Hari berikutnya, Bumi berjalan didampingi Rey menyusuri koridor rumah sakit. Keduanya melihat Yota dan Aryan duduk bersebelahan di depan ruang ICU. Kedua saudara kembar itu tentulah kaget melihat kedatangan mereka. "Bumi, Rey, ada apa kalian ke sini?" tegur Aryan. Dia berdiri lalu mendekati Bumi. K
Langit tetap gelap padahal waktu sudah menunjukkan tengah hari. Saat bersamaan turunlah rintik hujan yang tentu saja menemani prosesi pemakaman Wida. Rintik-rintik hujan mulai bertambah kapasitasnya dari menit ke menit. Keadaan tak terduga yang semakin menambah kesedihan dua bersaudara itu. Di pusar
Dulu, di kamar itu dia dan Yota sering beradu mulut. Kamar itu menjadi saksi perbedaan karakter yang mencolok dari keduanya. Mereka selalu berdebat tentang apa pun, hal sepele akan akan jadi besar. Di sana semuanya terjadi. Yota yang tidak mau mengalah dan Sakha yang tidak ingin disalahkan pun mema
"Bagaimana keadaannya? Calon bayi saya baik-baik saja 'kan, Dok?" tanya Bumi pada dokter yang sedang memeriksa kandungannya dengan menggeser transducer. Benda itu menempel di permukaan perutnya. Sesekali sang dokter menggesernya untuk mendapat gambar yang jelas di layar monitor. Sang dokter pun mem
"Kamu sungguh tidak marah?" ulang Bumi menyelidik. Suaminya ini kelewat tenang. "Kamu mau aku jawab jujur atau tidak?" balas Rey tanpa menoleh. "Tidak," jawab Bumi cepat. Jujur, dia tidak siap dimarahi dan disalahkan suaminya. Rey pun mendesah panjang. Dia tatap Bumi yang juga menatap dengan soro
Rey yang bingung mencari sosis berurat pada akhirnya memilih menemui temannya yang merupakan seorang chef. Tentu saja dia ditertawai karena meminta hal yang aneh seperti itu. “Berikan saja sosismu itu!” ledek teman Rey karena merasa ini menggelikan. “Sudah jangan menggodaku, ayo lah! buatkan apa s
"Apa yang kamu lihat? Apa kamu ingin meminta tiket itu lagi. Tidak bisa, aku sudah menjualnya," ketus Sakha. Semakin salah tingkah dia. "Aku tidak mempermasalahkan tiket itu." "Lalu, kenapa matamu begitu?" Sakha yang sudah terpancing emosi menatap nyalang Rey. Dia merasa telah dipermainkan. "Ya,
Sakha mendesah lalu membuka mata, dia memutar kepala melihat Rey yang menyemangatinya. "Tapi kamu tahu sendiri seberapa tinggi level kebenciannya padaku, jangankan mengajak bicara, menatapku saja dia seakan malas. Aku tidak percaya diri Rey. Takutnya dia malah berteriak. Ibunya baru meninggal dan ak
Mata Rio langsung terbelalak hebat. "Jadi ... jadi kamu yang digilainya, dan istrimu adalah orang yang dibuatnya keguguran?" terka Rio. Dia masih belum bisa menetralisir keterkejutan. "Ya begitulah kira-kira. Dan kamu masih saja menyukainya?" Rio terkekeh hambar. "Nasib benar-benar buruk. Aku tahu
Bumi cuma bisa nyengir saja. "Jangan tertawa, Bum! Ini tidak lucu!" dengkus Sakha. - - Enam bulan kemudian. Ballrorm sebuah hotel dihias sedemikian rupa megahnya. Lampu, bunga, serta balon menjadi ornamen pendukung pesta pernikahan dua bersaudara itu. Dua bersaudara? Ya, mereka adalah Aryan d
Rey yang keheranan merebut lembar itu, dan responnya juga sama—membulatkan mata seakan-akan tidak percaya. "Bum, kamu serius?" tanya Rey. Melihat Sakha yang ada di sebelahnya mematung tak bergerak memantik rasa penasarannya menjadi semakin besar. Di dekatinya Bumi, lantas duduk di sisi ranjang. "B
"Mi ...." "Padahal Mimi sudah semedi di spa demi nama ini. Gangga Semesta Jadiyaksa." Bumi dan Rey saling tatap. Mereka tak menyangka nama yang disiapkan begitu indah dan jauh dari nama aktor Hollywood. "Itu artinya apa, Mi?" tanya Bumi. Penasaran dia dan sejujurnya agar tertarik. Nama itu terden
Mata Rey pun kembali terarah ke box bayi yang ada disebelahnya. "Aku bingung. Terlalu banyak nama bagus yang aku pikirkan. Dan satu pun tidak ada yang membuatku yakin. Tolong beri waktu aku untuk memikirkannya," balas Rey. Bumi pun mengiakan dengan anggukan kepala. Sekarang mata Rey kembali ke Bumi
Kebahagiaan yang didapatkan sekarang tidak bisa Bumi jabarkan. Rasanya sangat luar biasa. Setelah melalui masa kontraksi hampir sepuluh jam akhirnya sang bayi lahir dengan selamat dan sehat dengan berat 3,5 kilogram dengan proses persalinan normal. Kebahagiaannya semakin berlipat ketika mengetahui a
"Dan yang membuat aku penasaran, kenapa kamu selalu diam? Kamu seolah tidak mengenalku. Jika kamu mengatakannya mungkin kita sudah lama berteman." "Maaf, aku tidak berpikir sampai di situ. Aku hanya menolong, itu saja," balas Aryan lagi. Senyum Milea semakin mengembang. Lamat dia menatap Aryan yan
Tiga puluh menit. Satu jam. Hingga dua jam berlalu sia-sia. Semua jenis olahraga dia coba. Dari squad jump, push-up, angkat barbel sudah dicoba, hanya saja hasilnya nihil. Aryan kalah dan lelah. Lelaki bingung harus bagaimana. Tubuhnya sudah lemah tapi hasrat untuk mencumbu Milea justru semakin k
"Kamu masih muda? Apa kamu single? Kalau iya, apa kamu mau menjadikan aku istri?" "Maaf, Nona. Saya memang masih single, tapi ...." "Tidak perlu dilanjutkan. Aku hanya butuh itu sebagai awal. Jadi Tuan Jas yang tampan, persiapkan diri untuk menerimaku sebagai istri." Aryan yang baru saja selesai