Sebuah bak yang terbuat dari emas diisi air hangat. Nyonya Fia nampak lega, karena kami sampai tepat waktu–sehari sebelum acara pemilihan dua pangeran dimulai.Rambut hitam panjangku dikepang satu, dengan bunga-bunga warna-warni yang menjadi penghiasnya. Mahkota emas yang tiga sudut-sudutnya dipasangi batu intan berwarna oranye, memperindah kecantikanku.Aku duduk sambil menunggu kedatangan dua pangeran tampan. Kakiku merasa lumayan membaik, karena direndam dengan air setengah masak. Kehidupan Putri Zahra kuberi voting lima sempurna. Berbeda jauh dengan reinkarnasinya–aku, yang hidup dengan masa lalu buruk.Segelas air yang sudah kuhabiskan setengahnya, terlihat bergetar. Aku menoleh ke arah Nyonya Fia, yang sibuk mencampurkan warna lipstik alami; antara warna merah dan merah muda yang sama-sama cantik."Siapa yang membuat getaran ini?" Aku mengeluarkan kakiku dari dalam bak. "Apakah itu adalah suara sambutan pesta?""Saya rasa bukan, Yang Mulia. Seingat saya, penyambutannya memang mu
Keadaan yang sama pernah juga terjadi sebelumnya. Lucer mungkin tidak sengaja melakukan pembantaian di malam itu. Aku mengerti bagaimana rasanya dicap pembunuh, padahal tidak pernah merencanakan tindakan kriminal seperti itu–pembunuhan tidak sengaja.Karena berita duka yang sudah tersebar, hingga ke pelosok Negeri Swifolges, aku sebagai pemimpin utama terpaksa membatalkan acara pemilihan. Hal itu harus dilakukan, agar Tuan Liu dikenang sebagai pahlawan–walaupun gelarnya adalah pendekar.Para menteri, dan penduduk mengubah bendera penyambutan, menjadi bendera duka. Sebegitu terkenalnya Tuan Liu, hingga se-pelosok Swifolges berbondong-bondong datang ke kerajaan, untuk mengikuti ucapara perpisahan roh.Hujan gerimis menemani ritual kami. Aku meletakkan dua tangkai bunga mawar hitam–pertanda kemurungan, di dekat patung Tuan Liu. Tempat yang menjadi pertapaan Tuan Liu dihormati sebagai tugu kepahlawanan.Beberapa petinggi bertanya-tanya padaku, kenapa gua telaga tiga kehidupan hancur? Namu
Air mata yang mengalir deras sudah membasahi gaunku. Enggan rasanya membuka pintu, jika itu bukanlah Nyonya Fia. Aku hanya dapat menyembunyikan wajah di balik bantal empuk, ketika wanita muda itu datang ke kamar."Saya tahu, Anda mungkin tertekan, karena mereka tidak kunjung kembali, iya, kan, Yang Mulia?" Tangannya mengelus pelan puncak rambutku. Hangat seperti sentuhan mendiang ibu."A aku hanya ingin menolong mereka," ucapku masih dengan isak tangis, yang menghambat intonasi."Anda tidak pernah berubah. Saya pikir, setelah Anda pergi ke gua telaga tiga kehidupan, Anda tidak dapat kembali dengan selamat.""Ma maksud Anda?" Aku melihatnya dengan sebelah mata, yang satunya–bagian kiri, masih tertutup bantal. Wanita yang rambutnya dibiarkan mengurai indah itu tersenyum, mungkin bahagia lantaran aku sudah mau menjawabnya."A aku pernah ke sana? Ka kapan?" Aku bangkit, lalu duduk bersila di dekatnya."Saya tahu bahwa, Anda bukanlah Nona Zahra sejak awal bertemu." Tangannya mengeluarkan
Kehancuran yang terjadi di dekat Sungai Caste menimbulkan banyak kontra. Lingkungan luar istana yang rawan akan serangan, membuat para menteri menciptakan undang-undang aneh.Menurut penuturan Nyonya Fia, wilayah Swifolges sudah hampir dikuasai oleh Raja Oise. Aku panik, setelah mendengar kabar bahwa, Pangeran Arsenio, dan Pangeran Ergo tidak dapat diselamatkan lagi.Sambil mondar-mandir di depan para pengawal kerajaan, isi otakku seakan ingin meledak. Mengatur cara agar dapat keluar dari istana itu adalah satu-satunya soal yang begitu sulit dipecahkan."Bagaimana jika lewat gerbang belakang? Tidak! Kalau lewat sana aku bisa ketahuan, dan tertangkap basah. Mereka akan menaruh rasa curiga lagi," ucapku dalam hati.Madu yang ada di dalam teko sudah kuhabiskan. Gelas terakhir kuminum dalam sekali tegukan. Dayang-dayang silih berganti, karena aku tak kunjung puas dengan makanan di atas meja.Mungkin bagi bawahan–para pengawal dan pembantu wanita, aku adalah orang yang paling banyak tingka
Aku memakai jubah hitam yang sebelumnya diberikan oleh Nyonya Fia. Mendengar penolakan begitu memilukan hati. Aku sudah tidak sanggup meminta bantuan orang-orang di Swifolges.Beragam alasan seperti: takut akan kematian, ia begitu kuat dan belum ada yang bisa mengalahkan, bahkan tidak mau berkorban lebih dari sebelumnya, membuat telingaku memanas. Sejarah Kota Aluna tidak menjelaskan tentang, bagaimana respon penduduk untuk melindungi pemimpinnya. Ya, meskipun Pangeran Ergo, dan Pangeran Arsenio bukanlah orang asli sana. Namun setidaknya, mengorbankan bantuan jiwa-raga adalah bagian dari kebaikan, bukan?"Tangan yang memberi lebih baik dari yang meminta". Mungkin kalimat seperti itu tidak berpengaruh pada penduduk Swifolges. Yang ada malah makan hati, jika memaksakan kehendak. Aku pun memilih untuk mengalah, dan berhenti menasehati mereka soal kebaikan. Publik speaking di depan orang-orang itu hanya membuang waktu, tenaga, suara, dan banyak hal lain. Aku enggan untuk memerintah oran
Dar!Ledakan besar menghantam tubuh iblis raksasa di depanku. Wajah menyeramkan yang hendak mengambil kalung pemberian Tuan Liu, sudah berubah pucat basi.Beberapa menit sebelumnya, ada sebuah kristal yang keluar dari tengah-tengah telapak tanganku. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, ia tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Aku berlindung di dalam perisai magis. Tanganku masih menggenggam erat kristal rahasia guardian. Ternyata, benda itulah yang membuat kekuatan terlarang bangkit–magis-nya terlalu kuat untuk manusia biasa."Aku harus menjauhkan kristal ini dari tangan-tangan orang yang salah," aku membatin.Cahaya matahari yang hampir menguning seperti telur mata sapi, menembus hingga ke tempat berlangsungnya pertarungan sengit kami. Tebing-tebing di atas sana sudah runtuh, akibat dari magis kristal merah-biru."Kira-kira, dia luka nggak, ya?" Dari kejauhan, aku memantaunya. Sejak dua menit sebelumnya, ia hanya terbujur lemas di bawah ilalang berduri.Hati nurani
Langkah iblis berdarah campuran itu terhenti di sebuah lempengan semen, dengan corak-corak aneh. Rambut Gio menghalangi penglihatanku. Tulisan di sana benar-benar terlihat seperti huruf latin, yang sangat sulit terbaca. Memperkirakan waktu, tanpa adanya arloji memang jalan membunuh otak dengan baik. Mana kutahu, jika ngarai yang di bawahnya ada Kerajaan Ilusi awannya tetap gelap–penuturan langsung dari Gio sebagai penduduk di sana.Aku hanya bisa menggerutu di atas kepalanya, sambil menunggu iblis itu melangkahkan kakinya masuk. Sekitar lima belas menit sebelumnya, kami melewati jembatan usang, dan tembus ke belakang kerajaan. Kata Gio, masuk lewat pintu belakang adalah jalan terbaik, daripada menanggung kekalahan di awal pergerakan. Aku pun hanya menurut, bagaimana maunya dia.Iblis yang menolongku itu terus bergumam, dan bergumam. Dia seakan kebingungan menjawab persoalan di depan sana. "Benda yang tidak bisa dihancurkan, tetapi mudah sekali hancur, jika ia menyentuhnya," ucapnya
Waktu berjalan semakin tipis bukan bertambah banyak. Setiap hal yang dilakukan pasti ada konsekuensinya tersendiri. Membuang-buang waktu hanya akan menyisakan penyesalan di masa yang akan datang. Zama seperti halnya hidup, waktu juga perlu diperjuangkan.Kami mencari keberadaan raja iblis menggunakan magic. Namun, belum membuahkan hasil juga. kecepatan superpower yang menjadi ciri khas vampir–kekuatan milik Ergo, juga tidak membantu sama sekali. Rombongan pasukan dari Kerajaan Ilusi seakan tidak mudah terdeteksi.Bukit-bukit yang menjadi halangan terbesar, sudah kami taklukkan. Meskipun, harus bersusah payah untuk mendakinya. Mengarungi bukit yang lebih mirip dengan gunung tinggi itu, susahnya bukan main. Aku sampai jatuh berulangkali, karena berusaha untuk menggapai puncak.Arsenio dan Ergo mau mengulurkan tangannya sebagai bantuan. Aku merasa sangat terbantu. Saat itu, ketika melihat kekompakan mereka, aku merasa sangat bahagia. Andaikan kebersamaan yang mereka jalin tetap terjaga s