"Bapake, Ibune, Sania. Assalamu'alaikum." Aku berteriak lantang di depan rumah.Ketiga orang terkasihku langsung keluar. Kami berpelukan sambil jingkrak-jingkrak. Aru yang sudah mematikan dan memarkir motornya pun mendekati kami berempat serta ikut dalam acara pelukan massal."Sida mbalik?" (Jadi pulang?)"Jadi Pak. Eman-eman, seminggu loh."Kami masih berpelukan massal hingga sebuah mobil terlihat masuk ke gerbang rumah paling besar di kawasan RT 5 RW 3 dan rumah besar itu terletak di depan rumahku terhalang satu rumah ke barat. Jadi rumah Dokter Abizar dan rumahku berseberangan tetapi tidak persis berhadapan.Aku menghentikan aksi pelukan massal dan menuju ke gerbang rumahku yang dipagari tanaman tetean (tanaman pagar kalau bahasa Indonesianya).Senyum manis kuulas pada sosok yang baru keluar dari mobil. Aku bahkan sengaja melambaikan tangan yang dibalas oleh Pak Andro dengan tatapan tajam."Siapa?" Bapak menghampiriku dan menatap ke halaman rumah Dokter Abi."Bosku, Pak. Ternyata
Sesuai janji kami, akhirnya aku dan BIP menghabiskan waktu bersama di rumah dinas yang ditempati BIP. Sebenarnya, BIP berniat tidur di rumahku tapi BIP kan bidan desa jadi sebentar-sebentar ada ibu-ibu hamil yang bertandang untuk periksa atau ibu-ibu mau suntik KB. Jadilah, aku yang mengungsikan diri ke rumah dinasnya."Wah, jadi kamu capek ya BIP." Akhirnya kami bisa besantai setelah pukul sepuluh malam."Ho'oh tapi kan aku senang dengan pekerjaanku jadi ya begitu deh."Kami terus bercerita sambil menonton TV dan memakan camilan."Kerjaanmu gimana?""Alhamdulillah, aku lagi diskorsing gara-gara tindakan anarkis sama OG lain.""Hahaha. Coba dulu kamu gituin juga si Mona, seneng aku.""Males. Kasihan tanganku harus terkotori sama uler keket licik macem dia.""Iya, sih. Bapak bilang dia udah hamil tapi bukan anak si Ari. Ari kan habis nikahi Mona langsung kabur ke Sumatera."Aku hanya tersenyum sinis. Ck, dasar cowok plin plan. Dulunya mudah terbawa emosi gara-gara gosip murahan. Merasa
"Ndak usah bantuin bapak, ya ora papa, Nduk.""Kania bosen. Lagian ya Pak, masa Kania tega lihat Bapak lagi capek, Kania ongkang-ongkang kaki atau rebahan.""Ya wis. Tapi kalau capek istirahat loh.""Nggih, Bapak."Aku sedang membantu Bapak menjemur padi di depan rumah. Pakaian yang kugunakan tentu saja kaos panjang, celana panjang, kerudung, penutup mulut alias masker dan juga caping alias penutup kepala dari anyaman bambu.Sesekali, aku dan Bapak mengorek-orek padi dengan suatu alat yang terbuat dari kayu yang menyerupai garpu. Selain itu terkadang aku dan bapak mengambil batang padi yang terbawa atau menaruh padi yang bercampur batang atau daun padi dalam tampah dan mulai memutarnya untuk membersikan padi dari kotoran. Istilahnya 'napeni'. Dua hari ini aku gak ketemu sama BIP atau pun tetangga BIP dan sahabatnya itu. BIP lagi sibuk dan sepertinya dua pria cool bin nyebelin juga lagi sibuk. Seperti diriku yang sibuk menjemur padi. "Kania." Sebuah suara memanggilku saat aku sedang
Aku sedang membantu ibuku berjualan di toko kelontongnya. Alhamdulilah, meski masih kecil tapi sudah lumayan isinya dan pelanggan ibu juga sudah lumayan banyak. Aku bersyukur setelah beberapa tahun lalu keluarga kami didera cobaan berat, akhirnya kini kehidupan kami sekeluarga mulai tertata. Meski jauh dari kata berlebih tapi cukup."Ini, Bu. Kembaliannya.""Makasih Mbak Nia.""Sama-sama.""Permisi.""Monggo."Itu adalah pelanggan kesekian yang belanja di toko Ibu. Setelah pelanggan itu pergi, toko Ibu terlihat sepi pun toko-toko di sekitar toko kami. Maklumlah. Ibu kan jualan di pasar desa yang hanya buka dari jam enam pagi sampai mentok jam sepuluh. Meski pasar desa tapi pasar Suka Manja ini termasuk ramai. Soalnya, harga sayur mayur di pasar ini sangat murah. Rata-rata penjualnya adalah petani asli. Makanya kadang ada pembeli dari kota yang sengaja membeli dalam jumlah banyak untuk dijual lagi di pasar lain yang lebih besar."Nanti malam jadi pulang?""Jadi dong.""Naik travel lagi
Aku menatap penuh minat pada lelaki tampan yang kini duduk di depan Bapak. Sesekali dia tertawa bersama Bapak dan Ibu. Ada saja yang dia bicarakan bersama kedua orang tuaku. Kecuali satu, melamarku. Jiah! Itu sih karepku bukan karepnya.“Nak Andro asli Jakarta?”“Iya, Pak. Tapi kata Papah, buyutnya Papah itu keturunan Chinese dan Palembang. Kalau Mamah Asli Solo.”“Oooo.”“Sering ke Solo?”“Jarang, soalnya orang tua Mamah sudah meninggal semua. Beliau juga anak tunggal. Sementara keluarga Solo juga sudah banyak yang merantau di Jakarta dan Jawa Barat. Makanya jarang ke Jawa.”“Oooo.”Mereka terus saja mengobrol, sementara aku hanya diam, duduk di kursi paling pojok setelah mengantarkan soto yang dibeli Pak Andro ke rumah BIP dan Bu Risa. Sementara yang beliin masih asik ngobrol sama ngopi bersama Bapak.“Maafin Kania ya Nak kalau selama bekerja, anaknya sering nyusahin Nak Andro. Kania itu ya begitulah adanya. Tapi meski begitu, Bapak bangga sama dia. Anaknya gak pernah ngeluh, gak pe
Beberapa kali aku mencubit pipiku. Sakit. Ternyata aku masih berada di bumi manusia bukan di dunia perhaluan. Bahkan sesekali memegang dada kiriku guna memastikan jantungku masih berdebar dan aku masih hidup.“Kenapa?”“Yah.” Aku menoleh ke laki-laki di samping kananku.“Kamu kenapa? Sakit?”“Oh, enggak.”Lelaki di sampingku kembali diam dan fokus menyetir sementara aku, masih sibuk menormalkan debaran di dada.Sejak tadi pagi, lelaki di sampingku memang aneh. Dari mulai tiba-tiba kami berada di toko oleh-oleh yang sama, kedatangan Pak Gito, dia naik motorku untuk makan bareng, belanja batik bareng, mengantarku pulang, hingga ngobrol dengan Bapak Ibuku hingga berujung pada tawaran pulang bareng. Dan itu disetujui oleh Bapak dan Ibu. Ibu bahkan dengan antusias menyiapkan beberapa jajanan atau makanan kering seperti kerupuk mireng, karag, manggleng, oyek dan semua olahan dari singkong yang ada di rumah, dibawakan ibu dan ditaruh di jok tengah. Bagasi sendiri sudah penuh dengan jajanan
Teriakan dari Gita dan kawan-kawan menyambut kedatangaku kembali di pantry. Aku memeluk para wanita dan bersalaman dengan para pria.“Mudik bukannya tambah cantik kok malah jadi item gini? Gosong.”“Maklum, Ta. Aku habis bantu jemur padi. Nanti deh habis gajian aku beli skincare sama hand body yang bikin kulit langsung putih kinclong seketika.”“Hahaha. Bisa aja kamu. Eh, bawa jajanan gak?”“Pasti dong, Sya. Bentar ya, aku taruh di meja dulu.”“Yey.”“Hore.”“Asik.”Aku pun membagi jajanan yang kubawa dari rumah dengan sama rata dan adil. Bahkan beberapa karyawan lain yang kukenal pun ikutan minta. Salah satunya Mbak Mita, seorang staff di bagian keuangan.Selesai membagi-bagikan jajanan, aku dan Ido langsung meluncur ke lantai enam. Pertama kami membersihkan setiap ruangan jajaran petinggi MJS selanjutnya bagian luar menjadi tempat terakhir yang kami bersihkan. Aku mengelap kaca sementara Ido menyapu. Sambil bekerja kami terus bercerita.“Tahu gak, Kania.”“Apa?”“Sandra sama Andi ke
Aku baru saja selesai absen. Karena tadi pekerjaan di lantai enam sedang banyak sekali makanya aku termasuk yang pulang telat. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Untung tempat kostku dekat. Segera saja mencangklong tas lalu berjalan menuju keluar gedung. Pada pak satpam kuulas senyum ramah seperti biasa. Dengan langkah lebar aku segera menuju ke kostan. Namun sebelum sampai di gang menuju kost. Aku dihadang oleh Sandra dan Deswita. Tanpa aba-aba keduanya langsung menyerangku.“Dasar pelakor.”Plak! Plak!“Aw. Sakit!”Dengan membabi-buta Deswita dan Sandra menjambak bahkan menampar pipiku. Aku tak membalas karena teringat ada jambang bayi di perut Deswita. Beruntung teriakanku didengar oleh orang yang berlalu lalang. Hingga aku diselamatkan dari amukan dua ulet keket yang lagi ngamuk.Deswita dan Sandra terus mengataiku dengan sebutan pelakor lah, tukang rebut suami orang lah. Dan tentu saja kubalas perkataan mereka.“Eh, Deswita. Kamu lihat aku umpetin Aryo apa enggak? Kalau ma
Aku berlari sekuat tenaga dari parkiran menuju ke halaman sekolah tempat lima bus pariwisata sedang bertengger. Astaga! Benar-benar dah. Untung aku ini emak-emak strong, kalau enggak. Duh!"Pak, Pak, Pak. Bentar jangan ditutup!" teriakku pada bapak-bapak yang akan menutup pintu bus."Mamake!"Seorang gadis berusia tujuh belas tahun akhirnya turun. Dia segera memelukku dengan sangat erat seakan kami baru saja tak berjumpa setelah berpisah sekian lama. Padahal baru juga beberapa jam gak ketemu."Kamu ini ya Mbak, kan mamake uwis ngomong dicek dulu barang-barangnya. Kalau lupa gak jadi plesir kamu!""Hehehe." Si gadis remaja cantik duplikatku hanya cengengesan saja. Dia pun mencium tanganku, bercipika-cipiki lalu segera masuk menuju ke dalam bus. Aku dadah-dadah dan dibalas hal yang sama oleh Lyra. Pada Pak Kernet bus dan guru-guru yang ada di dalam bus aku mengangguk sopan.Selesai dengan urusan Lyra yang mau berangkat studi wisata ke Bromo, aku segera menuju ke tempat putri bungsuku yan
*Kania*Menjalani kehidupan baruku sebagai istri dari seorang Andromeda Bagaskara itu benar-benar menyenangkan sekali. Setelah menjadi istrinya, otomatis aku dipecat dari MJS. Aslinya aku tetap ingin bekerja di sana, tetapi Mas Andro gak mau. Saat aku bertanya apa dia malu punya istri seorang OG? Jawaban yang kuterima sungguh luar biasa saudara-saudara."Mas gak peduli sama status kamu dan pekerjaan kamu. Penting kamu jangan zina sama berbuat buruk, gak baik. Kalau kamu mau kerja atau kuliah lagi, oke gak masalah penting kamu jangan jadi OG lagi di MJS, bekerja satu atap sama mas.""Kenapa aku gak boleh kerja satu atap sama Mas Andro?" cecarku."Kenapa? Apa Mas Andro takut aku ngerecokin pekerjaan Mas? Takut Mas gak bisa selingkuh gitu?" Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan."Astaghfirullah, kamu pikir mas sejahat itu. Insya Allah mas tipe setia.""Terus kenapa kita gak boleh kerja satu atap?" tanyaku dengan mimik muka memelas.Mas Andro mengembuskan napasnya dalam lalu menata
*Andromeda Bagaskara*Gadis cilik itu terus saja menangis dengan sesenggukan. Sesekali dia mengelap air mata dan ingusnya yang ikut keluar. Aku mengulurkan sapu tanganku padanya.“Bajumu udah kotor, udah gak bisa lagi nampung ingus. Nih, pakai punyanya Mas.”“Makasih, Mas Ando.”“Andro!”“Ando?”“Andro! Udah tujuh tahun masih belum bisa bilang ‘R’.”Gadis itu hanya bersungut-sungut lalu mengeluarkan ingusnya lagi dengan sapu tanganku.“Nih.” Dita kecil menyerahkan sapu tangan padaku.“Jorok, cuci dulu baru balikin sama mas.”“Oke.”“Mau pulang?”Dita menggeleng. “Mau nunggu Bapak sama Ibu saja.”“Oooo.”“Mas Ando gak balik ke pesta?”“Malas, udah aku usir semua orang sama Juwita juga.”“Kasihan Mbak Juwi, Mas Ando kok galak.”“Kamu jangan polos gitu dong, kalau dijahatin balas, kalau gak bisa marah-marah ya pakai aksi gila kek, gokil kek. Pokoknya lawan. Ngerti?!”Dita mengangguk lalu tersenyum. Melihat senyumnya, aku pun ikutan tersenyum. Aneh memang, tapi aku yang kini berusia dua b
Aku menselonjorkan kedua kakiku di atas kasur. Pegel. Ternyata nikah itu capek juga. Padahal cuma berdiri di atas pelaminan, memasang senyum dan menyalami tamu doang tapi ternyata bikin capek.Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan atensiku dari rasa capek. Aku tersenyum pada Mas Suami yang dibalas dengan senyum juga.“Capek ya Mas?”“Iya.”“Mandi dulu sana.”Mas Andro menurut dan langsung menuju ke kamar mandi dalam. Aku terkekeh geli saat kembali sadar kalau Mas Andro begitu perhitungan saat merehab rumah Bapak. Selain didesain sedemikian rupa, rupanya dia menambahkan kamar mandi dalam, khusus di kamarku dan kamar kedua orang tuaku. Ckckck. Pintar-pintar.Sebagai hadiah buat si pintar, aku harus menyiapakan diri. Segera saja aku mengganti daster rumahan dengan gaun tipis menerawang yang kubeli bersama Ara. Kemudian kuolesi wajahku dengan bedak tipis-tipis lalu menggunakan lipstick warna terang biar semakin menantang buat disosor. Rambut pun kusisir rapi. Dan terakhir menyemprotk
Hari pernikahanku pun tiba. Keluarga Tante Laras banyak yang datang. Sementara dari Om Andreas ada beberapa. Kakek Ahsan pun datang.Keharuan terjadi saat Kakek Ahsan bertemu dengan Bapak. Keduanya berpelukan dan tangis-tangisan membuat semua orang yang melihat sampai menitikan air mata. “Gak nyangka beneran nikah sama Pak Manajer, loh.” Aku kaget karena sempat melamunkan adegan pertemuan Bapak dan Kakek Ahsan. Senyum kuulas pada BIP yang baru datang.“Namanya juga jodoh. Mungkin habis ini kamu sama Dokter ACDC yang nyusul.” Aku mencoba bijak.BIP sama sekali tak berkomentar, tapi aku bisa melihat ada semburat warna merah di pipinya. Ckckck, pasti deh ada apa-apa antara BIP sama Pak Dokter. Aih jadi gak sabar drama apa yang bakalan terjadi sama si dua manusia yang hidup bertetangga itu. Moga-moga sih akhir kisah keduanya happy ending kayak aku.“Kania, ayok keluar. Ijab kabulnya mau dimulai.”Aku mengangguk pada Ibu. Ibu menuntunku menuju ke ruang depan yang sudah disetting untuk te
Hari ini, Pak Andro sekeluarga akan mengunjungi rumahku di Banyumas. Aku sudah bilang pada kedua orang tuaku. Dan ketika sampai di sana, kedua lelaki paruh baya hanya saling menatap sambil menitikan air mata. Lalu mereka saling berangkulan dan menangis penuh haru. Aku yang masih bingung bagaimana bisa ada scene menangis antara Bapak dan Om Andreas makin dibuat bingung ketika ibuku berteriak heboh dan langsung cipika-cipiki dengan Tante Laras. Semakin melongo dong akunya. “Apa kamu gak paham artinya?” Mas Andro menghampiriku lalu melingkarkan tangannya pada bahuku. “Enggak.”“Ck. Kadang kamu telmi.”“Terlalu minis!”“Dan absurd.”“Abis sun radius dekat mulut.”Mas Andro hanya bisa geleng-geleng kepala. Kasihan sekali dia, bisa ketemu cewek aneh kayak aku.“Stres tahu ngomong sama kamu.”“Terus ngapain dipacarin?”“Habis antik.”Kami pun tertawa. Begitulah kami. Kalau ngobrol kadang gak nyambung tapi gak nyangka udah pacaran hampir enam bulan. Meski masih banyak netijen nyinyir yang g
