Untuk hari ini satu dulu ya. đ
"Aduh lucunya, cucu Grany." Julie yang mendapat giliran menggendong Teddy berucap senang. "Wajahnya, perpaduan dari Alan dan Gita ya?" Amel yang berdiri di sampiing Julie memberikan komentar. "Ya, bentuk mata dan bibirnya terlihat seperti Gita, sisanya lebih terlihat seperti Alan." Julie juga mengiyakan pendapat Amel, membuat Gita kesal. "Menyebalkan," gerutu Gita. "Apanya?" tanya Alan bingung "Aku yang hamil sembilan bulan, kesakitan saat melahirkan, tapi kenapa wajahnya lebih mirip Alan? Ini tidak adil." Gita tidak terima pembagian DNA yang tidak adil itu. "Kamu cuma hamil selama delapan bulan lebih saja, Bee." Komentar Alan itu membuat Gita mencubit pinggang suaminya yang duduk di atas ranjang dengan sangat keras. Itu membuat seiisi ruangan suite yang ramai itu tertawa, membuat Teddy yang tadinya tertidur lelap menangis. Membuat Julie terpaksa mengembalikan Teddy pada Gita. "Tapi, kamu masih mending sih, Ta. Coba si Gwen. Kara itu benar-benar fotokopian dari Eli. Ba
Gita terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara tangisan samar. Dia mengucek matanya dan menyadari kalau Alan tidak ada di sampingnya. Hal yang membuat Gita beranjak dan berjalan ke kamar sang putra melalui pintu penghubung. Kini kamar adiknya, berubah menjadi kamar Teddy. Tentu mereka masih di rumah orang tua juga, "Lho, Bee kok bangun sih?" Alan bertanya begitu menyadari Gita berjalan mendekat. "Aku dengar suara tangisan Ted. Mungkin dia lapar, jadi aku ke sini." Gita mengulurkan tangan meminta anaknya yang tidak berhenti menangis. Alan tentu segera menyerahkan anaknya pada Gita, dengan serangkaian penjelasan. "Tadi aku sudah coba kasih asi yang sudah kamu perah, tapi dia gak mau. Popoknya juga masih oke." Alan memang bilangnya seperti itu, tapi begitu posisi Ted dalam gendongan Gita sudah nyaman, bayi mungil itu menarik-narik piyama Gita tepat di bagian dada. Tanda dia memang mau makan tengah malam. "Teddy hanya kelaparan saja, Als." Gita tersenyum mengejek.
"Selamat ya, Bu. Proses bayi tabungnya sudah membuahkan hasil. Janinnya sudah berumur lima minggu." Dokter tersenyum pada Gita. Gita langsung menangis bahagia sambil menutup mulutnya. Sebelah tangannya menggenggam tangan Alan yang juga terlihat sangat bahagia. Usaha mereka memberi adik untuk Teddy lebih dari tiga tahun terakhir ini akhirnya berhasil. Beberapa bulan setelah melahirkan si Kakak Teddy, Alan dan Gita sepakat untuk langsung program hamil anak kedua. Kali ini mereka memilih untuk berobat di tempat yang lebih dekat, yaitu Singapura. Keputusan ini diambil karena mereka tidak bisa meninggalkan Teddy terlalu lama. Waktu itu Gita juga belum berani mengajak Teddy bepergian dengan pesawat. Jadinya Gita yang sering bolak-balik Jakarta-Singapura. Pergi pagi pulang sore atau malam. "Nanti Kakak bakal punya adek loh." Alan bercerita pada Teddy yang kali ini ikut ke rumah sakit (walau harus menunggu di luar bersama pengasuhnya). Selama tujuh minggu ini Gita berada di Singapura da
"Sam, stop that." Gita meneriaki putra bungsunya dengan sangat keras. "Tapi, Mamih. Kak Ted yang nakal. Dia merusak mainanku." Samuel tidak terima dirinya yang dimarahi, padahal dia hanya membela diri. "Gak, Mih. Sam yang duluan. Dia menghancurkan gambarku, padahal itu untuk dikumpulkan ke sekolah." Teddy juga tidak mau kalah. "Aku kan gak sengaja. Aku udah bilang aku gak sengaja." Sam malah berteriak marah. "Kalau kamu memang tidak sengaja, kenapa kamu malah menyembunyikannya. Aku sampai dihukum karena itu." Ted berteriak sama kerasnya dengan Sam. "Kakak yang duluan." "Kamu yang duluan." Teriakan itu saling sahut menyahut tanpa ada yang mau mengalah. Gita sampai perlu menutup kedua telinganya dengan tangan, berusaha untuk meredam emosinya. Tapi sayang sekali itu tidak berhasil sama sekali. "ENOUGH." Teriakan Gita menggelegar bak guntur dan mencapai setiap sudut rumah minimalis mereka. Membuat dua bocah itu terlonjak kaget. Baik Ted maupun Sam memandang sang ma
"It can't be," gumam Eza, sambil terkekeh pelan. Perempuan itu sebenarnya terbangun dari tidurnya akibat mimpi buruk. Air matanya tidak berhenti mengalir dan kepalanya pening luar biasa. Tapi yang membuat Eza bingung adalah rasa pegal di seluruh tubuhnya, pinggang yang terasa remuk dan bagian diantara pahanya yang terasa sedikit perih. Eza mendadak bangun dari posisi berbaringya, tidak mempedulikan pening dan pinggangnya yang sakit. Dia menyibak selimut hanya untuk mendapati tanda cinta yang luar biasa banyaknya di sekujur tubuhnya. "Orang gila mana yang bisa sampai seperti ini?" Eza berbalik pelan menatap orang yang tertidur di sebelahnya dan napasnya langsung tercekat. Lelaki itu tertutupi selimut sampai dilehernya, dengan warna rambut blonde alami. Eza mengingat lelaki itu sebagai pria yang dikenalkan oleh ibunya. Lelaki yang jadi teman kencan butanya semalam. Lelaki yang terlihat letoy dan sedikit melambai, tapi sangat ganas di atas ranjang. Yang paling penting terli
"Kau sudah gila, Dany."Daniel bisa mengingat dengan sangat jelas apa yang terjadi kemarin malam. Kadar toleransi alkoholnya yang tinggi membuat dia tidak mudah mabuk, tidak seperti perempuan yang ditemuinya semalam. Daniel memanggilnya Mary. Perempuan berkulit kecokelatan itu terlihat sangat seksi dan eksotis. Biasanya Daniel tidak mudah tergoda, tapi entah mengapa kemarin malam dia tergoda. "Kalau begini, percuma saja aku berakting menjadi banci," desis lelaki itu tampak kesal. Gaya Daniel memang terlihat seperti banci, tapi dia lelaki baik-baik dan lurus. Daniel tidak berniat ambil kesempatan dari seorang perempuan yang sedang mabuk, tapi ketika dia terpaksa mengantar Eza itu ke kamar hotel karena dia nyaris pingsan, dia digoda dan tergoda dengan cepat. Bagaimana tidak tergoda? Belum sampai kamar hotel saja, perempuan itu sudah meraba-raba tubuh Daniel, sampai ke bagian paling sensitif. Bibir wanita itu juga tidak tinggal diam saja dan meminta perhatian dari bibir Daniel. D
"Apa maksudmu?" Eza berteriak marah pada seorang satpam yang sedang bertugas. "Anak-anak anda dilarang memasuki lokasi acara, Bu." Pak satpam yang sedang bertugas itu sudah berkeringat dingin melihat wajah emosi Eza. "Kenapa tidak bisa? Jelas-jelas aku diundang. Undanganku juga undangan VIP dan di sana tertulis untuk sekeluarga. Kenapa anak-anakku tidak boleh masuk?" Eza tidak mau kalah dan juga tidak peduli jika anak-anaknya mendengar dirinya berteriak. "Karena anak-anak memang tidak diizinkan, Bu. Tolong mengertilah." Pak Satpam yang sudah agak tua itu terlihat makin nelangsa menghadapi wanita keras kepala di depannya. Belum lagi lirikan orang-orang yang melintas. "Undangannya tidak tertulis seperti itu. Aku hanya akan membawa anak-anakku dan ibuku, pengasuhnya tidak akan dibawa masuk." Eza yang kepalanya terbuat dari batu atau bahkan lempengan logam super tebal, tidak mau mengerti sama sekali. "Udah, Za. Biar Bunda dan anak-anak pulang saja deh. Kamu juga tidak akan bisa k
"Ya, El. Ada apa? Tumben nelpon?" Daniel menjawab telepon sahabatnya pada dering kedua. "Tamu VIP ku ditahan di bawah sama satpam karena dia bawa anak-anaknya dan maksa masuk. Kamu tolong urusin ya, Dan. Biarkan saja mereka masuk." Eli segera menjelaskan secara singkat. "Masa anak-anak dibiarkan masuk ke acara sih? Mereka bisa bikin ribut loh." Daniel protes tidak terima. "Lagian kenapa bukan Fabian yang ditelepon? Yang CEO kan dia, aku cuma bagian racik-racik." "Dia gak bisa dihubungi, Dan. Lagian kau memang turun tangan di divisi cosmetic science, tapi kau juga wakil CEO. Jadi tamu VIP pun harus bisa kau urus." Eli mendebat Daniel dengan nada malas-malasan. "Lagipula kau tidak usah pedulikan anaknya. Justru ibunya yang akan menimbulkan masalah. Jadi bertanyalah pada satpam di sana dan urusi dia dengan baik. Aku mau tidur." Eli langsung mematikan telepon sebelum Daniel bisa membalasnya lagi. Daniel menghela napas. Terpaksa dia harus turun tangan menghadapi tamu aneh Eli. Ken
âSiapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?â Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. âMaaf.â Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. âAku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.â âHei, kau mengundang semua anakku,â hardik Eza terlihat agak kesal. âMemangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?â Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
âWah, kau benar-benar luar biasa.â Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. âBerhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,â desis Eza merasa sangat kesal. âTunggu saja giliranmu nanti, Ta.â âMaaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.â Gita mengangkat kedua tangannya. âLagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.â Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. âBagaimana keadaan Teddy?â Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. âDari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?â Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
âAkhirnya kau bangun juga?â Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? âDina? Apa yang kau lakukan di rumahku?â Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? âTenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.â Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. âKenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.â Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. âKata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.â âBenar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. âSudah siap, Za?â Fika muncul dari balik pintu. âAnak-anak sudah siap?â Eza balik bertanya. âUdah.â âKalo gitu ayo pergi,â seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang âlamaranâ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
âBisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,â Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. âAku gugup.â Danny mengaku pada sahabatnya itu. âLalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?â Ian bertanya dengan gemas. âTidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.â Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
âKau sudah datang?â Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. âKau sendirian? Anak-anak ke mana?â Eza bertanya dengan ekspresi bingung. âAh, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.â Danny menjawab dengan jujur. âApa kau marah?â Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. âTidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.â Eza menjawab dengan sedikit gugup. âAh, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.â Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. âTadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?â tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel