Anggara sedikit terburu-buru melangkah pulang, selepas magrib nanti ia sudah harus ada di klinik dokter Anton guna memeriksakan kehamilan sang isteri. Tidak terasa kehamilan Selly sudhs masuk dua puluh delapan minggu, padahal ketika mereka menikah dulu, kehamilan Selly baru berusia sepuluh Minggu.
Rasanya ia benar-benar sudah tidak sabar menantikan bayi kecil itu lahir dari rahim sang isteri. Akan seperti apa anaknya nanti? Mirip Selly atau Anggara. Dan Anggara berharap USG kali ini bisa memperlihatkan jenis kelamin bayi mereka, mengingat bulan kemarin jenis kelamin bayi mereka belum terdeteksi karena tertutup kaki.
Kira-kira laki-laki atau perempuan? Tapi perasaan Anggara mengatakan bahwa janin sang isteri adalah berjenis kelamin laki-laki. Semoga saja intuisi Anggara benar, jadi anaknya sudah lengkap sepasang, meskipun ia masih ingin tambah anak lagi.
Sambil bersiul, Anggara membawa mobilnya kembali ke rumah. Pasti Felicia sudah tidak sabar bukan ingin ikut me
"PAPA KENAPA LAMA SE ...."Anggara dan Selly tersentak luar biasa, mereka melepaskan pagutan bibir mereka dan tertegun di tempat masing-masing, seperti di-frezze keterkejutan yang merupakan efek dari munculnya Felicia secara tiba-tiba di depan pintu kamar mereka.Gadis kecil itu, gadis lima tahun itu ... gadis itu memergoki sang mama dan papa sedang berciuman dengan begitu panas macam tadi? Astaga! Apa yang harus Anggara dan Selly jelaskan? Apa?"Papa, kan sudah Felis bilang kemarin, kalau belum mandi jangan pegang mama dulu, kenapa ini malah jadi cium mama sih? Mandi dulu sana kan dari rumah sakit!" cecar Felicia dengan bibir manyun dan mata melotot."Eh ... i-iya oke papa mandi dulu ya!" tanpa berkata-kata lagi, Anggara sontak bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Selly yang masih tertegun di tempatnya duduk dengan wajah memerah.'Mampus!'Rasanya Selly ingin memaki suaminya itu karena main langsung pergi begitu saj
Anggara baru saja sampai depan halaman rumahnya ketika suara ponsel itu terdengar begitu berisik, ia sontak merogoh sakunya dan mendapati panggilan dari rumah sakit. Sontak Anggara menghela nafas panjang, membuat Selly melirik sekilas dan tahu betul apa yang harus suaminya itu lakukan setelah ini."Cito?" tanya Selly yang paham apa arti panggilan itu."Sepertinya iya," Anggara tersenyum, kemudian mengangkat panggilan itu, "Hallo?"" ... ""Oke, saya kesana sekarang."TUTFelicia melonggok dari jok belakang, menatap sang papa dengan begitu serius."Cito ya?" tanya Felicia yang juga sudah hafal harus kemana setelah ini papanya itu pergi."Iya, Sayang. Maaf ya, papa izin ke rumah sakit dulu," Anggara tersenyum kecut, mana bisa ia menolak? Ia sudah terikat sumpah.Selly hanya tersenyum dan mengangguk pelan, ia sudah melepaskan seat belt-nya. Sebagai calon dokter, Selly sendiri paham bahwa panggilan itu tidak boleh di abaikan
Selly melengguh panjang, entah sejak kapan yang jelas kini tubuhnya dan Anggara sudah sama-sama polos. Sentuhan kulit secara langsung membuat panas di tubuh Selly makin membara, ia sudah tidak sabar lagi! Ia ingin lebih!Anggara tersenyum, deru nafas Selly menggambarkan bahwa sang isteri sudah begitu 'panas' oleh setiap sentuhan-sentuhan yang Anggara lancarkan. Ia belum ingin langsung pada inti acara, masih berusaha menggoda dan melihat reaksi Selly atas sentuhannya itu."Ayo Ko ...," renggek Selly manja."Kemana?" tanya Anggara asal, yang sontak dibalas cubitan di lengannya itu.Anggara tertawa, menundukkan keapla untuk kembali meraih bibir Selly ketika kemudian sang isteri mendorong wajah Anggara dengan kesal."Ayolah!" renggek Selly sambil mencebik."Lah iya, ayo kemana, Sayang?" Anggara belum mau berhenti menggoda sang isteri, ia suka melihat wajah manyun Selly yang makin membuatnya gemas itu.Selly sontak melepaskan diri dari kun
Selly dengan sedikit susah payah berusaha bangun. Perutnya makin besar, sudah masuk minggu ke tiga puluh dua, semakin lama rasanya benar-benar semakin tidak karu-karuan. Sakit pinggang, gerah tidak bisa tidur, susah bergerak dan masih banyak lagi. Yang pernah hamil pasti paham, namun jujur Selly kaget dan tidak nyaman, padahal waktu pre-klinik dulu ia sudah banyak belajar teori tentang apa-apa saja yang dialami wanita ketika hamil, dan jujur ia tidak percaya ternyata prakteknya sesulit ini.Tampak Anggara begitu pulas tertidur, sementara Selly? Ia terbangun karena disamping rasanya gerah, perutnya makin tidak nyaman dipakai tidur untuk posisi apapun. Dan akhirnya ia hanya duduk bersandar dengan bantal sebagai tempat dia bersandar.Ia sangat berterima kasih pada sang suami yang menyuruhnya cuti koas. Tidak bisa di bayangkan bagaimana nanti polah tingkah Selly jika masih harus koas dengan perut sebesar ini dan rasa nano-nano yang ditimbulkan kehamilannya.Selly he
"Ang, ketuban hampir habis."Anggara sontak lemas, apa tadi dokter Anton bilang? Ketuban Selly hampir habis? Itu artinya anak mereka sedang dalam bahaya. Harus sesegera mungkin dilahirkan kalau tidak akan berakibat fatal untuk janin mereka, tidak peduli usianya belum cukup Minggu.Selly sudah terisak, benar kekhawatirannya. Dan sekarang semua keputusan ada di tangan dokter Anton. Apapun itu akan Selly turuti dan lakukan, semua demi janin dalam rahimnya ini."Lantas bagaimana, Dokter?" Anggara menitikkan air mata, ia tidak malu lagi menangis di depan dokter Anton, ia benar-benar khawatir dengan kondisi anak dan isterinya."Aku siapkan beberapa obatnya dulu, kita induksi," dokter Anton sudah hendak melangkah ketika kemudian Anggara mencekal tangan dokter kandungan itu."Dok," panggil Anggara lirih.Dokter Anton menoleh, menatap Anggara yang sudah banjir air mata itu. Sungguh belum pernah dokter Anton melihat Anggara banjir air mata macam ini.
Selly mengerjapkan matanya, semua terasa berat. Kepala, mata, dan tubuhnya begitu kaku sulit digerakkan. Ia mencoba menggerakkan kakinya, nihil. Tubuh bagian bawah begitu kaku, hingga kemudian ia berhasil menggerakkan jari jemarinya. Perlahan-lahan ia membuka mata, dan mendapat Anggara, sang suami tengah menunggunya. Anggara menyandarkan kepalanya di tepi ranjang, melihat itu sontak senyum Selly mulai merekah. Ia menatap ke sekitar, mencoba mengingat apa yang sebenarnya sudah terjadi dan perlahan-lahan ia mulai bisa mengingat semuanya! Ia terbangun dari tidurnya malam itu, dengan segala macam perasaan tidak enak yang ia rasakan, perutnya, persendiannya, dan segala macam perasaan tidak enak lainnya. Perutnya mulas, sakit luar biasa dan genangan air itu .... Selly mulai ingat semuanya, sebelum ia sadar dan berada di tempat ini, ia tengah terbaring di dalam OK. Di atas meja operasi dengan Anggara, sang suami yang tidak pernah mau pergi dari sisinya. Selly sudah
“Mama ....”Air mata Selly sontak menitik, tampak Felicia begitu antusias dan gembira melihat dia dorong keluar oleh sang papa dan seorang perawat Ok. Bukan hanya Felicia yang hadir di sana, papa dan mama mertuanya juga sudah tersenyum menyambut dia di depan ruang OK.“Papa Bambang dan mama Indah sedang menuju ke sini,” bisik Anggara yang tahu betul apa yang ada dalam benak Selly, pasti ia mempertanyakan kehadiran kedua orang tuanya yang belum nampak, bukan?Selly hanya mengangguk dan tersenyum, ia menyeka air mata yang menitik membasahi wajahnya. Kenapa rasanya tidak karu-karuan seperti ini sih? Saking bahagianya sampai Selly tidak bisa lagi berkata-kata apapun. Ia begitu larut dengan semua momen kebahagiaan ini.“Adik Felis mana, Pa? Felis mau lihat!” Felis yang sudah berada dalam gendongan Setiandi itu langsung heboh, ia sudah tidak sabar hendak melihat sang adik. Untung sang mama hanya melahirkan di klinik mil
"Sayang!" Anggara memekik keras, sontak ia lemas melihat apa yang isterinya pesan itu.Bukan makanan yang mahal, tidak masalah sebenarnya kalau Selly mau memesan makanan paling mahal sekalipun, saldo g*pay-nya lebih dari cukup untuk membeli makanan apapun. Tetapi ini ....Anggara menghela nafas panjang, menghirup oksigen perlahan-lahan. Mencoba mengurai kekesalan yang memuncak efek melihat makanan apa yang sang isteri pesan itu. Matanya masih menatap nanar Selly yang nyengir lebar di atas bed-nya."Perjanjiannya tadi, aku boleh pesan apapun, kan?" Ujarnya membela diri.Anggara mendengus pelan, ia masih mengatur nafasnya. Dibawanya bungkusan yang tadi diantar abang-abang oj*l sampai depan kamar sang isteri. Sebuah makanan yang tidak pernah Anggara bayangkan akan Selly pesan untuk ia makan pertama kali selepas sadar pasca operasi tadi.Ada tiga plastik yang terhantar, satu berisi milk tea boba berukuran jumbo dan satu cup berukuran kecil. Kemudian sa
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
“Mama!” Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. “Dari mana, Sayang?” tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. “Diajak Oma makan malam, Mama mau makan?” Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, “Belum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.” Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. “Jahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?” Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
“Aku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?” Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. “Ma, titip isteri Anggara ya,” pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. “Jangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.” Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. “Kalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.” Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba