Lavina membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Tiga puluh menit kemudian ia turun ke lantai bawah untuk mengambil air minum.Namun, langkahnya seketika terhenti di anak tangga terbawah begitu ia mendengar Flora mengobrol dengan seorang wanita melalui telepon.Awalnya Lavina akan menghiraukannya, tapi begitu nama Auriga dibawa-bawa, seketika itu juga Lavina mendekati pintu dan mengintip Flora yang sedang mengecat kuku jari tangannya.“Oh? Benarkah? Kamu dan Auriga akan menikah?” tanya wanita di seberang telepon.Mode loudspeaker-nya aktif sehingga Lavina bisa mendengarnya dengan jelas.“Hm-hm,” jawab Flora seraya mengangkat jari tangannya yang tengah dicat itu. “Kamu tahu, Anne? Sesuai dugaanku, ternyata dia memang belum bisa melupakanku. Sama seperti aku yang belum bisa melupakan dia.”Seketika Lavina tercenung.Auriga dan Flora akan menikah?Rasa nyeri itu kembali menyerang dada Lavina, hingga ia sulit untuk bernapas.“Ah, pantas saja kemarin aku dengar dari Keny, kamu dan Auriga datan
Beberapa hari kemudian Lavina mendapat informasi bahwa ia diterima sebagai calon mahasiswa salah satu universitas ternama di Korea, melalui jalur beasiswa yang ia lamar sebelumnya.Saat membaca email tersebut, Lavina seketika berteriak senang dan nyaris tak percaya dengan apa yang ia alami. Rasanya ini benar-benar seperti mimpi. Lavina mencubit pipinya berkali-kali. Sakit. Ini memang bukan mimpi.Lavina menghela napas lega dan tersenyum lebar. Hanya tinggal selangkah lagi impiannya akan tercapai.Saat pandangannya tertuju pada sarung laptop miliknya, perlahan senyumannya lenyap. Benda tersebut mengingatkannya akan sosok yang memberinya. Auriga. Pria itu membeli sarung laptop ini di Korea untuknya, beberapa bulan yang lalu.Apa yang harus aku katakan sama dia tentang beasiswa ini? batin Lavina.Lalu ia menggeleng cepat. Tidak. Lavina tidak boleh memikirkan pria itu lagi. Sebentar lagi Auriga akan menceraikannya, mungkin saat Auriga pulang nanti? Entahlah. Namun, Lavina harus selalu sia
Lavina menatap dengan lekat wajah Gendarly yang meneduhkan itu, ia berusaha merekam setiap inci wajah sang ibu mertua dalam ingatan.“Kamu sudah makan siang?”Lavina menggeleng. “Belum, Mom.”“Oke.” Gendarly mengangguk, lalu berdiri. “Kita makan siang bareng, ya.” Kemudian ia memanggil pelayan rumah tangganya, hingga tak lama kemudian seorang wanita paruh baya menghampirinya. “Bik, hari ini kita masak agak banyakan ya. Saya lagi kedatangan tamu nih.”Lavina tersenyum lebar kala Gendarly mengerling ke arahnya.“Mommy!” panggil Lavina dengan cepat begitu ia teringat sesuatu.“Iya, Sayang? Kenapa?”“Em… kalau aku yang masak, boleh?”“Kamu pasti lelah, biar Bibik saja ya.”Lavina menggeleng, buru-buru ia mendekati ibu mertuanya yang berdiri di dekat pintu. Dalam momen-momen terakhir ini Lavina ingin melakukan sesuatu untuknya.“Nggak kok, Mom, aku nggak capek. Boleh ya? Please….”Melihat tatapan polos Lavina yang penuh permohonan itu, akhirnya Gendarly menghela napas pasrah. “Ya sudah. Ka
Setelah hampir satu bulan terbang berkeliling dunia, Auriga akhirnya tiba di tanah air siang ini. Ia menarik dua koper kabin di kedua tangannya. Melangkah lebar-lebar menuju pintu keluar kedatangan internasional. Ia berpakaian kasual. Barusan ia berstatus sebagai penumpang pesawat komersil dari Sydney ke Jakarta.“Daddy…!”Seruan riang Aurora membuat tatapan Auriga beralih ke arah anak yang memakai kaos putih dan celana denim, sedang berlari ke arahnya sembari tersenyum lebar. Auriga ikut mengulas senyum. Lelah yang ia rasakan setelah perjalanan panjang seketika lenyap kala melihat putrinya ada di depan mata.“Halo, Sayang.” Auriga kemudian berjongkok dan memeluk anak itu dengan penuh kerinduan. “Gimana kabar kamu, hm?”“Baik, Dad. Daddy baik-baik saja, ‘kan?”“Hm. Daddy akan selalu baik-baik saja demi kamu.” Auriga melepaskan pelukannya dan kembali tersenyum seraya menatap Aurora. “Ke sini bareng Lavina?”Aurora menggeleng. “Nggak, Dad, tapi—”“Hai,” sela Flora dengan suara lembut, y
“Kamu sudah melupakanku, Auriga?”Seketika itu juga Auriga bangkit duduk, rahangnya mendadak berubah mengeras kala mendengar suara lelaki yang ia kenali di seberang sana.“Billy,” desis Auriga, tajam. “Bukankah sudah kubilang untuk tidak menghubungiku lagi?”Terdengar kekehan ringan Billy di seberang telepon. “Ayolah, aku nggak akan mengganggumu lagi, kalau kamu menyerahkan Flora padaku. Aku tahu, dia ada di rumahmu, bukan?”Auriga mendengus kasar. “Jangan pernah mengganggu dia! Aku tidak akan menyerahkan dia padamu,” tegas Auriga. Sungguh, ia tidak akan menyerahkan Flora jika yang akan Billy lakukan hanya menyakitinya.“Sayang sekali, aku nggak akan menyerah, Auriga. Aku akan mendapatkannya kembali.”“Coba saja kalau kamu bisa,” desis Auriga, sebelum akhirnya ia menutup sambungan itu secara sepihak. Lalu melemparkan ponsel ke atas kasur dan ia kembali merebahkan dirinya di sana.Ia mencoba memejamkan mata, akan tetapi kejadian-kejadian yang telah ia lewati selama beberapa bulan ke be
Auriga hanya mengembuskan napas dengan berat. Kemudian ia menurunkan kedua kaki ke lantai. “Aurora di mana?”“Dia lagi nonton televisi,” jawab Flora, “oh ya, aku sudah masak buat makan malam kita. Harusnya kita makan tadi, tapi aku nggak tega bangunin kamu. Kelihatannya kamu lelah, Auriga.”“Sedikit,” gumam Auriga lagi.Seketika, Auriga terhenyak ketika Flora tiba-tiba berdiri di hadapannya, hingga wajah Auriga sejajar dengan perutnya. Kemudian Flora memeluknya.“Aku masih sangat ingat, dulu kamu paling senang dipeluk seperti ini kalau lagi lelah setelah pulang dari penerbangan.” Flora terkekeh pelan. “Aku akan selalu ingat semuanya tentang kita. Dan… aku rindu saat-saat kita bersama, Auriga.”Auriga terdiam. Tentu saja ia ingat. Bahkan bayangan demi bayangan kemesraannya dengan Flora di masa lalu kembali berkelebat di dalam kepala.Namun, saat ini, pelukan Flora sama sekali tidak membuatnya merasa tenang. Hatinya malah semakin resah dan merasa bersalah pada Lavina karena ia ada dalam
“Kalau gitu, sekarang aku mau Daddy sama Mommy Flora menikah lagi!”Seketika Auriga terhenyak mendengarnya. Bahkan, ia nyaris tersedak makanan yang tengah ia kunyah. Kemudian ia menatap Flora yang juga tampak terkejut. Keduanya saling tatap sesaat.Semenjak Aurora lahir ke dunia, Auriga hampir tidak pernah menolak keinginan putrinya apapun itu. Ia akan selalu berusaha mengabulkannya dan membahagiakannya. Meski Auriga berkali-kali ditegur orang tuanya karena terlalu memanjakan anak.Sejauh ini, keinginan Aurora yang cukup sulit dihadapi Auriga adalah ketika anak itu memintanya menjadikan Lavina sebagai ibunya.Namun, ketika kini Aurora meminta ia menikahi lagi Flora, kenapa rasanya begitu berat?Bukankah seharusnya Auriga senang karena dengan begitu ia bisa kembali bersama Flora? Seperti apa yang selama ini ia inginkan.“Sayang….” Auriga akhirnya bersuara setelah cukup lama terdiam.“Iya, Dad? Daddy setuju, ‘kan?”Melihat sorot mata Aurora yang penuh harap, membuat lidah Auriga mendada
Jantung Auriga seketika berdebar-debar dan wajahnya menegang. Dengan tak sabaran Auriga segera membaca isi surat tersebut.Jakarta, 05 NopemberDear, Om Auriga.Om, aku harap surat ini menemukanmu dalam keadaan sehat dan bahagia. Ada begitu banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi aku merasa bahwa surat ini adalah cara terbaik untuk mengungkapkannya dengan sepenuh hati.Pertama-tama aku ingin mengucapkan terima kasih atas segala yang telah Om lakukan ke aku selama kita menikah. Meski aku tahu, pernikahan ini sama sekali nggak nyata. Terima kasih atas perhatian dan dukungan Om, sehingga aku bisa menyelesaikan kuliah. Percayalah, aku nggak akan pernah melupakan kebaikan Om Auriga.Om, mulai hari ini aku akan pergi. Please, jangan pernah mencariku lagi. Aku akan pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Om dan aku berharap kita nggak pernah ketemu lagi untuk selamanya.Aku ingin jujur mengenai satu hal. Bahwa sebenarnya, aku sama sekali nggak memiliki perasaan apapun untuk Om Auriga. Pernikah
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab