"Maaf, Vanessanya ada?" Cindy bertanya pada petugas keamanan yang berjaga di gedung perkantoran yang dia datangi.
"Sepertinya tadi sedang keluar sih, tapi coba saya pastikan ulang ya. Ibu boleh duduk dulu." Si petugas keamanan, menuntun Cindy ke tempat yang dimaksud. Ini bukan kali pertama perempuan paruh baya itu berkunjung, tapi Cindy menatap sekitarnya seolah itu yang pertama. Pemandangan bank juga bukan sesuatu yang asing baginya, tapi kali ini Cindy ingin merekam sekitarnya dengan lebih baik. "Ternyata tempat kerja Vanessa tidak terlalu besar ya," gumam Cindy setelah cukup puas melihat. "Apa karena ini hanya kantor cabang pembantu?" "Permisi, Bu." Baru juga Cindy selesai mengoceh sendiri, satpam sudah datang menghampirinya lagi. "Bu Vanessa benar sedang keluar mengunjungi nasabah, apa perlu bantuan?" "Tidak, Pak. Saya menunggu saja di sini, mumpung jam makan siang sudah dekat. Saya cuma mau mengajak mantu saya makan siang.""Apa yang kau lakukan di sini?" Vanessa mengerutkan kening, ketika dia ada di lantai satu gedung kantornya dan melihat Jovi duduk di salah satu kursi sembari bermain ponsel. "Menjemputmu tentu saja." Jovi dengan cepat mengantongi ponselnya. "Kita akan pulang ke rumah Mama kan?" "Kita?" Vanessa menaikkan sebelah alis, tapi langsung memperbaiki ekspresinya. Walau sudah melewati jam kerja, tapi Vanessa masih di kantor dan ada cukup banyak orang yang lembur. Dia tidak mungkin memarahi Jovi yang datang tanpa izin di depan umum kan? Alhasil, Vanessa memilih untuk menyeret suaminya itu keluar dari kantor. Akan jauh lebih aman untuk berbicara berdua di dalam mobil. "Kenapa kau bisa datang ke sini?" Vanessa mengulangi pertanyaannya, setelah berhasil duduk tenang di dalam mobil sang suami. "Aku tadi sudah menjawab, tapi aku tidak keberatan mengulang. Aku datang untuk menjemputmu, karena kita akan menginap di rumah orang tuaku,"
"Mama pasti salah ngomong kan?" tanya Vanessa dengan tawa yang terdengar sedikit bergetar karena gugup. "Aku tidak mungkin bekerja di rumah sakit." "Sebenarnya Papa ingin kau saja yang menggantikan papa nantinya." Danapati malah menambahkan kalimat yang membuat Vanessa makin sakit kepala. "Tapi itu tentu saja butuh banyak waktu dan kau harus belajar lagi dari awal. Mengurus rumah sakit, tentu berbeda dengan perbankan," lanjut lelaki paruh baya itu, secara tidak langsung mengiyakan ucapan sang istri. Sungguh, Vanessa tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh mertuanya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka kalau dirinya akan diminta untuk bekerja di perusahaan keluarga, apalagi sebuah rumah sakit. "Tapi bukankah Mama tidak suka denganku?" Vanessa bertanya dengan refleks. "Lalu kenapa tiba-tiba mengusulkan pindah ke rumah sakit?" "Ah, soal itu...." Cindy jadi meringis mendengar pertanyaan sang menantu. "Mama melakukan kesalaha
"Mbak, Vanessa ada kiriman." "Hah? Kiriman apa pak? Perasaan saya tidak beli barang." tanya Vanessa pada petugas keamanan yang menghentikan langkahnya. "Ini, Bu." Si satpam mengeluarkan sebuket kecil bunga mawar merah. "Baru saja diantarkan sebelum Bu Vanessa datang. Kedua mata Vanessa berkedip cepat, sesaat sebelum menerima buket bunga itu. Memang buketnya tidak besar, tapi tetap saja sangat mencolok. Apalagi benda itu dikirimkan ke kantornya. "Cieh, yang dapat kiriman buket dari suami tercinta." Putri yang baru datang, langsung mengganggu seniornya. "Bisa tidak usah berisik?" desis Vanessa sudah mulai merasa malu. "Kenapa harus malu, Kak?" Putri makin terkekeh. "Toh, itu dari suami sendiri kan?" "Aku juga tidak tahu." Vanessa menggeleng, sembari memeriksa apakah ada kartu ucapan di sana dan ternyata memang ada. "Aku harap, harimu penuh dengan kebahagiaan. From Jovi." Vanessa membaca pesan itu dengan kening berkerut. "Ini sungguh dari Jovi? Tapi tadi dia tidak mengata
"Bukankah kita seharusnya tidak datang ke rumah sakit?" tanya Vanessa dengan kedua alis terangkat. "Kata Mama kita akan pergi ke perkumpulan?" "Benar." Cindy mengangguk dengan tenang. "Perkumpulan para istri dokter. Sejenis perkumpulan rutin yang kami lakukan, setelah rapat umum pemegang saham." "Rapat umum pemegang saham?" Vanessa masih bertanya dengan kedua alis terangkat. "Apakah maksudnya Mama juga akan ikut rapat?" "Tidak." Cindy kini menggeleng. "Yang ikut hanya papamu dan Jovi saja. Aku rasa sudah waktunya Jovi diperkenalkan dengan lebih intens pada semua orang, tentu saja bersama dengan dirimu yang mungkin akan mewarisi itu semua." Kini bukan hanya kedua alis Vanessa yang terangkat, tapi juga mulutnya terbuka. Dia tentu tidak akan menyangka kalau hari liburnya akan diisi dengan hal yang sangat bermanfaat, seperti yang dikatakan ibu mertuanya. "Tapi, Ma." Setelah cukup menenangkan diri, Vanessa langsung protes. "Aku dan J
Kaki Vanessa tidak berhenti bergerak di bawah meja. Saking cepatnya gerakan kakinya yang mengetuk lantai, meja itu sampai bergetar. Tentu saja, Vanessa bahkan tidak menyadari hal itu. "Kenapa mejanya bergetar ya?" Seseorang bertanya. "Mungkin ada seseorang yang sudah tidak sabar ingin pulang." Seseorang yang lain melemparkan candaan dan membuat semua orang tertawa. Tentu saja Cindy dan Vanessa juga ikut tertawa pelan, tapi mereka berdua tahu siapa pelakunya. Hal yang membuat Cindy memegang kaki sang menantu dengan cukup keras. "Sayang, yang sabar sedikit ya." Cindy berbisik pelan. "Kita tunggu papamu mengatakan bagiannya dan kita bisa turun ke bawah." "Aku sedang mencoba, Ma." Mau tidak mau, Vanessa harus mengangguk. "Tapi ini tidak akan berlangsung lama kan?" "Kalau kau begitu merindukan Jovi, kirim saja pesan padanya. Minta dia yang datang menjemputmu." Cindy mengatakan itu, sembari mengedipkan sebelah mata untuk me
“Apa sekarang kau sudah percaya?” Vanessa mendongak ketika mendengar suara bernada tanya itu. Dia langsung meringis, ketika melihat dokter yang tadi dia tendang berdiri di depannya. Kali ini, sudah lengkap dengan sneli dan stetoskop. “Maaf.” Hanya itu yang bisa Vanessa katakan dengan kepala menunduk. “Kalau sudah tahu kesalahanmu, mungkin kau bisa mengembalikan tanda pengenalku?” Sang dokter kini mengulurkan tangan. Dengan gerakan hati-hati, Vanessa meletakkan lanyard beserta kartu ID dokter milik lelaki di depannya. Ada nama Joviandri William N tertulis di sana. Kartu ID yang jelas sangat sakti, dan berlaku di rumah sakit yang Vanessa datangi. “Maaf.” Vanessa sekali lagi mengatakan hal yang sama. “Aku benar-benar malu karena sudah salah sangka padamu.” “Apa kau salah sangka karena melihat tatoku?” tanya Jovi tampak mencemooh. “Memangnya kenapa dengan tato? Apa aku terlihat buruk dengan itu?” “Oh, tidak!” Vanessa menggeleng dengan cepat. “Aku bahkan tidak terlalu
“WOI, GUYS. VANESSA BARU PUTUS!” Padahal Vanessa berharap bisa merasakan ketenangan ketika sampai di rumah, tapi rupanya itu sangat salah. Dia baru saja membuka pintu, dan menegur sang adik yang sedang main judi online, tapi sekarang malah dirinya yang diteriaki. "Dari mana kau mendapat informasih tidak masuk akal itu?" hardik Vanessa dengan mata yang sudah hampir keluar dari posisinya. "Semua orang juga tahu ekspresimu ketika diputus pacar." Sang adik segera berlari, setelah mengatakan hal itu. “Hei, brengsek!” Vanessa jelas saja akan mengejar, tapi dia jelas kalah. Tubuhnya lebih besar dari sang adik lelaki. “Jangan kejar-kejaran di tangga.” Sang ibu ikut-ikutan berteriak entah dari mana. “Dia duluan yang cari gara-gara,” hardik Vanessa dengan kesal. “Aku bahkan tidak bilang apa-apa, tapi dia sudah berteriak.” “Dia masih kecil, Nes.” Sayangnya sang ibu malah membela sang adik. “Kecil my ass. Dia sudah bisa bikin anak.” Vanessa hanya berani mengatakan hal itu deng
[+628xxxxxxxx: Aku tahu permintaanku tadi sangat aneh, jadi tidak usah dipikirkan. Omong-omong ini Vanessa.] “Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya?” bisik Jovi dengan senyum jahil. “Ini terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja.” “Kau berbicara denganku?” Rekan kerja Jovi yang sejak tadi membaca buku, bertanya. “Ya.” Jovi dengan cepat mengangguk. “Aku ingin tahu jadwal jaga IGD hari ini. Apakah ada aku nanti sore?” “Tentu saja. Jadwalmu setelah ini sampai malam.” “Kalau begitu, bisa tolong gantikan aku? Aku punya urusan yang sangat mendesak sore nanti, mungkin sampai besok pagi.” Jovi bertanya dengan senyum lebar. *** [Dokter Mesum: Bagaimana kalau kita membicarakan ini setelah jam pulang kantor?] [Dokter Mesum: Kita bisa makan malam bersama, kemudian lanjut ke hotel mungkin?] Helaan napas disertai dengan geraman pelan terdengar dari balik salah satu kubikel. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa Wijaya yang terlihat sangat putus asa sa
Kaki Vanessa tidak berhenti bergerak di bawah meja. Saking cepatnya gerakan kakinya yang mengetuk lantai, meja itu sampai bergetar. Tentu saja, Vanessa bahkan tidak menyadari hal itu. "Kenapa mejanya bergetar ya?" Seseorang bertanya. "Mungkin ada seseorang yang sudah tidak sabar ingin pulang." Seseorang yang lain melemparkan candaan dan membuat semua orang tertawa. Tentu saja Cindy dan Vanessa juga ikut tertawa pelan, tapi mereka berdua tahu siapa pelakunya. Hal yang membuat Cindy memegang kaki sang menantu dengan cukup keras. "Sayang, yang sabar sedikit ya." Cindy berbisik pelan. "Kita tunggu papamu mengatakan bagiannya dan kita bisa turun ke bawah." "Aku sedang mencoba, Ma." Mau tidak mau, Vanessa harus mengangguk. "Tapi ini tidak akan berlangsung lama kan?" "Kalau kau begitu merindukan Jovi, kirim saja pesan padanya. Minta dia yang datang menjemputmu." Cindy mengatakan itu, sembari mengedipkan sebelah mata untuk me
"Bukankah kita seharusnya tidak datang ke rumah sakit?" tanya Vanessa dengan kedua alis terangkat. "Kata Mama kita akan pergi ke perkumpulan?" "Benar." Cindy mengangguk dengan tenang. "Perkumpulan para istri dokter. Sejenis perkumpulan rutin yang kami lakukan, setelah rapat umum pemegang saham." "Rapat umum pemegang saham?" Vanessa masih bertanya dengan kedua alis terangkat. "Apakah maksudnya Mama juga akan ikut rapat?" "Tidak." Cindy kini menggeleng. "Yang ikut hanya papamu dan Jovi saja. Aku rasa sudah waktunya Jovi diperkenalkan dengan lebih intens pada semua orang, tentu saja bersama dengan dirimu yang mungkin akan mewarisi itu semua." Kini bukan hanya kedua alis Vanessa yang terangkat, tapi juga mulutnya terbuka. Dia tentu tidak akan menyangka kalau hari liburnya akan diisi dengan hal yang sangat bermanfaat, seperti yang dikatakan ibu mertuanya. "Tapi, Ma." Setelah cukup menenangkan diri, Vanessa langsung protes. "Aku dan J
"Mbak, Vanessa ada kiriman." "Hah? Kiriman apa pak? Perasaan saya tidak beli barang." tanya Vanessa pada petugas keamanan yang menghentikan langkahnya. "Ini, Bu." Si satpam mengeluarkan sebuket kecil bunga mawar merah. "Baru saja diantarkan sebelum Bu Vanessa datang. Kedua mata Vanessa berkedip cepat, sesaat sebelum menerima buket bunga itu. Memang buketnya tidak besar, tapi tetap saja sangat mencolok. Apalagi benda itu dikirimkan ke kantornya. "Cieh, yang dapat kiriman buket dari suami tercinta." Putri yang baru datang, langsung mengganggu seniornya. "Bisa tidak usah berisik?" desis Vanessa sudah mulai merasa malu. "Kenapa harus malu, Kak?" Putri makin terkekeh. "Toh, itu dari suami sendiri kan?" "Aku juga tidak tahu." Vanessa menggeleng, sembari memeriksa apakah ada kartu ucapan di sana dan ternyata memang ada. "Aku harap, harimu penuh dengan kebahagiaan. From Jovi." Vanessa membaca pesan itu dengan kening berkerut. "Ini sungguh dari Jovi? Tapi tadi dia tidak mengata
"Mama pasti salah ngomong kan?" tanya Vanessa dengan tawa yang terdengar sedikit bergetar karena gugup. "Aku tidak mungkin bekerja di rumah sakit." "Sebenarnya Papa ingin kau saja yang menggantikan papa nantinya." Danapati malah menambahkan kalimat yang membuat Vanessa makin sakit kepala. "Tapi itu tentu saja butuh banyak waktu dan kau harus belajar lagi dari awal. Mengurus rumah sakit, tentu berbeda dengan perbankan," lanjut lelaki paruh baya itu, secara tidak langsung mengiyakan ucapan sang istri. Sungguh, Vanessa tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh mertuanya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka kalau dirinya akan diminta untuk bekerja di perusahaan keluarga, apalagi sebuah rumah sakit. "Tapi bukankah Mama tidak suka denganku?" Vanessa bertanya dengan refleks. "Lalu kenapa tiba-tiba mengusulkan pindah ke rumah sakit?" "Ah, soal itu...." Cindy jadi meringis mendengar pertanyaan sang menantu. "Mama melakukan kesalaha
"Apa yang kau lakukan di sini?" Vanessa mengerutkan kening, ketika dia ada di lantai satu gedung kantornya dan melihat Jovi duduk di salah satu kursi sembari bermain ponsel. "Menjemputmu tentu saja." Jovi dengan cepat mengantongi ponselnya. "Kita akan pulang ke rumah Mama kan?" "Kita?" Vanessa menaikkan sebelah alis, tapi langsung memperbaiki ekspresinya. Walau sudah melewati jam kerja, tapi Vanessa masih di kantor dan ada cukup banyak orang yang lembur. Dia tidak mungkin memarahi Jovi yang datang tanpa izin di depan umum kan? Alhasil, Vanessa memilih untuk menyeret suaminya itu keluar dari kantor. Akan jauh lebih aman untuk berbicara berdua di dalam mobil. "Kenapa kau bisa datang ke sini?" Vanessa mengulangi pertanyaannya, setelah berhasil duduk tenang di dalam mobil sang suami. "Aku tadi sudah menjawab, tapi aku tidak keberatan mengulang. Aku datang untuk menjemputmu, karena kita akan menginap di rumah orang tuaku,"
"Maaf, Vanessanya ada?" Cindy bertanya pada petugas keamanan yang berjaga di gedung perkantoran yang dia datangi. "Sepertinya tadi sedang keluar sih, tapi coba saya pastikan ulang ya. Ibu boleh duduk dulu." Si petugas keamanan, menuntun Cindy ke tempat yang dimaksud. Ini bukan kali pertama perempuan paruh baya itu berkunjung, tapi Cindy menatap sekitarnya seolah itu yang pertama. Pemandangan bank juga bukan sesuatu yang asing baginya, tapi kali ini Cindy ingin merekam sekitarnya dengan lebih baik. "Ternyata tempat kerja Vanessa tidak terlalu besar ya," gumam Cindy setelah cukup puas melihat. "Apa karena ini hanya kantor cabang pembantu?" "Permisi, Bu." Baru juga Cindy selesai mengoceh sendiri, satpam sudah datang menghampirinya lagi. "Bu Vanessa benar sedang keluar mengunjungi nasabah, apa perlu bantuan?" "Tidak, Pak. Saya menunggu saja di sini, mumpung jam makan siang sudah dekat. Saya cuma mau mengajak mantu saya makan siang."
"Loh, Jovi? Tumben datang malam-malam begini?" Cindy mengerutkan kening, ketika dia melihat sang putra berjalan dengan gontai. "Malam, Ma," gumam Jovi tanpa menatap ibunya dan terus saja berjalan. Cindy yang sudah menggunakan piyama, makin mengerutkan kening. Padahal tadi dia sudah bersiap untuk tidur, tapi batal karena bisa mendengar suara mobil putranya. Tapi coba lihat sekarang, Jovi bahkan tidak peduli padanya. "Kau itu kenapa sih?" tanya Cindy setelah berhasil mengejar sang putra yang baru mau masuk ke kamar. "Kau habis minum?" "Hanya sedikit saja," jawab Jovi dengan jujur dan senyum lebar. "Aku masih belum mabuk karena tadi bisa menyetir sendiri." "Tapi jelas otakmu sudah tidak pada tempatnya." Cindy hanya bisa geleng-geleng kepala dan kini memilih untuk membantu sang putra sampai ke atas ranjang. "Apa ada masalah di rumah sakit?" "Masalah di rumah sakit?" Bukannya menjawab, Jovi malah bertanya. "Tidak terlalu b
"Aku tidak terlambat kan?" Jovi langsung bertanya, ketika dia sudah sampai di tempat janjian. Lebih tepatnya, saat sudah berada di depan sang istri. "Terlambat," balas Vanessa yang melihat jam tangannya. "Kau terlambat dua menit." "Maaf untuk itu." Jovi meringis pelan. Sesungguhnya, Jovi ingin protes. Dua menit jelas bukan waktu menunggu yang membuatnya harus sampai dicap terlambat, tapi untuk kali ini sang dokter memilih untuk meminta maaf saja. Jauh lebih aman. "Aku tadi dapat pasien di menit-menit terakhir." Sang dokter mencoba untuk menjelaskan. "Padahal aku sudah meminta untuk tidak menerima pasien tiga puluh menit terakhir, agar aku bisa menyelesaikan catatanku dan tidak terlambat datang." "Jujur saja, aku tidak terlalu percaya." Vanessa mengedikkan bahu dengan santai. "Tapi untuk mempersingkat waktu, anggap saja begitu." "Mau pesan makanan dulu?" tanya Jovi masih meringis. "Aku sedikit lapar, karena tadi tidak
"Bagaimana kau bisa gagal?" "Aku juga tidak tahu, Gery." Manda ikut terlihat kesal pada lelaki di depannya. "Semuanya sudah berjalan baik, tapi tiba-tiba saja Jovi dan temannya datang. Untung aku cepat melarikan diri, selagi mereka semua berkelahi." "Bodoh." Lelaki yang dipanggil Gery, tak segan memaki. Dia bahkan menjambak rambut Manda. "Seharusnya tidak ada kesalahan seperti ini, Manda. Kau tahu kalau aku tidak suka dengan yang namanya kegagalan, apalagi kegagalan karena kau bodoh." Gery melempar tubuh Manda ke atas sofa buntut dengan kasar. Hal yang tentu saja membuat Manda sedikit menjerit, tapi tidak dengan ekspresi takut atau sedih. Dia malah terlihat senang dengan perlakuan lelaki itu. "Apakah aku harus gagal terus agar kau memperlakukanku dengan sedikit kasar?" tanya Manda masih tersenyum. "Rasanya sudah lama juga kita tidak bermain seperti ini." "Kau memang gila." Gery tidak segan untuk mencibir. "Tapi kalau kau menging