin ke mobil deh.”“Nggak usah ah. Aku nggak akan nyasar.”Adam tetaplah Adam, keras kepalanya memang selalu mendominasi. Dan Yara hanya bisa menurut saat Adam menggenggam tangannya sebelum membuka pintu.Salah satu bahaya dari sejoli yang sedang jatuh cinta adalah dunia serasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak. Itulah yang terjadi pada mereka berdua, keluar dari ruangan dengan tangan saling menggenggam
“Mbak Yara!”Yara mendengar panggilan yang lumayan kencang dari balik pintu kamarnya. Tempo ketukan juga terdengar semakin cepat dan kencang.“Iya?” jawab Yara balas berteriak karena nyawanya yang belum genap terkumpul.“Mbak, sama Ibu dusuruh cepet siap-siap. Mas Adam udah mau sampe.”“Iya,” jawab Yara asal. “Adam mau sampe kenapa heboh banget?” gumamnya masih setengah memejam.Tapi beberapa detik kemudian, mata Yara membuka sempurna. Disibakkannya selimut dengan tergesa, lantas berlari menuju kamar mandi. “Astaga, Yara! Pikun kok nggak nanggung-nangung!” hardiknya pada diri sendiri sambil membuka pakaian untuk mandi.Tidak lebih dari lima menit Yara menyelesaikan prosesi mandinya. Sambil mengenakan pakaian ia mengecek ponsel yang tergeletak di atas kasur. Puluhan missed call dari Adam. Chat dari Adam yang membangunkannya, chat dari Adam yang berkata kalau sebentar lagi
“Kak Ervin minta hal yang aneh deh tadi, Ra,” cerita Adam saat mereka dapat kesempatan untuk berduaan. Ibu Adam sedang mengajari mama Yara menyeduh teh di dapur, sementara ayah Adam menemani Papa Yara bermain catur.“Minta apa?”“Katanya, dia minta tolong buat kita duluan. Maksudnya gimana sih?”Tadinya Yara tidak ingin menceritakan hal ini karena berhubungan dengan perasaan kakaknya. Tapi karena kakaknya se-desparate itu sampai meminta bantuan Adam, Yara jadi terpaksa menceritakannya.“Kak Ervin tuh dijodohin sama anaknya sahabat Papa.”“Hah? Kok kamu nggak cerita? Tunggu, tunggu. Kalau Kak Aileen nikah bukan karena dijodohin kan?”“Nggak sih. Kenapa emangnya?”“Nggak ada potensi buat papa kamu jodohin kamu sama anak temennya kan?”Yara tergelak mendengar kekhawatiran Adam. “Kamu ah, aneh-aneh mikirnya. Papaku udah ngundang keluargamu ke
“Beneran nggak apa-apa aku ikut hadir? Katanya cuma keluarga sama kerabat deket yang diundang?” “Hubungan kita kurang deket gimana sih, Dam? Malah kan sebenernya orang tua kamu juga diundang, sayang aja Tante Resti sama Om Ardi lagi ke Bali.” Acara pertunangan kakak Yara memang agak dadakan digelar dan sengaja diadakan tertutup karena keinginan mereka sendiri. Sampai-sampai acara pertunangan itu menggunakan meeting room yang telah disulap menjadi venue engagement party karena tidak mungkin mendapatkan ballroom dalam waktu singkat di Jakarta. Meskipun keluarga Yara juga punya jaringan hotel, membatalkan pesanan dari orang tentu akan menurunkan kredibilitas mereka dan orang tua Yara juga tidak mengizinkan hal itu terjadi. “Tapi ini jadi pada ngelihat ke sini, Ra. Harusnya kan yang jadi spotlight Kak Ervin.” “Nanti aku kenalin semuanya. Lagian kalo kamu nggak ikut, yang ada kamu khawatir soalnya di sini lengkap, ada Kak Alsen dan ada Bang Zayan juga kan.
“Eh, Adam, kamu bukannya di Bandung?” tanya Rhea yang bingung dengan kedatangan Adam di sore hari itu. “Sore, Tante. Emang ini dari Bandung, Tante. Kerjaan di sana udah beres, jadi buru-buru pulang.” “Kok nggak istirahat dulu?” “Yara bilang … dia lagi sakit, Tante?” Rhea sekarang mengerti kenapa Adam buru-buru ke rumahnya, bukannya beristirahat setelah kembali dari Bandung. “Demam, biasa. Pas di Bali kemaren ujan-ujanan dia. Udah tau ujan, diterabas aja.” Adam menghela napas berat. Mereka memang sempat tidak bertemu hampir seminggu. Adam sedang tugas monitoring dan evaluasi di Bandung, sementara Yara memutuskan berlibur ke Bali karena godaan dari Rian yang juga mendapat tugas dari kantornya untuk ke Bali. Sekalian, mengetes kadar ego dan emosi mereka ketika berjauhan. Dan kali ini mereka melewatinya dengan mulus. Tidak ada pertengkaran seperti saat mereka LDR sebelumnya. Mungkin karena hanya berjarak Bandung-Bali, atau mungkin
Adam dan Yara masih terdiam, bahkan setelah papa Yara menghilang dari hadapan keduanya. “Kamu juga denger kan, Ra?” tanya Adam sambil menatap Yara tidak yakin. “Aku nggak salah denger kan?” Yara mengangguk. Masih sama heraannya dengan Adam, tapi tidak mungkin juga salah dengar karena ia hanya demam, bukan sakit telinga. Ditambah lagi, Adam memberikan reaksi kaget yang sama dengan dirinya. Tapi … kesambet apa papanya sampai tiba-tiba merestui mereka? “Ciyeee yang udah dapet restu,” ledek Yara setelah beberapa saat hening menguasai suasana kamarnya. Adam kembali duduk di sisi ranjang, kemudian mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu. “Ngapain?” Yara kini bangkit, memilih duduk sambil bersandar pada head board ranjang. “Ini, ngasih arahan ke semua manager di grup chat, untuk nyariin ballroom yang kosong atau kalau ada yang cancel.” Yara terkekeh geli sambil memukul lengan Adam. “Nggak sekarang juga kali, Dam.” “Kenapa? Be
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa