Keesokan harinya. Hari ini hari jumat, biasanya tidak diadakan pelajaran khusus, melainkan kegiatan pramuka yang dipimpin oleh para Dewan Penggalang (DP). Salah satu dari anggotanya adalah Dion. Dewan Penggalang yang dingin, dan tidak banyak bicara. Itu lah Dion disaat berperan menjalan tugasnya di sekolah.
Dimulai dari pukul 07.00 pagi hingga pukul 02.00 siang. Akan diisi dengan kegiatan PBB.
***
"Sayang, kamu kuat berangkat sekolah hari ini? Ada kegiatan pramuka loh biasanya, atau kamu mau izin dulu?" ucap Bu Sisi menyambut kedatangan Dion yang sedang menuruni anak tangga ke lantai 1
Dion yang sedang berjalan menanggapi kekhawatiran ibunya, menghampiri dan memeluknya, dan berkata
"Gak apa mah, Dion kuat. Pamit dulu ya, nanti kalo ada apa-apa aku kabari." sembari mencium tangan Bu Sisi
Lalu berjalan menuju halaman rumah, dan menaiki motornya sambil melambaikan tangan ke arah Bu Sisi.
***
Akhirnya sampai juga di sekolah. Memarkirkan motornya dan melepas helm berwarna merahnya itu. Dion yang sedang siap-siap akan masuk ke kelas, dikejutkan dengan sebuah pelukan mendarat tepat dilingkar pinggangnya.
Menoleh ke arah spion, dan mengarahkannya ke belakang tepat ia berdiri. Terlihat seorang perempuan sedang memeluknya, erat. Dion memegang tangan yang sedang memeluknya, memperhatikan siapa perempuan ini.
Ketika seorang perempuan itu memanggilnya dengan sebutan 'kak', ia langsung menyadari bahwa perempuan itu adalah Zelen.
Dion berbalik arah dan membalas pelukan Zelen, menundukan kepala dipundaknya.
Untungnya suasana diparkiran sedang sepi. Jadi tidak ada yang tau kalo Dion dan Zelen mempunyai hubungan lebih dari kakak dan adik kelas saja.
***
Anggota Dewan Penggalang termasuk Dion, sedang mengumpulkan anak-anak untuk turun di halaman utama. Kegiatan Pramuka dimulai dengan membentuk barisan yang nantinya akan dilatih PBB secara bersamaan untuk grup kelas. Mereka mengikuti bimbingan praktek PBB dengan seksama. Tetapi hanya berlangsung selama setengah jam saja, di karenakan anggota Dewan Penggalang kelas 3 akan mengikuti ujian kelulusan, jadi separuh waktu digunakan untuk latihan soal-soal try out, sedangkan kelas Zelen diisi dengan pelajaran materi PBB tadi dengan bapak dan ibu guru.
Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 12.00 siang, waktunya jam istirahat kedua dimulai. Seperti biasa, anak-anak berhamburan keluar kelas untuk mencari jajanan apa yang tersisa, entah di kantin atau di luar gerbang sekolah.
Dion dan Maxim tidak keluar, mereka di kelas memainkan ponselnya. Maxim yang sedang bermain dating apps, sedangkan Dion mengecek instagramnya apakah ada sesuatu disana.
Dan benar saja, ada 1 pesan belum terbaca. Dilihatnya, ternyata pesan dari Angel. Ia hanya menanyakan mengapa Dion tidak membalas chatnya, Ia khawatir Dion dalam musibah.
"Sorry Ngel, gua baru balas. Gua habis sakit nih, nanti kita lanjut di w******p aja ya. Gua minta maaf." balas Dion
Setelah membalas pesan tersebut Dion log out instagramnya, dan membuka aplikasi w******p untuk menghubungi Zelen.
"Len." sapanya di room chat w******p
(Sekitar 5 menit kemudian baru ada balasan darinya)
"Iya kak? Ada apa?" balasnya
Notif ponsel Dion berbunyi, orang yang sedari tadi dia tunggu akhirnya membalas.
"Nanti pulang bareng gua ya." balas Dion lagi
Lalu ia mematikan data selularnya, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dan mengajak Maxim ke kantin untuk membeli cemilan disana.
***
Tiba lah mereka di kantin, tepatnya di warung Bi Sumi. Dion mengambil jajanan pilus dan teh dalam kemasan yang dingin, sedangkan Maxim mengambil basreng dan air mineral dingin. Maxim yang selalu ditraktir oleh Dion, kali ini tidak. Dion akan pergi begitu saja dan bilang kepada Bi Sumi Maxim yang akan membayar semua jajanannya.
"Bi, si Max yang bayar minta aja duitnya." sembari memasukkan butiran pilus ke dalam mulutnya
"Lah anjir kok jadi gua." sahut Maxim ngegas
"Kali-kali lu lah yang bayar. Dah buruan bacot banget lu." berjalan meninggalkan Maxim yang sedang mencari sisa uang receh disaku celananya
Setelah proses bayar membayarnya selesai, Maxim mengejar Dion dan memukul kepalanya keras sambil berlari kecil dan mengumpat
"Tai." kata Maxim
Dion hanya terkekeh, sambil melempari si Max dengan sisa pilusnya itu.
***
Bel berbunyi, pertanda jam istirahat sudah selesai. Semua murid kembali ke kelasnya masing-masing, yang akan dilanjut dengan jam pelajaran terakhir, lalu pulang.
***
Tak lama bel pelajaran terakhir berbunyi, waktunya siswa pulang. Dion yang sudah keluar kelas lebih cepat segera menuju parkiran motor, dan menunggu di depan pintu utama sekolah tersebut.
Di sela menunggu Zelen, ada Maxim yang mengklaksonnya, pertanda si Max pamit pulang lebih awal. Dirinya tau jika Dion tidak langsung pulang ke rumah, tetapi mengbucin dulu dengan sang pacar.
Setelah sekian menit Dion menunggu, akhirnya Zelen muncul juga. Dan menghampiri Dion yang memperhatikan dia sedari dia datang.
"Kak, maaf ya tadi gua piket dulu." sembari memakai helmnya
"Santai aja. Pegangan Len." menghidupkan motornya dan pergi meninggalkan sekolah
***
Sekiranya sudah jauh dari sekolah, Dion kembali membuka percakapan kepada Zelen.
"Len, berhenti disini dulu ya." meminggirkan motornya di tepi jalan raya
"Loh kenapa kak?" tanya Zelen kebingungan
Zelen yang mengikuti Dion duduk tanpa memakai alas. Yang sudah sedari tadi duduk sewaktu membuka obrolannya lagi.
"Gua kan mau ujian, gua mau fokus dulu biar belajar juga gak terganggu." ucap Dion pelan memberi penjelasan
"Maksud kaka kita mau udahan sampai sini aja?" jawab Zelen lirih
"Iya Len, gak apa kan? Kan kita masih bisa ketemu di sekolah, lu juga tetap jadi adik kelas gua. Masih bisa main bareng, ya Len ya?" mohon Dion sambil memegangi tangan Zelen
Zelen yang mendengar kata menyakitkan itu, mulai menangis. Walaupun sebenarnya ia juga tidak begitu serius dengan Dion, tetapi aura dan karisma seorang Dion masih sulit dilupakan, seakan sosoknya selalu menghantui.
Tidak mengucap sepatah kata pun, ia hanya menunduk. Roknya basah, air matanya terus menetes tanpa jeda.
Dion yang melihatnya iba, tetapi mau bagaimana lagi Zelen hanya sebagai permainanmya saja. Ia langsung memeluk Zelen dan mengelus lembut rambutnya. Zelen masih saja menangis tersedu-sedu, dan makin erat Dion memeluknya.
***
Dion melepaskan pelukannya, dan meminta Zelen segera naik ke atas motor agar bisa di antarnya pulang.
Sepanjang perjalanan Zelen masih terus menangis, ia enggan memeluk Dion seperti sebelumnya. Menangis yang tadinya diam hingga bersuara.
Dion yang merasa terganggu dengan Zelen, ia mencoba menenangkannya. Ia tarik kembali kedua tangan Zelen, dan membentuk lingkaran diperutnya. Alih-alih supaya Zelen memeluknya untuk yang terakhir kali.
Zelen yang tadinya tidak mau memeluk Dion, kini ia pasrah saja. Tangannya sudah melingkar diperut Dion, tetapi jarak duduknya masih berjauhan. Dion saking gregetnya setengah mati, akhirnya ia mengerem motornya mendadak, dan alhasil Zelen pun terpaksa memeluk Dion erat, agar tidak terpental jauh.
Harapan Dion mantan pacarnya ini Zelen, bisa tenang dengan memeluknya, tapi tidak. Kenyataannya justru Zelen makin menjadi-jadi, ia makin menangis kencang, air matanya terus jatuh sederas air hujan.
***
Dan pada akhirnya motor Dion berhenti di depan rumah mewah berwarna putih, untuk yang terakhir kalinya. Tanpa aba-aba Zelen turun dan berbalik badan menuju pintu gerbangnya sambil terus menangis.
Dion hanya bisa diam, dan memandangi Zelen sampai tidak terlihat. Lalu ia tancap gas, mengendarai motor di atas rata-rata menuju rumah Maxim, sahabatnya.
Hujan mulai turun, hari sudah sore. Padahal jalanan licin sekali, rawan kecelakaan. Tetapi Dion tak peduli, ia terus mengendarai motornya dengan kecepatan penuh.Ia basah kuyup, dari atas sampai bawah. Air hujan terus mengucur deras dari pakaiannya. Sesekali ia berhenti di lampu merah, membuka benik baju seragamnya itu, membiarkan perut kotaknya terlihat. Dingin pasti, tetapi jarak antara rumah Zelen dan Maxim cukup jauh.***Setelah hampir setengah jam perjalanan, ia tiba di rumah si Max. Langsung memarkirkan motornya di halaman depan, dan mengambil ponselnya di dalam saku celana.Ponselnya basah, alhasil tidak bisa menyala. Akhirnya mau tidak mau, ia harus memencet bel rumah Maxim sampai di buka kan pintu rumahnya.'Ting tong ting tong ting'"Keluar bangke! Gua menggigil." umpatnya di dalam hati"Siapa? Hujan-hujan tidak menerima sumbangan." terdengar suara Maxim dari dalamDion yang
Dinner time dengan keluarga Bu Mala sudah selesai. Makanan semua ludes, apalagi bakwan gorengnya, Dion yang paling ketagihan. Sampai-sampai Bu Mala rela menggorengkannya lagi untuk Dion bawa pulang, alih-alih sebagai buah tangan untuk Bu Sisi. Campuran yang sangat perfect, bakwan dan cabai rawit di dalamnya. "Tante makasih banyak loh, sampai sengaja goreng bakwan baru buat Dion." ucap Dion "Sama-sama mas, hitung-hitung ini buat cemilan sambil nonton televisi sama keluarga di rumah." terbentuk senyuman kecil di bibirnya "Baik banget nyokap lu Max, tapi anaknya beda jauh." ledek Dion "Iya gua soalnya anak pungut, di tempat sampah nyokap nemu gua." jawab Maxim yang terlihat kesal di raut wajahnya itu Bu Mala dan Dion tertawa lepas mendengar jawaban Maxim yang ketus. *** "Ya udah tante, Dion pamit pulang ya udah malam jam 21.00 takut mamah khawatir." ucap Dion sembari berpamitan mencium tangan Bu Mala
Sesampainya di kantin, mereka mampir terlebih dulu ke warung Bi Sumi. Mereka berdua memesan mie ayam dan es jeruk manis sebagai minumannya."Biasa ya Bi di antar, kami ada di sebelah kanan pojok. Yang bayar si Max tagih aja dia bi." ucap Dion sambil memukul pelan lengan Maxim***Lalu mereka berjalan menuju kursi kosong di pojok sebelah kanan itu. Maxim yang menatap Dion, dan mengeluarkan berkasnya yang ia sembunyikan di dalam saku celana."Bas gua anggota osis sekarang." kata Maxim sembari memperlihatkan senyum liciknya"Hah?! Kapan lu jadi anggota osis?" sontak Dion terkejut, nada bicaranya yang tinggi membuat beberapa siswa di kantin sempat menoleh ke arah mereka"Santai kali bos." sahut Maxim tekekeh"Ada lah hari dimana Kak Robert whatsapp gua, dia milih gua juga bukan asal-asalan. Kata dia, gua punya potensi untuk jadi bendahara." sahutnya lagi"Dih bendahara apaan lu! Kak Robert itu ak
Ia benar-benar menurunkan kepalan tangannya, badannya membungkuk. Mukanya memerah. Seseorang yang memeluknya itu lalu membantu Dion untuk memundurkan langkahnya perlahan, dan menjauh dari Maxim beberapa langkah. Maxim yang akhirnya pingsan itu, sudah di bawa oleh tim PMR dan diobati di uks. Anak-Anak yang menonton masih diam di tempat, mereka syok bukan main. *** Lalu seseorang yang memeluk Dion, melepaskan pelukannya. Ia berjalan ke arah depan. Dion yang sedang membungkuk melihat sepasang kaki di depan matanya, lalu ia mengangkat pelan-pelan kepalanya untuk melihat sebenarnya siapakah orang ini? Ketika ia berhasil mengangkat kepalanya dan melihat, ternyata seseorang itu adalah guru Bahasa Indonesia yang mengajarnya di kelas 3. Guru favoritnya. Dion berkaca-kaca, air matanya hampir jatuh. Tapi guru ini sigap, ia langsung memeluk Dion. Seketika itu tangis Dion pecah, ia menangis terisak-isak.
Tak terasa Bu Sisi terlelap, ia langsung mengecek apakah putranya sudah tertidur atau belum. Ternyata Dion sudah tertidur pulas, walaupun matanya masih basah ada bekas air mata. Karena Dion sudah tertidur Bu Sisi segera meninggalkannya, dan turun ke lantai 1. Selagi turun Bu Sisi disambut oleh Maxel. Ia bertanya ada apa dengan kakanya itu. "Kenapa mah? Berantam lagi ya?" tanya Maxel penasaran "Gak, kakak kamu cuma kambuh aja. Udah kamu ikut istirahat ya, cape pasti kan pulang sekolah. Nanti bangun tidur kita dinner sekalian nunggu papah pulang." ucap Bu Sisi "Oke mah. Emangnya hari ini menunya apa?" tanya Maxel lagi "Hari ini mamah mau buatin kalian udang saos tiram dan kremesan. Gimana? Suka?" ucapnya sambil tersenyum "Pas banget mah. Mamah emang jagonya mix masakan, enak itu." ujar Maxel Lalu Maxel mencium pipi ibunya dan berpamitan untuk tidur, sedangkan Bu Sisi melanjutkan memasak d
Bu Sisi menghampiri kamar Maxel terlebih dahulu. Mengetuk pintunya dan menyalakan lampu kamar Maxel.Maxel yang peka terhadap sinar lampu, ia mulai terbangun. Tubuhnya bergerak, matanya perlahan terbuka. Bu Sisi sudah berada di depannya, sedang menutup jendela dan gorden yang masih terbuka lebar.Setelah itu ia duduk di samping Maxel, menepuk pundaknya agar kesadarannya penuh."Bangun yok, kita dinner. Papah udah pulang, kamu mandi dulu ya. Mamah tunggu di ruang makan, jangan pakai lama." ucap Bu Sisi sembari menepuk pipi MaxelLalu ia meninggalkan Maxel sendirian, Maxel yang mulai berjalan ke toiletnya.Sekarang giliran Dion, ia mengetuk pintunya terlebih dahulu. Sama, tidak ada jawaban. Di bukanya pintu Dion, ternyata putranya masih tertidur pulas.Sama halnya di kamar Maxel, Bu Sisi menutup jendela dan gorden yang masih terbuka. Lalu menyalakan lampu. Dion tidak seperti Maxel yang peka terhadap lampu, i
Dion langsung berpamitan kepada Bu Sisi, memaksa untuk mencium tangannya. Lalu ia keluar dan berteriak kepada adiknya Maxel, “Gua pulang udah harus kelar....” kata Dion Dibukanya gerbang rumah dan bergegas masuk ke dalam mobil Pak Johan. Ia duduk persis disampingnya. Mereka akan pergi ke klinik Siloam, tidak jauh dari tempat Dion tinggal. Sesampainya disana, kebetulan klinik Siloam sedang sepi. Tidak ramai orang yang sakit. Dion dan Pak Johan segera mendaftarkan diri, mereka mendapat antrian nomor 05. Di sela menunggu pasien nomor 03, Dion membuat instastory. Hanya iseng, di fotonya lorong klinik itu. Sedangkan Pak Johan sedang mengabari Bu Sisi dengan menelfonnya. *** Setelah 3 menit berlalu, keluar lah pasien nomor 03 dari ruang periksa. Dan selanjutnya pasien nomor 04 dan nomor 05 memasuki ruang periksa, yang akan di cek dokter secara bergantian.Selanjutnya nama Dion terdengar dibalik ruang periksa.
Max sudah selesai mandi, ia memakai pakaian rapi. Bu Mala pun sudah berada di ruang tamu, menunggu putranya siap dan memakai sepatu."Yok mah." ajak Max"Yok, mampir dulu ke toko buah ya. Mamah mau bawain parcel aja 1.""Siap ibu negara." ucap Maxim dengan suara lantangLalu mereka pergi, menggunakan sepeda motor maticnya itu. Perjalanan rumah Max ke rumah Dion cukup jauh.Selang beberapa menit perjalanan, mereka mendapati toko buah. Terlihat buah segar-segar sekali yang dipajang di depan. Jenis buah di toko ini lumayan lengkap.Bu Mala dan Maxim turun, dan memasuki toko buat tersebut. Memilih buah yang akan dijadikan parcel."Mah, mau berapa buah yang bakal jadi parcel?" tanya Max putranya"5 aja kali ya?" jawab Bu Mala"Buah apa aja mah?"Dilihatnya sekeliling toko itu, dan akhirnya Bu Mala sudah menemukan kombinasi buah yang akan dibungkus.
Wisuda FeliciaHari ini, adalah hari dimana Felicia dinyatakan lulus. Selama kurang lebih 3 tahun, akhirnya Felicia telah melepas status putih biru. Felicia memakai kebaya pink dan memakai balutan hijab berwarna kuning keemasan. Jika ditanya bagaimana perasaannya? Sungguh sangat bahagia, akhirnya ia bisa melanjutkan masa putih abu-abunya.H-2 sebelum wisudaHubungan Felicia dengan Arden terbilang baik-baik saja dan harmonis. Kemarin saja ia baru mengantarkan Felicia pulang. Namun setelah hari dimana pasangan muda ini bertukar sandi akun media sosialnya, Felicia segera log in memakai akun media sosial milik Arden. Selepas pulang sekolah, Felicia memilih duduk santai di teras depan rumah. Ia sibuk berkutat dengan ponselnya, mencoba mengetik sandi akun sembari menutupi matanya. Ia sangat gugup, apa saja yang ada di dalam akun media Arden? Dan boom! Felicia berhasil log in, ia masih membiarkan tampilannya berada di beranda. Lalu mulai menscroll perlaha
Beberapa jam kemudian, suara bel telah berbunyi. Menandakan waktunya para siswa dan siswi pulang, Iris yang sedang menjalankan misinya segera mencari Felicia. Ia benar-benar mencengkeram tangan Cia erat, seperti sedang menjaga mangsa agar tidak kabur. Felicia hanya menurut saja, ia diam dan tak banyak bergerak. Ketika Iris menarik-narik tangannya, sambil berjalan. “Fel, sebenarnya lu tau ga sih?” tanya Iris.“Tau apaan?” “Kak Dion itu kasih kamu kado,” ucap Iris lagi.“Iya? Tapi ga mungkin, kita berdua belum lama kenal.” “Ih gua serius, makanya lu nanti mampir ke rumah gua dulu.” Percakapan mereka berakhir begitu saja, keduanya fokus berjalan menatap depan dan mempercepat langkah kakinya. Di bawah sinar matahari yang terik, di tengah-tengah ramainya kendaraan berlalu lalang. Sampai perjalanan mereka sudah cukup dekat, Iris dan Felicia sedang bersiap-siap menyeberan
Felicia semakin penasaran, ia segera mempercepat laju langkahnya menyusul Serren. Ketika beberapa langkah lagi sampai di rumah Iris, mereka berdua terdiam. Ada perasaan gugup dan malu untuk sampai ke depan sana. “Ren, maju ga nih? Gua penasaran sih, tapi malu.” Ucap Felicia sembari memegangi tangan Serren. “Fel, lu gila ya? Sudah sampai sini, mau kita batalkan aja gitu? Jauh-jauh dong percuma. Ayo buruan.” Jawab Serren yang menarik balik tangan saudaranya. Akhirnya mau tak mau Felicia mengikuti langkah Serren, dan setelah sampai di depan rumah Iris. Sorot mata Felicia menangkap Iris yang sangat gugup dan gelisah seperti menyembunyikan sesuatu. Lantas Felicia memberanikan diri untuk menengok lebih jelas lagi, ke dalam ruang tamu. “Iris?” Panggil Felicia yang mencari sosok temannya ini. Iris pun menjawab dengan muka tegang terlihat jelas di seluruh wajahnya. “I-iya, sini Fel masuk.” T
Lumayan memakan waktu untuk sampai Mall yang mereka tuju. Sebuah Mall terkenal dan legendaris sejak dulu, kini Dion dan Iris sudah memarkirkan motor.Bergegas Iris turun dari motor Dion, ia menunggu lelaki paling bawel ini sedang melepas helmnya. Setelah itu mereka berjalan bersama menuju lantai atas, yaitu istana boneka. Keberadaan mereka sudah di depan mata pintu masuk, terdapat security sedang berjaga disana.Iris dan Dion segera memasuki ruangan itu, tetapi sebelumnya mereka diperiksa dulu dengan alat yang bernama Metal Detector. Ternyata semua aman, mereka melanjutkan langkahnya.Di ruangan seluas ini, terdapat macam-macam boneka. Mulai dari yang bentuknya beruang, panda, bebek, babi, monyet dan masih banyak lagi. Bahkan ada versi mininya, terdapat juga boneka barbie terpajang rapi di dalam rak.Dion sempat bimbang, ia meminta pendapat Iris kira-kira mana yang cocok untuk Felicia.“Ris sini lu.” Panggil Dion.“Ke
Dion yang sudah berjam-jam membersihkan toilet, lantas lemas. Ia bahkan tidak sempat membeli makanan ringan serta minuman dingin. Untungnya tersisa 1 toilet saja, ia segera membersihkannya cepat-cepat. Beberapa menit berlalu, kini Dion sedang meminta kunci motornya di dalam ruang guru. Setelah mendapatkan, ia segera pulang. Berlari menuju kamarnya, membilas tubuhnya dengan air dingin. Tubuhnya benar-benar lengket. Kemudian ia segera mengecek dapur, apakah ada makanan berat disana. Ternyata memang benar ada, ibunya sudah memasak sup ayam yang masih hangat. Bergegas lah ia mengambil sepiring nasi, dan siap melahap sup ayam itu. Selesai makan siang, Bu Sisi justru baru keluar dari kamar tidurnya. Ia menyapa Dion yang sedang mencuci piring.“Pulang jam berapa?” Celetuknya.“Belum lama Mah, Maxel mana? Tidur di kamar Mamah ya?” “Iya, ya sudah kamu giliran istirahat. Mamah juga ingin makan siang, lapar.”
Beberapa menit yang lalu Dion sudah membersihkan badannya dan memakai seragam sekolah. Ia segera turun ke lantai 1, untuk mengambil sepatu hitamnya. Tampilan Dion sungguh acak-acakan, wajahnya terlihat sendu. “Ko, sini sarapan dulu. Menu kesukaanmu nih, keripik bayam.” Ujar Bu Sisi, sembari menuangkan segelas susu di dalam gelas.Dion hanya mengangguk, ia tetap berjalan menuju ruang tamu. Sibuk memakai kaos kaki dan sepatunya. Tetapi ia tidak langsung beranjak pergi, Dion memilih diam dan melamun. Sampai Maxel dan Pak Johan sudah berlalu pergi, tanpa ia sadari. “Hati-hati Pah, Maxel pegangan nanti jatuh.” Pesan Bu Sisi. Setelah kepergian suaminya serta anak bungsunya, ia menoleh ke arah anak sulungnya, Dion. Yang sedari tadi duduk terdiam. “Kenapa lagi,” Ujarnya sambil mengernyitkan dahi. Kini Ibunya sudah duduk di sampingnya, membuat Dion menoleh dengan tatapan nanar. Ia langsung memeluk Bu Sisi,
Hari sudah malam, Felicia sedang merebahkan tubuhnya di kasur. Sedari tadi, ia sedang menunggu balasan pesan dari Arden. Sorot matanya menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba pikirannya terbesit akan sosok kakaknya.Beralih mengambil ponselnya, lalu mencari kontak nama ‘Dion’. Ia segera mengetik pesan yang akan ia sampaikan.“Kak,” Panggilnya di dalam room chat.Beberapa menit kemudian, Dion membalas.“Iya Dik, kenapa?” Begitu membaca balasannya, Felicia menahan senyum dari kedua sudut bibirnya.“Sejak kapan Kak Dion manggil aku adik,” Gumamnya.***“Kakak lagi dimana?” Balasnya.“Alun-alun nih, kenapa?”“Kak, Cia waktu itu lihat ada jam tangan merah. Cia boleh pinjam ga? Sehari aja.”Ya, teringat kejadian beberapa hari yang lalu, sewaktu Dion mengunjungi Felicia di
Jam sudah menunjukkan pukul 12 lebih 30 menit, yang dimana ada beberapa masjid atau mushola yang sudah menyelesaikan ibadah shalat jumat. Tetapi belum ada tanda-tanda dari Arden, ia belum menghubungi Eva kembali soal menjemput Felicia.Mereka berempat pun menunggu Arden, sembari mengobrol hal ringan. Entah menggosip teman-teman mereka di sekolah, atau guru, bahkan pekerjaan rumah yang memang terlihat sulit untuk dikerjakan.Waktu demi waktu berlalu, sampai pada akhirnya jam tepat menunjukkan pukul 1 siang. Untuk kesekian kalinya justru Eva yang sudah mulai sedikit geram. Pikirnya, mengapa Arden bisa lama sekali mengunjungi rumahnya.Sampai sudah tidak ada lagi obrolan yang dibahas, Rayne, Eva dan Riva justru mengecek gang apakah Arden sudah datang atau belum. Tetapi kenyataannya nihil. Pria itu belum terlihat batang hidungnya sekali pun. Eva berbalik badan menuju rumah kembali, ia mengomel kenapa kekasih temannya sangat lama.&ldqu
Keesokan harinya, Dion yang akan berangkat sekolah dengan sepeda motornya. Ia sudah selesai menghabiskan sarapannya, sepotong roti dengan isi parutan keju serta telur gulung.Lalu ia berpamitan dengan Bu Sisi, bersamaan dengan Maxel dan Pak Johan. Di rumahnya hanya tersisa Bu Sisi seorang diri. Dion memakai seragam sekolah, yang dibalut jaket kulit berwarna hitamnya yang elegan.Mengendarai sepeda motornya, dengan helm full face. Membuatnya makin terlihat keren saat menaiki si black ini. Ia sudah membunyikan klakson tanda perpisahan untuk yang kedua kalinya. Deru motor Dion sangat lah bising, jika pertama kali ia menancapkan gasnya.Melaju lambat, hingga beberapa menit kemudian sampai lah di SMK Ksatria. Ia memasuki kawasan parkir, yang dimana sudah banyak motor berjejer disana. Nyaris telat, untung saja tidak mendapat hukuman di hari pertama masuk kelas.***Setelah mencari ruang kelasnya, kini ia sudah memili