Membunuh? Membunuh siapa? Keenan melihat ada yang berbeda dari Gladys. Sorot matanya tidak sehangat dan seteduh biasanya. Gadis ini menatap dengan tatapan tajam dan penuh rasa dendam. Sebenarnya ada apa dengan gadis ini?
“Gladys, kenapa kamu berbicara seperti itu?” Anita meraih tangan anak gadisnya, kemudian Gladys menoleh ke arah sang ibu. Anita merasa gadis ini bukanlah anak yang dia besarkan selama lima belas tahun. Dia merasakan hal yang sama dengan yang Keenan rasakan, Gladys berbeda.
“Gladys, kamu ingat Ibu, kan?” tanya Anita. Dia mencoba menyadarkan Gladys.
“Aku harus bunuh dia, Bu!” ucap Gladys lagi dengan tatapan menusuk.
Anita menggeleng. Kemudian dia membelai kepala Gladys. Namun sayang Gladys langsung menepisnya.
“Aku harus … ah!” Gladys meringis kesakitan, luka di pada perutnya itu terasa sakit. Gladys belum sanggup untuk turun dari hospital bed-nya.
“Gladys, kamu isti
Keenan hanya ingin berbicara empat mata dengan Gladys. Dia tidak ingin ada orang lain di ruangan ini, sekali pun itu ibunya. Namun Anita bergeming, dia tetap setia di tempatnya dengan menampilkan ekspresi terkejutnya.“Mama denger apa kataku? Keluar! Aku ingin berbicara dengan Gladys,” raung Keenan.Lagi-lagi Anita tersentak, dia hampir tidak mengenali anak laki-lakinya itu. Sejak kapan Keenan memiliki sifat buruk seperti itu? Tapi Anita enggan untuk melawan, lebih baik dia mengalah.“Oke, Mama keluar. Tapi tolong bersikap baik pada Gladys,” pesannya sebelum akhirnya Anita keluar dari kamar tersebut.Keenan menghampiri Gladys, kini dia berdiri tepat di samping Gladys. Gadis itu mendongakkan kepalanya, membalas tatapan tajam Keenan.“Sejak kapan kamu menyelidiki tentang Erza?” tanyanya.“Tidak perlu tahu, yang pasti kamu harus minta maaf pada Om Adrian. Dia tidak salah! Aku sudah bilang berkali-kali,
Harap bijak dalam membaca, ya~ Happy Reading. *** Sejak ingatannya kembali, Gladys benar-benar menjadi pribadi yang berbeda. Keenan bisa merasakan perubahan itu. Biasanya jika Keenan menggeretak gadis itu akan ketakutan, tapi sekarang sepertinya tidak ada kata takut dalam kamus hidup Gladys. Setelah berkonsultasi dengan dokter, ingatan Gladys kembali karena tragedi dirinya tertembak. Pasalnya saat dia melihat kedua orang tuanya tertembak dan mati di tempat, gadis itu memaksa untuk menghapus ingatannya. Dan saat dia mendengar suara tembakan, ingatannya seolah kembali. Kemudian gadis itu berubah, Keenan hampir tidak mengenali Gladys sekarang. “Dia tidur atau pingsan, sih?” tanya Gladys yang sudah bosan menunggu laki-laki tua itu sadar. Kini mereka; Gladys, Keenan, dan Tendy Salim sedang berada di ruang bawah tanah rumah Keenan. Ruangan ini memang Keenan siapkan untuk menghabisi orang-orang y
Seharian Gladys mengurung diri di kamarnya, dia tak ingin diganggu oleh siapa pun. Dalam hatinya kini dia merasa bersalah karena sudah membunuh seorang manusia. Dia merasa sangat berdosa sekali sekarang. Bagaimana jika nanti kebenaran terungkap, seperti halnya Tendy sekarang. Yang kebenarannya terungkap setelah lima belas tahun. Ah, Gladys medesah kasar. Perasaan emosinya itu benar-benar membuat dirinya menjadi buta. Sampai-sampai dia tidak memikirkan konsekuensi ke depannya. Walaupun Gladys berubah pasca ingatannya kembali, tapi dia masih memiliki nurani di dalam dirinya. “Dys,” panggil seseorang dari luar. Gladys mengenali suara itu, siapa lagi kalau bukan Keenan. Gladys langsung beranjak, dia membukakan pintu kamarnya dan melihat sosok Keenan di hadapannya. “Kenapa wajahmu bengkak seperti itu, kamu nangis?” tanya Keenan penuh perhatian. Gladys diam, dia menatap Keenan. Kenapa laki-laki ini biasa saja? Maksudnya, tadi mereka baru saja membun
Berita tentang Erza kini sedang menjadi hot news di Indonesia. Bagaimana tidak? Tendy Salim adalah salah satu pebisnis yang memiliki pengaruh di negara ini. Dalam berita tersebut disebutkan Erza memiliki dendam kepada Tendy. Hal itu dilatar belakangi karena Tendy tidak merestui hubungan Erza dengan anak gadisnya itu. Sehingga itulah yang menjadi ‘motif’ Erza membunuh Tendy.Gladys sedang menoton berita tersebut di televisi, kemudian Keenan langsung meraih remote dan mematikannya. Sontak Gladys mendongak dan menatap Keenan.“Tidak usah menontonnya,” kata Keenan, seraya dia duduk di samping Gladys.“Tapi … apa tidak—”Belum juga Gladys menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja Keenan memotongnya. “Tenang saja, Gladys. Tidak akan ada apa-apa, percayakan padaku, ya?”Gladys menatap manik hitam milik Keenan. Laki-laki itu terlihat sedang meyakinkan Gladys, agar gadis itu tidak perlu khawatir. Ta
Sesuai dengan rencana Keenan, pagi ini mereka berdua; Keenan dan Gladys pergi menuju tempat peristirahatan terakhir Andrean, Adrian, dan juga Nathan. Entah kenapa Gladys merasa senang, karena Keenan sudah menyadari kesalahannya. Untuk orang seperti Keenan, tentu itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi dan kalau bisa membuat syukuran.“Loh, kok? Bukannya kita mau ke makam Om Andrean?” tanya Gladys bingung. Pasalnya Keenan kini mengemudikan mobilnya ke arah yang berlawanan.“Udah diem aja. Aku yang pegang kemudi, kamu ikut aja,” timpal Keenan. Gladys pun terdiam, dia tiba-tiba memikirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Keenan berubah pikiran? Laki-laki seperti dia kan tidak bisa ditebak?Namun, saat mobil mereka memasuki sebuah jalanan kecil, Gladys mengerutkan keningnya. Dia mencoba mengintip dari jendela mobil. Jalanan kecil ini seperti akan membawa mereka ke sebuah tempat yang sepi.Benar saja mereka mendatangi sebuah tem
“Sedang apa kalian di sini?” Seorang laki-laki bertanya dengan penuh rasa kecurigaan. Sontak Gladys mematung di hadapan laki-laki itu. Sedangkan Keenan dia berjalan dengan santai, lantas merangkul Gladys.“Sedang makan siang. Ya … ziarah. Untuk apa bertanya begitu?” timpal Keenan kesal.Laki-laki itu mendengus. “Tumben sekali. Biasanya kamu tidak peduli,” balasnya lagi.“Ngomong-omong, setelah kamu berziarah aku tunggu di tempat parkir. Ada yang harus aku bicarakan,” ucap Keenan. Kemudian dia berlalu meninggalkan laki-laki itu menuju parkiran.Ya! Keenan harus menyelesaikan juga masalah dengan Aidan. Rasanya dia juga harus meminta maaf, walau dia tidak mungkin untuk jujur pada laki-laki itu. Namun, dia harus meminta maaf atas kesalah pahamannya selama ini.Keenan dan Gladys menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian mata Keenan menatap sosok Aidan. Lalu dia keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Mama?” ucap Keenan. Sedetik kemudian Gladys pun dibuat terkejut dengan sosok perempuan yang sedang bersama Giselle. “Ibu?” katanya. “Halo, Keenan dan Gladys,” sapa Anita sambil tersenyum pada kedua anaknya itu. Buru-buru Keenan dan Gladys menghampiri wanita itu. “Mama sudah dengar, kalau selama ini Anita lah yang merawat Gladys. Terima kasih sekali lagi,” kata Giselle pada Anita. Jujur saja, sebenarnya dulu hubungan mereka tak berjalan baik. Bagaimanapun juga Giselle tak suka ketika dimadu oleh suaminya. “Sama-sama. Terima kasih sudah menjaga anakku juga.” Anita tersenyum dan menundukkan kepalanya. “Tapi kenapa Mama bisa di sini?” Keenan tiba-tiba menyela pembicaraan dua wanita itu. “Sejak kapan Mama Giselle tahu keberadaan Mama?” imbuhnya. “Mama tahu dari Excel, dia benar-benar menceritakan semuanya. Makanya Mama mencoba membawa Mamamu ke sini,” jawab Giselle. “Dan mulai hari ini Anita akan tinggal di sini bersama Mama.” Alis
“Keenan, kalau kamu sibuk, nggak usah repot-repot harus ke luar negeri gini,” ucap Gladys. Dia sedang sibuk mengemas barang-barang pribadi miliknya dan Keenan ke dalam koper.Laki-laki itu mendekat pada istrinya. Kemudian dia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Gladys, memeluk sang istri dari belakang.“Aku nggak sibuk, Sayang. Lagi pula kita kan belum berbulan madu,” timpal Keenan. Laki-laki itu kini mengecup tengkuk Gladys.Seketika Gladys merasa geli dan menghentikkan aktivitasnya. Dia mencoba melepaskan pelukan Keenan dan kemudian berbalik menatap sang suami.“Kemarin, kan, di Bali udah. Lagian kita udah hampir setengah tahun menikah. Masa masih bahas bulan madu segala.”“Itu bukan bulan madu. Kemarin kita ke Bali sambil kerja. Sekarang aku cuman pengin berdua sama kamu. Nggak ada tuh mikirin yang namanya kerjaan.” Keenan mengusap pipi Gladys lembut.Satu bulan setelah mereka menikah