Tok. Tok. Tok.“Masuk.”Dengan hati-hati aku membawa minuman menuju ruangan Mas Andro.“Permisi, Pak.”“Hem.”Mas Andro seperti biasa hanya berdehem dan fokus dengan laptopnya. Aku pun menaruh secangkir kopi dan botol air mineral di mejanya. Meski kami pacaran, tapi kalau di kantor kita tetap professional. Aku selalu memanggilnya ‘pak’ selama jam kerja. Kalau sudah selesai baru kupanggil ‘Mas Pacar’. Hehehe.“Permisi, Pak.” Segera kubalikkan tubuhku hendak keluar ruangan.“Kania.”“Ya.” Refleks kubalikkan tubuhku dan menatap ke arah Mas Andro.“Tolong rapikan rak buku saya.”“Oh, iya Pak.”Aku pun segera menuju ke rak buku milik Mas Andro. Mataku melotot, mulutku menganga melihat rak buku di ruangan Mas Andro terlihat luar biasa berantakan. Aneh, perasaan tadi pagi masih rapi. Kulirik Mas Andro yang masih asik dengan laptopnya. Ckckck, rupanya mas pacar lagi modus guys. Dia pengin berduaan tapi sama orang lain pengennya terlihat professional. Jiah, dasar!“Saya tahu saya itu tampan, t
Hampir dua bulan aku menjadi pacar Pak Manajer dan tetap menjadi OG di MJS. Tugas OG pun selalu kulakukan dengan baik. Bisik-bisik gunjingan maupun tatapan sinis padaku perlahan menghilang seiring berjalannya waktu. Mungkin para jomblowati akhirnya lelah. Mau nyinyirin, gosipin bahkan menjadi sosok Lampir yang suka perintah-perintah sambil ngegas kayak Mbak Wina gak bisa merubah realita kalau mereka tetap gak bisa bikin aku sama Mas Pacar putus. Yang ada mereka capek sendiri.Godain Papan Datar yang lempeng-peng gak ada guratan malah seringnya dapat bentakan sampai hukuman lama-lama bikin para calon penikung capek kayaknya. Ditambah lagi ngadepin aku si OG sedikit kurang waras yang dikira mudah ditindas malah bikin mereka jadi darah tinggi. Karena aku selalu menghadapi kejulitan netijen dengan senyum maut, tingkah absurd plus kibas rambut yang sekarang jarang kucel apalagi ketombean. Maklum kan udah punya Mas Pacar ganteng, jadi harus jaga diri sama penampilan dong ya.Ah, jangan lupa
Dua rengkuhan mampir di kanan kiriku membuatku sedikit kaget.“Lah, kok pada tumben meluknya barengan?”“Selamat ya Sayang.”“Selamat ya Mbak.”“Selamat buat apa ya? Buat ultahnya Kania apa karena Kania naik pangkat?”“Naik pangkatlah?”“Ciyus?”“Ciyus dong.”“Emang kalau OG naik pangkat jadi apa? Kepala pantry kan biasanya cowok?”“Calon istri.” Kompak Tante Laras dan Mbak Ara. Dan pernyataan mereka membuatku melongo.Hop. “Tutup Mbak ntar ngeces.” Mbak Ara sengaja menekan daguku.“Ish, dengar ya Mbak. Kania walau suka ngeces gini banyak yang demen loh.” Seperti biasa aku mengibaskan rambut panjangku.“Ya iyalah, buktinya mamasku yang so cool-nya macem papan datar bisa tertawan. Sampai kayak orang gila saking frustasinya gak bisa baikan sama OG idaman. Untung Ara itu adek yang perhatian. Hahaha.”“Hah? Maksudnya?”“Udah ah, yuk masuk.”Mbak Ara dan Tante Laras langsung menggamit lengan kanan-kiriku. Mereka membawaku berjalan bersama menuju lift. Aksi kami tentu saja diketahui oleh be