Hari ini seperti biasanya, Alan bangun lebih cepat. Setelah merapikan sofa bed, dia membangunkan Gita dan pergi mandi. Entah jiwa babu Alan terlalu kental atau apa, tapi pria itu juga menyiapkan pakaian sang istri. Kecuali pakaian dalam tentunya.
Alan dan Gita memang suami istri, tapi hubungan mereka belum seintim itu untuk saling menyentuh hal seperti pakaian dalam. Jadinya lelaki itu selalu melewatkannya. Intinya peran suami istri seperti terbalik dihubungan Alan dan Gita.Lalu sekarang, Alan mengernyit begitu menyadari penampilan istrinya. Mereka sudah dikantor, tapi lelaki yang bekerja sebagai asisten baru memperhatikan kalau sepertinya dia salah pilih atasan untuk Gita.Gita terlihat manis dengan jas dan celana bahan berwarna pastel, tapi masalahnya terletak pada atasan putih yang dipakai perempuan itu. Bajunya memang berbahan dingin dengan v neck yang agak dalam dan sedikit longgar. Ketika Gita menunduk sedikit saja, akan ada yang terlihat."Apa kau tidak takut ada gosip?" Gita bertanya setelah diturunkan ke sofa oleh sang suami merangkap asisten."Gosip apa?""Gosip kau jatuh cinta padaku."Alan menatap perempuan yang baru berbicara iitu dengan ekspresi terkejut. Dia berkedip dua kali dengan mulut sedikit terbuka dan tertawa keras beberapa detik setelahnya“Yang benar saja!" ucap Alan di sela tawanya. “Aku? jatuh cinta padamu?""Berhenti tertawa siAlan." Gita melempar bantal sofa pada sang dengan gemas bercampur kesal."Sorry, tapi lucu saja sih. Masa baru segitu bisa ada gosip aneh. Aku kan cuma bantuin kamu yang gak bisa jalan."Yang dikatakan Alan sebenarnya berbanding terbalik dengan kenyataan. Jelita dan beberapa karyawan yang lain nyatanya sudah mulai bergosip tentang hal tadi. Ucapan Gita nyatanya lebih tepat menggambarkan kenyataan.Bukan hanya Jelita saja yang menyaksikan kejadian tadi secara live, tapi beberapa karyawan yang mejanya tida
Gita menarik napas panjang dan membuangnya secara teratur. Dirinya sudah berdiri di depan kamar VIP di rumah sakit yang dikelola oleh BG. Dia ditemani Alan berdiri manis disebelahnya dengan menenteng tote bag."Siap?" tanya Alan sambil menatap sang istri yang segera mengangguk.Hal ini juga sudah sering dilakukan Alan, tiap kali Gita selalu berdiri lama di depan pintu rumah atau pintu rumah sakit. Dia yang selalu mengingatkan Gita kalau mereka perlu masuk ke dalam atau sekedar mengetuk pintu.Tentu saja Alan yang mengetuk pintu kamar itu. Setelah mendengar seruan pelan dari dalam, barulah dia menggeser pintu sampai terbuka."Gita?" Amel tersenyum menyambut putrinya. "Eh, ada Alan juga." Amel tidak lupa menyapa menantunya. Perawat yang baru saja keluar dari toilet, langsung pamit keluar untuk memberi tiga orang itu privasi.Amel mungkin tidak datang ketika pernikahan Gita, tapi dia tahu siapa yang jadi suami anaknya. Hari itu pun Amel tidak datang karena dia sedang sakit, bukan karena d
“Gita mau makan sesuatu atau singgah di mana?”Pertanyaan dari Alan itu langsung dijawab dengan gelengan. Seumur-umur, dia tidak pernah melihat Gita yang manja. Baginya itu pemandangan yang sangat langka dan kini Alan tengah menikmati pemandangan yang dimaksud.Semenjak keluar di kamar rawat inap Amel, Gita tak melepaskan lengan suaminya. Saat duduk dalam mobil perempuan itu malah makin mengeratkan pelukannya. Membuat Alan nyaris tidak bisa bernapas karena Gita menempel dengan erat. Untung saja mereka menggunakan sopir yang bisa menjaga rahasia dengan baik.Begitu sampai di rumah dan melihat Julie duduk di ruang keluarga, Gita melepaskan pelukannya dari lengan sang suami. Kini perempuan itu berpindah memeluk ibu angkatnya dengan erat, seperti bayi koala memeluk induknya."Loh, ada apa nih? Kok pulang-pulang main peluk sih?" Julie jelas akan bertanya dengan nada bingung.Sayangnya, Gita tidak menjawab dan malah memepererat pelukannya. Membuat Julie langsung protes karena merasa sesak.
Gita terbangun di pagi hari sebelum matahari benar-benar terbit. Matanya masih tertutup, masih ingin menikmati ketenangan yang dirasakannya. Rasanya sudah lama sekali Gita bisa tidur nyenyak.Perempuan itu menggeliat pelan dan merasakan dirinya tidak sebebas biasanya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa bergerak . Hal yang membuat Gita membuka kedua matanya. Gita refleks menjauh dan hampir saja berteriak begitu melihat Alan tepat di depan wajahnya. Segala gerakan dan umpatan itu batal terlontar ketika dia sadar apa yang sebenarnya terjadi. Gita membuka lebar mulutnya begitu mengingat semua kejadian kemarin."Tolol. Kenapa kau bisa kambuh ke Alan kemarin Gita?" Perempuan itu bergumam lirih mengumpati dirinya, kemudian merasa terkejut karena pelukan sang suami mengerat.Tubuh Gita membeku begitu saja, takut suaminya terbangun. Tapi saat merasa keadaan sudah kondusif, pelan-pelan dia menarik tangannya dan melepaskan diri dari sang suami. Sedikit susah, tapi Gita berhasil tanpa harus m
"Kenapa bisa perusahaan lelaki sialan itu masih belum bangkrut juga sih?" Eza langsung mengumpat ketika hanya tinggal berdua dengan Gita di dalam ruangan."Entahlah. Aku juga tidak begitu tahu. Sepertinya ada yang menyuntikkan sedikit dana ke perusahaan mereka."Sudah beberapa hari sejak kasus Tony terekspos ke media. Berita itu hanya trending sekitar dua sampai tiga hari, kemudian menghilang begitu saja, tertelan gosip yang lain. Seolah sedang terjadi pengalihan isu.Jujur saja, Gita sedikit gusar dengan hal itu, tapi dia memilih untuk tidak terlalu mempedulikannya. Selama keluarga Hamdani tidak bisa terlalu bergerak, rasanya akan baik-baik saja."Sepertinya ada pengalihan isu. Hanya saja aku tidak begitu yakin." Gita menyuarakan pikirannya."Apa perlu aku pergi ke rumah orang tuanya? Siapa tahu aku bisa bikin mereka mati berdiri."Gita memandang Eza dengan bingung. Gita memang bar-bar, tapi sahabatnya bisa dibilang nyaris psikopat dan hari ini dia terlihat absurd. Yang salah adalah
Alarm Gita berbunyi tepat jam lima subuh. Itu membuat Alan yang tidur nyaman di sofabed-nya ikut tersentak bangun. Dia tertegun ketika melihat sang istri sudah tebangun dan mematikan alarmnya. Lebih kaget lagi ketika Gita terlihat berjalan gontai ke arah kamar mandi.Alan mengerjapkan, bahkan menggosok mata beberapa kali memastikan dirinya tak salah lihat dan memang tidak. Gita yang biasanya sulit bangun, kini sudah bangun dan sedang mandi."Dia kenapa bisa bangun sepagi ini." Alan bermonolog sendiri.Lelaki yang sudah tidak bisa tertidur lagi itu, memutuskan untuk membereskan tempat tidurnya. Setelahnya Alan memutuskan berolahraga ringan. Hitung-hitung sambil menunggu Gita selesai mandi."Wow. Kau bisa push up dengan satu tangan?" Gita berseru takjub melihat suaminya sedang push up dengan satu tangan, tanpa menggunakan kaos atau apa pun untuk menutupi tubuh atasnya."Apa kau masih bisa push up jika aku naik di atasmu?" Perempuan yang penasaran itu, berlari kecil dari arah kamar mandi
"SiAlan, pijitin kakiku dong."Gita langsung menjatuhkan diri di sofabed yang biasa ditiduri suaminya. Perempuan itu menguap besar, masih mengantuk karena bangun terlalu pagi. Belum lagi kakinya yang pegal karena lama berjongkok."Jangan langsung baring gitu. Mandi dulu. Minimal cuci tangan, muka dan ganti baju. Kamu habis dari kuburan loh.""Memangnya kenapa?" tanya Gita bingung dengan teguran sang suami."Pamali. Nanti bisa kena sial." Alan menjawab sambil membuka kancing kemejanya. Rasanya lelaki itu makin terbiasa buka baju di dalam kamar."Ya, ampun. Kamu tinggal di zaman apa sih?" Gita tertawa dengan pikiran kolot suaminya."Terserah deh. Yang jelas aku sudah kasih tahu kamu." Alan memilih untuk melangkah ke kamar mandi, untuk menghindari pertengkaran dan langsung saja diteriaki Gita."SiAlan. Kakiku belum dipijit.""Nanti setelah aku mandi." Alan balas berteriak karena sudah berada di dalam kamar mandi. "Jangan lupa ganti baju." Dengan malas, Gita beranjak ke walk in closet. M
"Ada berita soal Eza yang bertemu dengan Tony." Alan langsung berbicara begitu masuk ke dalam ruangan kerja istrinya."Biarkan saja." Gita menjawab tanpa mengalihkan tatapan dari ipad."Biarkan saja? Gak salah? Ini sahabat dan mantanmu loh. Difoto di lobi kantor kita lagi." tanya Alan dengan penuh penekanan. Siapa tahu istri sekaligus bosnya salah dengar."Gak salah siAlan. Itu bagian dari rencana Eza." Gita menjawab masih sambil menggambar di ipad."Kalian masih mengerjai Tony?""Eza, bukan aku. Lagian bukannya berita ini akan menaikkan harga saham kita?" Kali ini Gita mendonggak menatap sang asisten."Kenapa bisa?" tanya Alan bingung."Eza akan disebut pelakor yang merebut tunanganku. Aku akan jadi sahabat yang terkhianati dan orang-orang akan kasihan padaku. Ujung-ujungnya sentimen masyarakat akan positif untuk orang yang teraniaya sepertiku.""Teraniaya? Yang benar saja." Alan sampai tertawa mendengar kalimat tidak masuk akal itu."Lah, itu benar kan? Aku yang jadi korban ditinggal
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel