“Halo, Keenan,” sapa Erza yang kemudian mengangkat telefonnya.
Sontak pupil Gladys membulat dan seketika dirinya merasa cemas.
“Gladys?” kata Erza lagi sambil melirik ke arah perempuan yang sedang duduk di hadapannya.
Gadis itu segera menggeleng dan menyilangkan tangannya. Erza mengangguk, dia paham dengan kode yang diberika oleh Gladys.
“Nggak, dia nggak ada hubungi aku,” ucap Erza lagi. Seketika Gladys menghela napas lega. Ah, Erza memang dapat diandalkan.
“Iya, nanti kalau ada kabar dari dia aku kasih tahu. Sorry karena ini weekend, aku gak bisa bantu cari. Udah ada janji,” tandas Erza. Kemudian dia mematikan panggilannya.
Gladys menatap Erza, dia menunggu laki-laki itu berucap. Sadar sedang ditatap Erza hanya berdeham. “Udah tenang, aku nggak akan cepu. Memangnya kalian kenapa lagi, sih?” tanya Erza penasaran.
“Biasalah, aku kadang kesal dengan sikap dia yang angkuh
Semakin hari perasaan janggal di hati Gladys semakin kuat. Gadis itu kini mencurigai rekan kerjanya sendiri. Ingin rasanya bertanya suatu hal pada Keenan tentang proyek itu. Tapi … melihat Keenan yang sudah bisa move on, membuat Gladys mengurungkan niatnya. Gladys berpikir dan mencoba opsi lain. Gadis itu menghubungi Ikmal, tapi sayangnya laki-laki itu tak pernah mengangkat panggilannya. Akhirnya dia berpikir untuk mendatangi rumahnya saja. Namun masalahnya Gladys tak memiliki kesempatan untuk berpergian bebas begitu saja. “Keenan,” panggil Gladys di sela-sela sarapan pagi mereka. “Hmm?” Laki-laki itu membalas dengan dehaman. “Mmm … aku akhir-akhir ini kan agak gak enak badan. Boleh aku izin keluar untuk berobat ke dokter?” tanya Gladys. Memang benar hampir satu bula
Lima belas tahun lalu. “Gladys, kamu diam di sini jangan ke mana-mana, ok?” titah seorang perempuan berumur tiga puluhan. Dia menyembunyikan anak semata wayangnya yang masih berumur delapan tahun lalu di sebuah ruang rahasia. Sebenarnya di balik tembok itu ada tempat tidur dan tempat bermain anak itu. Gladys memang biasa bermain atau sekedar tidur siang di tempat itu. Ruangan rahasia itu dibuat sang ayah atas permintaan dari sang putri. Ternyata ruangan itu sekarang bisa berguna juga. Gladys kecil terisak, dia bisa merasakan ketegangan yang ada di sekitarnya. “Tapi … Ma, gimana sama Mama dan Papa?” Brak! “Di mana file-nya, hah?” Terdengar suara sentakan dari ruang sebelah. Sontak Gladys merasa terkejut dibuatnya
Semalaman Keenan terjaga, dia tak bisa tidur karena memikirkan apa yang baru saja dia perbuat. Selain itu pasca operasi, Gladys belum kunjung membuka matanya. Hal itu membuat Keenan semakin tidak tenang.Ponsel Keenan berdering, membuat laki-laki itu tersadar dari lamunannya. Buru-buru dia langsung merogoh sakunya, dan mendapati Erza menghubunginya. Keenan buru-buru mengangkat panggilan itu.“Kebetulan sekali kamu telfon,” ucap Keenan tanpa menyapa pada sekretraisnya.“Hah? Maksudnya?” Erza terkejut dengan ucapan Keenan.“Aku tidak bisa masuk, tolong handel semua pekerjaanku hari ini dan beberapa hari ke depan.” Laki-laki itu memijit kepalanya.Erza tak langsung mengiyakan instruksi dari atasannya itu. “Memangnya ada apa? Kenapa kamu nggak bisa masuk?” tanya Erza.“Gladys sakit. Sudah, ya, aku tidak bisa berbicara lama-lama,” pungkasnya kemudian langsung menutup panggilannya.
Keenan bisa melihat wajah perempuan itu sama terkejutnya seperti dirinya. Keenan melangkah pelan, tangannya kini bergetar. Perempuan itu pun beranjak dari kursinya sambil menatap Keenan dengan tatapan sayu.“Keenan? Kamu benar Keenan, kan?” Akhirnya perempuan itu membuka mulut, dia bersuara memecahkan keheningan di antara mereka.Keenan tak langsung menjawab, dia kini memindai perempuan itu dari atas sampai bawah. Dia tidak sedang bermimpi, kan? Laki-laki itu menampar dirinya sendiri. Memastikan bahwa memang apa yang sedang dia lihat ini nyata.Di hadapan Keenan kini berdiri seorang perempuan paruh baya. Wajah perempuan itu terlihat sedikit pucat, kulitnya pun sudah terlihat tanda kerutan. Pandangan Keenan kini beralih pada rambutnya, sudah mulai beruban. Bibir laki-laki itu bergetar, walau penampilannya sedikit berubah, tapi Keenan yakin seyakin-yakinnya, bahwa wanita di hadapannya itu adalah seseorang yang dia kira sudah meninggal.“Ma
Membunuh? Membunuh siapa? Keenan melihat ada yang berbeda dari Gladys. Sorot matanya tidak sehangat dan seteduh biasanya. Gadis ini menatap dengan tatapan tajam dan penuh rasa dendam. Sebenarnya ada apa dengan gadis ini?“Gladys, kenapa kamu berbicara seperti itu?” Anita meraih tangan anak gadisnya, kemudian Gladys menoleh ke arah sang ibu. Anita merasa gadis ini bukanlah anak yang dia besarkan selama lima belas tahun. Dia merasakan hal yang sama dengan yang Keenan rasakan, Gladys berbeda.“Gladys, kamu ingat Ibu, kan?” tanya Anita. Dia mencoba menyadarkan Gladys.“Aku harus bunuh dia, Bu!” ucap Gladys lagi dengan tatapan menusuk.Anita menggeleng. Kemudian dia membelai kepala Gladys. Namun sayang Gladys langsung menepisnya.“Aku harus … ah!” Gladys meringis kesakitan, luka di pada perutnya itu terasa sakit. Gladys belum sanggup untuk turun dari hospital bed-nya.“Gladys, kamu isti
Keenan hanya ingin berbicara empat mata dengan Gladys. Dia tidak ingin ada orang lain di ruangan ini, sekali pun itu ibunya. Namun Anita bergeming, dia tetap setia di tempatnya dengan menampilkan ekspresi terkejutnya.“Mama denger apa kataku? Keluar! Aku ingin berbicara dengan Gladys,” raung Keenan.Lagi-lagi Anita tersentak, dia hampir tidak mengenali anak laki-lakinya itu. Sejak kapan Keenan memiliki sifat buruk seperti itu? Tapi Anita enggan untuk melawan, lebih baik dia mengalah.“Oke, Mama keluar. Tapi tolong bersikap baik pada Gladys,” pesannya sebelum akhirnya Anita keluar dari kamar tersebut.Keenan menghampiri Gladys, kini dia berdiri tepat di samping Gladys. Gadis itu mendongakkan kepalanya, membalas tatapan tajam Keenan.“Sejak kapan kamu menyelidiki tentang Erza?” tanyanya.“Tidak perlu tahu, yang pasti kamu harus minta maaf pada Om Adrian. Dia tidak salah! Aku sudah bilang berkali-kali,
Harap bijak dalam membaca, ya~ Happy Reading. *** Sejak ingatannya kembali, Gladys benar-benar menjadi pribadi yang berbeda. Keenan bisa merasakan perubahan itu. Biasanya jika Keenan menggeretak gadis itu akan ketakutan, tapi sekarang sepertinya tidak ada kata takut dalam kamus hidup Gladys. Setelah berkonsultasi dengan dokter, ingatan Gladys kembali karena tragedi dirinya tertembak. Pasalnya saat dia melihat kedua orang tuanya tertembak dan mati di tempat, gadis itu memaksa untuk menghapus ingatannya. Dan saat dia mendengar suara tembakan, ingatannya seolah kembali. Kemudian gadis itu berubah, Keenan hampir tidak mengenali Gladys sekarang. “Dia tidur atau pingsan, sih?” tanya Gladys yang sudah bosan menunggu laki-laki tua itu sadar. Kini mereka; Gladys, Keenan, dan Tendy Salim sedang berada di ruang bawah tanah rumah Keenan. Ruangan ini memang Keenan siapkan untuk menghabisi orang-orang y
Seharian Gladys mengurung diri di kamarnya, dia tak ingin diganggu oleh siapa pun. Dalam hatinya kini dia merasa bersalah karena sudah membunuh seorang manusia. Dia merasa sangat berdosa sekali sekarang. Bagaimana jika nanti kebenaran terungkap, seperti halnya Tendy sekarang. Yang kebenarannya terungkap setelah lima belas tahun. Ah, Gladys medesah kasar. Perasaan emosinya itu benar-benar membuat dirinya menjadi buta. Sampai-sampai dia tidak memikirkan konsekuensi ke depannya. Walaupun Gladys berubah pasca ingatannya kembali, tapi dia masih memiliki nurani di dalam dirinya. “Dys,” panggil seseorang dari luar. Gladys mengenali suara itu, siapa lagi kalau bukan Keenan. Gladys langsung beranjak, dia membukakan pintu kamarnya dan melihat sosok Keenan di hadapannya. “Kenapa wajahmu bengkak seperti itu, kamu nangis?” tanya Keenan penuh perhatian. Gladys diam, dia menatap Keenan. Kenapa laki-laki ini biasa saja? Maksudnya, tadi mereka baru saja membun
Delapan belas tahun kemudian.... “Raynald. Selamat atas kelulusanmu, ya,” ucap Gladys pada anak pertamanya itu. Raynald Setyawardhana, anak pertama Gladys dan Keenan itu baru saja melangsungkan kelulusannya di bangku SMA. Walau sebenarnya Raynald berstatus anak angkat, tapi Keenan tak keberatan untuk memberikan nama keluarganya pada Raynald. “Terima kasih, Ma,” balas Raynald. Kemudian dia melihat ke arah ayahnya yang sedang berdiri di samping ibunya. “Hebat. Terima kasih sudah terus berusaha untuk menjadi yang terbaik,” puji Keenan pada Raynald. Gladys dan Keenan benar-benar menyanyangi Raynald seperti anak mereka sendiri. Karena bagaimanapun juga, mereka bisa merasakan perasaan terbuang seperti apa. Jadi, sebisa mungkin mereka selalu memberikan kasih sayang pada Raynald. Mereka pun sengaja tidak memberitahukan siapa Raynald sebenarnya. Karena mereka tidak ingin kehilangan anak laki-lakinya itu. “Rayna ke mana?” tanya Raynald.
“Neng Gladys!” panggil Bi Iyah. Gladys yang sedang membaca buku itu pun menoleh ka arah belakang. “Kenapa, Bi?” tanya Gladys. Bi Iyah menghampiri Gladys. Wajahnya itu terlihat sedang kebingungan. “Neng, ikut dulu sama Bibi, yuk!” pintanya. Tak ingin banyak bertanya, Gladys menutup buku dan menyimpannya di atas meja. Kemudian dia beranjak dan mengikuti Bi Iyah. Mereka keluar rumah dan menuju pos penjaga. “Ada apa?” tanya Gladys lagi. Bi Iyah memberikan kode pada dua orang penjaga. Para penjaga itu juga nampak kebingungan. “Ja-jadi gini, Bu,” ucap seorang penjaga yang bernama Beni. “Tadi saya menemukan ini di depan gerbang.” Beni memperlihatkan sebuah keranjang yang sedari tadi dia sembunyikan di belakang badannya. Gladys mengerutkan alisnya. Kemudian dia melangkah dan mendekat untuk melihat isi dari keranjang itu. Terlihat ada kain yang membungkus sesuatu. Saat Gladys mencoba menyingkap sebagian kain itu, matanya seketik
“ Gladys,” panggil Keenan.Gladys yang sedang melakukan perawatan malam pada wajahnya itu langsung menoleh ke arah Keenan. Suaminya itu sedang menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur sembari memegang tablet miliknya.“Kenapa?” tanya Gladys.“Kalau udah selesai ke sini. Ada yang ingin aku bicarakan,” ucapnya dengan nada serius.Gladys mengangukkan kepalanya, lalu dia segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, Gladys langsung menghampiri Keenan, dan duduk bersandar di samping sang suami.“Ada apa?” tanya Gladys. Dia melihat keseriusan dari wajah laki-laki itu.Keenan langsung mendekatkan dirinya pada Gladys. Kemudian melingkarkan tangannya pada perut sang istri. Memeluk Gladys dengan penuh kehangatan.“Kalau aku minta kamu berhenti kerja, gimana?” tanya Keenan pada istrinya itu.Gladys langsung menoleh ke arah Keenan dengan eskpresi terkejut. “Loh, ke
WARNING CONTENT!Harap bijak dalam membaca~Happy reading~***Melihat Gladys benar-benar ketakutan, Keenan tiba-tiba tertawa. “Hahaha. Kamu masih takut?” tanya Keenan. Dia memundurkan sedikit tubuhnya.Gladys hanya diam, dia merasa bingung. Tidak boleh lega dulu, karena Keenan sering sekali berubah suasana hati.Keenan melirik ke arah Gladys yang masih terlihat tegang. Dia kemudian tertawa lagi, sungguh lucu sekali wajah ketakutan istrinya itu. Kemudian dia langsung mengelus puncak kepala Gladys.“Nggak, Sayang. Aku cuman bercanda. Aku sekarang udah nggak mau melakukan hal itu sama kamu,” ucap Keenan.“Bercanda?” tanya Gladys. Dia masih mencoba meyakinkan dirinya terlebih dahulu.Anggukkan kecil menjadi jawaban dari Keenan untuk pertanyaan Gladys. “Iya, bercanda. Aku nggak akan pecat Reza atau menghukum kamu. Aku cuman bercanda,” terangnya.“Bene
“Kenapa kamu repot-repot bawa aku ke sini, sih?” tanya Gladys. Kini Gladys dan Keenan sedang duduk di teras hotel yang mereka tempati. Sembari menikmati sunrise di Maladewa.“Kenapa memangnya?” tanya Keenan. Dia sedang mengalungkan tangannya di pundak Gladys. Duduk di belakang istrinya sembari memeluknya lembut.“Maksudnya Bali juga sudah cukup. Kita nggak usah jauh-jauh ke sini,” ucap Gladys.Keenan menggeleng. “Aku bosen sama Bali, Sayang. Sekali-kali kita main-main di luar negeri tidak masalah, kan?” Keenan meletakkan dagunya di pundak Gladys.Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Aku jadi nggak enak. Padahal kerjaanmu lagi banyak banget.”“Ssst! Jangan bilang begitu. Sudah jadi kewajibanku buat membahagiakanmu. Apa pun pasti aku lakukan, Gladys. Dan aku juga ingin menebus semua kesalahanku padamu.”“Ssst!” Gladys menempelkan telunjuknya pada bibir Keenan. &l
“Keenan, kalau kamu sibuk, nggak usah repot-repot harus ke luar negeri gini,” ucap Gladys. Dia sedang sibuk mengemas barang-barang pribadi miliknya dan Keenan ke dalam koper.Laki-laki itu mendekat pada istrinya. Kemudian dia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Gladys, memeluk sang istri dari belakang.“Aku nggak sibuk, Sayang. Lagi pula kita kan belum berbulan madu,” timpal Keenan. Laki-laki itu kini mengecup tengkuk Gladys.Seketika Gladys merasa geli dan menghentikkan aktivitasnya. Dia mencoba melepaskan pelukan Keenan dan kemudian berbalik menatap sang suami.“Kemarin, kan, di Bali udah. Lagian kita udah hampir setengah tahun menikah. Masa masih bahas bulan madu segala.”“Itu bukan bulan madu. Kemarin kita ke Bali sambil kerja. Sekarang aku cuman pengin berdua sama kamu. Nggak ada tuh mikirin yang namanya kerjaan.” Keenan mengusap pipi Gladys lembut.Satu bulan setelah mereka menikah
“Mama?” ucap Keenan. Sedetik kemudian Gladys pun dibuat terkejut dengan sosok perempuan yang sedang bersama Giselle. “Ibu?” katanya. “Halo, Keenan dan Gladys,” sapa Anita sambil tersenyum pada kedua anaknya itu. Buru-buru Keenan dan Gladys menghampiri wanita itu. “Mama sudah dengar, kalau selama ini Anita lah yang merawat Gladys. Terima kasih sekali lagi,” kata Giselle pada Anita. Jujur saja, sebenarnya dulu hubungan mereka tak berjalan baik. Bagaimanapun juga Giselle tak suka ketika dimadu oleh suaminya. “Sama-sama. Terima kasih sudah menjaga anakku juga.” Anita tersenyum dan menundukkan kepalanya. “Tapi kenapa Mama bisa di sini?” Keenan tiba-tiba menyela pembicaraan dua wanita itu. “Sejak kapan Mama Giselle tahu keberadaan Mama?” imbuhnya. “Mama tahu dari Excel, dia benar-benar menceritakan semuanya. Makanya Mama mencoba membawa Mamamu ke sini,” jawab Giselle. “Dan mulai hari ini Anita akan tinggal di sini bersama Mama.” Alis
“Sedang apa kalian di sini?” Seorang laki-laki bertanya dengan penuh rasa kecurigaan. Sontak Gladys mematung di hadapan laki-laki itu. Sedangkan Keenan dia berjalan dengan santai, lantas merangkul Gladys.“Sedang makan siang. Ya … ziarah. Untuk apa bertanya begitu?” timpal Keenan kesal.Laki-laki itu mendengus. “Tumben sekali. Biasanya kamu tidak peduli,” balasnya lagi.“Ngomong-omong, setelah kamu berziarah aku tunggu di tempat parkir. Ada yang harus aku bicarakan,” ucap Keenan. Kemudian dia berlalu meninggalkan laki-laki itu menuju parkiran.Ya! Keenan harus menyelesaikan juga masalah dengan Aidan. Rasanya dia juga harus meminta maaf, walau dia tidak mungkin untuk jujur pada laki-laki itu. Namun, dia harus meminta maaf atas kesalah pahamannya selama ini.Keenan dan Gladys menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian mata Keenan menatap sosok Aidan. Lalu dia keluar dari mobil dan menghampirinya.
Sesuai dengan rencana Keenan, pagi ini mereka berdua; Keenan dan Gladys pergi menuju tempat peristirahatan terakhir Andrean, Adrian, dan juga Nathan. Entah kenapa Gladys merasa senang, karena Keenan sudah menyadari kesalahannya. Untuk orang seperti Keenan, tentu itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi dan kalau bisa membuat syukuran.“Loh, kok? Bukannya kita mau ke makam Om Andrean?” tanya Gladys bingung. Pasalnya Keenan kini mengemudikan mobilnya ke arah yang berlawanan.“Udah diem aja. Aku yang pegang kemudi, kamu ikut aja,” timpal Keenan. Gladys pun terdiam, dia tiba-tiba memikirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Keenan berubah pikiran? Laki-laki seperti dia kan tidak bisa ditebak?Namun, saat mobil mereka memasuki sebuah jalanan kecil, Gladys mengerutkan keningnya. Dia mencoba mengintip dari jendela mobil. Jalanan kecil ini seperti akan membawa mereka ke sebuah tempat yang sepi.Benar saja mereka mendatangi sebuah tem