Hening, Sakha hanya menatap lekat Yota yang merengut. Wajah masam gadis itu membuatnya gugup—takut Yota berteriak dan menolak niat baiknya. "Kha, kalau niatnya ke sini buat jadi patung mending kamu pergi. Atau ke Monas saja sekalian, jangan di sini. Bikin sakit mataku saja," ketus Yota untuk keseki
"Kalau begitu aku ingin itu." Jari telunjuk Bumi terarah ke salah satu pengamen cilik yang sedang bernyanyi di sana. Bocah itu memetik gitar sembari menyanyikan lagu. "Kamu mau aku nyanyi?" tanya Rey. Bumi mengangguk. Tatapan matanya tak ubah seperti anak kecil yang merengek minta balon. "Nyanyi d
"Ya jelas saja waktu tidak bisa diputar bocil. Yang bisa diputar namanya bukan waktu, tapi gasing," celetuk Rey agak kesal. Sembari merengut Rey pun mengeluarkan dompet dan menyerahkan dua lembar uang berwarna merah. Sontak saja bocah itu berjingkrak kegirangan, setelah itu menyerahkan gitarnya yan
Sembari membersihkan luka, Sakha kembali teringat pertemuan pertama mereka setelah setahun. Waktu itu dia juga membuat lutut gadis itu terluka. Tak hanya itu, dia juga melukai hatinya dengan hinaan pedas dan menohok. Sakha pun mengembuskan napas panjang. Rasa sesalnya berkali-kali lipat. "Aku minta
Demi membuang rasa itu Sakha pun berdeham dan mengalihkan pandangan. Sekarang dia sadar kalau tidak hanya menyukai Yota, tapi juga berhasrat padanya. "Mungkin aku akan menghabiskan sisa waktuku sebagai pendosa," sahut Yota setelah beberapa detik diam. "Yota, aku minta maaf soal itu. Aku ...." "Ta
Sepulangnya dari taman Rey jadi pendiam dan Bumi menyadari perubahan itu. Sudah sering dia mengajak Rey bicara tetapi lelaki itu seolah abai dengan apa pun. "Rey, apa kamu sudah tidur?" tanya Bumi sembari memutar tubuh. Dia menatap Rey yang terpejam. Hening. Rey sama sekali tak merespon. Hanya ter
Lelaki berpiama itu pun menarik napas panjang—bersiap mengatasi kebohongan. Ya, dia akan berbohong kali ini. Lagi pula bagaimana cara dia menjelaskan pada Bumi kalau Sakha sebenarnya menyukai Yota dan sedang berusaha mengambil hatinya? Bukan berburuk sangka hanya saja Rey berpikir sekarang bukan w
"Mau pesan apa?" tanya Rio pada Yota ketika mereka baru saja masuk ke sebuah kedai kopi. "Apa aja. Aku ikut kamu aja," balas Yota sembari duduk. Senyum canggung terpatri di wajahnya yang cantik. "Baiklah. Kamu tunggu di sini." Sembari menunggu, Yota memilih melihat sekeliling. Suasana kedai kopi
Mata Rio langsung terbelalak hebat. "Jadi ... jadi kamu yang digilainya, dan istrimu adalah orang yang dibuatnya keguguran?" terka Rio. Dia masih belum bisa menetralisir keterkejutan. "Ya begitulah kira-kira. Dan kamu masih saja menyukainya?" Rio terkekeh hambar. "Nasib benar-benar buruk. Aku tahu
Bumi cuma bisa nyengir saja. "Jangan tertawa, Bum! Ini tidak lucu!" dengkus Sakha. - - Enam bulan kemudian. Ballrorm sebuah hotel dihias sedemikian rupa megahnya. Lampu, bunga, serta balon menjadi ornamen pendukung pesta pernikahan dua bersaudara itu. Dua bersaudara? Ya, mereka adalah Aryan d
Rey yang keheranan merebut lembar itu, dan responnya juga sama—membulatkan mata seakan-akan tidak percaya. "Bum, kamu serius?" tanya Rey. Melihat Sakha yang ada di sebelahnya mematung tak bergerak memantik rasa penasarannya menjadi semakin besar. Di dekatinya Bumi, lantas duduk di sisi ranjang. "B
"Mi ...." "Padahal Mimi sudah semedi di spa demi nama ini. Gangga Semesta Jadiyaksa." Bumi dan Rey saling tatap. Mereka tak menyangka nama yang disiapkan begitu indah dan jauh dari nama aktor Hollywood. "Itu artinya apa, Mi?" tanya Bumi. Penasaran dia dan sejujurnya agar tertarik. Nama itu terden
Mata Rey pun kembali terarah ke box bayi yang ada disebelahnya. "Aku bingung. Terlalu banyak nama bagus yang aku pikirkan. Dan satu pun tidak ada yang membuatku yakin. Tolong beri waktu aku untuk memikirkannya," balas Rey. Bumi pun mengiakan dengan anggukan kepala. Sekarang mata Rey kembali ke Bumi
Kebahagiaan yang didapatkan sekarang tidak bisa Bumi jabarkan. Rasanya sangat luar biasa. Setelah melalui masa kontraksi hampir sepuluh jam akhirnya sang bayi lahir dengan selamat dan sehat dengan berat 3,5 kilogram dengan proses persalinan normal. Kebahagiaannya semakin berlipat ketika mengetahui a
"Dan yang membuat aku penasaran, kenapa kamu selalu diam? Kamu seolah tidak mengenalku. Jika kamu mengatakannya mungkin kita sudah lama berteman." "Maaf, aku tidak berpikir sampai di situ. Aku hanya menolong, itu saja," balas Aryan lagi. Senyum Milea semakin mengembang. Lamat dia menatap Aryan yan
Tiga puluh menit. Satu jam. Hingga dua jam berlalu sia-sia. Semua jenis olahraga dia coba. Dari squad jump, push-up, angkat barbel sudah dicoba, hanya saja hasilnya nihil. Aryan kalah dan lelah. Lelaki bingung harus bagaimana. Tubuhnya sudah lemah tapi hasrat untuk mencumbu Milea justru semakin k
"Kamu masih muda? Apa kamu single? Kalau iya, apa kamu mau menjadikan aku istri?" "Maaf, Nona. Saya memang masih single, tapi ...." "Tidak perlu dilanjutkan. Aku hanya butuh itu sebagai awal. Jadi Tuan Jas yang tampan, persiapkan diri untuk menerimaku sebagai istri." Aryan yang baru saja selesai