"Ya ... dulu gue kepaksa nikah sama dia!"
Dante dan Yosi diam menyimak, mereka mengeluarkan isian plastik yang mereka bawa tadi. Ada sate kenyil, bakso bakar, salad buah, kebab dan beberapa jajanan yang dulu selalu mereka beli ketika kumpul bersama, ya ... sebelum kemudian Selly mendadak menikah dengan dokter bedah itu.
"Gue bahkan bikin perjanjian sama dia kalau dia harus cerein gue ketika nanti Gilbert berumur dua tahun dan sudah lepas ASI."
"APA?!" Dante dan Yosi kompak berteriak sambil melotot, perjanjian macam apa itu? Selly minta diceraikan? Kenapa malah pilih jadi janda sih? Suaminya itu kurang apa? Ganteng iya, kaya iya juga, jangan lupa dia sudah dokter spesialis!
Selly hanya tersenyum sambil mengangguk pelan, kemudian meraih satu dari tiga plastik berisi sate kenyil itu. Memakan jajanan kesukaannya semenjak ia pre-klinik dulu.
"Lu gila, Sel? Terus nasib anak elu gimana?" tanya Dante tidak mengerti.
"Kan dulu, sekarang sudah b
"Masih sering terasa sakit?" Tanya Anggara yang tiba-tiba muncul dari pintu kamar mandi.Selly yang tengah memperhatikan bekas luka operasinya itu sontak terkejut dan menutup perutnya kembali. Anggara tersenyum, melangkah mendekati sang isteri kemudian memeluk Selly dari belakang, mengecup lembut puncak kepalanya dan tersenyum menatap bayangan mereka di cermin. Terlihat Selly tersenyum sambil memejamkan mata, seolah menikmati pelukan Anggara yang begitu hangat menjalar memenuhi kalbunya itu."Sudah siap balik koas besok pagi?" Bisik Anggara yang belum mau melepaskan diri."Sudah, berangkat sama-sama ya, atau aku perlu bawa mobil sendiri?" Selly menengadahkan kepalanya, menatap Anggara yang nampak begitu tenang memeluknya itu."Sama-sama lah, masa iya aku tega nyuruh isteriku berangkat sendiri? Nggak mungkin dong!" Anggara melepaskan pelukan mereka, menatap manik mata sang isteri yang begitu menggemaskan di matanya itu.Selly hanya terse
Anggara mematikan mesin mobilnya, melepas seat belt dan menatap sang isteri lekat-lekat. Hari ini Selly kembali aktif koas lagi. Ia sudah rapi dengan setelan scrub warna hijau dan snelli lengan pendeknya. Rambutnya diikat rapi, kini ia tidak hanya membawa tas berisi laptop dan beberapa buku wajibnya saja, melainkan juga ada cooler bag, pompa ASI dan perlengkapan lain yang begitu banyak pritilannya itu.“Kalau nanti ada suara-suara nggak enak, jangan dihiraukan ya, Sayang.”Selly tersenyum, ia mengangguk pelan. Tentu kembali koas itu artinya harus siap tebal kuping mendengar segala macam kejulidan para perawat dan sesama koas. Belum lagi ia koas di stase kebidanan, bukan? Dimana para bidan senior dan perawatnya kadang suka julid dan semena-mena pada koas perempuan good looking. Dan jangan lupa, Selly selain masuk kategori koas good looking, suaminya juga ganteng maksimal, pasti nanti akan banyak kejulidan yang akan Selly terima.“Kalau sek
Anggara mengeram begitu sosok itu keluar dari ruang praktek-nya. Kenapa harus dia dinas di sini? Kenapa dari sekian banyak pulau, jutaan rumah sakit yang tersebar di negara ini, harus rumah sakit ini tempat dia dinas?Samar-samar ingatan Anggara kembali pada masa-masa di mana dia masih menjalani pre-klinik di salah satu universitas negeri di Jakarta sana. Karena semua masalah yang terjadi antara dia dan perempuan yang tadi datang menemuinya, dimulai saat ia dan Nadya Anggranesia masih berjuang bergitu keras untuk bisa memperoleh gelar sarjana kedokteran mereka.Saat itu ..."Hai, kita sekelompok, jadi boleh gabung, kan?"Anggara mendongak, tampak manik hazel itu begitu lembut dan ramah menatapnya, membuat Anggara tersenyum dan mengangguk pelan. Ia bergegas menyingkirkan tas yang ia taruh di atas meja. Sudah ada tiga orang yang duduk berkumpul di depan Anggara, salah satunya gadis cantik berkulit kuning dengan mata hazel itu.Tak lama mereka sudah b
‘Cinta terkadang sangat sulit diungkapkan, dan ketika kita sudah mempunyai keberanian untuk mengatakannya, kadang kala waktu dan takdir tidak pernah memihak pada kita.’***Nadya bergegas turun dari mobilnya ketika ia sudah beres parkir di halaman parkir gedung rumah sakit tempat dia menjalani kepaniteraan klinik itu. Senyumnya mengembang sempurna, kemarin ia libur seharian. Dan seharian pula ia tidak bisa berjumpa dan bersama sosok yang selama ini selalu menghuni hatinya.Ia melangkah dengan begitu santai dan ringan menyusuri lorong rumah sakit, hingga kemudian ia menangkap sosok yang sejak tadi berada dalam pikirannya tengah melangkah bersama dengan seorang gadis yang memakai snelli lengan pendek yang sama dengan dirinya. Tampak mereka tertawa bersama-sama, membuat sebuah gelayar tidak suka menjalar di relung hati Nadya.Siapa dia?Nadya terus memperhatikan mereka, hingga kemudian gadis itu melangkah ke laboratrium forensik, sementara
Nadya melangkah hendak ke kantin, ia sontak menghentikan langkahnya ketika melihat sepasang sejoli itu duduk di salah satu meja yang ada di kantin. Nadya menatap nanar pemandangan itu dengan hati pedih, mereka tampak tengah menikmati makan siang sambil sesekali tertawa bersama-sama, tidak peduli dengan lalu lalang orang-orang yang ada di sekitar mereka, termasuk dengan sakit dan pedihnya hati Nadya, mereka sama sekali tidak peduli, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua.Nadya menghela nafas panjang, agaknya lebih baik ia pergi ke mini market guna memberi sandwich atau onigiri siap makan yang biasanya tersedia di kasir minimarket, daripada dia makan hati, lebih baik makan yang lain, bukan?Nadya melangkah pergi dari sana, berusaha menyembunyikan semua duka dan sakit yang ia rasakan. Matanya memanas. Pada akhirnya tiba juga saat di mana ia harus rela kehilangan sosok itu dari sisinya. Kehilangan tanpa pernah punya kesempatan untuk menyatakan perasaannya, perasa
“Apapun itu, selama kamu bahagia, aku juga akan bahagia. Sebuah prinsip cinta sejati yang sejatinya hanya melukai dan menghancurkan diri sendiri.”***Anggara hendak turun dari mobil ketika kemudian Toyota Yaris berwarna merah itu berhenti tidak jauh dari mobilnya. Anggara tahu betul mobil siapa itu, dulu sekali dia bahkan beberapa kali memegang kemudi mobil itu, membawa mobil dan sang pemilik ke tujuan yang hendak di tuju. Ya ... sudah beberapa tahun berlalu, tetapi semua seperti masih sama. Begitu juga dengan wanita pemilik mobil itu, dia masih sama.Wajahnya masih berkalang duka, Anggara ingat betul terakhir kali melihat sosok itu tersenyum begitu lepas dan tertawa riang adalah ketika dulu ia diminta tolong mengantarkan sosok itu membeli stetoskop baru, sebagai ganti stetoskopnya yang hilang di IGD.Kemudian, dia dan wanita itu sedikit berjarak semenjak kehadiran Diana dalam hidup Anggara. Anggara mencintai Diana,
Anggara menatap sang isteri dengan wajah cemas, menantikan apa tanggapan Selly setelah ia menceritakan semua yang terjadi di masa lalu antara dirinya dan dokter spesialis anestesi baru di rumah sakit mereka itu. Apakah Selly kemudian akan marah? Atau bagaimana tanggapan sang isteri perihal cerita masa lalu Anggara itu?“Seperti itu?” tanya Selly yang nampak meraih gelas tehnya, matanya kemudian menatap Anggara lekat-lekat.Anggara menghela nafas panjang, mengangguk perlahan dan meraih tangan sang isteri.“Kalau begitu, apa maksud kalimatnya yang mengatakan kamu menjilat ludahmu sendiri, Ko?” netra Selly beradu mentap sang suami yang sejak tadi tidak lepas pandangan dari wajahnya.Anggara menghela nafas panjang, ia menundukkan kepala, mencoba kembali pada masa di mana ia sedang diuji dengan begitu luar biasa oleh Tuhan, saat itu ....“Ko ... sakit ....,” rintih Diana yang sejak tadi tidak melepaskan tangan A
Anggara sampai tidak bisa lagi berkata-kata, usai sudah! Semuanya sudah usai dan selesai. Perjuangan Diana sudah usai. Ia sudah menang, perjuangannya sudah tuntas dan terbayar tunai. Tubuhnya yang tadi demam tinggi, mulai mendingin. Air matanya yang sejak beberapa saat yang lalu menitik, sudah surut dan tidak akan menitik lagi. Sakit yang tadi menyerang dan membelenggunya, kini sudah pergi dan tidak akan datang lagi. Ia sudah pergi dengan tenang.Anggara belum mau melepaskan genggaman tangan itu, belum mau pergi dari sisi Diana, belum mau menutupi tubuh sang isteri dengan kain yang sudah sebagian menutupi tubuh wanita itu.Tidak ... Anggara belum mampu, tidak!Tangis Anggara pecah, dia menangis tanpa Isak. Dadanya begitu sesak. Rasanya ia hancur, ia hancur melihat sang isteri harus berakhir seperti ini.Dia dokter, calon dokter spesialis. Namun kenapa ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika kemudian nyawa sang isteri dalam bidikan malaikat maut? Kenapa ia ti
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
āMama!ā Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. āDari mana, Sayang?ā tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. āDiajak Oma makan malam, Mama mau makan?ā Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, āBelum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.ā Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. āJahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?ā Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
āAku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?ā Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. āMa, titip isteri Anggara ya,ā pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. āJangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.ā Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. āKalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.ā Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba