Alan terbangun ketika mendengar suara isak tangis lirih. Dengan mata yang masih setengah terpejam, Alan menoleh ke samping dan mendapati ranjang sebelahnya kosong."Bee?" Alan segera bangun dan mencari istrinya ke kamar mandi. "Kamu ada di dalam?" "Iya sebentar." Suara pekikan terdengar dari dalam kamar mandi.Entah kenapa belakangan ini, Gita sepertinya sering berdiam diri di kamar mandi. Entah untuk menangis, melamun atau sekedar bermain ponsel.Alan malah pernah memergoki Gita yang langsung menyembunyikan ponselnya, ketika dirinya tiba-tiba muncul. Jujur saja hal itu membuat Alan curiga. Apalagi dia kadang mendapati Gita bermain ponsel sambil cekikikan di tengah malam. Begitu ditegur, Gita langsung menyembunyikan ponselnya dan segera pergi tidur tanpa memberi penjelasan. Pernah juga terjadi di pagi hari dan marah. "Kau itu kenapa sih?" tanya Gita dengan kening berkerut. "Mengganggu saja."Untuk urusan menangis, itu hanya terjadi sesekali. Mungkin sekitar dua atau tiga kali da
Gita tiba di restoran sepuluh menit lebih awal dan menunggu di ruang VIP. Jujur saja Gita merasa sedikit gugup. Dirinya sudah mempersiapkan mental untuk hari ini, tapi tetap saja tidak semudah itu. Dia juga sudah berusaha sedikit berdandan. Bahkan menggunakan dress, juga menata rambutnya yang sudah sedada. Tapi, semua itu tidak bisa menutupi kegugupannya. "Kau bisa melakukan ini, Ta." Gita berusaha menyemangati dirinya. "Ini udah benar, Ta. Kau memang harus memberitahu Alan soal ini." Gita mengangguk pelan. Gita memainkan ponselnya melihat pesan yang tadi dikirimkannya pada Alan. Tidak ada balasan sama sekali, tapi sudah dibaca. Gita menghela napas dan memilih untuk melamun saja. Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya Gita mendengar pintu ruang VIP terbuka. Lebih cepat dari perkiraan Gita. Pandangan Gita langsung tertumbuk pada sosok Alan yang terlihat sedikit lelah. Dan itu membuat Gita makin tegang saja. Soalnya Gita tidak pernah melakukan hal yang seperti ini. Namun seteg
"Bee?" panggil Alan untuk yang kesekian kalinya."Apaan sih Als? Dari tadi manggil melulu?" tanya Gita kesal.Mereka saat ini sudah di rumah. Lebih tepatnya sedang duduk santai sambil menyandar di headboard. Sebelah tangan Alan memeluk Gita dan sebelahnya lagi memegang foto hasil USG."Ini benaran kan? Aku gak lagi di prank kan? Aku gak lagi mimpi kan?" tanya Alan entah untuk yang keberapa kalinya sejak dari restoran."Auw," tiba-tiba Alan berteriak. "Kok dicubit sih, Bee?" Alan bertanya sambil mengelus perutnya yang terkena cubitan maut."Sakit kan?" tanya Gita dengan ekspresi menghina. "Itu artinya ini bukan mimpi, Als. Bukan juga prank.""Aku kan cuma memastikan, Bee. Soalnya si Eza kan suka bikin prank ginian. Sudah itu belakangan ini aku ngerasa di prank tahu gak.""Maksudnya?" tanya Gita bingung."Kelakuan kamu belakangan ini selalu bikin aku negatif thinking. Belum lagi yang di bilang Jason dan Mbah Google."Gita beranjak dari posisi nyamannya di pelukan Alan dan menatap suamin
Alex dan Julie mengernyit bingung ketika tiba-tiba anak dan menantunya datang membawa dua koper besar. Apalagi hari masih sangat pagi."Ini kok bawa koper ya?" tanya Julie menyambut dua orang itu."Kami bakal tinggal di sini untuk sementara," gerutu Gita dengan nada kesal yang tidak ditutupi.Gita melenggang masuk ke dalam rumah begitu saja. Tadinya dia ingin membantu Alan, tapi suaminya melarang. Bahkan sekarang Gita dilarang pakai celana, katanya harus pakai dress biar si kakak gak sesak. Apa hubungannya coba?"Kalian tidak sedang bertengkar lagi kan?" tanya Alex curiga."Gak kok, Dad. Aku cuma gak mau tinggalin Gita sendirian di rumah selama kerja. Kalau di sini kan banyak yang jagaiin," jawab Alan santai."Ck, tapi nyebelin banget tahu gak. Aku gak perlu diawasin dua puluh empat jam juga kali," sergah Gita kesal."You must," jawab Alan tegas. Pria berkacamata itu menyerahkan urusan koper kepada para pelayan."Itu namanya kamu kurung aku , Als. Aku jadi gak bebas tahu ga sih?" Gita
Ini benar-benar sangat memalukan bagi Gita. Benar-benar memalukan. Gita hanya ingin pergi periksa kandungan berdua dengan suaminya, tapi yang ikut malah satu RT. Kalau Ayah Anton dan Ibu Fika sih masih bisa dimaklumi. Anak Alan dan Gita adalah cucu pertama mereka, tapi Alex dan Julie? Dua orang itu sudah punya satu cucu perempuan kandung dan satu cucu laki-laki angkat. Lalu mereka masih senorak itu? Gita tidak tahu harus bersyukur atau tidak ketika mendapati ruang tunggu pasien terlihat sedikit sepi. Harusnya sih Gita bersyukur, tapi tetap saja masih ada beberapa pasien yang menunggu di sana. Rasanya Gita ingin menenggelamkan diri di samudra Hindia."Ibu Gita Bramantara," seorang perawat memanggil nama Gita, membuatnya sedikit tersentak. Gita mengembuskan napas pelan begitu melihat semua dayang-dayangnya ikut berdiri. Haruskah seperti ini? "Ehm, maaf. Apakah semuanya mau ikut masuk?" Si perawat bertanya dengan canggung. Biar bagaimana pun yang dihadapinya ini salah satu pemilik ru
"Kamu yakin gak mau makan apa-apa, Bee?" tanya Alan sambil merapikan anakan rambut Gita. "Sekarang sih belum mau apa-apa. Gak tahu deh kalau sebentar." Gita mengedikkan bahu dengan malas. Sepasang suami istri ini baru saja kembali dari pemeriksaan kandungan untuk kesekian kalinya, karena potensi untuk mengalami keguguran dan kelainan pada bayi lebih tinggi pada Gita. Dokter menyarankan untuk kontrol tiap bulan. Sekarang pun kehamilan Gita sudah mau menuju enam bulan. Menurut dokter perkemabangan si kakak sangat bagus. Hanya saja ibunya masih perlu tambah berat badan sedikit lagi. Gita sih tidak keberatan tambah berat, tapi sebanyak apa pun yang di makan beratnya tidak bertambah. Selama hamil ini, Gita baru bertambah berat sebanyak empat kilo. Padahal biasanya ibu hamil lain sudah melebihi lima kilo. Untungnya saja berat badan 'Kakak' dinyatakan normal. "Als. Kayaknya pengen makan ayam goreng saja deh." Gita yang melihat logo makanan cepat saji itu, tiba-tiba ingin makan ayam
"Permisi, ada yang pesan rujak atas nama Alan?" seorang pengemudi ojek online terlihat celingukan di kantor polisi. "Oh, di sini Pak." Gita melambaikan tangannya dengan riang. Abang ojol berjaket hijau itu menghampiri Gita dan memberikan kantongan kecil dengan takut-takut, karena dipelototi pak polisi. Sementara Gita mengambilnya dengan hati riang. "Als,jangan lupa kasih bintang dan tip." Gita segera menoleh pada suaminya itu dan hanya dijawab dengan deheman pelan. "Maaf ya Pak. Bumil mau makan dulu," Gita tersenyum manis pada pak polisi di depannya. "Gak usah tebar-tebar senyum, Bee. Makan saja." Alan protes dan menggeram kesal. Tak perlu diperintah juga, Gita langgsung membuka bungkusan rujak yang tadi dipesankan Alan. Tentu saja isi rujaknya sebagian besar adalah mangga muda. "Jadi, bisa kita lanjut lagi?" tanya pak polisi yang duduk di depan Alan. "'Sudah saya bilang dari tadi, Pak. Bocah-bocah itu menghina istri saya, bahkan berniat membawa istri saya yang sedang hamil e
"Als?" Gita memanggil Alan yang masih tertidur pulas. Alan yang selalu jadi suami siaga pun langsung terbangun. "Kenapa, Bee?" tanya Alan dengan mata setengah tertutup. "Anu, tadi perutku sempat sakit, tapi sekarang sudah gak lagi sih," jawab Gita bingung. "Bagian mana yang sakit?" Rasa kantuk yang tersisa langsung hilang begitu saja, begitu mendengar keluhan Gita. "Di sini," Gita memegang perut bagian bawahnya. "Sakit mau melahirkan?" tanya Alan mulai terlihat panik. "Aku juga gak tau, Als. Sepertinya sih bukan. Soalnya ini sudah gak sakit lagi dan sakitnya masih bisa aku tahan." Alan mengelus perut buncit Gita yang sudah terlihat seperti balon yang siap pecah. Sebenarnya Gita masih khawatir, tapi rasa sakitnya sudah hilang dan juga tidak enak kalau harus membangunkan Mom. "Kalau gitu kamu tidur saja dulu ya, Bee. Ini baru jam lima pagi." Alan memberi saran ketika sudah yakin istrinya tidak apa-apa. Gita juga setuju dengan saran itu dan membaringkan diri dalam pelukan Ala
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel