Deg..."Hubungi aku tanpa Lingga tahu, untuk saat ini, makanlah satu obat itu dulu, jangan sampai kau membuat Lingga curiga," ucap Kiel dari seberang sana.Tittt...Percakapan berakhir, Ira melihat layar ponsel di tangannya, menatap dengan pandangan penuh tanya."Apa yang dia katakan?" tanya Lingga."Ah...aku harus makan obat yang ini katanya," jawab Ira tersadar bersikap seakan tak terjadi apa-apa, lantas Ira segera meminum obat sambil memikirkan alasan mengapa sang pemberi obat memerintahnya demikian.....Menjelang malam Lingga masih setia menemani Ira, padahal Ira sudah lebih baik bahkan hampir pulih dari rasa sakitnya, walaupun demikian bagai anak kecil yang tengah di jaga sang ibu, Ira di hadapkan pada kondisi di mana dia harus diam dan membiarkan Lingga mengerjakan semuanya, memang hal ini terbilang kekanak-kanakan namun melihat Lingga sibuk demi dirinya juga terasa begitu menyenangkan."Butuh apa lagi?" tanya Lingga sambil memberikan segelas air susu."Sepertinya sudah," jawab
"Tuan mereka datang!" Seketika ketika mendengar teriakan itu kedua mata mereka membulat tersentak.Set....Dengan sangat cepat Lingga menarik lengan Agora memaksanya pergi bersembunyi secepat mungkin.Dalam ruang sempit, Lingga membungkukkan badan yang tak sesuai kapasitas ruangan. Begitu pun Agora, wanita itu membungkuk lelah dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah.Bak! bak!Suara bantingan terdengar hingga menggema di lantai paling bawah, tempat rahasia yang sengaja Lingga buat untuk memperketat keamanan villa di sudut kota, ruangan sempit dengan luas 4 meter persegi dan tinggi yang hanya mencapai 165 cm membuat Lingga tak sanggup menegakkan tubuhnya yang teramat tinggi.Bak!!"Keluar!" Bentak seseorang.Agora meringkuk dalam ruangan sempit yang terasa pengap, sangat kecil membuatnya tak bisa bernafas dengan tenang."Ah...aku...""Diam," ucap Lingga berbisik sembari memberikan sedikit ruang."Akh...aku tak kuat," ucap Agora terlihat sesak.Lingga menatap Agora, wanita satu ini
Kiel yang mendengar itu seketika menatap Ira serius."Kau yakin?" tanya Kiel."Ya, aku yakin," jawab Ira dengan suara bergetar."Reaksimu tak menunjukkannya tuh," timpal Kiel."Seharusnya kau bahagia bukan? Bukannya ingin melenyapkannya, kau tahu bagaimana reaksi Lingga jika tahu kalau kau mengandung anaknya kau seharusnya senang," ucap Kiel."Aku belum siap, tolong jangan katakan apa pun padanya, aku tidak ingin dia mendengar kabar ini," ucap Ira masih tertunduk sembari meremas kain celananya."Jangan aneh-aneh, aku akan mengatakannya sekarang," ucap Kiel sembari merogoh ponsel."Ku bilang jangan! Kau tidak mendengarkan aku," bentak Ira sembari menahan ponsel Kiel, wajah penuh derai air mata dia tampakkan seakan inilah titik kehancuran."Jangan lakukan ini...kau tidak mengerti..." ucap Ira di iringi tangisan.Ira menangis di depan semua pengunjung kafe, dan seketika beribu pandang mendarat di wajahnya, menjadikan Kiel tersangka di balik tangisan itu."Sudah-sudah kau membuatku tertek
Pukul menunjukkan 15.00, Ira telah mengisi energinya kembali, kini tubuh gadis itu terasa lebih segar begitu pun perubahan emosi pada dirinya terasa lebih santai. istirahatnya kali ini benar-benar berfungsi dengan baik."Ehm...terasa lebih baik," gumam Ira sembari meregangkan otot lehernya.Dari depan pintu datang Kiel dengan nampan di atas tangannya. Ketika Kiel berada dekat dengan Ira, dia menyimpan nampan tersebut yang berisi sereal dan segelas susu hangat."Makan ini dulu," perintah Kiel.Lantas Kiel duduk menghadap gadis itu, Ira yang masih belum sepenuhnya sadar menatap makanan itu dengan wajah lugu. Ira mengambil mangkuk berisikan sereal kemudian menyantapnya hingga lenyap tak tersisa."EU......" Sendawa Ira."Jorok!" celetuk Kiel sambil menampakkan wajah jijik."Apa? sekali lagi?” ucap Ira seakan mengancam."Jorok, aku bilang JOROK," jawab Kiel."Kau ingin aku melempar mangkuk ini ke wajahmu ya?" ucap Ira serius."Tck..Dasar wanita," gerutu Kiel dalam hati."Iya, kau harus cep
Sore terasa begitu indah, langkah demi langkah tak lepas dari rasa penuh bahagia, Dalam hingar bingar jalanan kota terdengar sebuah melodi indah terlantun di sepanjang jalan, membuat Ira hanyut dalam bayangan.Sesekali gadis itu membayang, bagaimana reaksi Lingga ketika mendengar berita ini, apakah pria itu akan langsung memeluk Ira? Atau malah tercengang tak percaya namun bahagia? Entahlah, Ira terlalu banyak berharap, dengan Lingga menerima dengan bahagia saja cukup membuat Ira merasa puas. Kini Ira tengah berjalan menuju kantor, namun ternyata jarak tidak mungkin berbohong, dia lihat ponsel penunjuk arah yang tidak mencapai sepanjang ibu jarinya, namun rasa tubuh ini telah pasrah menempuh sisa jarak yang masih ada.“huh...jauh juga ya,” keluh Ira.Ira melihat kanan kiri, terlihat dari arah depan sebuah taxi hendak melintas di sampingnya, segera Ira melambaikan tangan untuk menghentikan laju taxi tersebut.Ketika taxi tersebut berhenti, Ira langsung masuk melanjutkan kembali perjal
KILAS BALIK...DI KANTOR....Di lantai bawah Lingga bersama Arey datang menghampiri Agora di dampingi Rian di sampingnya.Lingga memasang earphone kecil di telinga sambil memberi arahan pada Arey."Arey beritahu aku waktu tepat memulainya, perhitungkan pandangan pria tua itu ketika akan melihatku," ucap Lingga."Baik tuan," jawab Arey."Dan Rian, kau awasi pergerakan orang-orang di sekitar pria itu, jangan sampai ada pengawalnya yang tiba-tiba membawa Agora, kerahkan semua pengawal yang ada jika hal itu terjadi," ucap Lingga mengarahkan."Baik tuan," jawab Rian."Dan kau Agora, jangan berulah, kau hanya perlu mengikuti drama yang telah ku buat," ucap Lingga."Semuanya sudah siap, lakukan tugas kalian dengan benar oke.""Baik." Jawab serentak......Kini Lingga bersiap di posisi, menunggu kedatangan pria bernama Dirga itu, drama kali ini harus menjadi akhir dari hubungan dengan mantannya satu ini, jika bukan karena akan terjadinya pembunuhan terhadap janin yang tidak bersalah itu, mun
Kini hampir berakhir sandiwara yang dilaksanakan serentak itu, Dirga mendekati Lingga dan Agora sambil tersenyum puas mendengar kabar menggembirakan yang dia tunggu."Selamat ya," ucap Dirga sambil menepuk bahu Lingga."Cepat-cepat kau nikahi dia ya, biar anak di perut Mamanya tahu siapa Ayah yang sebenarnya," lanjut Dirga berbangga hati.Sementara itu Lingga mengangguk hormat sambil tersenyum sewajarnya, namun berlainan dengan itu Lingga terus menerus berharap sandiwara ini agar cepat berakhir. "Baik Om, setelah pekerjaanku benar-benar selesai, dalam waktu dekat ini aku akan segera menikahinya," jawab Lingga sembari menatap Agora."Baiklah, Ayah ikut bahagia melihat kalian seperti ini, kalau begitu kita harus segera menentukan tanggalnya," jawab Dirga sembari menerka penetapan tanggal pernikahan.“Ayah, untuk itu mungkin akan kami tentukan berdua tanggalnya, Kalingga juga harus mempertimbangkan dengan jadwalnya yang padat Ayah,” timpal Agora sambil mengelus lengan pria di sampingnya
Di malam yang sunyi, tiba-tiba suara deru motor terdengar nyaring dari luar rumah di perkomplekan padat di suatu wilayah. Adri membuka tirai jendela kamar untuk memastikan dari mana suara itu berasal. Dilihatnya seorang pria tengah membuka helm menunjukkan wajah asli yang tersembunyi dari balik kaca hitam tersebut. Dia adalah Lingga, pria yang pernah membuatnya beberapa kali merasa kesal.Tok…tok…Tak ingin membangunkan seisi rumah, Adri segera membukakan pintu, akan tetapi ketika mereka berhadapan suasana diantara mereka seakan kacau, baik Lingga maupun Adri keduanya tidak berusaha untuk bersikap ramah satu sama lain.“Masuk? Jangan berisik aku tidak ingin membangunkan orang tua ku,” ucap Adri dengan suara kecil.Lingga masuk sambil melepas sepatunya.“Terimakasih,” jawabnya pelan.Mereka duduk berhadapan dengan atmosfer yang begitu mencekam. Tanpa menghabiskan waktu Lingga segera mengungkapkan tujuannya.“Kau sedang meneliti kecelakaan di pasar waktu itu?” tanya Lingga sembari menau
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan