“Yaa, silakan benci aku untuk saat ini, tapi aku harap, besok, kalau kamu bangun, kita lupakan semuanya. Karena hubungan aku sama Raquel sudah berakhir jauuuh sebelum aku ketemu kamu.”
Saat Aya sudah merasa bisa menerima hubungan yang sempat terjadi antara suaminya dan Raquel dahulu kala. Sekarang, muncul hal baru yang membuat hati Aya teriris ngilu. Gadis itupun sampai ikut dapat merasakan sesak yang dirasakan oleh Raquel.
“Tapi caramu sama opa itu yang gak bisa aku terima, itu jahat, Yas, kalian kejam!” Aya bahkan langsung memunggungi Yasa karena tidak menduga kalau suaminya bisa berbuat seperti itu. “Kalian maksa Raquel untuk gugurin bayinya … itu anakmu Yas! Tapi kamu gak mau bertanggung jawab.”
“Karena aku gak menginginkannya, Ay.”
Aya bangit dari tidurnya dan terduduk dengan cepat. Emosinya tersulut seketika itu juga. “Bisa gitu, aku nikah sama cowok berengsek kayak kamu! Mau ngelakuin yang enak-enak tapi gak mau tanggung jawab cuma karena gak i
“Kalau dari yang opa lihat, kamu sama Yasa belum baikan.” Abraham sengaja mengirim supir ke kediaman Pras, untuk menjemput Aya makan siang bersama. Pagi tadi, saat bertemu Yasa di hotel, cucu kesayangan Abraham itu mengatakan kalau wajah Aya masih saja tertekuk dalam. Sang istri masih tidak bisa menerima, dengan semua perlakuan Abraham dan Yasa kepada Raquel. Aya hanya memutar-mutar garpunya pada spaghetti yang tersaji di piring. Masih tidak berminat untuk melahapnya. Tubuhnya memang berada bersama Abraham tengah makan siang, namun pikirannya pergi mengambang entah ke mana. “Yang Opa lakuin ke Raquel itu gak bisa dibenarkan.” pungkas Aya masih sibuk memilin-milin spaghettinya. Tidak menanggapi ucapan Aya, Abraham membelokkan sedikit topik pembicaraannya. “Sepertinya, kamu juga belum bicara tentang Astro.” Pergerakan tangan Aya yang memainkan garpu itu sontak terhenti. Meletakkan garpu di atas piring dan sudah tidak berminat lagi dengan makan s
Aya yang baru saja keluar dari kamar mandi sedikit terkejut. Sudah ada Yasa yang bergelimpang lelah di atas ranjang. Seharusnya, Yasa belum pulang dari hotel jam segini. Tapi suaminya itu, terlihat sudah bertelungkup dengan satu tangan masih sibuk memegang ponsel dan mengetikkan sesuatu. Yasa meletakkan ponselnya setelah selesai mengirimkan sederet chat kepada rekan kerjanya. Kemudian berbalik telentang, mendapati punggung Aya yang menghilang di balik walk in closet. “Sayaang …” panggilnya masih enggan untuk beranjak dari posisi rebahannya. “Marahnya udahan yaa! Gak baik buat anakku yang ada di dalem perut. Entar kalau yang lahir cewek, terus ngambekan kayak kamu kan papanya yang susah.” Ini ngajak baikan atau berantem sih sebenarnya? Aya keluar dengan menggunakan kaos Yasa yang tampak kebesaran. Tidak bermaksud menggoda, tapi ia tidak tertarik sama sekali untuk memakai pakaiannya sendiri, ketika berada di rumah. Dan itu terjadi baru-baru ini saja.
“Yas …” Aya menggoyang-goyangkan tubuh Yasa karena belum juga bisa terlelap sedari tadi. “Yasa …” Banyak pikiran yang menggantung di benaknya, dan Aya masih saja belum bisa menerima semuanya. “Yasa banguuun.” Dengan berat, satu kelopak mata Yasa terangkat tipis. Menyipit melihat lampu tidur yang berada di nakas di sisi sang istri. Ia hanya menggumam setelah itu. “Aku gak bisa tidur.” Ucapan sang istri itu bak alarm ampuh yang mampu membuka kelopak matanya dengan lebar. “Ada yang sakit?” berusaha bangkit di tengah kantuknya dan menyalakan lampu tidur yang berada di sisinya. “Laper? Apa gimana?” tanyanya khawatir namun masih sempat menguap sejenak. “Raquel!” “Oh gosh! Cahayaaa …” geramnya begitu gemas. Jika tidak mengingat Aya tengah hamil, Yasa mungkin sudah melampiaskan seluruh emosinya dengan membuat sang istri menjeritkan namanya semalaman. “Mau sampai kapan kamu kayak gini, Ay?” “Tapi, aku benar-benar gak bisa tidur.
Tubuh Astro terhuyung mundur beberapa langkah dari pintu apartemennya. Belum juga mulutnya terbuka untuk menyapa Yasa, tapi pria itu langsung memberi pukulan keras pada wajah sang pengacara yang masih tampak mengantuk. Sedikit darah segar mengucur dari hidungnya. Yasa beringsut masuk lebih dalam lagi, menyeret tubuh Astro dan kembali melayangkan sebuah pukulan. Namun kali tepat tertuju pada ulu hati pria itu. Tepat ketika Astro mengerang tertunduk, pria itu menerjang Yasa. Menubrukkan tubuhnya, mendorong Yasa hingga jatuh terjengkang. Hal itu dimanfaatkan Astro untuk menegakkan tubuh, mengusap hidungnya lalu memasang kuda-kuda. Ia mengambil jarak, mengambil napas sekaligus Waspada. “Kamu mabuk, Yas?” tanya Astro sedikit berteriak. “Bangun!” Yasa bangkit sembari berdecih. “Selama ini aku hormat dan segan sama kamu, Bang! Tapi begitu kelakuanmu di belakang!” “Bicara yang jelas!” “Kamu sudah perkosa Aya!” Kedua tangan yang
“Dihabisin makanannya ya.” ucap Sinar sembari mengusap lembut puncak kepala putrinya. “Jaga kesehatan, ingat sekarang ada nyawa lain yang ada di sini.” tangannya lalu turun mengusap perut Aya. Aya yang sudah eneg makan makanan rumah sakit itu hanya mengangguk. Menatap sang suami yang masih tertidur di sofa. Sedangkan Asa, sudah pergi sejak tadi karena harus bersiap berangkat kerja. “Bunda habis ini pulang dulu, tunggu Yasa bangun.” “Kenapa gak bareng aja pulangnya, aku sudah gak papa. Kepalaku sudah gak sakit.” “Kamu ada jadwal CT scan, kepalamu itu harus diperiksa.” Enggan membantah, Aya hanya mengiyakan saja ucapan sang bunda. Sibuk menghabiskan sarapannya sampai tidak bersisa, agar sang bunda tercintanya itu tidak kembali melancarkan ceramah panjang lebarnya. Pagi ini, saat Aya terbangun dari tidurnya, ia sudah mengingat semuanya. Bagaimana pertemuannya dengan Yasa, sikap dingin pria itu dahulu kala, penghinaan yang pernah ditorehka
“Pergi!” Aya memilih lebih dulu membuka mulutnya untuk mengusir Yasa, ketika Tara dan seorang perawat yang memeriksanya telah keluar dari ruangan. Aya hanya ingin tenang, dan tidak ingin bersitegang dengan semua masalah yang disebabkan oleh Astro. “Aku udah gak mau ribut lagi.” Tatapan keduanya sangat dingin, tidak ada kehangatan yang tersisa di sana. Yasa memegang pipi kirinya yang sudah ditampar oleh Aya beberapa saat yang lalu. Ini kedua kalinya, ia merasakan tamparan keras dari tangan wanita yang kali ini sudah menjadi istrinya. “Bagaimana perasaanmu sama aku, Ay?” tanyanya tiba-tiba. “Apa kamu masih bisa percaya meskipun kali ini aku ngomong jujur ke kamu?” Lagi, Yasa terdiam. Sejujurnya ia sangsi bisa mempercayai ucapan istrinya jika Aya sendiri belum terbuka kepadanya. “Pergilah, Yas. Dari mukamu aja aku udah tahu jawabannya.” Aya memilih menarik selimunya sebatas dada lalu memunggungi Yasa yang masih duduk di sa
Sinar benar-benar membuat dirinya sibuk hari ini. Ia harus bertemu Janus, juga bertemu Lex untuk memastikan semua rencananya. Sikap Astro kali ini sudah sangat keterlaluan. Tidak hanya membuat hubungan putrinya renggang dengan Bintang. Sekarang, Astro juga membuat Yasa dan Aya terhimpit sebuah kesalahpahaman yang akan Sinar selesaikan secepatnya. Kemudian sore harinya, Sinar memanggil Akhil dan Arsya untuk membicarakan semua rencananya. “Kenapa harus seperti itu, Bund?” Akhil lebih dulu mengeluarkan argumennya atas semua penjelasan Sinar. “Bagaimana dengan papi?” “Masih ada bunda dan Rendra di sini, jadi kalian gak usah risau masalah papi.” terang Sinar. “Semua biar bunda yang handle. Bunda hanya tinggal menunggu keputusan kalian. Tinggal pilih, London, Singapur atau Swiss. Yang jelas, kalau di London kalian gak akan punya keluarga di sana, hanya ada orang kepercayaan opa yang mengurus cabang perusahaan.” Akhil dan Arsya saling melempar pandan
“Aku cukup terkejut, saat kamu menghubungiku dan meminta bertemu dengan tiba-tiba seperti ini. Apa ada masalah dengan Zamaryn?” Setelah berbicara panjang lebar dengan Elo dan Asa. Kini giliran Abraham yang ditemui oleh Sinar. Pria tua itu ada di rumahnya. Karena tidak ingin merepotkan, Sinar langsung datang ke kediaman Abraham untuk menemuinya. Sinar menyodorkan sebuah amplop cokelat di meja kaca dengan sopan dan memasang senyum yang sedari tadi terus saja ia sematkan, di wajah yang masih terlihat sangat cantik itu. “Ini semua, adalah dokumen penting milik Zamaryn, silakan bapak simpan karena mulai hari ini, saya sudah benar-benar melepas Zamaryn pada A-Way.” Tatapan Abraham berubah tajam, hanya melihat amplop yang tergeletak di meja tanpa berniat untuk menyentuh dan membuka untuk melihat isinya. Bersamaan dengan hal tersebut. Abraham menerima telepon dari seseorang dan berbicara sebentar dengan singkat. “Ada apa dengan keluarga kalian, Nar?”
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &