"Ntar malem acara kemana lu, Sel?" Yosi melirik Selly yang masih manyun dengan mata sembab itu.
"Merenungi nasib, ngapain sih pakai tanya segala?" salak Selly galak. Nggak tahu apa dia masih galau setengah mati perihal vonis mengulang satu kali di stase ini? Belum lagi kalau nanti mama-papanya tahu bahwa ia harus mengulang stase, bisa-bisa Selly kena amuk lagi.
"Daripada cuma di apartemen, nangis teriakt-teriak nggak jelas, mending ntar ikut gue!" Yosi beringsut mendekati Selly, berbisik di telinga sahabatnya itu.
Selly mengerutkan keningnya, ditatapnya Yosi yang nyengir lebat itu dengan tatapan penuh selidik. Dia mau kemana? Kenapa sedikit mencurigakan gerak-gerik gadis satu ini?
"Mau kemana?" Selly penasaran juga, dan ia ingin tahu kemana Yosi hendak mengajak dirinya pergi.
"Clubbing," jawab Yosi singkat sambil menaikkan kedua alisnya.
Selly melonggo, ditatapnya Yosi dengan tatapan tidak percaya. Sejak kapan gadis ini berani pergi ke tempa
Selly menatap risih rok span merah di atas lutut dan tanktop yang ia kenakan itu. Ia sangat tidak nyaman sebenarnya, tapi daripada ia dicap katrok, apa boleh buat? Tanktop model crop itu memperlihatkan sebagian perutnya, ia sudah mirip wanita jalang daripada seorang calon dokter. Rambutnya ia gerai dan ia catok dengan ujung ikal. Wajahnya sudah ia pulas makeup tipis. Sudah macam mbak-mbak pengunggu lokalisasi. Tidak lupa highheels hitam yang ia miliki. Intinya malam ini ia bertransformasi dengan begitu luar biasa.Ia meraih jaket denim dan kunci mobil, tas selempangnya sudah ready sejak tadi. Dengan santai ia melangkah keluar dari kamar apartemennya. Sudah setengah sepuluh, dan ia janjian sama Yosi pukul sepuluh bukan?Begitu sampai di parkiran ia bergegas masuk dan membawa mobilnya pergi. Untuk pertama kalinya ia masuk ke dunia malam yang liar. Sekali-kali tidak apa-apa bukan? Toh ia tidak bertujuan untuk macam-macam kok. Selly membawa mobilnya terus melaju, sedetik k
"Selly, apa yang kamu lakukan di sini!" Anggara memekik keras, matanya memerah, ditatapnya pemuda itu satu persatu dengan tajam."Hay Ko, sini gabung!" jawab Selly santai sambil cengengesan, bukti bahwa Selly sudah benar-benar dalam pengaruh alkohol."Gabung? Koko panggilan mama-papa tahu rasa kamu ntar!" ancam Anggara sambil berkacak pinggang. Ia sontak menoleh pada para pemuda itu, mereka sepertinya percaya kalau Anggara adalah kakak dari Selly."Lu!" tunjuk Anggara pada para pemuda itu, "Lu mau ngapain adek gue, HAH?""Ng-nggak Bang, kita nggak ngapa-ngapain kok." satu persatu dari mereka bergegas pergi tanpa berkata-kata lagi, meninggalkan Selly yang sudah teller dan Anggara sendirian.Anggara mendengus kesal, cuma segini ternyata nyali mereka? Gitu aja sok mau garapin anak orang! Anggara kembali melotot, ia hendak meraih kerah baju salah seorang dari mereka, namun mereka lebih cepat kabur dari hadapan Anggara, membuat Anggara tersenyum sinis m
Anggara tersentak ketika ada sesuatu yang menghalangi miliknya masuk lebih dalam. Selly sudah mencengkeram kuat lengannya, ia meringis sambil mendesis kesakitan. Anggara tahu betul apa yang menghalangi miliknya masuk, ia tahu betul itu. Namun ia sudah tidak dapat berpikir jernih lagi, birahinya sudah memuncak, dengan sekali hentakan kuat ia mendorong miliknya lebih dalam lagi hingga merobek sesuatu yang menjadi penghalang di dalam sana."Akkhhhh ... ssakiittt ...."Selly mengeliat hebat ketika milik Anggara sudah sepenuhnya masuk, air matanya menitik, ia mengigit bibir bagian bawah guna menyamarkan pedih dan sakit yang ia rasakan itu. Sementara Anggara memejamkan matanya rapat-rapat, menikmati sensasi hangat dan sempit milik gadis yang selama ini begitu menarik perhatiannya itu."Ahhh ... sempit banget, Sayang!" desah Anggara lirih, ia kemudian meraih bibir Selly dan kembali melumatnya dengan ganas. Ia belum bergerak, masih diam pada posisinya. Hingga kemudian,
“NGGAK ... NGGAK MUNGKIN!”Selly sontak berteriak histeris begitu sadar bahwa sudah terjadi seuatu pada dirinya. Bercak putih kekuningan di sprei, selimut dan bercak darah yang ia tangkap dengan matanya sontak menceritakan apa yang sudah terjadi semalam antara dia dan dokter bedah itu. Terlebih kaku dan lemas yang ia rasakan, pedih dan perih di area sensitifnya yang begitu menusuk membuat Selly yakin seyakin-yakinnya bahwa peristiwa itu sudah terjadi.“Kenapa, Sell?” Anggara sontak bangun, dadanya yang bidang dengan perut sixpack dan otot kekar itu terpampang nyata di depan mata Selly, sebuah pemandangan indah kalau saja bercak darah dan bercak kekuningan itu mengejutkan Selly.“Apa yang sudah Dokter lakukan pada saya semalam, Dok?” tanya Selly di sela-sela tangisnya yang pecah.Anggara mengusap kasar wajahnya, menghela nafas panjang lalu menatap Selly dengan seksama, “Menurutmu apa yang teradi jika seorang wanita
"Saya benar-benar tidak mau sampai kamu berbuat nekat, Sell." Anggara sudah memakai pakaiannya secara lengkap, rambutnya masih setengah basah, sementara Selly masih terbaring sambil terisak di atas ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai leher.Tidak ada jawaban apapun, Anggara menghela nafas panjang, ia duduk di tepi ranjang, menatap Selly yang miring membelakanginya itu. Isak tangisnya masih begitu jelas Anggara dengar, membuat hati Anggara sedikit pedih. Namun mau bagaimana lagi, Selly juga kan yang kemarin memancingnya? Selly kemarin kan yang meminta Anggara melakukanya?"Kita pulang ke Jakarta bagaimana? Saya lamar kamu sekarang juga langsung pada papamu, Sel." Anggara benar-benar serius dengan ucapannya, bahkan kalau harus hari ini juga menikahi Selly, ia siap."Tolong tinggalkan saya, Dokter. Saya hanya ingin sendirian."Anggara kembali menghela nafas panjang, ia bangkit dan melangkah ke sisi lain ranjang, tepat dimana Selly menyembuny
Selly selesai membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa dosa semalam yang ia lakukan bersama konsulennya itu. Seluruh rasa lengket dan lendir yang menempel pada tubuhnya sudah ia cuci bersih-bersih sampai kulitnya kembali kesat. Dengan tubuh terbalut handuk, Selly keluar dari kamar mandi hotel, ia tertegun ketika menemukan paper bag dengan merek ternama sudah tergeletak di atas ranjang yang masih berantakan sisa pergumulannya semalam."Baju?" Selly mengerutkan keningnya.Itu milik siapa? Bukan kah tadi ketika ia masuk ke kamar mandi tas itu belum ada? Selly mendekati ranjang, meraih tas itu dan membukanya. Di dalam tas itu terdapat satu potong celana jeans, t-shirt warna biru dan satu set intimate yang herannya ukuran intimate itu bisa persis seperti yang biasa Selly pakai. Selly meraih secarik kertas yang ada di dalam papper bag itu, ada sebuah pesan yang di tulis tangan.'Selly, maaf bajumu semalam saya buang, tolong jangan pernah pakai baju seperti itu lagi, kamu
Selly mematikan mesin mobilnya, ia sudah sampai di halaman parkir rumah sakit. Koas lagi, mana harus mengulang di bagian bedah delapan Minggu lamanya. Selly mendengus kesal, ia menyandarkan tubuhnya di jok sambil memejamkan matanya.Bayangan kejadian kemarin kembali terngiang di dalam benak Selly, kejadian dimana dia menemukan dirinya berada dalam pelukan Dokter Anggara dengan kondisi tanpa sehelai benang pun! Bercak kekuningan dan darah di sprei itu seolah berteriak kepada Selly menceritakan apa yang semalam sudah terjadi antara dia dan laki-laki itu. Menjelaskan batas apa yang sudah mereka lewati semalam.Selly menghela nafas panjang, bahkan ingatan wajah yang tampak begitu menikmati tubuhnya itu selalu datang dan seolah-olah meneror Selly, membuat Selly selalu mimpi buruk dan sakit kepala.Selly mendengus kesal, ia benar-benar malas kalau kemudian harus bertemu dengan sosok itu. Tapi agaknya ia harus menahan diri karena selama delapan Minggu ke depan ia harus
Selly melewati masa hukumannya dengan kebencian yang teramat sangat pada sosok itu. Sebisa mungkin dia menjauhi sosok Anggara, menjaga jarak dan tidak pernah mau sendirian juga dipanggil ke ruang praktek Anggara. Selalu ada teman yang dia ajak dan bawa jika sosok itu memanggil Selly datang ke ruangannya, membuat Anggara benar-benar naik pitam dan habis kesabaran.Tinggal satu Minggu lagi hukuman yang Anggara berikan untuk Selly, Minggu depan Selly kemungkinan sudah lulus dan pindah stase. Dan itu membuat Anggara makin sakit kepala. Ia belum bisa meluluhkan gadis itu, ia bahkan tidak bisa mengajaknya bicara empat mata membahas masalah mereka.Dan kembali, hari ini Anggara memanggil Selly datang ke ruangannya, pasti akan ada orang yang dia bawa masuk ke ruangannya kan? Dan untuk itu Anggara sudah menyiapkan siasat."Permisi, Dokter," suara itu tidak tampak ramah, selalu seperti itu, membuat Anggara sendiri heran, bagaimana caranya meluluhkan hati Selly agar mau di
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
“Mama!” Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. “Dari mana, Sayang?” tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. “Diajak Oma makan malam, Mama mau makan?” Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, “Belum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.” Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. “Jahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?” Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
“Aku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?” Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. “Ma, titip isteri Anggara ya,” pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. “Jangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.” Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. “Kalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.” Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba